Padang-Baretong di Hari Tarang, merupakan salah satu kegiatan revitalisasi kesenian tradisional Minangkabau Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang. Kegiatan ini bermaksud mengenalkan kembali kesenian dan budaya tradisional kepada generasi muda yang semakin hari semakin hilang. Pengenalan ini diharapkan mampu memunculkan rasa cinta dan rasa memiliki terhadap kesenian tradisional Minangkabau. Sehingga di masa depan kesenian itu bisa tetap bertahan di tengah terpaan arus globalisasi yang semakin kuat.
Pada bulan Agustus ini, BPNB Padang akan melaksanakan Baretong di Hari Tarang di Kabupaten Padang Pariaman Prov. Sumatera Barat. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 15-16 Agustus 2015 di Nagari Sintuak.
Menurut ketua panitia Hartati Safitri, kegiatan ini dimaksudkan untuk membantu kelompok kesenian tradisional di Provinsi Sumatera Barat khususnya di Nagari Sintuak. Yakni merevitalisasi kesenian tradisional Minangkabau dan memberikan pemahaman pada generasi muda dan masyarakat terhadap makna yang terkandung dalam kesenian tradisional tersebut.
Adapun kesenian yang akan ditampilkan dalam kegiatan Baretong di Hari Tarang kali ini diantaranya ‘Randai Simarantang’, ‘Saluang Dangdut’, dan ‘Tarian Gandang Tasa’. Ketiga jenis kesenian ini merupakan kesenian tradisional yang sudah semakin jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, panitia memutuskan ketiga kesenian tersebut dari beberapa jenis kesenian yang ada di daerah setempat. Selanjutnya panitia akan melakukan pendampingan pada proses pelatihan dan penampilan di Nagari Sintua.
Rencananya kegiatan Baretong di Hari Tarang akan dilaksanakan selama dua hari dan berlangsung pada malam hari. Dua penampilan pada hari pertama adalah Kesenian Randai Simarantang dan Tarian Gandang Tasa. Sedangkan kesenian Saluang Dangdut akan tampil keesokan harinya (Minggu,16/8). Kegiatan ini sendiri akan dibuka secara langsung oleh kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang.
Padang-Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang dalam waktu dekat akan menyelenggarakan Festival budaya Enggano. Festival budaya ini rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 15-18 Agustus 2015 sekaligus memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.
Festival Budaya Enggano, selain memeriahkan hari kemerdekaan RI yang jatuh pada tanggal 17 Agustus juga dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat akan kehadiran Negara di tengah-tengah masyarakat Enggano. Hal ini mengingat bahwa Pulau Enggano sampai sejauh ini masih susah untuk diakses karena merupakan salah satu pulau terluar. Dan kondisi ini yang mendorong BPNB Padang untuk aktif membuat kegiatan kebersamaan sehingga masyarakat setempat tidak merasa terasing dari NKRI.
Selain itu, kegiatan ini juga mencoba untuk membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap kebudayaan lokal dan mengenal potensi daerahnya sendiri. Sebagaimana diketahui, di tengah arus globalisasi yang semakin gencar sekarang ini akan mampu menggerus pertahanan budaya lokal sehingga mengakibatkan abrasi budaya yang semakin massif. Oleh karena itu, dengan terlaksananya kegiatan-kegiatan serupa di masa depan akan mampu menggairahkan semangat di kalangan generasi muda terhadap nilai-nilai budaya dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Pulau Enggano.
Pelaksanaan kegiatan ini diharapkan mampu memotivasi masyarakat untuk proaktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi situasi dan kondisi perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat dan sekaligus memanfaatkan potensi yang ada, sehingga nantinya memiliki kepekaan sosial dan mampu mempertahankan dan melestarikan budaya melalui berbagai kegiatan dalam menghadapi perubahan perkembangan zaman yang semakin pesat.
Sesuai dengan tujuannya untuk membangkitkan kecintaan dan gairah terhadap nilai-nilai budaya lokal, maka rangkaian acara dalam kegiatan ini tidak terlepas dari tradisi-tradisi masyarakat Enggano. Adapun kegiatan yang akan digelar dalam festival Budaya Enggano ini antara lain:
1.Diskusi Budaya, bertemakan ‘Budaya Enggano dan Pelestariannya’
2.Festival Lagu Daerah Enggano, dengan menampilkan lagu wajib yang berjudul ‘Anah Yatuta Yahear yeard’ atau berarti ‘alangkah sulitnya mencari hidup’
3.Festival Permainan Tradisional Enggano, mempertandingkan empat permainan seperti:
a.‘Neoblyokampa’unypo’ (Meniti buah kelapa)
b.‘Pahnekieh Kadie’ (Tarik tambang)
c.‘Paharuyakku’ (Mendorong kayu)
d.‘Pakito’ (Diadakan di Pantai)
4.Lomba Kerajinan Tradisional Enggano.
Pagelaran Festival Budaya Enggano ini akan melibatkan seluruh aspek masyarakat. Dan para pemenang dalam dalam kegiatan ini akan diberikan hadiah berupa trophy dan uang pembinaan.
Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia siap menggelar Pekan Budaya Indonesia (PBI) di Semarang, Jawa Tengah, 5-10 Agustus 2015.
Rencananya, PBI akan terselenggara di 11 titik yang berada di kawasan Simpang Lima. Berikut ini adalah informasi lokasi kegiatan, beserta susunan acara PBI 2015.
Perahu kajang merupakan alat transportasi tradisional sekaligus menjadi rumah pada masa lampau bagi masyarakat di sekitar Sungai Musi. Diduga, alat transportasi tradisional ini berkembang sekitar masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi). Jenis perahu ini berasal dari daerah Kayu Agung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pada masa lalu perahu kajang banyak dijumpai di Sungai Musi Palembang, akan tetapi sekarang sudah tidak dapat dijumpai lagi.
Perahu Kajang menggunakan atap dari nipah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (kajang tarik), bagian tengah adalah atap yang tetap (kajang tetap) dan atap bagian belakang (tunjang karang). Bahan yang digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah kayu jenis kayu rengas, yang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah Kayu Agung. Panjang perahu sekitar delapan meter dan lebar perahu dua meter. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut selungku, merupakan ciri khas perahu kajang Kayu Agung.
Keberadaan atap (kajang) dari daun nipah inilah yang menjadi cikal namanya. Layaknya sebuah rumah tinggal, perahu memiliki ruang tengah tempat anggota keluarga beristirahat. Pada bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Barang-barang muatan serta ruang kemudi berada di bagian depan perahu. Tata ruang perahu terdiri dari bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan merupakan ruang untuk menyimpan barang-barang komoditi yang dijual, seperti barang tembikar dan untuk kemudi. Bagian tengah adalah ruang keluarga untuk tempat tidur. Bagian belakang adalah kamar mandi dan dapur.
Perahu kajang memiliki dayung dan kemudi yang terbuat dari kayu. Panjang dayung sekitar tiga meter, sedangkan panjang kemudi sekitar dua meter. Dayung dibuat dari kayu yang lebih ringan, sedangkan kemudi dari kayu berat yang bagian tepinya diberi lempengan logam. Kemudi ditempatkan di bagian belakang, sedangkan dayung digunakan di bagian depan.
Ciri-ciri lain juga menunjukkan bahwa perahu ini merupakan tipe tradisi Asia Tenggara yaitu adanya lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Menurut keterangan penduduk sejak tahun 1980-an jenis perahu itu sudah tidak digunakan lagi seiring dengan merosotnya pemasaran tembikar Kayu Agung ke daerah-daerah lain. Biasanya perahu kajang digunakan untuk mengangkut barang-barang tembikar Kayu Agung dan dipasarkan ke daerah-daerah lain. Pemasaran dengan perahu tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan tahun.
Setelah melakukan penelusuran di sepanjang Sungai Komering, akhirnya ditemukan sebuah perahu kajang di Kelurahan Kedaton. Satu-satunya perahu kajang tersebut telah dimodifikasi menjadi perahu ketek, yang telah menggunakan mesin.(Mbn)
Sawahlunto-Dalam rangka mendukung karya budaya bangsa menjadi warisan budaya dunia sekaligus memperkenalkan dan memasyarakatkan kesenian tradisional, maka Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang turut terlibat dalam Pameran Perjalanan Warisan Budaya Dunia Indonesia yang dilaksanakan Direktorat Internalisasi dan Diplomasi Budaya (INDB) Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keterlibatan BPNB Padang dalam pameran ini yaitu dengan memfasilitasi tim kesenian yang tampil memeriahkan acara serta mendukung pameran dengan menampilkan hasil-hasil kajian sejarah dan budaya sebagai bagian dari tugas dan fungsinya.
Seni pertunjukan jaran kepang[/caption]Kegiatan Pameran Perjalanan Warisan Budaya Dunia Indonesia dilaksanakan sejak tanggal 08 – 12 Juni 2015 di Gedung Pusat Kebudayaan Kota Sawahlunto. Pameran ini secara langsung dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Bapak Katjung Maridjan dan dihadiri oleh Walikota Sawahlunto, anggota DPRD Kota Sawahlunto, SKPD dan tokoh-tokoh masyarakat dari provinsi Sumatera Barat.
Rangkaian acara dalam kegiatan pameran ini dilakukan secara marathon. Dimulai dengan pembukaan pameran pada hari pertama, Seminar pada hari kedua dengan para stakeholder dan pada hari ketiga dilanjutkan dengan komponen SKPD se-provinsi Sumatera Barat dan pada hari keempat dan kelima dilanjutkan dengan pameran.
Kegiatan pameran dan rangkaian acara yang ada di dalamnya ini bertujuan untuk mendukung dan memantapkan pengusulan Kota Sawahlunto sebagai kota warisan dunia. Dalam pengusulan ini, Kota Kota Sawahlunto dinilai layak untuk menyandang warisan tersebut mengingat adanya kekuatan pendukung di dalamnya. Selain sebagai kota tambang batubara tertua di Asia tenggara, kota ini juga masih menyimpan begitu banyak bangunan-bangunan bersejarah yang terpelihara dan menunjukkan kotanya pada masa lalu sebagai kota tambang. Kota ini juga menjadi refleksi multikultur pertama serta sebagai penggerak ekonomi dunia pada masa itu.
Dalam kegiatan pameran tersebut, BPNB Padang memfasilitasi penampilan tiga grup kesenian tradisional. Tiga grup kesenian tersebut tampil pada hari pertama sampai pada hari ketiga. Pada hari pertama tim kesenian ‘Galang Maimbau’ membawakan ‘tari gelombang’ dan tari yang diadaptasi dari permainan anak nagari dibawakan di tengah-tengah berlangsungnya acara. Tim kesenian kedua Sanggar Seni Jaran Kepang ‘Bina Satria’ pada hari kedua menampilkan ‘jaran kepang’ dan hari berikutnya tim kesenian ‘Malakutan Bunian’ menampilkan ‘tari piring’.
Ini adalah salah satu tugas balai pelestarian nilai budaya padang dalam mendukung pelestarian nilai budaya.
Salawat dulang atau Salawaik Dulang adalah sastra lisan Minangkabau bertemakan Islam. Sesuai dengan namanya, Salawat dulang berasal dari dua kata yaitu salawat yang berarti salawat atau doa untuk nabi Muhammad SAW, dan dulang atau talam, yaitu piring besar dari Loyang atau logam yang biasa digunakan untuk makan bersama. Dipertunjukkan oleh minimal dua klub diiringi tabuhan pada ‘dulang’, yaitu nampan kuningan yang bergaris tengah sekitar 65 cm. Dalam bahasa sehari-hari, sastra lisan ini hanya disebut ‘salawat’ ataupun ‘salawek’ saja. Di beberapa tempat, salawat dulang disebut juga salawat talam.
Dalam sastra rakyat Minangkabau, salawat dulang adalah penceritaan kehidupan nabi Muhammad, cerita yang memuji nabi, atau cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar itu. (Djamaris, 2002: 150).
Pertunjukan salawat dulang biasanya dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam dan ‘alek nagari’. Pertunjukan ini tidak dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka. Biasanya hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat seperti mesjid, surau. Pertunjukan juga biasanya dimulai selepas isya. Sifat pertunjukan yang bertanya jawab, saling serang dan saling berusaha mempertahankan diri. Dalam pertunjukannya, kedua tukang salawat duduk bersisisian dan menabuh talam secara bersamaan. Keduanya berdendang secara bersamaan atau saling menyambung larik-lariknya. Larik-larik itu berbentuk syair.
Tradisi ini berkembang di hampir seluruh wilayah Minangkabau, baik ‘darek’ maupun ‘pasisia’. Hampir di semua wilayah Minangkabau tradisi ini bisa ditemukan seperti Luhak Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Koto, bahkan pasisia atau Rantau. Satu-satunya daerah yang tidak ada penutur salawat dulang adalah di pasaman. Masing-masing daerah mengklaim kalau tradisi ini adalah tradisi mereka.
Sejarah
Salawat dulang berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar ke Aceh, diantaranya adalah Syeh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau. Saat berdakwah, beliau teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya adalah menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu tim rebana. Beliau kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.
Ada juga yang menyatakan bahwa salawat dulang berasal dari tanah datar oleh kelompok tarekat syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, teks salawat dulang itu lebih cenderung berisi ajaran tasawuf.
Ada juga yang menghubungkan bahwa Salawat Dulang ditanah datar tidak lepas dari tiga tokoh tanah datar yaitu Tuanku Musajik (1730-1930), Tuanku Limopuluh (1730-1930) dan Katik Rajo (1880-1960).
Pertunjukan Salawat Talam baru dapat dilaksanakan jika ada paling tidak dua klub, karena teksnya mengandung tanya jawab. Artinya, pertunjukan sastra lisan ini juga merupakan sebuah kompetisi. Penampilan satu teks tersebut disebut salabuahan atau satanggak ataupun satunggak; memakan waktu 25-40 menit.
Teks salabuahan terdiri dari pambukaan, batang, dan panutuik. Bagian batang berisi kaji, yaitu bagian inti salabuahan penampilan Salawaik Dulang. Teks tersebut dihapal oleh tukang salawat kata demi kata. Umumnya, ia merupakan tafsiran dari ayat Al-quran atau pun Hadist. Bagian berikutnya adalah bagian penutup, yang dimulai dengan pertanyaan, lalu memberi pertanyaan. Bagian penutup ini juga dapat disisipi dengan pesan-pesan pemerintah, seperti keluarga berencana, supra insus, bahkan pemilihan umum; atau sekedar hiburan dengan syair-syair lagu yang tengah populer.
Tradisi ini masih berkembang hingga sekarang, hal ini bisa dilihat dari banyaknya tukang salawat, semakin sering dipertunjukkan dan irama pendendangnya semakin terbuka yaitu mengikuti perkembangan irama lagu-lagu yang telah populer di tengah masyarakat. Salawat Dulang adalah tradisi minangkabau yang bersidat terbuka karena memiliki daya adaptif baik dari segi tema maupun irama, dapat diimprovisasi sesuai dengan hal-hal yang disenangi masyarakat baik dari segi isi maupun irama.
Pada awalnya tradisi lisan ini berfungsi sebagai sarana dakwah dan hanya dipertunjukkan dalam perayaan-perayaan agama Islam. Saat ini fungsi tradisi lisan ini tidak hanya dakwah saja, namun juga sebagai sarana hiburan serta sarana menarik perhatian penonton untuk mengikuti suatu aktivitas, seperti penggalangan dana.
Tradisi salawat dulang ini telah diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.
Rumah gadang adalah istilah yang digunakan untuk menyebut rumah adat Minangkabau. Rumah gadang memiliki ciri khas bergonjong seperti tanduk kerbau dan sering disebut sebagai rumah pusaka (rumah pusako). Pada umumnya, rumah gadang memanjang dari utara ke selatan, sedangkan bagian depannya ada yang menghadap timur dan barat.
Rumah gadang memliki beberapa tipe yang berbeda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Masyarakat yang mendiami daerah darek memiliki bentuk rumah yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah rantau. Namun secara garis besar, rumah gadang dibagi atas dua kelompok besar yaitu: Pertama, ‘Rumah gadang koto piliang’, mempunyai ciri memiliki anjungan (Baanjuang) dan serambi (Surambi). Anjungan merupakan tempat terhormat di dalam suatu rumah yang posisinya ditinggikan beberapa centimeter dari permukaan lantai bangunan. Kedua, ‘rumah gadang bodi chaniago’, tidak mengenal anjungan dan lantai rumah pada rumah gadang ini adalah rata.
Tipe bangunan rumah gadang berdasarkan gonjong dikelompokkan menjadi delapan yaitu: pertama, ‘rumah gadang bagonjong dua’, biasanya merupakan milik satu keluarga sebagai tempat tinggal. Kedua, ‘Rumah gadang bagonjong empat’, merupakan milik kaum yang menjadi keturunan ninik mamak penyandang gelar sako Datuk panghulu Andiko sebagai tempat melaksanakan acara adat. Ketiga, ‘rumah gadang bagonjong lima’, milik kaum penyandang gelar sako Datuak penghulu Kepala Paruik sebagai tempat tinggal dan acara adat. Keempat, ‘Rumah Gadang bagonjong enam’, milik Datuak Penghulu Kepala Suku, Pegawai adat dan keturunan bangsawan sebagai rumah tinggal dan acara adat. Kelima, ‘Rumah gadang bergonjong delapan’ milik keturunan bangsawan setingkat menteri pembantu raja alam sebagai tempat tinggal dan rumah adat. Keenam, ‘Rumah gadang panjang’, memiliki tangga lebih dari satu. Ketujuh, ‘bangunan istana’ berisi enam gonjong dan dua tambahan gonjong paranginan. Kedelapan, ‘bangunan gadang’ di rantau yang memanjang ke arah belakang.
Rumah gadang memiliki ruang-ruang yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing ruang mempunyai fungsi yang berbeda satu sama lain yaitu: ‘Ruang publik’ yaitu ruang tamu atau ruang bersama. ‘Ruang semi privat’ ruang peralihan yang terdapat di depan kamar tidur dan pada bagian ujung rumah gadang. ‘Ruang privat’ yaitu kamar tidur yang biasanya berjumlah sebanyak anak perempuan dalam rumah. ‘Ruang servis’ yaitu dapur untuk tempat memasak.
Rumah gadang memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi adat dan fungsi keseharian. Fungsi adat yaitu fungsi rumah sebagai tempat untuk melangsungkan acara-acara adat (seperti: turun mandi, khitan, perkawinan, batagak gala dan kematian) dan acara-acara penting lainnya bagi keluarga sesuku pemilik rumah. Fungsi ini disebut juga fungsi temporer. Fungsi keseharian adalah fungsi rumah gadang sebagai tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari.
Di masa yang lalu, setiap rumah gadang dilengkapi dengan lumbung padi (rangkiang). Posisi rangkiang ini biasanya berada di depan atau di samping rumah. Rangkiang adalah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum, yaitu bangunan berbentuk bujur sangkar beratap ijuk. Rangkiang dibagi menjadi tiga jenis yaitu ‘rangkiang sitinjau lauik’, ‘rangkiang sibayau-bayau’, ‘rangkiang sitangguang lapa’, dan ‘rangkiang kaciak’. Masing-masing rangkiang mempunyai fungsi yang berbeda.
Selain rangkiang, rumah gadang juga dilengkapi dengan balairung yaitu bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Rumah gadang tradisional juga dilengkapi dengan lesung (lasuang) dan alu yang ditempatkan di belakang rumah. Lesung-lesung tersebut terbuat dari batu. Dahulu alat ini digunakan sebagai alat menumbuk padi.
Sumber:
Hasanadi, dkk. Mahakarya Rumah Gadang Minangkabau. 2012. BPSNT Press.
Rendang adalah masakan tradisional khas Minangkabau yang tidak hanya terkenal di pelosok nusantara, tapi juga ke mancanegara. Rendang atau ‘Randang’ dalam bahasa setempat lebih dikenal orang sebagai makanan khas dari Padang sehingga seringkali penyebutan rendang adalah rendang padang, bukan rendang Minangkabau.
Kata ‘randang’ berasal dari kata ‘marandang’ yakni proses mengolah lauk berbahan dasar santan dengan memasak hingga kandungan airnya kering. Jadi, ‘randang’ berarti olahan masakan yang kering tanpa mengandung air. Bisa dikatakan bahwa rendang yang sebenarnya adalah kering air. Makanan ini pada umumnya berwarna merah kecoklatan, coklat sampai coklat kehitaman.
Proses pembuatan rendang merupakan cara sederhana masyarakat Minangkabau pada masa lalu dalam mengawetkan makanan. Proses pengawetan ini dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan bahan kimia tetapi melalui proses pemanasan berkali-kali. Semakin kering suatu randang menjadikannya tahan dan awet lebih lama.
Konon, ada kalanya suatu waktu masyarakat memasak daging menggunakan banyak santan dan bumbu tertentu yang tidak habis dalam sehari konsumsi. Untuk mencegah terbuangnya makanan yang bersisa, maka masyarakat mencoba cara bagaimana membuat makanan tersebut bisa bertahan lama dan tetap layak konsumsi.
Karena keterbatasan peralatan dan teknologi pada masa lalu, satu-satunya cara untuk membuat makanan tahan lama dan tidak basi adalah dengan menghangatkan. Masyarakat pada jaman dahulu memasak rendang di atas api sangai (api sangat kecil yang diatur agar jangan sampai menghanguskan) sampai kering. Proses ini dilakukan secara tradisional, yakni dimasak diatas tungku dengan menggunakan kayu bakar. Pada awalnya dimasak dengan api besar, lalu dilanjutkan dengan menggunakan api sangai yang berasal dari pembakaran sabuk kelapa. Proses ini bisa berulang sampai beberapa kali hingga makanan tersebut mengering dan menghasilkan rendang.
Secara umum, rendang terbagi dua yaitu randang kering dan randang basah. Randang kering, adalah randang yang sudah berwarna coklat kehitaman, sedangkan randang basah adalah randang yang masih berwarna merak kecoklatan sampai coklat.
Dalam proses memasak rendang ada tiga tahapan yang harus dilalui yakni: ‘Gulai’, olahan masakan berbahan santan bercampur bumbu yang masih banyak kandungan airnya. ‘Kalio’, olahan masakan berbahan santan bercampur bumbu yang kandungan airnya sudah sangat berkurang sehingga kuah yang dihasilkan lebih kental dari gulai dan sudah mengeluarkan minyak dari santan yang dimasak. ‘Randang’, merupakan kalio yang terus dimasak sampai kering.
Pada masa sekarang, memperoleh rendang dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sesulit di masa lampau. Hal ini karena rendang bukan lagi makanan istimewa yang hanya dimiliki oleh golongan-golongan menengah ke atas seperti jaman dulu namun semua orang sudah bisa menikmatinya tanpa kecuali dan tanpa batasan waktu. Jenis rendang juga semakin beragam ada rendang telur, daging, ikan, daun dan sebagainya.
Penggunaannya juga tidak lagi hanya pada perayaan-perayaan tapi sudah menjadi konsumsi keseharian. Beberapa kegunaan rendang dalam masyarakat Minangkabau yakni: pertama, Rendang sebagai sajian dalam upacara adat dimana wajib ada dalam setiap pelaksanaan perhelatan atau perayaan seperti kelahiran sampai pada kematian. Kedua, Rendang sebagai panahan ulak yaitu bisa dimanfaatkan sebagai makanan cadangan untuk penutup malu terhadap orang yang datang sehingga tidak dianggap sebagai orang yang kekurangan. Ketiga, Rendang sebagai sajian sehari-hari dan keempat, Rendang sebagai oleh-oleh untuk tamu atau bekal di jalan untuk saudara, anak dan kaum kerabat lainnya yang sedang bepergian atau merantau.
Walau sekarang rendang sudah bisa ditemukan dalam banyak jenis, namun rendang yang paling utama adalah berbahan dasar daging. Rendang memiliki empat bahan pokok, yakni daging, kelapa, cabe dan bumbu dimana masing-masing bahan memiliki fungsi yang berbeda menurut masyarakat Minangkabau yakni: Daging, melambangkan ‘ninik mamak’ dan ‘bundo kanduang’ yang akan memberikan kemakmuran kepada anak kemenakan dan anak pisang. Kelapa, merupakan lambang cerdik pandai, yakni kaum intelektual yang akan menjadi perekat pada kelompok individu. Cabe, lambang alim ulama yang pedas dan tegas untuk mengajarkan syarak dan agama. Bumbu, lambang setiap individu atau kelompok dalam kehidupan dan merupakan unsur yang penting dalam hidup kebersamaan dalam suatu masyarakat.
Dahulu rendang tidak untuk dikomersilkan, tetapi khusus untuk sajian para ‘datuk’, penghulu, ‘ninik mamak’ dan anggota masyarakat lainnya. Akhir-akhir ini sudah menjadi barang dagangan yang menghasilkan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Dengan adanya industri rumah tangga rendang, masyarakat umum tidak lagi susah mencari oleh-oleh.
Sebagai salah satu karya budaya, rendang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda.
Sumber: Hariadi, dkk. Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya: Randang Minangkabau Warisan Leluhur yang Mendunia. 2012. BPSNT Padang Press
Padang (BPNB Padang). Sosialisasi penghitungan beban kerja di Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang dilaksanakan tanggal 26 Mei 2015 di Ruang Sidang BPNB Padang. Sosialisasi ini dilaksanakan oleh Biro Hukum dan Organisasasi Sektetariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perwakilan dari pusat dihadiri oleh Bapak Shafudin, S. Ip dan Jumadi, S. Sos sementara sosialisasi ini diikuti oleh seluruh pegawai di BPNB Padang.
Kegiatan yang dimulai jam 09.00 wib itu dimaksudkan untuk mengidentifikasi data perhitungan beban kerja masing-masing pegawai. Mengukur sejauh mana penghitungan beban kerja dengan keahlian dan alokasi waktu yang tersedia. Sehingga ke depannya setiap pegawai akan mampu mencapai target kerja sesuai dengan keahliannya, bidang dan juga waktu yang tersedia. Ke depan tidak ada penumpukan pekerjaan karena kekurangan pegawai atau penumpukan pegawai karena kekurangan pekerjaan. Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah untuk menciptakan reformasi birokrasi.
Pada kesempatan itu, Bapak Shafudin menyatakan bahwa idealnya beban kerja ditentukan oleh kantor, namun jika dari kantor tidak ada aturan baku, maka disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada pegawai yang kelebihan beban kerja ataupun yang kekurangan beban kerja.
Dari pertemuan ini diketahui bahwa cara pengisian beban kerja di BPNB padang telah benar. Cara mengisi beban kerja, alokasi waktu per kegiatan dan alokasi per tahun sudah benar. Namun, perlu perbaikan angka-angka yang harus disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan. Waktu pelaksanaan pekerjaan harus sesuai dengan lama seseorang bisa menyelesaikan sebuah pekerjaan. sehingga masing-masing orang bisa tidak sama.
Bapak Shafudin juga menambahkan bahwa untuk tahun ini capaian KEMENDIKBUD hanya sekitar 56 % naik 2% dari tahun sebelumnya. Padahal berdasarkan perhitungan dari kemendikbud sudah mencapai 74%, tapi setelah dicek kembali oleh KEMENPANRB, dokumen pendukung tidak ada, bukti fisik seperti SOP, standard pelayanan dan Analisis Jabatan tidak memiliki. Ke depan data-data pendukung harus lengkap.
Sosialisasi PERMENPANRB No. 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah di BPNB Padang dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2015. Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan oleh Biro Keuangan Sekretariat Jenderal KEMENDIKBUD yang terdiri dari: Suhaemi, S.Sos, Lestari Frindiyanti, SE, Ristinawaty, S.Sos dan Ratna Endang. Sosialisasi ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan Laporan Kinerja Pegawai (LAKIP) yang akuntabel di lingkungan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Selain bertujuan untuk memfasilitasi dan asistensi penyusunan LAKIP, kehadiran keempat pegawai tersebut juga untuk memverifikasi kebenaran LAKIP BPNB Padang tahun 2014. Sosialisasi ini diikuti oleh kepala BPNB Padang Bapak Drs. Nurmatias dan tiga orang staf. Kegiatan sosialisasi ini memang sangat penting mengingat adanya perubahan PERMEN tentang LAKIP dari PERMENPANRB No. 29 tahun 2010 menjadi PERMENPANRB No. 53 tahun 2014.
Ada perbedaan yang signifikan antar keduanya. Perbedaan tersebut terlihat dalam bab II dan bab III. Dalam bab II PERMENPANRB No. 53 tahun 2014, LAKIP tidak lagi mencantumkan renstra organisasi lagi sebagaimana sebelumnya tapi sudah menfokuskan pada perencanaan kinerja. Sementara untuk akuntabilitas kinerja (Bab III) mengalami perubahan menjadi capaian kinerja dan realisasi anggaran dari yang sebelumnya mengenai analisis capaian sasaran dan akuntabilitas keuangan.
Secara substansi LAKIP tahun 2015 menunjukkan beberapa penyederhanaan dalam sistematika, namun tidak mengurangi kualitas LAKIP itu sendiri. LAKIP tahun 2015 malah lebih detail dalam hal pelaporan mengenai sasaran strategis. Dimulai dari Rencana Kerja Tahunan, Pencapaian target dengan ukuran yang telah ditetapkan, persentase realisasi anggaran, persentase anggaran yang tidak terserap, kendala-kendala atas capaian-capaian serta cara mengatasi kendala yang terjadi. Semua itu harus jelas tergambarkan dalam Lakip berdasarkan PERMENPANRB No. 53 tahun 2014. Jadi antara rencana dan target sebisa mungkin harus selaras dan target tercapai berdasarkan alat ukur kinerja yang ditentukan dan sesuai dengan perjanjian kinerja.
Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan menyatukan pemahaman, sehingga di masa mendatang mampu menghasilkan LAKIP yang akuntabel dan jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.