Penulis: Silvia Devi
Peran perempuan dalam berpolitik yang lebih dikenal dengan sebutan berdemokrasi sebenarnya bukan hal baru. Keterlibatan perempuan Minangkabau dalam politik kekuasaan dapat kita ketahui dari berbagai cerita di kaba. Salah satunya kaba Cindua Mato seperti yang diungkapkan oleh Edy Utomo (2014) bahwa kekuasaan perempuan Minangkabau sangat besar tidak hanya karena sistem matrilinealnya tetapi karena memiliki kekuasaan memerintah. Begitu juga halnya perkembangan nagari-nagari semenjak dikeluarkannya Perda No 9 Tahun 2000 tentang sistem kembali ke nagari. Peran perempuan bundo kanduang tidak bisa dinafikkan karena perannya sejajar dengan keberadaan ninik mamak. Oleh karena itu jika dilihat dari sejarah begitu besar peran perempuan Minangkabau pada masa lalu, tentunya ini dapat dipahami bahwa perannya tidak melanggar adat. Justru sebaliknya malah memperkuat posisinya ditengah pentingnya sebuah kekuasaan dalam usaha menyelamatkan pemerintahan daerah.
Jika kita telusuri bahwa sistem matrilineal yang dimiliki masyarakat Minangkabau yakni menarik garis keturunan dari garis ibu, namun begitu kekuasaan tetap terletak ditangan laki-laki. Kekuasaan perempuan ada batasnya, begitu juga laki-laki memiliki kewajiban dan tanggungjawabnya yang jelas. Tidak ada tumpang tindih antara keduanya. Sistem egaliter yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau menempatkan kedudukan antara laki-laki sama dimata adat dan agama. Begitu juga dalam hal berpolitik, Ranny Emilia (2014) seorang pakar politik Universitas Andalas mengungkapkan bahwa peranan politik perempuan Minangkabau tidak berlaku hukum jender melainkan dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya.
Hal ini senada yang diungkapkan oleh Raudha Thaib (2014) jika melihat kedudukan perempuan dan laki-laki Minangkabau dalam adat. Posisi laki-laki dan perempuan Minangkabau memiliki posisi yang sama, sama-sama memiliki kedudukan. Keduanya saling pengaruh mempengaruhi, adanya perimbangan dan kesimbangan dalam semua aspek kehidupan. Menurutnya institusi ibu dan institusi mamak terikat dan berimbang yakni institusi ibu melembaga dalam rumah gadang dan isntitusi mamak melembaga di balai adat. Laki-laki memperoleh “kekuasaan” dalam bentuk organisasi pemerintahan dan kepemimpinan baik bidang adat maupun dalam masyarakat. Sedangkan perempuan memperoleh “kepemilikan” dalam bentuk seluruh harta baik rumah, tanah, sawah dan ladang serta anak-anak. Meski kepemimpinan ada ditangan laki-laki tetapi wajib menghormati kehendak kaum ibu sebelum mencapai keputusan.
Minangkabau memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabulah, maka segala norma adat dan agama semua telah diatur dan tidak saling tumpang tindih. Antara laki-laki dan perempuan minangkabau telah diatur dalam adat bagaimana cara berperilaku baik didalam rumah ataupun keluar rumah. Seorang perempuan minangkabau tidak mau sebebasnya bersikap, karena sesungguhnya perempuan minnagkabau memiliki sumbang. Sumbag duabelas yang dimiliki oleh perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak mengecillkan perannya dimanapun, termasuk dalam hal berpolitik.
Posisi kaum perempuan menurut adat Minangkabau adalah sebagai tokoh sentral. Oleh karena itu ia harus menjalankan peran dan fungsinya sekaligus. Peran tersebut berlaku baik di sektor domestik maupun publik. Petatah petitih Minangkabau yang menggambarkan figur ideal perempuan yakni bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari dan sebagai nan gadang basa batuah, ka undang undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo. Figur tersebut tentu memiliki berbagai tugas dan kewajiban yang harus ditaati antara lain manuruik alua nan luruih (mengikuti aturan), manampuah jalan nan pasa (mengikuti cara yang benar), mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan). Oleh karena itu, Idrus Hakimy (1978) menyimpulkan bahwa tak salah kiranya bundo kanduang yakni perempuan minangkabau dipandang mulia dan memegang fungsi yang penting dalam masyarakat.
Bila dikaitkan dengan peran perempuan dalam berpolitik wujudnya adalah peran dalam demokrasi. Peran dalam demokrasi tersebut tercermin dalam bermufakat. Seperti yang ungkapan adat “ kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sendiri. Ini artinya kita sebagai masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi demokrasi, artinya tidak ada pembedaan jenis kelamin disini.
Keterlibatan perempuan dalam demokrasi terwadahi sejak adanya kewajiban kuota 30 persen caleg perempuan. UU No.2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Namun sayangnya sampai saat ini keterwakilan itu belum maksimal. Inilah yang menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi perempuan dalam politik. Sehingga kepentingan-kepentingan perempuan dalam kehidupan tidak terwakili. Keberadaan mereka yang dibawah 30 % tidak memudahkan mereka dalam memperjuangkan kepentingan ditengah dominasi laki-laki.
Rendahnya keterwakilan ini sebenarnya harus menjadi introspeksi diri bagi kaum perempuan. Mengapa ini terjadi, padahal kuota tersebut sudah diberikan, namun kenyataannya tak pernah tercapai. Oleh karena itu banyak upaya yang harus dilakukan oleh para kaum perempuan agar kepentingan mereka terwakili dalam berdemokrasi. Salah satunya yakni dengan terus meningkatkan pendidikan dan pengetahuan agar bisa sejajar dengan laki-laki. Apalagi jika dilihat dari paham masyarakat Minangkabau yang egaliter. Tak ada dibedakan secara jender, bahkan sesungguhnya perempuan Minangkabau memiliki kesempatan yang lebih untuk berkarya.
Terkait dengan demokrasi ini, peran perempuan sebagai pemilih lebih harus ditingkatkan. Jika tidak perempuan yang meningkatkannya maka siapa lagi. Adapun beberapa caranya yakni dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam dunia informatika. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Jika pada masa lalu kita tidak bisa mengetahui traderecord calon yang akan mewakili kita di parlemen baik daerah maupun pusat, maka saat ini berbeda zamannya. Teknologi memberikan kemudahan bagi kita untuk menggali lebih jauh siapa dan bagaimana calon tersebut. Dengan begitu diharapkan kepentingan para perempuan bisa terwakili oleh calon-calon perempuan di parlemen. Sehingga perempuan tidak lagi dimarginalkan dari berbagai sisi.
Seharusnya kita sebagai perempuan Minangkabau memiliki kesempatan berperan lebih luas, dikarenakan dalam pepatah dikatakan merupakan figur ideal. Namun, tentu saja semua itu tidak mudah. Banyak usaha keras yang harus dilakukan bagi semua perempuan Minangkabau agar benar-benar bisa wakil kaumnya di tengah demokrasi. Salah satu keunggulan perempuan Minangkabau yang dikenal memiliki sifat bijaksana, seperti ungkapan bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik nda putuih tapuang nda taserak. Artinya bahwa dalam mengambil sebuah keputusan tidak dilakukan secara grasa-grusu melainkan dengan hati-hati dan tidak melukai siapapun. Hal yang sulit tetapi itu bisa dilakukan dengan terus mengasah kemampuan untuk bisa bijaksana. [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 7 April 2019