Sejak dahulu, adat Minangkabau menjadikan silek merupakan warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya. Hal ini berkaitan dengan persoalan bahwa di dalam tatanan adat Minangkabau sangat rentan terjadi perkelahian baik dalam soal perebutan waris pusaka, maupun tapal batas antar nagari, sehingga penghulu pucuk pimpinan adat, para datuk dan ninik mamak Minangkabau pada umumnya menguasai silek sebagai tradisi yang senantiasa dilestarikan untuk keberlangsungan kehidupan mereka.
Silek juga merupakan pengetahuan dan keterampilan yang menjadi kekayaan lahir dan batin dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari/ mengenal diri lahiriah, silik adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri batiniah, dan suluk adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri lahir batin.
Baca: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/menggairahkan-kembali-silek-tradisi-solok-selatan/
Silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud, yang merupakan dua sisi mata uang, yaitu silek duduak ‘silat duduk’ dan silek tagak ‘silat berdiri’. Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah. Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana. Silek tagak disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan.
Beberapa prinsip dalam Silek Minangkabau dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan filosofis sebagai seperti musuah indak dicari, batamu pantang diilakkan (musuh tidak dicari, bertemu pantang dielakkan), rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu-tidak bisa masuk), garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai (gerak (batin) gerik (gerak fisik), pandang ketika, siapa memulai dialah yang dikenai), mengutamakan elakan dari pada serangan, bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, lahie silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan, (bergantuk ke tali yang tidak akan putus, berpegang kepada perasaan yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa agar jangan hilang, menyiang sebelum tumbuh, melantai sebelum lulus/ terjerumus, lahirnya silat mencari kawan, batinnya silat mencari Tuhan), digantuang tinggi dibuang jauh, mambunuah maiduik i, mahampang malapehkan (digantung tinggi dibuang jauh, membunuh menghidupi, menghambat melepaskan), lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak (lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak), dan dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, dima rantiang dipatah disitu sumua digali (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimana ranting dipatah disitu sumur digali).
Berkenaan dengan fungsi silek yakni sebagai pakaian diri bagi pelakunya, parik paga dalam nagari, jihad (bela Negara dan agama), amar makruf nahi mungkar, dan resolusi konflik. Oleh sebab itu semuanya menjadi silek sebagai mahakarya dalam khasanah adat dan budaya Minangkabau. Sehingga, kedepannya silek tersebut dapat kita lestarikan dan merupakan bagian yang berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. [Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah terbit di Harian Umum Singgalang pada 9 September 2018