Diinap-inapkan-dipikir dalam-dalam, begitu dahsyatnya filosofi dalam silek Minangkabau. Silek bukan sekedar memperagakan olahan tubuh semata dalam bentuk tangkok (tangkap), kabek (kebat), kunci, elak, gelek dan kepoh namun juga untuk memujudkan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan Maha Pencipta. Nilai-nilai humanis dibingkai, kenapa tidak ketika diserangpun tidak boleh menangkis apalagi balas menyerang, tetapi diwajibkan mengelak bahkan sampai empat kali.
Secara prinsip silek sebagai seni bela diri, yang sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan, elak dan tangkap. Elak sebagai gerakan menghindar, dimana seorang pasilek berusaha menghindari serangan lawan. Untuk menghindari serangan, selain menggunakan langkah, juga menggunakan gerak gelek, yaitu memiringkan tubuh ke kiri atau ke kanan tanpa menggeser langkah. Adakalanya, ketika gerakan mengelak dengan menggunakan gelek, tangan diangkat hingga mencapai kepala, sehingga tangan seolah-olah berfungsi melindungi bagian pinggang ke atas.
Tangkap dengan mengunakan dua tangan. Jika seorang pasilek diserang, ia akan melakukan gerakan tangkap ini. Serangan itu ditangkap dengan tangan, sebagai kelanjutan gerakan ini adalah kabek, dengan menggunakan lengan dengan mengantukkan siku. Selain menggunakan gelek, gerak dasar elak juga menggunakan kepoh.
Baca juga: Silek, rumah gadang indak bapintu mancik saikue bapantang lalu
Jika elak dengan menggunakan gelek tidak bersentuhan dengan lawan, maka kepoh menyentuh lawan. Kepoh adalah menepis serangan dengan menggunakan tangan atau kaki. Senjata yang digunakan untuk menyerang ialah tinju, telapak tangan, siku, bahu, lutut, dan kaki. Kaki melakukan sepakan, terjangan, dan hantaman. Kaki juga dapat melakukan sepai, yakni mengait kaki lawan. Mencakar, menjambak dapat melakukan sepai, yakni mengait kaki lawan. Mencakar, menjambak rambut, dan menggigit tidak termasuk perbendaharaan silek karena senjata itu dipandang sebagai senjata perempuan (Navis, 1984 : 266-267).
Itupula sebabnya seorang pasilek, selain mampu menguasai jurus ia harus mampu menguasai elakan (tangkisan) dari serangan lawan. Uniknya jurus-jurus serta elakan yang diajarkan dalam silek Minangkabau pada umumnya mengambil makna gerak mengikuti alam dan perilaku kehidupan manusia.
Bahkan para tokoh silek Minangkabau selain berguru kepada alam, mereka juga menjadikan hewan sebagai observasi pengamatannya untuk menciptakan jurus silek. Perilaku hewan seperti harimau, ular, burung dan satwa lainnya seringkali menjadi inspirasi jurus yang mereka ciptakan. Sehingga sering kita mendengar penamaan jurus harimau, jurus ular, jurus monyet dan jurus lainnya yang dianalogikan melalui prilaku satwa.
Tidak perihal itu saja, persoalan jurus yang diambil sebagai rujukan pun beragam. Misalnya saja pada aliran Silek Kumango tidak banyak mengambil jurus-jurusnya dengan analogi dari simbol-simbol alam dan lingkungan untuk menciptakan jurus secara utuh. Tetapi mengambilnya lebih banyak dari nilai-nilai kehidupan terhadap alam dengan berpegang pada nilai peradaban manusia secara positif (Mulyono dan kawan-kawan, 2012 :83).
Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa seorang pasilek bila diserang tidak boleh menangkis apalagi menyerang, akan tetapi diwajibkan mengelak sampai empat kali. Sangat menarik analogi yang diterapkan di perguruan silek Kumango. Ada empat tahapan yang menjadi figur penghormatan nilai-nilai kehidupan dari analogi elakan yakni elakan mande, elakan bapak, elakan guru dan elakan sahabat karib.
Pertama, saat seorang musuh melakukan serangan pertama. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang ibu memarahi anaknya, ibu sedang menasehati kita dan kita wajib memahami dan bukan melawannya. Kedua, saat seorang musuh melakukan serangan kedua. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang ayah kita sedang menasehati. Ketiga, saat seorang musuh melakukan serangan ketiga. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan seorang guru marah pada kita. Artinya ketulusan yang harus dimunculkan oleh seorang pasilek adalah mengumpamakannya guru kita sedang menasehati muridnya. Keempat, saat seorang musuh melakukan serangan keempat. Seorang pasilek harus menganggapnya serangan itu diibaratkan saudara, teman, sahabat marah pada kita. Artinya, ketulusan yang harus dimunculkan oleh seorang pasilek adalah bahwa mereka sedang menasehati kita, maka kita wajib memahaminya bukan melawannya. Kelima, saat seorang musuh melakukan serangan kelima. Seorang pasilek wajib melawannya dengan mngunci lawan, dan itupun dilakukan untuk melumpuhkan bukan untuk mematikan lawan. Pada pukulan yang kelima baru boleh menangkis serangan musuh, Karena pukulan yang kelima itu musuh sudah kemasukan setan sehingga setan dalam tubuhnya harus ditundukkan. Tangkisan maupun pukulan yang kelima bukan berarti harus menyakiti pihak musuh, melainkan masih berupa nasehat. Karena secara kasar mata musuh itu adalah lawan, namun secara batin adalah kawan (saudara), sehingga ia harus diselamatkan (Purna dan kawan-kawan, 1996/1997 : 45, Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 83-84 dan Hasanuddin dan kawan-kawan, 2015 :11).
Silek didalamnya mempunyai daya untuk membentuk selain membuat fisik sehat, juga membentuk sikap memahami nilai budaya yang dapat diandalkan untuk pendewasaan mental misalnya nilai-nilai seperti kerja keras, kesetiakawanan, kemandirian, kesabaran, keimanan.
Sehubungan dengan itu, seorang pasilek diharapkan lebih banyak diam dan banyak mempersiapkan diri, sesuai dengan pepatah yang dianut waktu menuntut keterampilan silek, yaitu memakai ilmu padi, makin berisi makin tunduk, yang maksudnya semakin berilmu haruslah makin tunduk dan tidak boleh bersifat congkak dan sombong dalam masyarakat dengan kepandaian yang dimilikinya.
Kekinian dalam kehidupan, kita lebih cenderung melakukan serangan baik serangan secara fisik maupun non fisik (kata-kata) kepada orang lain sehingga membuat hati orang tergores. Mengelak untuk melangkah maju sering terabaikan karena keegoisan kita sendiri. Namun bila kita menginap-inapkan filosofi yang ada dalam silek Minangkabau tersebut, maka kita tahu bahwa kita lebih mengutamakan elakan daripada serangan. Bersambung…
Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 21 September 2018