Setelah berakhirnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI), S.M Djoko Bupati Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat berupaya keras memindahkan orang Jawa –terutama yang bermukim di Halaban–ke kawasan yang belum terjamah. Dan, daerah yang dituju adalah Nagari Sarilamak.
Setelah menerima seluruh dokumen penyerahan tanah dari Jawatan Agraria, S.M Djoko mengabarkan kepada eks buruh teh Halaban, untuk sesegera mungkin membuka hutan rawa tersebut. Bertempat di rumah Amat Salem, 32 (tigapuluh dua) orang eks buruh Halaban menyepakati untuk membuka lahan yang terdapat di Sarilamak.
Adapun ketigapuluh dua orang Jawa tersebut adalah Amat Salem, Marto Rejo, Wahab, Suwandi, Wongso Rejo, Ngalimi, Saal, Jayahadi, Tukiman, Daswan, Karso, Sutiman, Mukiren, Parno, Amat Sawo, Sujak, Rawen, Waryo Suwito, Dukut, Karyo Jenggot, Harjo Munarah, Cokro, Katmo, Daem, Amat Rejo, Amat Saniah, Munaji, Karto Cenguk, Rasmani, Miso, Sumarto Seneng, dan Karyo Rejo.
Dan, awal lahan yang digarap oleh para transmigran dari Halaban, kemudian dinamakan Sido Dadi (kini: Purwajaya) seluas 130,9 Ha yang kini terletak dari Km.8 hingga Km. 10. Sedangkan 269,1 Ha lainnya berada di Padang Semut (Kubu Gadang), Kubang Gajah, dan Anak Kubang Nagari Koto Tuo(RPJM Nagari Sarilamak tahun 2011-2015: 1).
Adapun batas-batas daerah transmigrasi yang diserahkan ninik mamak Sarilamak adalah di sebelah utara berbatasan dengan hutan rawa basah, bukit Pauah Sarilamak. Di selatan berbatasan dengan bandar besar Nagari Tigo Batur Padang Barangan. Untuk kawasan timur dengan jalan negara (kini: samping Kodim 0306 Kabupaten Limapuluh Kota), dan sebelah barat dengan Bukit Sarilamak dan Nagari Tigo Batur Padang Barangan.
Masing-masing eks buruh perkebunan yang menginginkan tinggal di lokasi yang telah disediakan, harus mengajukan surat permintaan tanah kepada Kepala Agraria. Tjokromiardjo dalam surat permohonannya pada 19 September 1963. Dalam surat permohonannya, ia meminta tanah di Anak Kubang Sarilamak, seluas 60 x 50 meter dan 100×30 m2.
Surat permohonan Tjokromiardjo kemudian direalisasikan oleh Kantor Agraria Daerah 50 Kota melalui Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963. Di luar perkiraan, tanah yang diminta Tjokroamiardjo bertambah luas dari permohonannya, yakni 71 x 55,5 meter + 116,5 x 31 m2. Dalam suratnya, Kepala Agraria meminta pada calon transmigran segera membuka lahan dalam waktu satu tahun dan membuat sendiri kediamannya (Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963).
Setelah selesai menentukan batas-batas daerah dan peruntukkan tanah, tigapuluh dua orang eks buruh teh Halaban mengerjakan jalan poros dan selokan. Setelah pekerjaan rampung, Amat Salem membagi kaplingan tanah untuk 200 KK dan menyerahkan pengerjaannya kepada masing-masing dari eks buruh tersebut.
Kisah membuka hutan berawa di Tanjung Pati pun menarik untuk dicermati. Rombongan peneroka itu tidak seluruhnya memakai kendaraan yang hanya disediakan satu saja oleh Pemda Kabupaten Daerah Limapuluh Kota. Sebagian dari mereka ada yang berjalan kaki di bawah koordinator Amat Salem. “…, ada yang membawa gerobak kayu untuk membawa kayu bakar, untuk dijual pada sorenya ke Payakumbuh dengan membawa kayu api, untuk mereka jual di Payakumbuh dan hasilnya mereka belikan perbekalan untuk keesokan harinya. Begitulah setiap hari mereka lakukan” (Tumirah, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).
Setelah lahan di Anak Kubang kering, para transmigran tersebut mendirikan pondok-pondok untuk tempat tinggal. Dengan berbekal ubi, keladi, dan ganyong, para peneroka dengan alat seadanya menantang maut, untuk membuka hutan berawa. Mereka saling bergotong royong menimbun rawa-rawa dan membuat pematang sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Lahan yang sudah dibuka, ada yang ditanami singkong, keladi, ganyong untuk dijadikan makanan setiap hari. Pada kesempatan lain, Pak Amat Salem dan beberapa orang lainnya menemui Bupati S.M Djoko, untuk melaporkan perkembangan pekerjaan dan meminta bantuan ransum makanan.” (Ngatmi, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).
Permintaan dari peneroka itu segera dipenuhi Bupati S.M Djoko. Mereka diberi beras, gula, minyak goreng, sabun, dan lainnya. Kisah lainnya dituturkan Samiliyono mengenai semangat para peneroka yang berjalan sampai puluhan kilometer dari Payakumbuh menuju Tanjung Pati. “Dirasa terlalu capek berulang setiap hari, puluhan kilometer dengan berjalan kaki dari Payakumbuh. Sebagian dari mereka membuat gubuk untuk ditempati, apabila sore hari hujan dan tidak mungkin kembali ke Payakumbuh.”. ungkap Samanjono.
Pada tahun 1964 Amat Salem ditemani sepuluh orang peneroka, menemui Bupati Limapuluh Kota, untuk melaporkan hasil pekerjaannya, dan meminta S.M Djoko datang ke Sido Dadi. Dalam kunjungannya pada Juli 1964, SM. Djoko meminta transmigran lokal itu mengganti nama Sido Dadi, menjadi Purwajaya [Penulis adalah Peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 17 Maret 2019