Beranda blog Halaman 23

Walikota Padang Buka Workshop Sejarah dan Budaya BPNB Sumbar

0

Padang (BPNB Sumbar) – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat menggelar Workshop Kesejarahan dan Kebudayaan di Kota Padang pada 25 Oktober 2017. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Daima, Padang dan akan berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Pembukaan secara resmi dilakukan oleh Walikota Padang Mahyeldi Ansarullah.

Pelaksanaan Workshop Kesejarahan dan Kebudayaan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kreatifitas para pengajar sejarah khususnya dalam konteks penulisan. Sesuai dengan tema Meningkatkan Kreatifitas Tenaga Pendidik, maka para peserta yang diundang dalam kegiatan ini adalah guru-guru mata pelajaran sejarah dan budaya SMP dan SMA se Kota Padang. Sebelumnya para peserta yang diundang diminta untuk menyerahkan tulisan baik berupa artikel ilmiah, puisi serta cerpen tentang sejarah.

Dalam sambutannya Mahyeldi menyampaikan bahwa dukungannya dan sangat mengapresiasi kegiatan workshop sejarah dan kebudayaan tersebut. Selain menambah wawasan para pendidik, ilmu yang diperoleh juga dapat diimplementasikan langsung kepada anak didik. Dia menambahkan bahwa kegiatan tersebut sejalan dengan program pemerintah kota Padang. Selain itu, dia juga menambahkan bahwa pemerintah kota Padang sekarang ini sedang melaksanakan pendataan situs-situs yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai obyek wisata serta obyek edukasi.

Selama pelaksanaan workshop, sekitar 40 orang peserta didik akan dibekali materi bagaimana menulis sejarah dan budaya dengan baik. Materi ini akan diberikan di hari pertama yang akan diaplikasikan dalam membuat rulisan di hari kedua. Selanjutnya hasil-hasil karya peserta akan dinilai pada hari ketiga, sekaligus menyerahkan apresiasi kepada peserta terbaik.

Ada tiga nara sumber yang didapuk untuk memberikan materi pada kegiatan ini antara lain: Prof. Gusti Asnan, Dr. Zainal Arifin, Dra. Sastri Yunizarti Bakry dan Drs. Khairul Jasmi. Para narasumber tersebut akan membawakan beberapa materi seperti Metode Penulisan Sejarah, Metode Penulisan Budaya, Pembangunan Budaya Literasi untuk Guru serta teknik penulisan ilmiah.

Di penghujung acara nantinya, setiap peserta diharapkan dapat membuat satu karya ilmiah dan kemudian dipresentasikan di depan juri. Enam peserta terbaik akan dinilai dan mendapat apresiasi dari panitia. Harapannya melalui kegiatan ini, maka tenaga pendidik sejarah dan budaya dapat bertambah wawasan serta mampu menyajikan ilmu-ilmu sejarah dan budaya dalam tulisan ilmiah yang menarik dan mudah dipahami generasi muda khususnya peserta didik.

Bakajang

0

Penulis: Ernatip (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Bakajang adalah suatu istilah untuk menyebutkan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka memeriahkan hari raya Idul Fitri. Asal kata tersebut adalah kajang yang maksudnya adalah perahu. Kajang adalah sampan yang disulap menjadi perahu/kapal. Kapal tersebut mirip kapal pesiar  tampil dengan megahnya sehingga menjadi pusat perhatian masyarakat ramai. Kajang terbuat dari dua buah sampan kecil dirakit menjadi satu. Selain sampan peralatan lain yang digunakan adalah kayu untuk kerangka,  triplek untuk penutup kerangka, paku dan peralatan lainnya. Di samping itu ada bahan lain yang digunakan untuk mempercantik tampilan kajang seperti cat dan hiasan lainnya.

Foto. Ernatip

Tampilan kajang yang begitu megah memerlukan biaya yang cukup banyak. Satu buah kajang menghabiskan biaya antara 15 – 20 juta yang  berasal dari partisipasi masyarakat. Masyarakat Nagari Gunung Malintang Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota begitu antusias terhadap perayaan ini. Oleh sebab itu segala upaya dilakukan agar perayaan bisa terlaksana setiap tahunnya. Nagari tersebut terdiri dari 5 desa/jorong  sekaligus sebagai tempat pusat perayaan bakajang yang berlangsung secara bergantian. Pemukiman masyarakat berada di pinggir sungai sehingga rumah-rumah mereka menjadi tempat istirahat pengunjung sekaligus tempat menyaksikan perayaan bakajangKajang yang tampil pada perayaan tahun ini sebanyak 5 buah berasal dari setiap desa/jorong. Pada setiap kajang di pasangkan identitas/asal kajang tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para penonton tahu nama desa/jorong pemiliki kajang itu.

Proses pembuatan kajang berlangsung cukup lama diperkirakan lebih kurang selama satu bulan. Pembuatan kajang sudah mulai dirancang menjelang puasa dan diperkirakan menjelang lebaran telah selesai. Suasana puasa tidak mengurangi semangat mereka bekerja menyiapkan kajang yang akan ditampilkan dihari perayaan tersebut. Pembuataan kajang dilakukan secara gotong royong terutama oleh para pemuda. Meskipun demikian dalam proses pembuatan juga menggunakan tenaga ahli sebagai perancang, membentuk kerangka sesuai dengan kesepakatan bersama. Bentuk kajang secara umum hampir sama  tetapi tetap ada perbedaan misalnya ukuran panjang, lebar, tinggi atau hiasannya. Setiap desa/jorong akan berusaha menampilkan kajang yang paling bagus. Biasanya diantara kajang-kajang itu  ada yang akan jadi pemenang, ada penilaian dari pihak pemerintah setempat. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi masyarakat agar terus mengembangkan kemampuan, ada perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.

Foto. Ernatip

Tempat pelaksanaan bakajang setiap harinya berpindah-pindah tetapi masih tetap di sungai. Setiap desa/jorong mempunyai tapian mandi di sanalah tempat berlangnya bakajang. Perayaan bakajang berlangsung selama 5 hari yang dimulai pada hari raya ke  tiga atau ke empat. Di hari tersebut masih suasana libur sekolah, para perantau masih berada dikampung sehingga mereka dapat menyaksikan perayaan bakajang. Perayaan bakajang tidak saja diminati oleh masyarakat sekitarnya bahkan pengunjung dari luar daerah juga turut meramaikannya. Ketika berlangsungnya perayaan bakajang, para penonton berada di tepi sungai sepanjang areal yang dilewati kajang. Penonton berdesak-desakan bahkan ada yang turun ke sungai untuk melihat kajang dari dekat.

Setiap hari perayaan bakajang, semua kajang berada pada satu tempat siap untuk dibawa hilir mudik oleh timnya masing-masing. Kajangkajang tersebut didorong  hilir mudik sesuai dengan batas yang telah disepakati. Kajang itu tidak berpenumpang, di dalamnya hanya ada tim seni musik talempong. Talempong dimainkan sebagai hiburan mengiringi kajang hilir mudik dan dibagian muka kajang berdiri seorang pemuda berpakaian daerah. Di samping itu juga diadakan acara pacu sampan. Suasana di sungai cukup meriah kajang yang hilir mudik, pacu sampan, anak-anak mandi-mandi, para remaja termasuk orang dewasa bersampan-sampan. Kegembiraan terpancar dari wajah mereka, begitu menyenangkan perayaan tersebut.

Foto. Ernatip

Kegembiraan masyarakat dihari perayaan tercermin dari perilaku yang ditampilkannya. Tua, muda, laki-laki perempuan turut menyaksikan perayaan bakajang, sekurang-kurangnya sebagai penonton. Kegembiraan yang  dirasakan berbeda-beda, oleh anak-anak mereka senang karena mendapat kesempatan untuk mandi-mandi pakai benen. Selain itu mereka dengan senang hati berbelanja apa saja yang ia mau terutama makanan dan minuman.  Sedangkan para remaja asik bersampan-sampan, ada juga yang mandi-mandi dan tidak ketinggalan berfoto-foto. Para orang tua-tua saling bertemu, dikunjungi oleh sanak saudara maupun kenalan sebaya yang dekat maupun jauh, mereka bersilaturahmi.

Pada hari perayaan nagari tersebut terlihat ramai, masyarakat berkumpul disekitar lokasi perayaan. Di sepanjang aliran sungai seberang menyeberang masyarakat berdesak-desakan menyaksikan kajang dan acara lainnya. Perayaan itu pun menjadi peluang bagi pedagang untuk menjual berbagai makanan dan keperluan lain. Di sana terlihat adanya para penjual makanan siap saji seperti sate, miso, indomie dan makanan lainnya serta aneka minuman kesukaan kebanyakan orang. Selain itu juga ada petugas parkir untuk mengatur parkir kendaraan pengunjung termasuk yang dari luar daerah. Hal demikian membuat para pengunjung merasa aman meninggalkan kendaraan dan leluasa berjalan-jalan disepanjang lokasi perayaan.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada Minggu, 3 September 2017.

Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung dan Sejarah Minangkabau

0

Penulis: Undri (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Banyak diantara kita yang tidak tahu tentang kiprah Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung ini. Kita sadari dalam literatur sejarah Minangkabau-tanah kelahirannya- keberadaan Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung sulit ditemui. Beliau seakan tengelam oleh peran yang dimainkan oleh tiga orang dato’ yakni   Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, dan Dato’ ri Tiro terutama dalam proses penyebaran agama Islam di daerah Sulawesi Selatan. Hanya saja kita terbantukan dengan literatur yang ada di daerah Sulawesi yang mengupas tentang  sejarah kiprah tokoh ini dan dikaitkan dengan penyebaran Islam di daerah tersebut.

Makam Mahkota Sultan Pagaruyung, Foto. Undri

Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung bukti keberadaan beliau di negeri asalnya yakni Minangkabau tidaklah berbekas. Namun dinegeri nan jauh di sana, bekas keberadaan beliau begitu jelas terlihat sampai sekarang ini. Kuburan beliau yang terletak di areal persawahan di daerah Patani memperkuat keberadaan Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung tersebut. Diareal perkuburan dengan dikelilingi oleh persawahan penduduk  dan berjarak sekitar  1 (satu)  kilometer dari bibir pantai Sanrabone merupakan bukti nyata akan keberadaan beliau di daerah tersebut.

Uniknya kuburan tersebut dianggap keramat oleh sebagian masyarakat Sanrabone dan sekitarnya. Melakukan ritual dan bernazar sering dilakukan mereka. Bagi mereka sendiri, Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung memiliki kemampuan tersendiri walaupun beliau sudah meninggal dunia.

Disamping itu, bukti keberadaan beliau adalah sebuah mesjid tua sebagai peninggalan beliau. Mesjid tersebut terletak di Mandalika. Menurut Ali Malombasi, anak langsung (kandung) dari raja terakhir (Raja ke-23) Sanrabone, mesjid tersebut dibangun sekitar tahun 1602. Pernyataan dari Ali Malombasi tersebut diperkuat dengan naskah yang disimpan oleh Abdul Razak Daeng Ngogo (80 tahun). Dalam naskah yang ditulis ulang dalam bahasa Makasar bertuliskan beraksara Arab Melayu menjelaskan bahwa:

Merujuk pada Silsilah Asal Keturunan Pertama Kedatangan Ulama Besar Melayu di Negeri Sanrobone oleh Abdul Razak Daeng Ngago (1994) bahwa Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung memperistrikan Tuan Sitti, memiliki anak Tuan Raja. Kemudian Tuan Raja memperistrikan Tuan Aminah, melahirkan anak 4 (empat) orang yakni (1) Ince Ali, (2) Ince Talli, (3) Ince Hasan, dan (4) Ince Husaini. Ince Ali tersebut memperistrika Jawa Katinga (Tuan Katingan) namanya Marahuma, memiliki anak perempuan bernama Ince Tija. Ince Tija mempersuamikan Lolo Bayo dan melahirkan keturunan Kare Sali. Kare Sali mempersuamikan Kare Baseng, melahirkan anak keturunan 4 (empat) orang yakni (1) I Maemunah, (2) Kare Tongngi, (3) Kare Pato, dan (4) Kare Muntu. Kare Muntu memperistrikan orang Jeneponto kemenakan Kareang Jeneponto bernama Tongngi, memiliki anak 4 (empat) orang yakni (1) I Daro, (2) Samaila, (3) Abdul Kadir, dan (4) Mominah.

Mominah mempersuamikan Ince Gali dengan memiliki 5 (lima) orang anak, yakni (1) Kare Capa, (2) Kare Kulle, (3) Sitti Memunah, (4) Kare Siang, dan (5) Kare Tojeng. Kare Tojeng mempersuamikan Kare Jallang (Kare Jalla) memiliki anak 5 (lima) orang, yakni (1) Kare Mangasai, (2) Kare Pole, (3) Kare Poto, (4) Kare Sittin, dan (5) Kare Baluru. Kemudian Kare Baluru mempersuamikan Kare Jarre, memiliki anak 9 (Sembilan) orang yakni : (1) Abdul Rahim, (2) Muhammad Jafar, (3) Hasan, (4) Huseini, (5) Ali, (6) Sabiba, (7) Aminah, (8) Adam Muhammad, dan (9) Japarah. Japarah memperistikan Kare Tongngi Binti Kare Pole, memiliki anak 4 (empat) orang yakni : (1) Halimah Daeng Ratu, (2) Hayawani Daeng Kenna, (3) Marhumah Daeng Calla, (4) Samaila Daeng Ma’ Bate.

Samaila Daeng Ma’bate memperistrikan  seorang anak Gallarang Balang yang bernama Saleha Daeng Nurung, memiliki anak 6 (enam) orang yakni : (1) I Minalalang Daeng Kenna, (2) I Nali Daeng Tonji, (3) I Yoho Daeng Siang, (4) Sitti Daeng Puji, (5) Yumma Daeng Sanga, dan (6) Abubakar Daeng Lau.

Abubakar Daeng Lau mempersistrikan Mu’minah Daeng Mami, memiliki anak yakni (1) Kadirong Laeng Massa, (2) Minolla Daeng Nirrang, (3) Timang Daeng Puji, dan (4) Manggaukang Daeng Bombong. Manggaukang Daeng Bombong memperistrikan Jawa Daeng Te’ne, melahirkan anak yakni (1) Rahmatiah Daeng Rampu, (2) Muhana Daeng Senga, (3) Abdullah Daeng Suro, (4) Paimatolla Daeng Kenna, dan (5) Syamsu Daeng Lau, (6) Sohoroh Daeng Bau, (7) Kio Daeng Naja, (8) Yoho Daeng Siang, dan (9) Kulujung Daeng Rani.

Keturunan Pagaruyung di Sulawesi, tidak terlepas dari penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Agama Islam masuk ke Makassar, sejak raja Gowa ke 10 Tunipalangga (1546-1565 ) yaitu ketika dia memberikan izin kepada pedagang-pedagang Melayu untuk menempati daerah tersebut.

Setelah kerajaan Gowa Tallo menjadikan Islam sebagai bagian agama resmi kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri, kerajaan-kerajaan tetangga dan raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka Makassar mendapat kehormatan menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke XVII.

Disigi dari perspektif geneologis, Minangkabau dan Sulawesi telah terjalin sangat kuat. Jalinan tersebut telah termaktub dalam perisai masa lalu terutama dalam perihal penyebaran agama Islam dari ranah Minangkabau ke daerah Sulawesi. Selain memunculkan tokoh seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangka dalam berbagai literatur sejarah Minangkabau belum “muncul”. Pada hal beliau sangat berjasa terutama dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.

Melakukan penelitian lebih lanjut tentang Datuk Mahkota Sultan Pagaruyung merupakan sebuah keharusan untuk meretas eksistensinya dalam khazanah historiografi Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya. Sehingga, hal ikhwal tentang sejarah tokoh ini diketahui oleh masyarakat luas khususnya dalam penyebaran agama Islam di nusantara, dan ini merupakan sebuah keharusan yang amat penting. Wasalam.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang, Rubrik Khasanah pada Minggu, 3 September 2017

BPNB Sumatera Barat Berkurban

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat ikut merayakan hari raya Idul Adha tahun ini dengan berkurban. Para pegawai menyumbangkan dua ekor sapi dan satu ekor kambing. Acara pemotongan hewan kurban diadakan pada Senin, 4 September 2017 di Kantor BPNB Sumatera Barat di Jl.Raya Belimbing, Kuranji Padang. Kegiatan kurban dihadiri oleh Kepala Balai Bapak Suarman dan seluruh pegawai.

Kegiatan berkurban di BPNB Sumatera Barat pada hari raya Idul Adha bukan kali pertama dilaksanakan. Kegiatan yang sama sudah digelar bertahun-tahun, bahkan sudah menjadi tradisi. Hal ini sebagai bentuk pengamalan agama serta rasa ingin berbagi dengan masyarakat sekitar.

Proses pemotongan hewan kurban yang dipimpin langsung ketua panitia Hariadi berjalan lancar. Daging kurban akan dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar kantor. Semoga memberi kemanfaatan bagi dan meningkatkan amalan agama.

Selamat Idul Adha!

Merawat Deposit Budaya

0

Penulis: Undri (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Apa yang kita bangakan sebagai anak bangsa dewasa ini. Kekayaan alam sudah mulai terkuras habis begitu juga dengan sumberdaya manusia jauh tertinggal dari negara lain. Disigi dari sumberdaya alam, keanekaragaman jenis tambang yang ada di perut bumi seperti gas alam, minyak bumi, batubara, bauksit, timah, emas, tembaga dan banyak lagi, cepat atau lambat kekayaan itu akan habis jua. Namun kita boleh berbanga, kita punya budaya yang amat luhur dan dikagumi oleh negara lain-sebuah deposit yang takkan pernah habis-habisnya bila dirawat dengan baik.

Sebagai sebuah deposit yang penting kita rawat, maka perlu kiranya merubah paradigma yang selama ini kita pakai. Sampai hari ini kita banyak yang salah memahami tentang kebudayaan itu sendiri. Masalah budaya itu amatlah sangat luas, bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu, mulai dari lahir sampai meninggal dunia-budaya akan selalu menghiasinya. Bahkan konsep budaya itu luas dan dinamis-berubah. Irama hidup kita yang makin cepat tentu saja mempengaruhi perubahan tersebut. Tetapi ada faktor-faktor lain lagi yang turut menghasilkan perubahan ini. Dulu budaya dipandang sesuatu yang bersangkutan dengan sekelompok kecil ahli-ahli saja, sedangkan oleh rakyat banyak budaya itu dialami sebagai semacam takdir yang tak terelakkan ; sama seperti hujan atau cuaca terang. Tetapi kini setiap orang ingin mencampuri atau menangani kekuatan-kekuatan yang turut membentuk kebudayaan secara umum dan budaya khususnya. Bahkan C.A van Peursen (1998) mengungkapkan bahwa budaya itu sendiri merupakan endapan-endapan dari kegiatan dan karya manusia.

Disinilah pentingnya roh strategi merawat deposit budaya itu sendiri- tidak sekadar pengelolaan cara berpikir suatu bangsa, namun sekaligus cara bereaksi dan bertindak yang menjadikannya mampu menjadi daya produktivitas sebuah bangsa. Di sinilai diperlukan strategi budaya. Strategi budaya adalah pola reaksi dan tindakan agar kerja pemerintah tersosialisasi menjadi pelayanan dan pengawasan publik, sekaligus menumbuhkan proses emansi­patoris. Pada gilirannya, mewujudkan proses pembentukan kehendak bersama antara pemerintah dengan komunitas dan individu kreatif lewat perbincangan yang mewujudkan tindakan (Garin Nugroho, Kompas, Rabu 10 Januari 2007).

Persoalan kecil saja, yang sering kita jumpai bagaimana kita lemah dalam merawat deposit budaya kita sendiri. Kita jumpai begitu banyaknya  budaya tradisional yang ada tidak diketahui dengan baik dan dilestarikan oleh pendukung kebudayaan itu sendiri. Kadang kala sudah terkikis bahkan punah. Pada hal itu merupakan budaya khas yang ada pada daerah tersebut. Berbagai alasan muncul penyebab terkikis dan kepunahannya. Mulai dari persoalan arus global yang tak terbendung yang menelan budaya tradisional itu sendiri sampai kepada perihal dukungan pendanaan yang minim bahkan tidak ada sama sekali dari pemerintah. Walaupun itu perihal klasik namun itulah faktanya dilapangan.

Sebagai konsekuensi logis dari semua itu adalah budaya yang ada akhirnya menjadi “patung” yang tak punya makna apa-apa bagi masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Namun ironinya, budaya tradisional yang seharusnya berkembang di daerah kita malahan berkembang di negara tetangga, di Malaysia misalnya. Beberapa budaya kita malahan hidup dan lestari di negara jiran tersebut. Sesuatu yang kontradiktif, kalau kita berbicara masalah pelestarian budaya tradisional daerah. Serta sebuah keironian ketika kita ingin melestarikan budaya daerah kita sendiri.

Inilah pentingnya kedepan database secara tertulis mengenai budaya tradisional yang ada pada setiap nagari mestinya dipunyai dan diwujudkan. Bagi orang tua-tua tidaklah merasa enggan untuk mewariskan dan mengajarinya perihal budaya tradisional yang ia ketahui kepada generasi muda. Begitu pula dengan generasi muda, janganlah merasa rendah diri dan enggan bila mempelajari budaya kita sendiri. Bukan orang lain yang akan mempelajari dan melestarikan budaya kita namun kita sendirilah yang sebetulnya punya andil untuk mempelajari dan melestarikannya.

Menurut penulis ada beberapa langkah untuk merawat deposit budaya. Pertama, melakukan pencatatan dan inventarisasi. Usaha ini dapat dilakukan sebagai bagian upaya perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya takbenda dapat memantapkan jatidiri bangsa, dan juga dapat memperjelas asal-usul  karya budaya ada.

Kedua, perlunya pembangunan dalam bidang kebudayaan. Pembangunan dalam bidang kebudayaan umumnya sampai saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat.

Ketiga, dalam ruang lingkup inilah maka perlu dilakukan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelktual) terhadap semua produk budaya yang ada dalam masyarakat yang bersifat unik dan mencerminkan ciri identitas bangsa Indonesia. Tujuannya untuk  menggali, memahami, melindungi, merawat serta memeilihara asset budaya agar tidak punah dan rusak. Hasil yang diharapkan dari  kegiatan adalah  dapat melestarikan budaya bangsa agar tetap eksis dan diakui oleh negara lain.

Seiring dengan itu, kita menyadari keragaman budaya rupanya belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan khasanah nasional yang dapat memberi nilai tambah, melainkan lebih sering dianggap sebagai rongrongan yang mengancam otoritas atau keutuhan negara atau hegemoni tertentu. Seharusnya manusia Indonesia tidak gentar dengan keanekaragaman, karena jati diri Indonesia adalah kebinekaan yang meliputi bahasa, sastra, adat-istiadat, dan segala sesuatu yang hidup di dalam alam Indonesia.

Perihal merawat deposit budaya maka penting media sebagai wadahnya penyampaian informasi, yakni pertama pendidikan formal. Dimana hakekat dari pendidikan itu adalah pewarisan nilai-nilai, baik nilai budaya, sejarah dan sebagainya. Didalamnya berfungsilah sekolah, dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitter dari culture hiratage sebagai instrument for transforming culture. Pengalaman menunjukkan bahwa penanaman nilai termasuk pelestarian nilai, apa yang berharga dan bernilai yang diinginkan oleh generasi muda khususnya dapat dilakukan secara formal melalui berbagai media. Dalam domain ini, adapaun langkah yang diambil dalam pelestarian dan pengelolaan kekayaan budaya dapat dilakukan terutama dalam materi bahan ajar (kurikulum) disekolah-sekolah, terutama kurikulum muatan lokal. Kedua, pendidikan informal. Adapun lewat jalur ini bisa dilakukan sosialisasi langsung kelapangan, kegiatan yang menyentuh langsung kemasyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelamatan kekayaan budaya yang bersifat mandiri. Hal ini tidak terlepas dari apa yang menjadi landasan semangat yang terkandung pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Masyarakat secara sadar membangun dirinya menjadi manusia yang amanah dan mampu memanfaatkan sumberdaya, baik manusia dan alam untuk kemaslahatan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan budaya tersebut.

Jadi, merawat deposit budaya sebetunya merupakan cara kita bagaimana budaya itu bisa kita pahami, kita lindungi dan lestarikan. Hal ini terkait dengan citra, harkat, dan martabat bangsa. Ketika kita dapat merawat deposit budaya ini,  maka akan muncul suatu keterjaminan dan kelestarian akan budaya kita sendiri. Dan inilah yang kita harapkan kedepannya. Wassalam.

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 22 Agustus 2017

Prospek Mata Ajar dan Strategi Saintifik

0

Penulis: Ferawati (Staf BPNB Sumatera Barat)

Sejarah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ibarat Ibu Pertiwi yang mesti dicintai dan idolakan. Menelantarkan sejarah dan pelajarannya sama saja tidak mempedulikan dan tidak cinta Tanah Air. Pandangan ini terkait dengan penekanan pada sejarah lokal untuk siswa/i, seperti ditegaskan dalam workshop sejarah lokal untuk guru-guru se-Sumatera Barat pada pertengahan Juli 2017, yang sempat terancam dibatalkan. Seberapa pentingkah workshop kesejarahan seperti itu bagi guru-guru dan anak didiknya?

Prospek Mata Ajar Sejarah

Ancaman penghapusan program pembekalan seperti workshop dari Kemdikbud untuk bidang sejarah sangat bertolak belakang dengan keinginan kuat dari guru-guru peserta dan pengurus MGMP sejarah Sumatera Barat. Workshop semacam itu masih dibutuhkan oleh para guru untuk diteruskan kepada anak didik mereka. Mereka merasa sejarah dan pendidikan sejarah di sekolah-sekolah selama ini masih terpinggirkan. Jam pelajaran sejarah sempat beberapa kali dikurangi seiring dengan perubahan kurikulum. Pihak sekolah juga tidak jarang mengalokasikan jam pelajaran sejarah pada jam-jam terakhir, dan pelajaran ini juga tidak dimasukkan ke dalam mata ujian nasional siswa. Para guru memang tidak harus ketergantungan pada pemerintah untuk menyikapi masalah ini. Namum jika tidak diprogramkan, dalam artian tidak ada komitmen dan konsistensi bersama, rasanya mustahil tujuan mempelajari sejarah untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air akan tercapai.

Sesungguhnya, bukan workshop atau even-even pertemuan antar-guru yang mereka utamakan. Bukan pula kesenangan layanan menginap dan makan gratis di hotel-hotel yang mereka pikirkan, atau bukan pula mengharapkan sertifikat semata. Buktinya, jumlah guru yang mengikuti kegiatan ini mampu mencapai target yang dianggarkan, sekalipun panitia pusat sempat mengabarkan ketidakpastian bantuan akomodasi dan transportasi dari Ditjen. Mereka hampir merata aktif dan berperan selama workshop berlangsung. Mereka mengaku, melalui kegiatan semacam ini yang sudah empat kali diselenggarakan berturut-turut ternyata cukup menginspirasi guru-guru untuk membekali dan mengubah pola pikir siswa/i di Sumatera Barat tentang sejarah. Salah satu contoh manfaatnya, yaitu ketika salah seorang guru yang telah terinspirasi menceritakan pengalamannya ketika menghadapi siswa/i yang sering menyebutnya “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Ibu Homo Sapiens”. Hasilnya sangat mengejutkan, setelah sang guru mengubah strateginya dari lelucon menjadi sebuah inspirasi pengantar materi pelajaran sejarah, yang relevan dengan sistim kurikulum. Lebih mengejutkan lagi, dengan metode belajar seperti itu, terbukti guru mata ajar sejarah itu telah berhasil mengubah pola pikir dan semangat siswa/i-nya dari cuek menjadi bersemangat mempelajari sejarah; dari bosan dengan guru-guru sejarah menjadi merindukannya; dan dari tidak respek menjadi mengidolakan. Semuanya itu kembali pada kreatifitas, kompetensi keilmuan (saintifik) sejarah, serta bekal ilmu psikologi pendidikan masing-masing guru. Sebagian kemampuan itu telah mereka peroleh semasa kuliah, sebagian dari pengalaman hidup, dan selebihnya dari pembekalan pelatihan. Namun even-even workshop dan kerja sama yang sinergis antara organisasi profesi guru seperti MGMP dengan organisasi yang memayungi sejarawan seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) maupun dengan lembaga-lembaga terkait, diharapkan semakin memberi kesempatan kepada guru-guru untuk saling berbagi pengalaman mengajar dan mengembangkan keilmuan.

Strategi Saintifik (Keilmuan Sejarah)

Cukup banyak guru-guru mata ajar sejarah yang mengeluhkan bahwa materi pelajaran sejarah dalam buku-buku materi kurikulum selama ini terasa menjenuhkan. Hampir setiap tahun para guru pengampu mata pelajaran ini mengulangi materi yang sama. Tidak satu atau dua guru yang mengaku jenuh dengan materi sejarah yang butuh hafalan, sehingga untuk menyerap pengetahuan sejarah yang baru pun mereka merasa kesulitan. Gejala ini memang tidak melanda semuga guru, namun sangat disayangkan bila terus dibiarkan dan menimpa guru-guru sejarah yang kesulitan memacu kreatifitas mengajarnya.

Menanggapi persoalan ini, selain dibutuhkan kreatifitas, guru-guru dan siswa/i ditengarai juga butuh pencerahan metode dan materi pelajaran sejarah. Salah satunya melalui pengembangan pengetahuan sejarah yang saintifik, yaitu sejarah berbasis keilmuan dengan metode dan metodologi tertentu, sebagaimana didorong dalam workshop itu. Sifatnya tidak lagi hafalan, melainkan pemahaman. “Sejarah lokal” salah satu materi saintifik sejarah yang diperkenalkan oleh Sartono Kartodirdjo melalui disertasi Pemberontakan Petani Banten, 1888 dan diajarkan di perguruan tinggi. Siswa/i di sekolah-sekolah di Sumatera Barat tidak perlu terbebani dengan karya itu. Mereka tidak akan kekurangan bahan untuk menggali sejarah lokal di daerah masing-masing, yang mudah dipahami dan dicari. Beberapa contoh yang cukup familiar dengan siswa dan guru-guru sejarah, yaitu peristiwa sejarah lokal terkait nama-nama tokoh dan pahlawan yang dijadikan nama jalan, bangunan, dan tugu di daerah masing-masing. Bukan mustahil guru-guru juga bisa mengajak siswa/i untuk belajar di luar kelas sambil melatih dan mengasah rasa keingintahuan mereka tentang objek yang dipelajari. Tidak hanya itu, hasilnya dapat ditindaklanjuti, baik di sekolah maupun di kegiatan lainnya. Contohnya, dengan mengikutsertakan siswa/i dalam sejumlah ajang kreatifitas keilmuan yang dibimbing oleh pihak sekolah atau organisasi profesi dan lembaga terkait. Beberapa kegiatan yang sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir cukup memberi pencerahan, seperti siswa/i dilibatkan dalam ajang “olimpiade sejarah”, lomba-lomba karya tulis bagi peneliti muda dan pembuatan film-film dokumenter di Kemdikbud maupun di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI). Bila mereka sudah berprestasi dalam bidang sejarah, bukan mustahil para siswa/i akan berprestasi dalam meningkatkan bidang lainnya, dengan pertimbangan bahwa melalui belajar sejarah mereka akan belajar dan membaca berbagai sumber yang lebih luas dan mendalam. Sejarah akan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan dan dirindukan.

Semua masalah maupun jalan keluar yang pernah muncul terkait upaya mempelajari, memahami, dan menggandrungi sejarah tergantung pada upaya berbagai pihak untuk mendorong masyarakat terutama anak didik di sekolah-sekolah. Upaya membangkitkan kembali rasa cinta dan semangat pada sejarah demi memupuk rasa cinta pada negeri ini memang butuh kesinambungan dan konsistensi. Mata rantai generasi melek sejarah dan “industri otak” diharapkan terus pula berkelanjutan. Semoga tidak ada lagi siswa/i yang tega memanggil gurunya “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Homo Sapiens”, sekalipun dengan menambah kata “cantik” atau “ganteng”. Guru sejarah juga pahlawan tanpa tanda jasa

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 27 Agustus 2017

Sejarah Lokal dan Masalah Mencintai Ilmu Sejarah

0

Penulis: Ferawati (Staf BPNB Sumatera Barat)

Sejarah bukan sekedar menghafal atau menuliskan angka tahun, nama tempat, dan nama orang. Ia mengandung makna yang melampaui batas-batas semua itu. Sejarah, karenanya, bukan hanya melihat, mendengar, dan merasakan peristiwa sejarah, melainkan juga kisah dan filsafatnya. Sejarah itu bak Ibu Pertiwi. Ia terus mengandung anak-anak bangsa, melahirkan dan membiarkannya tumbuh-kembang hingga terbentuk jiwa-jiwa pendukung yang membelanya kelak. Ia juga menyediakan semua kebutuhan mereka dan mengetahui segala bidang. Ia ibarat ibu yang serakah demi kebaikan anak-anaknya. Ilmu sejarah membahas segala bidang sepanjang terkait dengan manusianya. Bagaimana mungkin anak bangsa mengabaikan apalagi mengingkari sejarah dan membenci ilmu sejarah yang telah melahirkan jati dirinya?

Dosa Bersama

Jawaban atas semua keraguan itu, sangat mungkin. Sekelumit pengalaman miris yang mencerminkan anak-anak bangsa mengabaikan dan tidak menyukai sejarah terlihat dari sikap siswa/i dan mahasiswa/i dalam proses belajar-mengajar di sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini. Kejadiannya sudah berlangsung selama berpuluh tahun, justru setelah negeri ini bebas dari penjajah. Sebagian besar murid sekolah tidak menghormati sejarah dan terjadi hampir di seluruh jenjang pendidikan. Mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SLTP), dan sekolah menengah atas (SLTA) yang sederajat hingga jenjang perguruan tinggi. Mereka sebagian besar hampir meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan selama belajar sejarah. Sikap itu juga dapat dilihat dan rasakan dari pengalaman kita masing-masing selama menempuh pendidikan atau merayakan hari-hari bersejarah, seperti ketika menyambut Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus. Mengabaikan dan meminggirkan sejarah sudah menjadi dosa bersama. Merayakan Hari Kemerdekaan terasa masih sebatas kewajiban ketimbang rasa cinta Tanah Air.

Banyak gejala yang ditunjukkan oleh siswa/i dan mahasiswa/i yang tidak respek pada sejarah dan pelajaran sejarah. Beberapa contoh konkrit yaitu terlihat dari caranya memperlakukan buku-buku dan sumber-sumber sejarah, tingkah-lakunya selama memperingati hari besar bersejarah, dan minat mengikuti jam pelajaran sejarah. Tidak hanya itu, yang lebih memilukan lagi yaitu cara siswa/i bersikap kepada guru-guru pendidik mata ajar sejarah yang cenderung tidak respek. Gejalanya terjadi hampir merata di seluruh sekolah, seperti cara ‘aneh’ mereka menyebut dan memanggil nama-nama guru sejarah. Mereka tidak segan-segan melabeli guru sejarah sebagai “Homo Pithecanthropus Erectus” atau “Homo Sapiens”, dan sebutan lainnya yang bukan nama diri. Sebutan ini padahal hanya dipakai untuk mengidentifikasi jenis-jenis dan periodefikasi manusia purba, yang diyakini ilmuan Darwin berasal dari kera. Sikap dan perilaku mereka sebagai sasaran pendidik dan pelajaran sejarah berbanding lurus dengan kualitas pengetahuan mereka yang relatif rendah terkait bidang ini. Semakin mereka tidak menghargai guru sejarah semakin sulit mereka memahami, menyukai apalagi mencintai sejarah. Setidaknya gambaran ini pernah disampaikan bukan hanya oleh satu atau dua orang guru saja, melainkan hampir dirasakan oleh seluruh guru mata ajar sejarah, sebagaimana di Sumatera Barat. Sungguh miris kedengarannya, namun itulah fakta dewasa ini. Masih adakah rasa mencintai sejarah yang tersisa di sanubari generasi muda bangsa ini?

Suatu Perbandingan                            

Bandingkan dengan disiplin ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi yang hampir selalu dinomorsatukan dan dianggap sebagai kunci keberhasilan peradaban unggul. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu, yang perlu diubah adalah pola pikir masyarakat kita. Bandingkan juga dengan generasi pendahulu yang ikut membangun jati diri bangsa Indonesia di pentas lokal, nasional, bahkan internasional. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, tokoh-tokoh nasional yang mendalami ilmu eksakta dipastikan menguasai pengetahuan sejarah dari buku-buku sejarah lokal, nasional dan sejarah dunia yang mereka baca, seperti yang ditunjukkan oleh Ir. Soekarno. Tidak terkecuali tokoh-tokoh asal Minangkabau-Sumatera Barat, seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, M. Yamin, dan H. Agus Salim, juga mampu menguasai secara luas dan mendalam pengetahuan, pelajaran, dan filsafat sejarah dari segala sumber. Mereka, padahal, ada yang tidak mengecap pendidikan formal di sekolah-sekolah melainkan secara otodidak melalui buku-buku bacaan yang berbobot. Tidak peduli dengan karya sosialis-komunis atau materialis-kapitalis, religius atau atheis, pengarang muslim atau non-muslim, dan filsafat Barat atau Timur, buku karangan lokal dengan sejarah lokal, atau buku-buku nasional maupun internasional. Semuanya mereka lahap dan serius  menjiwainya.

Mereka sangat menghargai dan mencintai sejarah sebagaimana mereka mencintai bangsa dan negara yang mereka perjuangkan, sembari menciptakan sejarah zamannya sendiri untuk generasi seterusnya. Berkat kecintaan mereka pada perwujudan kemerdekaan bangsa sebanding dengan kecintaannya pada sejarah, maka tidak heran mereka unggul sebagai tokoh di tingkat nasional dan global. Tersebab itu pulalah daerah asal tokoh-tokoh Minang-Sumatera Barat itu dikenal dan dikenang sebagai “industri otak”. Kiprah mereka yang menonjol, tidak ternafikan, berawal dari penguasaan mereka atas pengetahuan dan pelajaran sejarah. Kondisi seperti ini pula yang relatif sama dengan perkembangan minat masyarakat di negara-negara maju seperti di Eropa Barat yang semakin menggandrungi sejarah. Kendala apakah yang membuat generasi muda bangsa dewasa ini sulit keluar dari masalah serius ini, yang sedemikian berbeda dengan generasi pergerakan kemerdekaan maupun dengan bangsa di negara-negara maju?

Kumpulan Pengalaman

Kendalanya hampir selalu menyangkut kebutuhan sezaman dan perhatian dari berbagai pihak terkait. Adapun pengalaman miris yang dirasakan oleh guru-guru sejarah, di antaranya, mengemuka dalam “Workshop Guru Sejarah Tingkat SMA/MK Sederajat” dengan tema “Sejarah Lokal” di aula SMKN 2 Padang, Sumatera Barat pada 11 s/d 17 Juli 2017. Mereka yang hadir merupakan undangan dan perwakilan seluruh kabupaten/kota di propinsi ini, tidak terkecuali sekolah-sekolah terjauh dari kota Padang, seperti Mentawai dan Pasaman. Kegiatan workshop di propinsi ini salah satu dari beberapa saja kegiatan serupa yang terealisasi di seluruh Indonesia pada tahun 2017 oleh Ditjen Kebudayaan. Kegiatan itu berlangsung berkat kerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah, Dinas Pendidikan, dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat (BPNB Sumbar). Kegiatan itu sebelumnya terancam batal setelah terjadi pemotongan anggaran besar-besaran dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Kegiatan itu kemungkinan juga terancam akan dihapus dari mata anggaran Ditjen di masa-masa mendatang, hanya oleh karena kesulitan anggaran. Wacana ini sempat disampaikan oleh ketua panitia pusat (Direktorat Sejarah Kemdikbud). Jikapun ada pemikiran ulang untuk menyelenggarakan kegiatan serupa, kemungkinan dialihkan kepada instansi lain yang mampu mengalokasikan dan mencukupi anggarannya. Namun adakah jaminannya?

Persoalan ini masih seputar pola pikir terhadap sejarah. Sekalipun demikian, gejala peminggiran terhadap sejarah dan pegiatnya (pengajar dan pendidik) terus bermunculan, dan sangat disayangkan justru datang dari pemerintah sendiri. Sejarawan, apapun almamaternya, sangat disayangkan jika sampai kecolongan apalagi jika bersikap nafsi-nafsi.

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 20 Agustus 2017

Memberdayakan Masyarakat dalam Event Tradisi

0

Penulis: Rismadona (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Masyarakat Sumatera Barat kaya dalam kegiatan-kegiatan tradisi yang dilakukan pada masa perhelatan. Macam perhelatan tersebut perhelatan pernikahan, perhelatan bako anak pisang menjelang perhelatan pernikahan, perhelatan caliak anak, perhelatan turun mandi anak. Dalam perhelatan penuh dengan keramaian, sorak sorai, canda ria sebagai lambang kebahagian yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat Kota Padang khususnya memiliki karya budaya yang tak ternilai harganya, namun selama ini hilang dari peredaran mata akibat perubahan dan perkembangan zaman. Perubahan tersebut masyarakat lebih cenderung sebagai konsumsi praktis, cepat dan tidak ribet. Perhelatan yang dilakukan itu, pada umumnya nilai kebersamaan yang sangat tinggi sehingga untuk melakukan sebuah kegiatan tradisi tersebut tidak bisa dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang saja, karena menyangkut hubungan dengan orang lain. Seperti acara perhelatan ma arak anak daro yang terjadi antara dua pihak antara kerabat orang tua laki-laki dengan kerabat orang tua perempuan. Hal demikian mengundang puncak kebersamaan dalam mengangkat satu acara kegiatan tradisi budaya dalam kehidupan masyarakat.

Kegiatan dalam acara perhelatan  biasanya melakukan arakan-arakan masyarakat. Dulunya masyarakat berarak dengan berjalan kaki, baik itu arakan anak daro jo anak pulai, turun mandi, babako anak pisang sekalian membawa jamba atau bawaan yang dibawakan oleh keluarga bako kepada anak pisangnya, berupa silamak kuning, kue backing, simpadeh ikan besar dan selain sebagainya tergantung tradisi budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Sesuai dengan perkembangan arakan berjalan kaki, sekarang telah menggunakan transportasi berupa bendi, odong-odong. Jika arakan tersebut dekat jaraknya maka arakan dilakukan dengan berjalan kaki sepanjang jalan. pada saat ini mulai kembali mencuat tradisi berbendi-bendi, odong-odong, yang sifatnya kompoi yang dilakukan sepanjang jalan, bahkan di Jalan Bypass Kota padang, kita bisa menyaksikan pada hari sabtunya iringan  anak daro jo anak marapulai berbendi-bendi-bendi dan dibelakangnya mobil odong-odong serta kompoian dengan mobil lain dan terbuka yang diiringi dengan musik daerah, berupa talempong, rabbana, saluang dan rabab.

Perilaku berkompoi-kompoi dalam acara perhelatan membawa berkah bagi masyarakat pelaku ekonomi, seperti penyewa bendi, odong-odong, dan pelaku seni sebagai pemain musik pengiring anak daro jo anak pulai tersebut dalam acara arak-arakan. Sewa bendi besar, misalnya mencapai lebih kurang Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) dan bendi kecil ada Rp 200.000- 600.000,- ( dua ratus ribu rupiah – enam ratus ribu rupiah) tergantung jauh dekatnya rute arak-arakan yang ditempuh. Begitu juga mobil odong-odong dengan biaya sewa minimal Rp 200.000, tergantung  jarak  rute yang  dilaluinya. Kemudian sewa pelaku seni berupa pemain randai, saluang, rabbana berkisaran sampai Rp 600.000 ( enam ratus ribu rupiah ) tergantung lamanya bermain dan kedekatan dengan pemilik perhelatan dengan pelaku seni tradisi. Hal ini memberikah berkah setiap sepekan bagi masyarakat pelaku ekonomi walau bersifat kecil-kecilan upah yang diterimanya.

Bendi dan odong-odong menjadi konsumsi mata pencaharian tetap bagi masyarakat. Seandainya pemerintahan arif dan bijaksana mengambil sikap potensi ekonomi tersebut membawa berkah bagi masyarakat kota Padang itu sendiri. Usaha tersebut dapat mengembangkan peningkatan moda transportasi tradisional sehingga generasi muda tidak melupakan cikal bakal transportasi tempo dulu. Dengan pelaku arak-arakan berkompoi perhelatan ini memberikan daya tarik wisata bagi penikmat wisata itu sendiri, selain itu juga memperkenalkan dan melestarikan tradisi yang lama dan hampir tidak lagi dikenal generasi. Dengan arak-arakan perhelatan tersebut mengundang perhatian masyarakat umum untuk bersorak-sorak sepanjang jalan. Apalagi arak-arakan perhelatan tersebut dilakukan di sepanjang jalan by pass selain mengundang perhatian masyarakat juga mengundang carut marut pemakai jalan raya akibatnya macet. Sekali menikmati macet bagi masyarakat  itu biasa, terlalu sering kali sungguh luar biasa, karena kita kadang kalanya memiliki kepentingan waktu yang berbeda yang harus diburu. Dan pemerintah dapat memberikan jalan alternatif untuk tidak merusak kepentingan masyarakat dari berbagai pihak, baik kepentingan kompoi arak-arakan dengan kepentingan masyarakat pengguna jalan raya di sepanjang jalan ByPass sehingga kedua pengguna jalan raya dapat menikmati perjalanannya senikmat mungkin.

Dengan demikian seharusnya pemerintah berinisiatif  dalam  mengambil kebijakan untuk pelestarian budaya tradisi yang kita miliki selama ini. Dengan fenomena arak-arakan anak daro marapulai yang melintas sepanjang jalan By Pass dapat diambil sebagai berkah dalam pengembangan pariwisata. Pemerintah tidak perlu membebani  negara maupun daerah dalam mendesaian anggaran untuk event pertunjukan tradisi. Pemerintah dapat memikirkan untuk mengolah tradisi masyarakat dengan dana swadaya masyarakat itu sendiri untuk diberdayakan sebagai seni pertunjukan tradisi pawai masyarakat setiap minggunya tanpa mengganggu kenyamanan pemakaian jalan raya oleh masyarakat lainnya. Untuk itu,  memanfaatkan masyarakat tersebut dengan memberikan akses untuk melakukan arak-arakan yang bernilai wisata, berupa pemerintah yang dilakoni oleh dinas pariwisata sebagai penjual  karya seni tradisi dan pihak keamanan berupa polisi atau satpol PP sebagai pengaman rute jalannya arakan tersebut. Arakan-arakan tersebut di salurkan melalui sepanjang jalan pantai kota padang sehingga menjadi event atau pawai tradisi yang dilakukan oleh masyarakat setiap pekannya. Arak-arakan tersebut mengundang perhatian pelancong atau turis untuk mengenal seni tradisi yang ada di daerah kita, khususnya kota padang. Untuk lancarnya rute perjalanan yang dilalui tanpa ada carut marut macet oleh pengguna jalan raya tentunya ada kerjasama dinas pariwisata dengan pihak keamanan.  Dengan dilakoni dinas Pariwisata tersebut, tentunya akan bertanya apa yang mereka dapatkan, yang jelas mendapat pekerjaan perekaman tradisi setiap minggunya karena atraksi yang dilakukan itu berbeda-beda sesuai dengan budaya yang berlaku di masing-masing daerah yang ada di kota Padang. Selain itu pemerintahan bisa meminta fee masuk rute pada pemilik bendi-bendi,  mobil odong-odong, pelaku seni minimal Rp 10.000 rupiah sebagai pemasukan khas daerah itu sendiri.

Arak-arakan anak daro marapulai setiap minggunya selain untuk income daerah juga menggalakan masyarakat untuk membangkitkan gairah transportasi  bendi dan odong-odong. Bendi sebagai moda transportasi ini sudah dikenal semenjak zaman penjajahan. Bendi semasa itu dimiliki oleh masyarakat berkelas dizamannya, namun bendi saat sekarang ini selain transportasi masyarakat tapi lebih cenderung dimanfaatkan sebagai  transportasi  arakan anak daro marapulai. Dengan demikian  imbas dari arakan atau kompoian arakan-arakan tersebut bukan saja sebagai pemilik transportasi moda tradisional tapi juga menumbuhkembangkan perekomnomian masyarakat kecil berupa pedagang penjualan kue anak-anak, mainan anak-anak sepanjang jalan. Namun kebersihan kota Padang harus dipelihara, maka di sini juga pemerintah perlu mensiasati dalam menjaga kebersihan kota. Pemilik Bendi harus menyediakan tampat pembuangan kotoran Kuda agar tidak berserakan di jalan Raya, Pemilik Odong-odong harus menyediakan tempat sampah di odong-odongnya, termasuk mobil arakan yang mengiringinya, begitu juga pedagang harus menyediakan tempat sampah disekitar tempat ia berdagang, jika perlu pemerintah juga menurunkan orang-orang kebersihan, begitu tampak sampah bertebaran langsung dipungut sehingga tempat wisata aman, nyaman, tertib dan menyenangkan bagi masyarakat penikmat wisata dan seni tradisi yang mereka lakukan.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 13 Agustus 2017

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang

0

Penulis: Hariadi (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Sejarah telah mencatat bahwa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) telah berkntribusi terhadap dunia pendidikan di Sumatera Barat bahkan di Indonesia. Satu diantara MTI generasi awal adalah MTI Tobek Godang Padang Japang kabupaten lima puluh kota. Penamaannya  dikaitkan dengan lokasi tempat berdirinya MTI ini, karena terdapat sebuah kolam besar yang dalam bahasa minang dialek Lima Puluh Kota disebut Tobek Godang.

Cikal bakal MTI Tobek Godang adalah sebuah lembaga pendidikan surau  yang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid Assolihiy sekembali menuntut ilmu kepada para ulama di Lima Puluh Kota dan sekitarnya. Surau Tobek Godang berubah nama menjadi MTI Tabek Godang setelah  terbentuknya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang dimotori oleh ulama tradisional Minangkabau di Canduang Agam. Salah satu keputusan dalam pertemuan para ulama tersebut menyepakati perubahan sistim pendidikan surau berobah menjadi sistim klasikal.

Perobahan sistem ini membawa Surau Tobek Godang ke era baru.  perubahan dari sistim surau ke sistim klasikal membutuhkan biaya terutama untuk membangun ruang belajar. Untuk mewujudkan rencana pembangunan madrasah tersebut, Syekh Abudul Wahid, para guru, santri beserta jamaah wirid yang beliau bina bahu membahu mengusahakan pendanaan untuk pembangunan tersebut.

Semangat yang dilandasi niat dan kebulatan tekat serta kegigihannya mengumpulkan sumbangan dalam bentuk infak, sedekah dan waqof. Bentuk sumbangan yang diterima dari masyarakat dalam berbagai bentuk seperti, papan, seng/atap, tonggak dan bentuk lainnya. Pada Setiap pengajian yang dilaksanakan di pelbagai daerah rencana pembangunan MTI Tobek Godang senantiasa di sampaikan. Puncak dari usaha tersebut terbangunya sebuah sekolah bertingkat dua dan sebuah asrama puteri yang juga bertingkat  dua. Semenjak itu pembelajaran klasikal dilaksanakan.

Lama pendidikan klasikal di MTI adalah selama tujuh tahun. Ijazah atau syahadah baru bisa didapatkan seorang santri bila sudah menyelesaikan semua tingkat. Pada periode awal pemberlakukan sistem klasikal semua mata pelajaran adalah pelajaran yang bersifat keagamaan  belum dipelajari mata pelajaran umum. Guru yang mengajar dengan system guru kelas, dengan demikaian satu orang guru bertaggung jawab untuk satu tingkatan. Santri kelas tujuh dibimbing langsung oleh Syekh Abdul Wahid Assolihiy.

Semasa kepemimpinan syekh Abdul Wahid, setiap santri yang akan menamatkan pendidikannya diwajibkan untuk mengikuti bimbingan rohani dalam bentuk suluk/ khalwat  berdasarkan ajaran tarekat Naqsabandiyah. Syekh Abdul Wahid langsung turun tangan membimbing kegiatan ini. Kegiatan suluk/ khalwat dilaksanaan di surau biru yang terdapat di komplek MTI Tobek Godang. Kegiatan tersebut terhenti dengan wafatnya Syekh Abdul Wahid Assalihiy pada tahun 1950.

Dalam perjalanannya proses pembelajaran di MTI Tobek Godang pernah terhenti beberapa kali, yaitu saat terjadinya agresi belanda yang kedua tahun 1948, saat peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Idonesia.(PRRI) tahun 1958, dan  Pada era tahun delapan puluhan juga terhenti beberapa tahun karena kendala jumlah murid dan tenaga pengajar. Saat ini MTI Tobek Godang telah berusia lebih satu abad dan terus berkontribusi untuk mencerdaskan anak bangsa.

Pendiri MTI Tobek Godang

MTI Tobek Godang didirikan oleh Syekh Abdul Wahid. Beliau lahir di Padang Japang, pada bulan Muharam tahun 1295 H, bertepatan dengan tahun 1878 M.  bearasal dari suku Sikumbang Padang Japang Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota. Ayah beliau bernama Syekh Muhammad Shaleh seorang ulama dari Padang Kandis,Tujuh Koto Talago, dan kakeknya adalah Buya Munggu juga berasal dari Padang Kandis.

Pendidikan agama beliau dimulai dengan belajar kepada orang tua beliau sendiri. Petualangan menuntut ilmu beliau lanjutkan kepada Syekh Engku Mudo Amran dan Engku Meran di Limbukan Payakumbuh. Beberapa tahun belajar di Limbukan beliau lanjutkan belajar  kepada Syekh Thaib Umar di Sungayang Tanah Datar. Guru beliau yang lainnya adalah syekh Abdul Hamid di Tanjung Ipuh, Tujuh Koto Talago. Mengenai ilmu tasawuf beliau belajar kepada Syekh Muhammad Sa’ad di Mungka, yang juga dikenal dengan sebutan Beliau Surau Baru.

Pada rentang waktu tahun 1919 sampai 1922 Syekh Abdul Wahid menuntut ilmu di  tanah suci, Makkah.  Guru-guru tempat beliau tempat memperdalam pengetahuan agamanya antara lain adalah Syekh Hasan Yamani, Syekh Sayyid ‘Ali al-maliki. Disamping ilmu syariat, ilmu tasawuf juga beliau perdalam selama berada di Makkah.

Syekh Abdul Wahid Asshalihy telah banyak berkiprah dalam rangka mengembangkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, serta berbagai upaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan agama. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahid untuk mewujudkan kemajuan dalam kehidupan beragama sebagai berikut:(1).Mendirikan surau dan madrasah untuk Mencetak kader kader ulama dan pemimpin umat.(2). Mengadakan wirid pengajian ke pelbagai pelosok negeri.(3). Mengadakan Suluk/khalwat di bulan ramadhan.

Beberapa keteladanan dari pribadi Syekh Abdul Wahid Assolihiy antara lain: (1). Beliau sangat mendorong para santrinya yang telah menyelesaikan pendidikan untuk mendirikan sekolah setelah kembali ke kampung halaman masing-masing. Bahkan ada yang menceritakan, keseriusan Syekh Abdul Wahid mendorong para murid beliu mendirikan sekolah dengan bentuk membekali dengan santri agar sesampai di kampung halaman ada santri yang langsung bisa di ajar. Beberapa MTI yang didirikan oleh murid beliau diantaranya MTI Koto Panjang Lampasi dan MTI di Sungai Rimbang Suliki. Beberapa MTI yang didirikan murid beliau ada yang hanya sampai kelas tiga, untuk kelas empat dan selanjutnya para santri melanjutkan di MTI Tobek Godang. (2). Saat berdakwah ke pelbagai pelosok negeri Syekh Abdul Wahid biasanya menghadiahi bibit tumbuhan untuk di tanam sebagai kenang kenangan bagi jamaah. (3). Syekh Abdul Wahid juga sangat serius mendorong agar para santri serius dalam belajar, termasuk belajar malam di surau tempat tinggal masing masing. Bagi yang kedapatan tidak ikut belajar maka diberi hukuman  membersihkan sekolah dan mencari daun talas untuk makan ikan [Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada 6 Agustus 2017

Belajar Bersama Maestro di Kota Padang Dibuka

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat melaksanakan kegiatan Belajar Bersama Maestro. Kegiatan ini dibuka oleh Dinas Pendidikan Kebudayaan. Acara pembukaan dilaksanakan di Aula BPNB Sumatera Barat pada Senin, 28 Agustus 2017. Hadir dalam acara perwakilan dari Dinas Pendidikan, Guru, Maestro serta peserta Belajar Bersama Maestro yang terdiri dari dua sekolah di Kota Padang.

Acara yang dimulai pada pukul 08.00 wib tersebut diawali dengan pembacaan ayat Quran, Menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Laporan Panitia, pembukaan dan pengenaan pakaian tradisional sebagai simbol dimulainya kegiatan serta pembacaan doa.

Dalam laporan panitia yang disampaikan Kadril, kegiatan Belajar Bersama Maestro di Kota Padang akan diikuti oleh kurang lebih 90 orang peserta. Peserta tersebut terdiri dari 30 orang siswa SMA Negeri 5 Padang, 30 orang siswa SMA Negeri 16 Padang dan 30 orang peserta dari BPNB Sumatera Barat. Seluruh peserta yang terlibat dalam kegiatan Belajar Bersama Maestro akan belajar kesenian tradisional seperti Randai dan Silek.

Beberapa maestro yang terlibat untuk melatih kesenian tradisional tersebut antara lain Bapak Musra Dahrizal (Mak Katik), Hendri Yusuf dan Ghazali. Para maestro ini nantinya yang akan melatih seluruh peserta di tiga lokasi yang ditentukan yakni SMA Negeri 16, SMA Negeri 5 dan Kantor BPNB Sumatera Barat.

Panitia dalam kesempatan itu juga berharap para peserta yang akan dilatih bisa mengikuti semua proses pelatihan dengan serius. Hal ini karena kegiatan ini diharapkan mampu menjadi salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan lokal.

Mak Katik yang berkesempatan memberikan sambutan dari utusan Maestro berpesan bahwa dia siap ditanya apa saja dan kapan saja mengenai adat dan kebudayaan Minangkabau. Maestro yang kini sedang menulis hampir 13000 pantun ini juga menekankan bahwa kesenian dan kebudayaan bagi dia sama dengan beras. Artinya kebudayaan dan kesenian sudah menjadi kebutuhan pokok bagi Mak Katik dan kebudayaan juga tidak hanya sekedar dikatakan tapi dilakukan

Sementara itu Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat Drs. Suarman menyampaikan bahwa salah satu kekayaan bangsa Indonesia adalah Kebudayaan. Kebudayaan ini ketika dikelola dengan baik maka akan berdampak luar biasa pada pembangunan bangsa. Beliau juga menambahkan bahwa untuk memaksimalkan kebudayaan tersebut maka perlu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai budaya sejak dini sehingga dengan demikian akan mampu membentuk karakter masyarakat kita.

Kegiatan Belajar Bersama Maestro merupakan kegiatan yang dilaksanakan BPNB Sumatera Barat sebagai salah satu upaya melestarikan budaya melalui sharing pengetahuan dan pengalaman dari generasi tua kepada generasi muda. Harapannya dengan adanya kegiatan ini akan menambah kecintaan terhadap kebudayaan dan bersama-sama menjaga dengan baik sehingga tetap lestari.