Beranda blog Halaman 4

PENDAMPINGAN KUNJUNGAN KERJA WAKIL GUBERNUR SUMATERA BARAT KE DESA PEMAJUAN KEBUDAYAAN SUNGAI LANDIA, AGAM

0

Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat yang diwakili oleh Rois Leonard Arios dan Erric Syah mendampingi Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Barat, Audy Joinaldy dalam kunjungan kerja ke Desa Pemajuan Kebudayaan, Sungai Landia, Kabupaten Agam pada hari Rabu, 16 Februari 2022.
Program Desa Pemajuan Kebudayaan merupakan program prioritas dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, mengembangkan potensi desa atau nagari di daerah Sumatera Barat mulai dari perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan.
Dalam kunjungan kerja ini, Wakil Gubernur Sumatera Barat juga didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kepala Dinas Kominfo dan Statistik. Dari Kabupaten Agam dihadiri oleh Sekda Kabupaten Agam, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pariwisata dan Wali Nagari Sungai Landia.

Kegiatan diawali dengan ekspos potensi budaya Nagari Sungai Landia oleh Daya Desa Sungai Landia, Syukra Maulana dan dari Sekda Kabupaten Agam. Dilanjutkan dengan arahan dari Wakil Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy.

Kemudian dilanjutkan peninjauan lapangan untuk melihat potensi Nagari Sungai Landia.

ALU KATENTONG, WARISAN BUDAYA NAGARI PADANG LAWEH

0

Noveri

Pamong Budaya Ahli Madya

Pertunjukan Alu Katentong (Koleksi Foto BPNB Provinsi Sumatera Barat)

Kesenian Alu Katentong, warisan budaya Matrilinial Minangkabau dari Nagari Padang Laweh Kabupaten Tanah Datar. Genre kesenian tradisional ini lahir dan bertahan terutama sebagai bagian dari perhelatan upacara adat. Pemertahanannya kemudian penting dilakukan, terutama dalam upaya mentransformasi nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Melalui Kesenian Alu Katentong diajarkan empati dan kekompakan, kerendahan hati serta kesungguhan berguru pada alam sekitar, sekaligus tentang keserasian ekspresif dalam irama nada yang indah.

Konon Kesenian Alu Katentong sudah ada semenjak zaman batu, terlihat dari penggunaan peralatan berupa kayu, ranting  dan batu, serta bukan besi, logam dan sejenisnya. Pada mulanya hanya menggunakan alu penumbuk padi di lesung batu, namun bunyi yang dihasilkan bernada sumbang. Ekpresi seni budaya itu pun mengalamai kemasan kreatif serta pada akhirnya bertahan sebagai bagian dari identitas matrilinial para bundo kanduang di Nagari Padang Laweh. Dari sekedar hiburan bagi anak nagari Alu Katentong kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dengan perhelatan upacara adat. Demikian cuplikan sejarahnya, dan berdasarkan bunyi dengan nadaten tong ten tong warisan budaya masyarakat luhak nan tuo itu pun bernama Kesenian Alu Katentong.

Peralatan digunakan dalam penampilan kesenian Alu Katentong. Pertama, Alu, yaitu sejenis galah kayu yang secara umum digunakan masyarakat Minang Sumatera Barat dalam menumbuk padi. Alu yang digunakan berukuran panjang 4-5 meter serta berdiameter 7-10 cm. Semakin panjang Alu yang digunakan semakin bagus pula bunyi nada yang dihasilkan. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat Alu mesti bermateri padat serta tidak berserbuk, sehingga relatif tahan apabila dipukulkan pada batu. Pemilihan bahan kayu ini juga bertujuan agar bunyi yang  dihasilkan lebih keras serta nyaring. Biasanya jenis kayu yang digunakan untuk dimuat menjadi Alu adalah kayu surian dan kayu bayua.

Kedua, batu pipih, yaitu batu alam tipis dengan permukaan datar dan licin. Warga Padang Laweh menyebutnya dengan batu nan alah mati. Batu seperti ini bermateri sangat padat dan kuat serta akan mengeluarkan suara yang keras dan nyaring apabila dipukul. Ukuran ketebalan batu pipih antara 3-7 cm, lebar 20-30 cm, serta tinggi 15-25 cm.

Ketiga, lasuang (lesung), yaitu batu berbentuk lingkaran serta berlobang pada bagian tengahnya. Lasuang terbentuk secara alami, memiliki ukuran sekira 100-130 cm dan biasanya tinggal diambil serta diangkut warga Padang Laweh dari sungai. Lasuang akan ditanam ke dalam tanah lebih kurang sedalam 10 cm. Bagian lasuang yang tinggal dipermukaan lebih kurang 10-15 cm. Pada bagian lasuang yang tetap tinggal di atas permukaan tanah inilah batu pipih biasanya disandarkan.Semakin besar ukuran lasuang akan semakin banyak pula penampil Kesenian Alu Katentong. Pada praktiknya lobang lasuang akan diisi dengan padi sekitar 2-3 genggam orang dewasa. Pada penampilannya di perhelatan perkawinan sesungguhnya terdapat pesan nilai budaya pada bagian ini, yaitu harapan kolektif agar perempuan yang baru menikah cepat mendapatkan keturunan. Khalayak yang menyaksikan pun mendapatkan bagiannya, yaitu bersikaplah seperti padi yang semakin berisi akan semakin runduk.

Keempat, Lantak, yaitu ranting pohon yang ditancapkan atau ditanam ke dalam tanah.Lantak mesti terbuat dan berasal dari ranting pohon yang kuat, biasanya ranting pohon kopi atau jambu biji. Lantak memiliki ukuran sekitar 15-20 cm dan berdiameter 3-4 cm, sekira ukuran jempol jari orang dewasa. Penggunaan lantak juga menyiratkan nilai kearifan, yaitu supaya tercipta keluarga sekinah, mawaddah, wa rahmah.

Para bundo kanduang pemain kesenian Alu Katentong rata-rata sudah berumah tangga. Mereka batikuluak, babaju kuruangsulam ameh, basalempang serta basaruang kodek. Tentunya mengundang decak kagum,  para bundo kanduang tersebut terlihat fokus dan berkonsentrasi dalam memukulkan Alu pada batu pipih. Suara dan nada yangdihasilkan pun berirama indah.

Juga terdapat beberapa ketentuan untuk penampilan kesenian Alu Katentong, yaitu : (1) Jumlah penampil mesti dalam bilangan ganjil (5, 7, 9, 11, dan 13 orang); (2) Jumlah penampil menentukan besar kecilnya ukuran lasuang; (3) Kepada setiap penampil sudah ditentukan jenis tokok (pukulan) yang akan dimainkan.

Lalu, beberapa nama lagu senantiasa didendangkan dalam kesenian Alu Katentong. Lagu-lagu tersebut di antaranya, lagu Bingkaruang Mudiak Banda, lagu Talipuak Layua, lagu Alang Babega, dan lagu Balalu. Semua lagu tersebut diambil berdasarkan fenomena alam, mengikut falsafah alam takambang jadi guru.Tentunya konsentrasi dan fokus penting dalam penampilan kesenian ini, baik dalam memukulkan Alu maupun dalam berdendang. Jika salah seorang penampil saja bermain tidak fokus dan konsentrasi maka akan mengganggu irama penampilan secara keseluruhan.

Durasi penampilan Kesenian Alu Katentong bersifat menyesuaikan dengan kemampuan para penampilnya, sebab diperlukan energi yang tidak sedikit untuk mampu memukulkan Alu berdiameter 7-10 cm tersebut dalam waktu yang lama. Karenanya, durasi penampilan biasanya hanya memakan waktu antara 10-15 menit.

Kesenian Alu Katentong, di samping sebagai hiburan pada upacara perhelatan perkawinan, juga ditampilkan pada upacara batagak panghulu, mendirikan atau mambukak (membongkar) rumah gadang, atau pada acara resmi resmi yang digelar oleh pemerintah. Kebertahanannya di masa sekarang sekaligus meneguhkan identitas kolektif masyarakat Nagari Padang Laweh. Sebutlah misalnya, jika anak gadis diberi bajunjungan maka sebelum dilaksanakan akad nikah para bundo kanduang Nagari Padang Laweh akan datang menampilkan Kesenian Alu Katentong. Semarak syahdu kesenian tradisional pun digelar, tampilnya jalin bakulindan sebagai ekspresi artistik yang syarat dengan kearifan budaya matrilinial Minangkabau.


Artikel ini telah diterbitkan di Harian Padang Ekspress hari Minggu tanggal 13 Februari 2022

BINCANG KOMUNITAS SENI SE-SUMATERA BARAT

0

Oleh : Undri

Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat

Bertempat di Ruang Temu Langgang Kuau di Balai Gadang, Koto Tangah, Padang. Rabu 9 Februari 2022, diikuti oleh perwakilan 72 komunitas dan pelaku budaya dari berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat melakukan bincang-bincang santai bersama Direktur Perfilman, Musik dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek beserta jajarannya didampingi Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat beserta Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat.

Kegiatan Bincang Komunitas Seni Indonesia di Sumatera Barat membahas tentang program kerja Direktorat Jenderal Kebudayaan, diantaranya tentang Fasilitasi Bidang Kebudayaan, penguatan tata kelola dan komunitas dan lainnya. Kegiatan ini berlangsung sejak siang jelang sore, menarik dan sangat antusias, sehingga hari mulai gelap dan udara dingin merasuk tidak menjadi penghalang untuk tetap berdiskusi.

Audensi Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan Gubernur Sumatera Barat

0

Oleh : Undri

Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat

Bertempat di rumah dinas Gubernur Sumatera Barat, 9 Februari 2022 tim Direktorat Jenderal Kebudayaan diwakili oleh Direktur Perfilman, Musik, dan Media (PMM), Kepala BPNB Sumbar, Kepala BPCB Sumbar melaksanakan audensi dengan Gubernur Sumatera Barat. Melalui Direktur PMM menyampaikan program kerja Direktorat Jenderal Kebudayaan, yakni Pekan Kebudayaan Daerah (PKD), Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK), Festival Matrilineal, Ekspedisi Batang Hari, Pengelolaan Kawasan Sawahlunto, Perkampungan Adat Sinjunjung, Indonesiana TV, Dana Alokasi Khusus (DAK) Museum dan Taman Budaya.
Gubernur Sumatera Barat, didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, buya Mas’oed Abidin, seorang ulama Sumatera Barat menyambut baik atas kehadiran tim Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan menyampaikan program kerja.
Gubernur Sumatera Barat berharap dengan adanya audensi dan program kerja khusus di Sumatera Barat dapat memajukan kebudayaan di Sumatera Barat.

Paparan Program Kerja Direktorat Jenderal Kebudayaan di Dinas Kebudayaan Prov. Sumatera Barat

0

Oleh : Undri

Kepala BPNB Provinsi Sumatera Barat

Rabu, 9 Februari 2022 bertempat di Gedung Dinas Kebudayaan Sumatera Barat dilaksanakan diskusi antara Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang dihadiri oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kepala BPNB Sumbar, dan Kepala BPCB Sumbar. Kegiatan penyampaian program kerja Direktorat Jenderal Kebudayaan, yakni Pekan Kebudayaan Daerah (PKD), Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK), Festival Matrilineal, Ekspedisi Batang Hari, Pengelolaan Kawasan Sawahlunto, Perkampungan Adat Sinjunjung, Indonesiana TV, Dana Alokasi Khusus (DAK) Museum dan Taman Budaya. Dari Dinas Kebudayaan di hadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, dan kepala bidang dan pejabat fungsional Pamong Budaya, dan lain lainnya.
Harapannya, dengan adanya paparan dan diskusi dapat memajukan kebudayaan di Provinsi Sumatera Barat.

FGD FESTIVAL MATRILINEAL

0

Oleh : Silvia Devi

Pamong Budaya Ahli Muda

Selasa 8 Februari 2022, BPNB Sumatera Barat melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Program dan Anggaran : Festival Budaya Matrilineal Tahun 2022.

Kegiatan ini diawali dengan pengantar oleh Kepala BPNB Sumatera Barat, Undri dan Direktur Perfilman, Musik dan Media, Dirjen Kebudayaan, Kemdikbudristek RI, Ahmad Mahendra.

Adapun sebagai moderator adalah Dr. Dede Pramayoza (Dosen ISI Padang Panjang), dan sebagai pemantik adalah :

1. Prof. Dr. Nursyirwan Efendi (Direktur Program Pasca Sarjana Unand)

2. Prof. Dr. Raudha Thaib, M.S (Ketua Bundo Kanduang Sumbar)

3. Dr. Zainal Arifin (Dosen FISIP Unand)

4. Dr. Nopriyasman (Dosen FIB Unand)

Kegiatan yg diselenggarakan dari pagi hingga sore hari ini dan semakin hangat diskusi dengan kehadiran para budayawan, akademisi, seniman dan pamong budaya, sebagai berikut: Viveri Yudi (mewakili Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat), Gemala Ranti (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Barat), Dr. Jendrius (Dosen FIB Unand), Edi Utama (Budayawan), Dr. Silfia Hanani (Dosen IAIN Bukittinggi), Dr. Ediward, M.Hum (Dosen ISI Padang Panjang), Dr Sheiful Yuzan (Dosen UIN Imam Bonjol), Dr. Hermawan (Dosen STIKIP Rokania), Dr. Wirdaningsih (Dosen FIS UNP)  Dr. Silvia Rosa, M.Hum( Dosen FIB Unand), Ka’bati (Wartawan/Penulis Budaya), Mahatma Muhammad (Seniman), Muhammad Nasir, Zelfeni Wimra, Ediward, Rozidateno P.H, Rois Leonard Arios, Hasanadi, Silvia Devi, Yulisman, Rismadona, dan Mardoni.

Kegiatan FGD mendiskusikan tentang konsep budaya matrilineal, kearah untuk melaksanakan kegiatan Festival Budaya Minangkabau.

KUNJUNGAN DIREKTUR PERFILMAN MUSIK DAN MEDIA

0

Oleh : Sefiani Rozalina

Pamong Budaya Ahli Muda

Senin, 7 Februari 2022 BPNB Provinsi Sumatera Barat menyambut kedatangan Direktur Perfilman Musik dan Media, Ditjen Kebudayaan, Kemdikbudristek, Ahmad Mahendra. kunjungan beliau ke Sumatera Barat adalah untuk berkantor dan bekerja di Provinsi Sumatera Barat. Segudang jadwal sudah menyambut Beliau. Untuk hari pertama, Ahmad Mahendra bertemu dan beramah tamah dengan seluruh pegawai BPNB Sumatera Barat.

Dalam suasana yang hangat, ramah tamah berlangsung dengan akrab dan santai. disini, beliau juga menjelaskan arah pelestarian kebudayaan sesuai dengan Undang Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan kedepannya. Harapan beliau, seluruh pegawai BPNB Sumatera Barat tetap aktif dan produktif bergerak dalam pelestarian kebudayaan khususnya di wilayah kerja BPNB Provinsi Sumatera Barat.

Nilai – Nilai Budaya Permainan Sipak Rago Minangkabau

0

Oleh : Mardoni

Pamong Budaya Ahli Muda

Sahabat Budaya, tahukan kalian jika setiap wilayah di Indonesia memiliki permainan rakyat yang diminati masyarakatnya seperti congklak, gasing, kelereng, sipak rago dan masih banyak lagi.

Sipak rago adalah permainan rakyat yang berkembang dan dimainkan di kalangan Kerajaan Malaka pada abad 15 Masehi hingga kini masih dimainkan oleh masyakarat di Minangkabau secara berkelompok oleh pemuda. Pada masyarakat Minangkabau permainan ini dikenal dengan berbagai istilah Sipak Rago, Rago-Rago, dan Sipak Bola Rotan/Jalin.

Permainan ini menggunakan bola rago sebagai alat permainan yang memadukan gerakan Silek (pencak silat), dan mengandung berbagai filosofi ernis serta nilai budaya yang sangat dalam, salah satunya nilai kerja sama dan kekompakan.

Buku yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini diunduh pada tautan:

http://repositori.kemdikbud.go.id/24620/

DUKUN DI MINANGKABAU

0

Oleh : Ferawati

Pamong Budaya Ahli Muda

Dukun termasuk salah satu tema nyentrik dalam kajian sosiologi, budaya, dan sejarah hingga kini.Telah lama dan banyak ilmuan kajian agama (religious studies khususnya kajian indigenous studies) luarnegeri yang mencoba meniliknya melalui serangkaian konsep dan teori tajam untuk menguliti hingga mendalam.Contohnya Evan-Pritchard (1965),Edward Burnett Tylor (1871), dan masih banyak lagi.Sebagian lain menulisnya dalam sejumlah catatan perjalanan atau buku-buku teks, termasuk dalam arsip Kolonial Belanda.Menariknya, mereka tidak pernah menjadi serupa dengan dukun yang ditelitinya.Sudah pasti mereka tidak percaya.Mungkin karena mereka sekuler atau atheis, sehingga tidak yakin.Bisa jadi karena kemampuan ilmiah mereka mempelajarinya tidak pernah bisa menjangkau kemampuan para dukun yang ditelitinya.Pastinya mereka tidak berpijak pada filsafat Timur, melainkan filsafat Barat yang rumit dan berkutat pada yang pasti-pasti saja.Lantas bagaimana di negeri kita?

Dalam dunia penelitian, akademisi, maupun dalam pencatatan karya budaya, mengambil ‘jarak’ dan memisahkan urusan ilmiah dengan urusan pribadi menjadi keharusan. Namun caramengambil ‘jarak’ agar ‘objektif’ mengkaji dukundan dunia perdukunan nyatanya berbeda dari masa kolonial dengan masa kontemporer. Masyarakat modern seperti kaum kolonialis yang menulis arsip pemerintah maupun catatan perjalanan telah menjadikan aktor dukundan dunianya sebagai “objek” (dalam arti benda, yangpowerless/inverior/kaum lemah/subordinat atau liyan).Mereka sebagai penulis dan peneliti malah memposisikan diri sendiri sebagai “subjek” yang powerfull, punya kuasa atas diri orang lain. Mereka tidak memposisikanpelaku budaya seperti dukun sama-sama sebagai “subjek” yang setara.Ada ketimpangan relasi kuasa. Peneliti dan misionaris semasa kolonial atau disebut kaum orientalis bahkan menganggap aktor-aktor budaya seperti dukun dan masyarakat komunal sebagai makhluk yang tidak berperadaban, dan lebih parah lagi mengaggapnya sama dengan hewan liar atau peliharaan. Apa sebab? Tidak lain karena mereka hanya seperti “melihat di atas geladak kapal”. Lalu menilai secara serampangan.Menganggapnya “objek” yang berada di bawah ketek mereka.

Praktekdukun banyak klasternya, sesuai bidang dan keahlian masing-masing.Bayangkan seperti klaster keahlian dalam ilmu kesehatan modern.Ada dukunpalasik, dukun baranak dan sebagainya.Namun beberapa ulasan yang dapat membuktikan hal itu di antaranya bersumber dari salah satu fotocopy arsip Kolonial Belanda yang pernah tersimpan di Gedung H. Abdullah Kamil (Kantor LKAAM sekarang) sebelum gempa 30 September 2009.Arsip berbahasa Belanda itu menyebutkan kuatnya praktek perdukunan di Minangkabau, yang disebut palasik.Arsip itu sebatas menceritakan arti palasik, siapa objek dan subjeknya,sertaketakutan psikologis orang Minang yang memiliki anak kecil ketika berhadapan dengan orang asing dan buruk rupa.Dukunpalasik dinilainya jahat karena tega menghisap ubun-ubun anak balita hingga kepalanya cekung kemudian menyebabkannya rentan sakit-sakitan.Dukunpalasik akan merasa kuat, mendapat persediaan asupan makan selama beberapa bulan ke depan tanpa merasa kelaparan dan hanya tinggal malas-malasan.

Arsip Kolonial Belanda lainnya dari hasil penelusuran Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan sebelum tahun 2000-anmenunjukkan budaya dan tradisi maritim yang khas di pantai barat Sumatera.Namun setelah dicermati, isinya tidak lepas dari praktek-praktek perdukunan dalam upacara tradisi.Upacara itu biasanya menyangkut tradisi malimaui pasiamelalui serangkaian ritual yang mirip dengan peralatan dan proses kerja dukun, sekalipun tidak ada penegasan kata dukunbagi aktornya. Aktor utama dalam kegiatan ritual ini lebih merakyat disebut Urang Tuo Pasia, yaitu orang yang dituakan: didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Pelabelanaktor ini samadengan nama organisasi nelayan terkait, yaituUrang Tuo Pasia.Ia salah satuyang pernah ada di Nagari Bungus-Teluk Kabungdan sempat dicatat dalam arsip Kolonial Belanda.Arsip itumenyebutkankegiatan mereka sudah marak di tahun 1930 hingga pendudukan Jepang.

Berpedoman dari sumber-sumber arsip itu, maka dapat dibandingkan dengan aktivitas dan aktor budaya serupa dirantau pedalaman Minangkabau.Masyarakat agraris dan maritim di tepi sungai Batanghariseperti di Nagari Siguntua, Kabupaten Dharmasraya, mewarisi aktivitas malimauikampuangyang mereka sebut bakaua nagari.Klaster budaya yang agak berbeda, ada aktivitas budaya yang disebut bailauan (‘menghalau’ harimau) di Nagari Pauh-Kuranji hingga tahun 1995.Aktivitas budaya klaster sejenis bailauanjuga ada di Pesisir Selatan hingga akhir tahun 1990-an. Aktivitas budaya tari buayo (buaya) yang pernah berkembang di sepanjang aliran sungai Batanghari-Dharmasraya hingga tahun 1974, menunjukkan model ritual yang hampir sama maknanya dengan bailauan itu. Agak berbeda kiranya dengan tradisi tupai janjang di daerah Matur-Agam, dengan kegiatan menghalau hama tupai, atau tradisi yang ada di daerah Solok dan sekitarnya. Semua aktivitas budaya dan ritual-ritual itu terhubung dengan tokoh sentral yang memimpin dan mengorganisir upacara.Mereka hakikatnya adalah seorang dukun.Bedanya, ada yang benar-benar menyebutnya dukun kampuang, namun ada dengan istilah lain seperti Urang Tuo Pasia.Sebagian besar tidak mau disebut dukun, karenakonotasinya beragam.

Rupanya sumber arsip maupun hasil pencatatan karya budaya di lapangan baru menampilkan sedikit dari sekian ribu klaster yang dapat ‘dikuasai’ oleh dukun-dukun di Minangkabau atau bahkan masyarakat lain di luar komunal matrilineal. Masyarakat komunal lainnya yang akrab dengan aktivitas dukun sudah sangat menyebar.Tidak hanya di Minangkabau, namun juga sudah merata di Indonesia.Dukun dengan diksi lokal masing-masing, juga ada di masyarakat Badui, Banten, Sunda, dan masyarakat Jawa, komunal Amatoa di Sulawesimaupun komunal Dayak di Kalimantan. Praktek dukun ternyata juga hampir menyebar di Asia atau masyarakat Timur, seperti pengakuan sejumlah sahabat di India, Srilanka, Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, bahkan Singapura. Mereka percaya dengan dukun, dan salah satu yang umum merekapahami adalah larangan atau pantangan untuk tidak menatap mata mereka dengan sengaja maupun bersalaman secara langsung untuk menghindari hal di luar nalar.

Banyak kerumitan dalam dunia perdukunan yang tidak dapat dijangkau oleh nalar dan pancaindera manusia umumnya,  sejak zaman orientalis, peneliti dan akademisi modern apalagi penginventaris karya budaya. Sangat banyak hal remeh-temeh yang tidak dimengerti, kemudian tidak mereka anggap atau perhitungkan, dan kemudian lengahkan.Namun hal yang remeh-temeh itu justru ada yang prinsipil, sangat penting di dalam dunia perdukunan sebagaimana jamak ditemukan di Minangkabau.Contohnya terkait perbedaan warna, bau-bauan dan waktu-waktu tertentu, arah angin, penamaan, dan geneologi yang tidak tercatat dalam manuskrip dan arsip.Bagi dukun dan masyarakat lokal yang meyakini justru memaknainya sebagai penentu dalam bertindak dan berperilaku.Ada kearifan lokal.

Begitulah tingkat kerumitan akademik di dalam memahami dukun dan dunianya. Paling tinggi pemahaman akademik di bidang dukun dan perdukunan hanya sebatas menyimpulkan pada tingkat subjektivitas  atau  objektivitas. Paling tinggi tingkat analisanya pada generalisasi, dengan menyimpulkan sebagai kearifan lokal, tradisi, budaya, dan ritual masyarakat komunal.Namun hal itu masih lebih baik.Bagaimana jika seorang peneliti, akademisi, atau petugas pencatat dan penginventaris karya budaya juga berambisi mencari info tentang karya budaya terkaitdukun.Ikut pula mempelajarinya?Huhf…hendak menjadi dukun pula agaknya! Bagaimana ‘jarak’ mereka?Dalam zaman modern ini, banyak yang berkata bahwa dukun atau sejenisnya sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat.Pewarisannya sudah terdegradasi oleh waktu dan zaman yang berubah.Tidak ada dukun hebat yang sungguh-sungguh mau mewarisi keahliannya kepada sembarang orang, bahkan kepada anak-keturunannya sendiri. Hal itu terkait dengan keyakinan adanya ‘beban’ dunia-akhirat yang akan dipikulnya.

Akan tetapi, kenyataannya dewasa ini justru menunjukkan hal yang agak berbeda.Pada zaman modern apalagi dalam himpitan ekonomi seperti sekarang ini, semakin banyak saja orang yang hendak belajar menjadi dukun.Mereka mungkin masih sadar dengan keterbatasan kemampuan dan bakat yang mereka miliki.Atau telah banyakpantangan yang mereka lakukan selama ini.Paling seret, mereka mencari-cari dukun ke sana-ke mari. Seperti terbirit-birit hendak buang hajat, untuk mendapatkan nafsunya menjadi pejabat, menjadi kaya, terkenal, atau mendapat jodoh yang diinginkan walau terhalang banyak kendala dan perbedaan.Mereka yang sering mencari dukun untuk dimintai pertolongan dan dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu duniawinya terkadang sudah lupa dengan akal sehatnya.Mereka tidak takut tertipu berkali-kali hingga menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta karenanya.Mereka lupa untuk tidak terjebak dengan kemusyrikan karena tidak dapat membedakan bagian mana yang syirik dan bagian mana yang ilham atau hidayah dari Tuhan YME.Mereka inilah yang kerap disebut padukun. Mereka bisa jadi orang Minang, orang Jawa, atau etnis lainnya.Mereka bahkan tidak segan-segan memampang di media sosial seperti facebook bahwa mereka kenal dukun ini, dukun itu.Atau mereka keturunan dukun ini, atau keturunan dukun itu. Lantasorang lain harus takut, gitu? Edan!

Artikel ini telah diterbitkan di Harian Singgalang Minggu 30 Januari 2022

WARISAN BUDAYA TAK BENDA DAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (KOMUNAL)

0

Oleh : Ferawati

Pamong Budaya Ahli Muda

Selasa malam, 7 Desember 2021, Direktur Jenderal Kebudayaan-Kemendikbudristek, Hilmar Farid, kembali menyerahkan secara langsung sertifikat penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kepada Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala Dinas bidang kebudayaan tingkat provinsi yang mengusulkan. Prosesi penyerahan berlangsung di Gedung Plasa Insan Berprestasi Kemendikbudristek, Jakarta.Malam itu telah resmi ditetapkan 289 WBTB dari 28 provinsi di Indonesia.Sampai saat itu, Indonesia sudah memiliki 1.528 WBTB yang disertifikasi atau diakui (kompas.com).Kamis, 15 Desember 2021, Komite Konvensi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Paris juga telah menetapkan gamelan sebagai WBTB UNESCOke-12 bagi Indonesia.Hal ini membuktikan upaya inventarisasi dan pencatatan WBTB perlu terus digiatkan dan dikembangkan.Akan tetapi, persoalannya tidak banyak WBTBNasional dan UNESCO yang telah ditetapkan apalagi baru dicatat itu mengantongi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Komunal dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham).Lantas, apadan bagaimana fungsi strategis penetapan WBTB dan HAKIitu?

WBTB merupakan karya budaya yang masih hidup dalam mentalitas dan ingatan manusianya, diwariskan dan diakui oleh komunitas/masyarakat saat ini,menjadi bagian dari budaya komunal pendukungnya, disebutjuga “living heritage” (Direktorat PTLK, 2021).Jadilah WBTB itu dilindungi UU. Tercantum dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU PK), yang menekankan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan ekosistem kebudayaan.OPK itulah yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional dan UNESCO hingga tahun ini (2021).

WBTB sebelum sampai di tahap penetapan yang diamanatkan UU PK, banyak aspek yang dibanguntermasuk sarana dan prasarananya, termasuk untuk tahap pencatatan dan penginventarisan.Sebelum penetapan UUPK 2017, unit-unit pelaksana teknis bidang kebudayaan yang selama ini di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, sekarang Kemendikbudristek).Kemendikbudmerancang form atau borang untuk pencatatan dan inventarisasi budaya yang pada awalnya masih konvensional. Aplikasi WBTB sebagai media representatif dan modern pun dibangun secara struktural dari daerah/wilayah kerja ke pusat/direktorat.Sembari menyempurnakan fitur aplikasinya, Kemendikbud kemudian meningkatkan sumber daya manusia (SDM) WBTB dengan menyediakan suatu wadah bernama Fungsional Pamong Budaya (FPB) sejak tahun 2019/2020.FPB serupa ternyata juga ada di Kementerian Dalam Negeri sebagaimana di dinas-dinas kebudayaan, maupun di Kementerian Luar Negeri.SDM ini dibekali dengan sejumlah pengetahuan dan pelatihan di bidang WBTB, dan sebagian kecil mengikutsertakan masyarakat komunal.Masalah muncul, ketika terjadi tumpang tindih pencatatan dan penginventarisan.Namun, selain ketiga kementerian itu juga ada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) maupun Kementerian KoordinatorBidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang turut tergabung langsung dalam ekosistem kebudayaan.

Penetapan WBTB terpilih sebagai WBTB Nasional dilakukan melalui proses dan jalur tersendiri di institusi yang ada pada Kemendikbudristek dengan melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Menggaet Tim Ahli dari akademisi dan peneliti, hasil penetapan WBTB Nasional diusulkan menjadi nominasi WBTB UNESCO.Jumlah yang diusulkan belasan atau puluhan. Namun negara lain, seperti India pada pengusulan 2019 saja, jumlahnya puluhan untuk UNESCO dan ratusan untuk skala nasional.Secara ekosistem dan strategi kebudayaan, mereka juga memiliki institusi khusus menangani bidang ini, termasuk penetapan HAKI.Mereka sudah terlebih dulu memiliki “Akademi UNESCO” yang dipimpin oleh seorang direktur dari kalangan arkeolog.Strategi kebudayaan itumasih lebih unggul dari Indonesia.

Sebagaimana diketahui, WBTB yang ditetapkan berdasar 10 OPK di dalam UU PK dan merupakan hasil pengembangan dari domain WBTB yang menjadi pakem UNESCO.Kelima domain itu adalah tradisi lisan dan ekspresi; seni pertunjukan; adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.Domain-domain itu berasal dari tiga (3) bentuk heritage, yaitu alam, manusia, dan buatan manusia.Ketiganya menjadi benang merah WBTB dengan HAKI Komunal.

Lantas, bagaimanakah warisan budaya bagi HAKI Komunal (terdapat kekayaan intelektual komunal [KIK] dan indikasi geografis [IG])yang menjadi tugas dan tanggungjawab Kemenkumham?Masalah penetapan WBTB di Kemenkumham, masih menjadi pekerjaan rumah yang berat.Tidak banyak kiranya WBTB Nasional dan UNESCO yang telah dicatat itu mengantongi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Komunal dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham). Kalaupun sudah ditetapkan hingga ke UNESCO namun jika komunalnya tidak merawat dengan baik, maka sertifikat WBTB UNESCO maupun Nasional akan dicabut. Posisi suatu WBTB menjadi rentan dicaplok daerah lain atau bangsa lain untuk kepentingan ekonomi dan sebagainya.

Pada November 2021, Kemenkumham telah memberikan semacam sosialisasi dan termasuk ke dinas-dinas di Sumatera Barat.Dalam kesempatan itu dijelaskan tentang definisi KIKmenurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik IndonesiaNomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Komunal.KIK adalah kekayaan intelektual berupa pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, sumber daya genetik, dan potensi indikasi geografis”.Jelaslah bahwa posisi KIK antara hak kebudayaan dan hak intelektual yang mencakup kepemilikan komunaldan wajib dilindungi.Bentuk kepemilikan komunal dalam KIK ituberupa pengetahuan tradisional (PT),ekspresi budaya tradisional (EBT), dan indikasi geografis/indikasi asal.

Cakupan KIKyaitu seputar sumber daya genetic, PT, dan EBT yang mendorong perlindungan dan kepemilikan pengetahuan di bidang terkait.PT adalah pengetahuan yang bersumber dari masyarakat komunal dengan sifat dinamis, terus berkembang dari hasil aktivitas intelektual, pengalaman spiritual, pengalaman, dan pemahaman menurut konteks tradisi yang terkait dengan tanah dan lingkungan, tidak terkecuali pengetahuan praktis, keahlian, inovasi, praktik, pengajaran, dan pembelajaran. EBT termasuk hasil aktivitas intelektual, pengalaman, atau pemahaman yang diekspresikan oleh masyarakat komunal/adat menurut konteks tradisi, yang dinamis, terus berkembang, dan tidak terkecuali ekspresi bentuk-bentuk benda dan tidak benda, maupun gabungan dari berbagai bentuk yang ada.Indikasi geografis yaitu semacam tanda penunjuk daerah asal menurut faktor lingkungan geografis, seperti alam, manusia, atau kombinasi kedua faktor itu yang menyumbang reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu suatu barang dan/atau produk yang dihasilkan.Berdasarkan pemahaman singkat ini, KIK lebih cenderung menitikberatkan pada tujuan-tujuan prakmatis, langsung, dan terukur terutama perlindungan kepentingan ekonomi dan kedaulatan komunal.

Penetapan WBTB dan HAKI Komunal sesungguhnya saling melengkapi.Akan tetapi, dalam perjalanannya yang masih tergolong baru, keduanya masih terkesan saling mengenal.Instansinya belum saling menginisiasi untuk saling melengkapi.Pendataan, inventarisasi, dan pencatatan WBTB bagaimanapun juga menjadi tugas pokok dan fungsi unit-unit kerja di Kemendikbudmaupun di Kemenkumham.WBTB sebagai data bahan dan faliditas data bagi Kemenkumham dalam menetapkan HAKI sedangkan HAKI menjadi salah satu pendukung dan penguat WBTB selain sertifikasi WBTB Nasional dan UNESCO. Tujuan-tujuan ini tercapai terkait dengan kepakaran masing-masing pengampu, karena pakar KIK lebih banyak bersumber dari instansi dan sarjana hukum, sedangkan WBTB mayoritas digarap oleh instansi dan sarjana ilmu sosial-humaniora yang dibekali dengan berbagai teori dan matode terkait.

Tujuan Kemenkumham menginisiasi instansi-instansi terkait yang mengolah WBTB adalah mendorong ekosistem kebudayaan untuk mendaftarkan hasil pencatatan dan penetapan WBTB ke Kemenkumham untuk diberikan kekuatan hukum sebagai HAKI.Sasaran perolehan penetapan HAKI bagi WBTB yaitu agar karya komunal tidakterlanjur dicaplok oleh bangsa lain, padahal sudah menjadi warisan masyakat Indonesia. Hal itu bila terjadi, sangat merugikan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri karena berimplikasi pada ekonomi lokal dan nasional.Contoh yang masih hangat adalah ketika ajang Paris Fashion Week di Perancismemamerkan kain tradisional Endek Bali-Indonesia yang melanggar HAKI.Namun beruntung kain itu berhasil dipatenkan oleh KemenkumhamIndonesia pada September 2020,sebagaimanamasyarakat Bali yang menjadi pemilik asli WBTB itu.Namun sejak itu pula baru terbuka mata masyarakat dengan kain Endek asal Bali, karena sempat masuk ajang bergengsi di surganya fashion show Perancis. Sejak itu pula perekonomian Bali ikutan terawat dengan adanya pengakuan kain Endek sebagai karya WBTB sekaligus HAKI.

Melihat peristiwa yang menimpa kain Endek Bali di Parencis, maka dapat disimpulkan bahwa WBTB dan HAKI Komunal masih butuh perhatian khusus, perlu kerja sama yang solid antarlembaga dan kementerian, perlu pengawasan dari masyarakat dan media, serta yang lebih utama adalah tetap menjaga ekosistem kebudayaan sebagaimana diamanatkan UU PK. Manakah yang lebih dulu dilakukan, pencatatan dan penetapan WBTB atau HAKI, hanyalah persoalan seperti ayam dan telurnya. Banyaknya data yang digali, persoalan tata kelola data kebudayaan di kementerian terkait, peran aktif serta pengawasan masyarakat, menjadi ujung tombak dari permasalahan itu.Prioritas adalah kata kuncinya, dengan menyeleksi antara domain dan mata budaya yang sudah sangat terancam dari kepunahan maupun terancam menjadi incaran bisnis pihak lain yang merugikan bangsa Indonesia. WBTB untuk perlindungan identitas bangsa.HAKI Komunal demi menjaga manfaat ekonominya. Kedua ranah itu hadir untuk menjaga dan memelihara kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dari bangsa lain.

Artikel ini telah diterbitkan di Harian Singgalang Minggu 9 Januari 2022