Silek, Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan

0
1061

Tahun ini Sumatera Barat mendapat kehormatan terpenting dalam perjalanan sejarah berkebudayaan. Kenapa tidak, Sumatera Barat merupakan salah-satu daerah yang tergabung dalam platform Indonesiana. Program Indonesiana sendiri merupakan sebuah platform yang menyinergikan pemerintah (pusat maupun daerah) dengan para pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, agar adanya tata kelola yang baik dan akan memudahkan kebudayaan untuk bergerak sekaligus membangun kesadaran masyarakat. Muaranya adalah ruang-ruang terbuka bagi masyarakat tersebut dapat memastikan platform tersebut dapat terwujud. Tidak melalui panggung-panggung maupun pentas yang sifatnya berkala, namun dari ruang permanen yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat, tanpa terkendala waktu dan tempat, dan sifat gotong royong menjadi pengerak utamanya.

Melalui SAF (Silek Art Festival) platform Indonesiana di Sumatera Barat di bingkai. Pembingkaian silek memiliki makna yang sangat penting bila dikaitkan dengan proses berkebudayaan masyarakat di daerah ini. Sebagai sebuah warisan, silek di daerah kita telah berkembang, tumbuh dan telah menjadi jiwa serta telah berurat berakar dalam setiap lini kehidupan masyarakat.

Baca juga: Harapan memasyarakatkan Silek Minangkabau

Silek merupakan suatu keterampilan untuk membela diri dari serangan musuh tanpa mempergunakan alat dan senjata. Memang demikian pada awalnya, hal ini tentu dapat dipahami bahwa para pemuda (calon mamak) belajar silek bukan untuk mencari musuh, berkelahi melainkan untuk mencari teman. Dengan demikian silek bukanlah dipergunakan untuk menyerang atau berkelahi melainkan untuk mewujudkan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia dan bahkan antara manusia dengan Maha Pencipta. Namun bila terjadi serangan yang tidak diingini maka bagi yang diserang berhak untuk membela diri. Hal ini sesuai dengan pepatah “musuah indak dicari basuo pantang dielakkan”.

Ditinjaua dari perspektif ajaran, ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari/ mengenal diri lahiriah, silik adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri batiniah, dan suluk adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri lahir batin. Bahkan beberapa pelaku dan intelek silek mencoba mengaitkan “silat” (silek) dengan “salat” (sholat) dan “silat-urrahim” (hubungan baik dengan sesama manusia). Ketiga kata tersebut memiliki akar yang sama, terdiri atas tiga huruf Arab, yakni: sim-lam-ta. Jadi, silek bukan seni atau permainan, yang dipermainkan sebagai seni adalah mancak.

Bukan itu saja silek Minangkabau tradisional adalah bagian dari tradisi lisan Minangkabau yang diajarkan secara lisan dan disertai peragaan laku dan peralatan. Sebagai tradisi lisan, sejarah kelahiran dan silsilah perkembangannya relatif sulit dilacak. Hal itu disebabkan karena penciptaannya bersifat anonymous dan kolektif. Itu sebabnya, penamaan aliran Silek Minangkabau didasarkan kepada sumber inspirasi dan pola gerakan serta nama nagari asal pengembang atau pengembangan awalnya. Berdasarkan ciri tersebut maka dalam tradisi silek Minangkabau dikenal adanya Silek Usali atau Silek Tuo (penamaan berdasarkan ketuaan/ keawalan), Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, Silek Alang Babega (penamaan berdasarkan sumber inspirasi dan pola gerakan), Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Paninjauan, Silek Balubuih (penamaan berdasarkan nama nagari asal pengembang/ pengembangan), dan lain sebagainya

Gaung silek itulah yang akan dihelat dalam platform Indonesiana. Sebuah usaha untuk mengerakkan ekosistem kebudayaan dalam rangka pemajuan kebudayaan. Ekosistem kebudayaan itu sendiri merupakan roh pengerak lini-lini atau jejaring-jejaring dalam bidang kebudayaan tersebut- semuanya lini ikut aktif dalam proses berkebudayaan.  Namun jamak terjadi ketika melaksanakan kegiatan dalam bidang kebudayaan kita lebih suka bekerja sendiri-sendiri- tanpa melibatkan lembaga atau instansi lain. Kegiatan banyak namun tidak dalam sebuah sistem atau bingkai yang utuh. Terparah lagi dijumpai bahwa kegiatan untuk menggerakkan ekosistem kebudayaan terkendala adanya ego sektoral, antar lembaga atau instansi, antar komunitas dan lainnya. Persoalan seperti ini sudah menua dan merupakan beban penyakit yang harus disembuhkan bila kegiatan dalam bidang kebudayaan berjaya dikelak hari. Solusi kearah tersebut tidak lain menggerakkan ekosistem kebudayaan itu sendiri.

Pemahaman yang sangat keliru selama ini yang menyebabkan menggerakkan ekosistem kebudayaan menjadi terkendala. Pemahaman itu adalah menyempitnya pemahaman terhadap budaya itu sendiri. Tidakkah masalah budaya itu sangat luas ?.  Bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu, mulai dari lahir sampai meninggal dunia- persoalan budaya akan selalu menghiasinya. Ditimbal dengan persoalan bahwa berkebudayaan tidak dijadikan sebagai sebuah kebanggaan yang berurat dan berakar dalam hidup kita.

Dalam kerangka inilah kegiatan SAF dalam bingkai platform Indonesiana ingin memperlihatkan bagaimana ekosistem kebudayaan tersebut berproses. Semua lini ikut di dalamnya dalam kerangka platform Indonesiana tersebut. Sebagai sebuah perihal terpenting dalam pemajuan kebudayaan, ekosistem kebudayaan mestilah digerakkan dan ini tidak dapat tumbuh dengan sendirinya melainkan perlu adanya rangsangan untuk dapat tumbuh dan bergerak. Bisa kita lakukan dalam bentuk kerjasama kebijakan antar instansi atau lembaga, pemerintah, swasta, masyarakat pemilik kebudayaan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya.  Menghilangkan arogansi dan ego sektoral antar lembaga atau intansi, komunitas dan lainnya, serta perlu pemikiran yang jernih adalah sebuah keharusan yang harus dibingkai dalam menggerakkan ekosistem kebudayaan kedepannya.

Akhirnya, kita berharap kegiatan platform Indonesiana dengan SAF (Silek Art Festival) nya dapat berjalan dengan baik. Fondasi tersebut tidak lepas dari kerjasama kita semuanya. Mudah-mudahan. Wassalam.

Penulis: Undri, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah terbit di Harian Umum Padang Ekspres pada 5 September 2018