Salah satu penelitian yang akan dilaksanakan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat pada 2017 adalah Suku Anak Dalam (SAD). SAD merupakan istilah yang dipakai untuk menyebutkan sekelompok orang yang bermukim dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan. Penelitian ini dilaksanakan oleh Rois L. Arios beserta Seno, Ernatip serta Efrianto.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya dimana terdapat komunitas SAD. Berdasarkan pundi Sumatera tahun 2016 terdapat tiga kelompok utama SAD yang disebut dengan rombong yakni: rombong bujang rendah (bermukim di hutan sikabau), rombong marni (bermukim di hutan bulangan) dan rombong panyiram (bermukim di hutan Nagari Salamu Kecamatan IX Koto).
Secara administratif SAD tidak memiliki catatan kependudukan. Walau demikian, pada pemilihan umum 9 april 2014 sebanyak 19 warga SAD sudah ikut memilih (Adha, 2015). Mereka tidak punya tempat tinggal dan hidup berpindah-pindah. Ketika pindah, warga rombong hanya akan membawa perlengkapan seadanya seperti periuk atau panci sederhana, pakaian seadanya (umumnya kain panjang), dan anak-anak dibiarkan tanpa baju atau hanya menggunakan kain cawat (Rois).
Alasan kepindahan mereka adalah untuk mencari sumber pangan. Belum ada diantara mereka yang mengolah lahan untuk pertanian atau memelihara ternak untuk konsumsi sehari-hari. Hutan mereka jadikan sebagai tempat mencari nafkah, mendidik anak untuk mampu bertahan dengan lingkungan hutan baik dalam makanan, kesehatan, melahirkan, tempat tinggal dan semisal mungkin untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Namun,Tidak sedikit juga kelompok SAD yang sering dijumpai di jalanan sekitar Kabupaten Dharmasraya, bahkan pernah diberitakan ada yang sampai berjalan sampai ke Kota bukittinggi dan Kota Padang.
Tinggal dan berkembang di hutan tentu memerlukan pemahaman dan pengetahuan tentang hutan sebagai pemukiman mereka. Keterbatasan fasilitas, membutuhkan pengetahuan agar bisa tetap bertahan. Pengetahuan ini merupakan proses enkulturasi yang secara terus-menerus mereka lakukan sepanjang usia mereka. Dengan gambaran ini proses enkulturasi secara khusus diawali sejak seseorang tersebut baru lahir. Anak yang baru lahir akan dipersiapkan untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Untuk itu si anak selalu mendapat pendidikan melalui pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya atau lingkungan sosialnya.
Alasan tersebutlah yang mendorong Rois, dkk untuk mendalami kehidupan Suku Anak Dalam bisa tetap eksis dengan berbagai keterbatasan. Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan diantaranya bagaimana konsep warga SAD terhadap anak, bagaimana pola pengasuhan anak pada warga SAD dan bagaimana konsekuensi pola pengasuhan anak tersebut dengan kondisi lingkungan alam dan sosial saat ini.