Beranda blog Halaman 17

Sejarah Tari ‘Gending Sriwijaya’

0
Anak-anak sedang mengikuti latihan tari gending sriwijaya pada kegiatan Belajar Bersama Maestro (BBM) 2018

Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian khas sumatera selatan. Secara harafiah Gending Sriwijaya berarti “Irama Kerajaan Sriwijaya”. Tari ini melukiskan kegembiraan gadis-gadis Palembang saat menerima kunjungan tamu yang diagungkan.

Munculnya tari ini berawal dari permintaan pemerintahan Jepang yang ada di Karesidenan Palembang kepada Hodohan (Jawatan Penerangan Jepang) untuk menciptakan sebuah lagu dan tari untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Sumatera Selatan dalam acara resmi. Permintaan ini mulai digagas sejak akhir 1942 hingga tahun 1943. Sempat tertunda beberapa waktu karena berbagai persoalan politik baik di Jepang maupun di tanah air.

Setelah tertunda beberapa waktu, pada bulan Oktober 1943 gagasan mencari lagu ditindaklanjuti kembali. Letkol O.M. Shida memerintahkan Nuntjik A.R. (Wakil Kepala Hodohan pengganti M.J. Su’ud) yang pada saat itu sudah dikenal sebagai seorang sastrawan dan wartawan. Kemudian mengajak Achmad Dahlan Mahibat, seorang komponis putra Palembang asli yang pandai bermain biola dari kelompok seni (toneel) Bangsawan Bintang Berlian dibawah pimpinan pasangan suami isteri Haji Gung dan Miss Tina, untuk bersama-sama menggarap lagu tersebut.

Setelah penggarapan lagu selesai, maka dilanjutkan dengan penulisan syair lagu Gending Sriwijaya oleh A. Dahlan Mahibat yang kemudian syair tersebut disempurnakan oleh Nungtjik A.R., setelah lagu dan syair Gending Sriwijaya selesai diciptakan, maka tari penyambutan harus segera dibuat. Berbagai konsepsi telah dicari dan dikumpulkan dengan mengambil bahan-bahan dari tari-tari adat Palembang yang sudah ada.

Seorang penari profesional yang dianggap ahli dalam hal adat budaya Palembang, Miss Tina haji Gung mengurusi properti dan busana yang akan dipakai dalam pementasan Tari Gending Sriwijaya yang dibantu oleh Sukaenah A. Rozak seorang ahli tari sebagai model, dan pengarah gerak oleh budayawan RM Akib dan R Husin Natodoradjo. Latihan diadakan di gedung Bioskop Saga. Kemudian pada bulan Mei 1945 tari ini dipertunjukkan di hadapan Kolonel Matsubara, Kepala Pemerintahan Umum Jepang, sebagai uji coba. Para penari uji coba ini merupakan para nyonya pejabat dibantu oleh anggota grup Bangsawan Bintang Berlian.

Tepat pada hari Kamis, tanggal 2 Agustus 1945, dalam rangka menyambut pejabat-pejabat Jepang dari Bukit Tinggi yang bernama Moh. Syafei dan Djamaludin Adi Negoro, Tari Gending Sriwijaya secara resmi ditampilkan. Inilah kali pertama tari Gending Sriwijaya pertama kali ditampilkan. Adapun tempat penampilan diadakan di halaman Masjid Agung Palembang. “Tepak” yang berisi kapur, sirih, pinang dan ramuan lainnnya dipersembahkan sebagai ungkapan rasa bahagia.

Pada saat itu, tarian dipimpin oleh Sukainah A. Rozak yang membawa Tepak Sirih, Gustinah A. Rachman dan Siti Nurani As’ari selaku pengalung bunga (pengganti pridonan), dengan penari-penari antara lain: Delima A. Rozak, Tuhfah, Busroh Yakib, R. A. Tuty Zahara Akib dan beberapa yang lainnya. Di masa Kemerdekaan RI, secara mantap menjadikan Gending Sriwijaya sebagai tarian untuk menyambut tamu-tamu resmi pemerintahan yang berkunjung ke Sumatera Selatan.

Sumber: Elly Anggraini Soewondo (Maestro tari Gending Sriwijaya)

Menulis Kreatif Mengisi Bulan Ramadhan

0
peserta diskusi menulis kreatif (23/5)

Padang – Mengisi waktu di bulan puasa, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar Diskusi Menulis Kreatif. Kegiatan ini diadakan sebanyak 4 kali pertemuan selama ramadhan dan melibatkan 4 narasumber baik akademisi maupun media cetak lokal. Rencana diskusi menulis ini dilaksanakan tiap hari rabu, dimulai dari 23 Mei 2018.

Menurut Kepala BPNB Sumatera Barat kegiatan menulis kreatif sangat penting bukan hanya menambah wawasan dalam berbahasa, tapi lebih penyiaran ilmu pengetahuan. Hal ini juga berkaitan dengan penyebarluasan informasi mengenai kebudayaan sebagaimana tuga kantor sebagai pelestari budaya.

“pelestarian nilai budaya perlu didukung tulisan, karena tulisan merupakan sumber pengetahuan abadi” jelasnya.

Pada diskusi kali ini, didapuk sebagai narasumber adalah Sudarmoko, dosen Universitas Andalas sekaligus kandidat doktor di Leiden University.

Menulis kreatif ini merupakan wadah untuk meningkatkan keterampilan pegawai untuk menyajikan dan menginformasikan kebudayaan kepada masyarakat. Melalui diskusi ini ditemukan bahwa persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menyajikan data-data yang ada menjadi tulisan populer dan ringan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam sekalipun.

Kegiatan ini diikuti oleh sebagian besar pegawai baik peneliti maupun bagian publikasi dan dokumentasi.

Bujang Kurab: Pengembara Sakti yang Budiman

0

Selain cerita Silampari yang cukup fenomenal, masih ada cerita Bujang Kurap atau Embun Semibar yang cukup terkenal di Kota Lubuklinggau. Cerita ini berkisah tentang tokoh legendaris Lubuklinggau.

Bujang Kurap, biasa juga dikenal dengan nama Embun Semibar, tokoh legendaris Lubuklinggau. Bujang Kurap terkenal sakti diseantero negeri, khususnya pada beberapa negeri di sekitar Bukit Sulap Lubuklinggau. Meskipun memiliki tubuh yang penuh dengan kurap dia tidak pernah putus asa dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pengembaraannya di banyak negeri selalu meninggalkan cerita tentang kepahlawanan serta keramahannya dalam bergaul. Dia senang menolong orang yang berada dalam kesusahan serta senantiasa menjauhkan diri dari sifat sombong. Kesaktian yang dimiliki Bujang Kurap mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Bujang Kurap dilahirkan di daerah melayu Bangko, Sarolangun Jambi. Bujang Kurap berasal dari keluarga elit tradisional menurut garis keturunan Datuk Saribijaya yang mempersunting Putri sari Banilai. Dt. Saribijaya berasal dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Oleh karena itu, tidaklah heran bila Bujang Kurap terus tumbuh menjadi remaja yang berkepribadian luhur. Bujang Kurap sangat suka menuntut ilmu, baik ilmu kemasyarakatan dan terlebih lagi ilmu kesaktian.

Sedari kecil penyakit kurap telah diderita Bujang Kurap. Meskipun tidak berada di sekujur tubuhnya, namun penyakit tersebut seakan telah menjadi bagian dari takdir hidup Bujang Kurap. Pada mulanya penyakit kulit tersebut sangat mengganggu pergaulan Bujang Kurap. Dia merasa enggan untuk bergaul dengan masyarakat. Dia takut kehadirannya di tengah masyarakat hanya akan membuat resah dan ketakutan.

Nama Embun Semibar lekat di diri Bujang Kurap setelah menyelesaikan pertapaan panjang guna memeperdalam ilmu kesaktian. Nama tersebut merupakan pemberian gaib yang diterima Bujang Kurap setelah berhasil dengan tapanya. Bujang Kurap telah memiliki kesaktian yang tinggi dan semenjak itu penyakit Kurap betul-betul memenuhi sekujur tubuhnya.

Salah satu kesaktian Bujang Kurap adalah kemampuannya berubah rupa. Bujang Kurap bisa berubah menjadi apapun yang dia inginkan. Meskipun demikian, ilmu berubah rupa tidak pernah digunakannya untuk kejahatan. Di samping mampu berubah rupa, kurap di tubuh Bujang Kurap adalah senjata ampuh yang pada saat-saat tertentu digunakannya untuk mengalahkan musuh. Kelupas kurap Bujang Kurap akan berubah menjadi besi baja yang tajam serta sangat mumpuni untuk membunuh-lawan-lawannya. Tidak jarang Bujang Kurap terpaksa menggunakan lempeng-lempeng baja yang berasal dari kurap yang dia derita. Lawan sakti yang mesti dia hadapi pada satu waktu memaksa Bujang Kurab menggunakan lempeng baja yang berasal dari kelupas kulitnya karena penyakit kurab yang diderita.

Bujang Kurap mengembara dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Buruk rupa, senantiasa dibrnci dan dicaci, namun tidak pernah berhenti menebar kebikan. Setiap singgah di suatu negeri Bujang Kurap selalu meninggakan cerita baik. Orang-orang yang ditinggalkan akan selalu mengenang pertolongan Bujang Kurap. Mereka berhutang budi karena biasanya tidak akan sempat membalas jasa. Berterima kasih pun kadang tidak sempat. Setelah memberikan pertolongan Bujang Kurap lebih memilih untuk pergi secara gaib sehingga tidak diketahui oleh orang. Itulah Bujang Kurap, penebar kebaikan ampa berharap adanya balasan dari orang-orang yang ditolong.

Dalam pengembaraan panjangnya Bujang Kurap menimba banyak pengalaman dan ilmu yang bermanfaat. Ilmu kesaktiannya semakin mumpuni dan tidak terklahkan. Bujang Kurap pun bertemu dengan banyak pendekar sakti dalam perjalanannya menumpas kejahatan.Diusia tuanya kelak, segala ilmu dan pengalaman yang dimiliki dipraktikkan dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Di Ulak Lebar, sebuah negeri yang terletak di lembah Bukit Sulap Lubuklinggau, di daerah inilah Bujang Kurap menghabiskan masa tunya. Masyarakat Ulak Lebar menerima Bujang Kurap apa adanya. Buruk Rupa yang dimiliki Bujang Kurap tidaklah penting bagi penduduk Ulak Lebar karena yang mereka butuhkan adalah pengalaman dan ilmu Bujang Kurap. Bujang Kurap adalah tokoh pengembara rendah hati. Meskipun berilmu tinggi Bujang Kurap tetaplah rendah hati.

Di kawasan Negeri Ulak Lebar, sebuah kawasan yang subur di kaki Bukit Sulap, Bujang Kurap menyudahi pengembaraannya. Lingkungan alam ulak Lebar sangatlah strategis. Kawasan ini dibentuk oleh tiga aliran sungai, yaitu Sungai Kesia, sungai Katie dan sungai Kelingi. Di kawasan inilah sekarang terdapat menhir-menhir yang berjajar sebagai buah peradaban megelitikum. Menhir-menhir itu adalah adalah bukti pekuburan para kaum elit tradisional masyarakat Negeri Ulak Lebar pada zaman dahulu.

Di antara makam para pemimpin Negeri Ulak Lebar, tepatnya di tepi Sungi Kelingi dan sebelah Selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, terdapat sebuah kuburan  yang dibri tanda berupa sepasang megalitik. Masyarakat Lubuklinggau sekarang percaya bahwa ituah tempat persemayaman jasad Bujang Kurap atau Embun Semibar. Hingga sekarang kuburan Bujang Kurap masih dianggap keramat, terutama oleh keturunan penduduk asli ulak Lebar. Masih dapat ditemukan peninggalan para peziarah setelah melakukan ritual di sekitar makam Bujang Kurap, seperti sisa sabut kelapa, piring kaleng dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa lokasi makam Bujang Kurap adalah tempat keramat yang tepat untuk dijadikan lokasi pelaksanaan ritual magis untuk tujuan kebaikan kehidupan di masa sekarang.

Penulis: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Silampari: Mitos Kerajaan Ulak Lebar

0

Selain cerita Linggau dan Dayang Torek, masih ada cerita Silampari yang cukup terkenal di Kota Lubuklinggau. Cerita ini berkisah tentang mitos kerajaan Ulak Lebar.

Cerita berasal dari sebuah negeri di kaki Bukit Sulap, kebanggaan masyarakat Lubuklinggau sampai zaman sekarang. Di kaki Bukit Sulap, dari arah Barat Laut ke Selatan mengalir Sungai Kasie dan Sungai Ketue. Kedua sungai tersebut bermuara di Sungai Kelingi. Negeri tersebut kemudian menjadi Kerajaan Ulak Lebar serta diperintah oleh Raja Biku. Memiliki kebiasaan sebagai pengembara sakti, Raja Biku bergelar “Delapan Dewa. Raja Biku menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki oleh delapan orang dewa. Isteri Raja Biku bernama Putri ayu Selendang Kuning, seorang peri jelita dari alam dewata. Berstatus sebagai permaisuri Raja Biku, Putri Ayu Selendang Kuning adalah adik Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh. Dewa mantra dipercaya sebagai utusan kayangan—penjaga Ulak Lebar serta negeri-negeri di sekitarnya.

Raja Biku tidak memiliki keturunan meskipun telah sepuluh tahun berkeluarga dan memerintah di Kerajaan Ulak Lebar. Rakyat Ulak Lebar hidup damai dan sejahtera. Mereka memiliki raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Sebaliknya, kegelisahan istana beserta seluruh rakyat Ulak Lebar terus menguat, siapa kiranya yang akan mewarisi tahta Raja Biku kelak. Waktu terus berjalan dan Raja Biku kemudian mengadukan kegelisahannya kepada Dewa Mantra Guru Tujuh. Raja Biku dan Putri Ayu Selendang Kuning, setelah menjalankan pertapaan di Bukit Alas Rimba, pada gilirannya beroleh kabar gembira tentang kelahiran anak-anak mereka. Raja Biku akhirnya memiliki keturunan setelah menuruti arahan Dewa Mantra Guru Tujuh.  Enam anak Raja Biku, mereka adalah mu’jizat dari alam dewata, terlahir karena keramat kembang tujuh dari kayangan. Mereka adalah, sang putra mahkota yang diberi nama Sebubur, Dayang Torek, Dayang Jeruju, Dayang Teriji, Dayang Ayu dan Dayang Iring Manis.

Di antara kelima putri Raja Biku, Dayang Torek dikenal sebagai putri raja yang paling cantik. Kecantikan Dayang Torek terkenal ke seantero negeri sehingga kepadanya dilekatkan sebutan “bak peri dari kayangan”. Banyak raja dan pangeran yang berhasrat untuk mempersunting Dayang Torek. Di lain pihak, Sebubur sebagai satu-satunya saudara laki-laki dalam keluarganya terus bertumbuh menjadi seorang pengembara sakti. Dia menimba banyak ilmu kesaktian sebagai persiapan sebelum mewarisi tahta Kerajaan Ulak Lebar. Karenanya Sebubur acap kali meninggalkan keraajaan. Dia mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Menjalani pertapaan secara berulang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sekaligus menjadi ritual Sebubur dalam memperdalam ilmu kesaktian yang dimiliki.

Sultan Palembang adalah seorang raja yang sangat menginginkan untuk mempersunting Dayang Torek. Sang sultan kemudian mengirim utusan ke Ulak Lebar dengan maksud meminang Dayang Torek. Prosesi pinangan tersebut bertepatan dengan kepergian Raja Biku ke Negeri Cina sekaligus perjalanan Sebubur untuk menyusul ayahanda tercinta. Keluarga istana mengalami kepanikan atas pinangan Sultan Palembang. Dayang Torek menolak pinangan tersebut dan penolakan itulah yang kemudian menjadi pangkal permasalahan yang dihadapi Kerajaan Ulak Lebar. Sultan Palembang merasa tersinggung atas penolakan Dayang Torek serta memutuskan untuk menculiknya dengan menggunakan tangan Raden Bintang. Kerajaan Ulak Lebar merasa terhina dan berduka secara mendalam atas kejadian tersebut.

Lama berlalu, Sebubur pun kembali dari perjalanan panjangnya menyusul keberangkatan Raja Biku. Dia kembali ke Ulak Lebar dengan tangan hampa karena tidak mampu membawa serta Raja Biku. Sang Raja Ulak Lebar telah silam ke dasar Laut Cina Selatan, memenuhi takdirnya sebagaimana disampaikan dulu oleh Dewa Mantra Raja Tujuh. Sebudur memutuskan untuk menjemput Dayang Torek ke Kesultanan Palembang. Bermodalkan ilmu kesaktian yang tinggi Sebubur akhirnya mampu membawa pulang Dayang Torek yang ternyata telah memiliki seorang bayi, keturunan Raja Pelambang.

Perjalanan pulang Sebubur beserta Dayang Torek ditandai oleh peristiwa tragis meninggalnya bayi Dayang torek di Tangah Sebubur. Bayi tersebut dibunuh karena dianggap akan membawa aib terhadap Kerajaan Ulak Lebar. Dayang Torek tidak menerima kenyataan pahit tersebut. Dayang Torek kemudian memutuskan untuk silam ke alam dewata serta membawa serta bayinya yang telah meninggal dunia. Peristiwa magis silamnya Dayang Torek terjadi di puncak Bukit Sulap. Sebubur tidak berdaya untuk mencegah takdir Dayang Torek. Saudara perempuan yang sangat disayanginya itu memenuhi takdir sebagaimana telah digariskan oleh Dewa Mantra guru Tujuh sejak dahulu kala.

Sebubur, pengembara sakti sekaligus putra mahkota Kerajaan Ulak Lebar, adalah tokoh penting dalam legenda silampari. Perannya dalam cerita menandai silamnya seluruh anggota keluarga istana. Raja Biku yang memenuhi takdir dan silam ke dasar laut Cina selatan, Putri Ayu Selendang Kuning beserta kelima saudara perempuan Sebubur—salah seorangnya adalah Dayang torek, silam kembali ke alam dewata. Bahkan Sebubur kemudian juga tidak bisa menolak takdir. Dia juga ikut silam, meninggalkan Kerajaan Ulak Lebar dan kembali ke alam dewata.

Silampari, begitulah lidah orang Lubuklinggau yang hidup setelah masa Sebubur dan Kerajaan Ulak Lebar. Sebubur beserta seluruh anggota keluarganya meninggalkan alam dunia dan kembali ke alam dewata. Secara terminologi kata silampari bermakna “peri” yang “silam”  dan memang demikian makna yang disematkan oleh orang lubuklinggau hingga masa sekarang.

Penulis: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Kisah Linggau dan Dayang Torek

0

Kisah Linggau dan Dayang Torek merupakan cerita rakyat yang berasal dari Kota Lubuklinggau. Linggau dan Dayang Torek bercerita tentang asal usul Kota Lubuklinggau.

Alkisah pada zaman kerajaan, Lubuklinggau banyak melahirkan para pendekar yang memiliki ilmu kesaktian tinggi. Pada masa itu, siapa yang paling tinggi ilmu kesaktiannya maka dialah yang berkuasa. Kemampuan ilmu beladiri yang mumpuni serta keterampilan dalam memperbuat hal-hal yang berada di luar akal sehat manusia merupakan ukuran penting sehingga seseorang dihargai di tengah masyarakat. Karenanya, salah satu tujuan hidup di masa itu adalah, menguasai berbagai ilmu kesaktian, meskipun untuk mendapatkannya seeorang harus melalui berbagai rintangan serta marabahaya yang mengancam nyawa. Seseorang dikala itu tidak akan berhenti mencari ilmu kesaktian sebelum dia tersohor keberbagai pelosok karena kesaktian yang dimiliki.

Tersebutlah Linggau, putra mahkota kerajaan, sekaligus tokoh penting legenda lokal Lubuklinggau ini. Linggau adalah putra kesayangan baginda, seorang raja yang dikenal arif serta bijaksana di seantero negeri. Linggau adalah tumpuan harapan istana, penerus serta pewaris kejayaan kerajaan di masa depan. Di luar istana, rakyat kerajaan di lembah Bukit Sulap tersebut hidup damai dan sejahtera. Mereka mencukupi seluruh kebutuhan hidup dengan mengolah serta memanfaatkan berbagai hasil yang telah disediakan oleh alam. Rakyat menjalani kehidupan dengan penuh suka cita serta senantiasa merasa dinaungi oleh keluarga istana. Apalagi, raja mereka terkenal sakti mandraguna. Kesaktian baginda raja tidak hanya dikenal di dalam lingkungan kerajaan. Baginda raja ditakuti oleh para pendekar sakti yang hidup di masa itu, terutama oleh para penjahat dan perampok.

Linggau dikenal mempunyai berbagai ilmu ketangkasan dan kesaktian. Sedari kecil dia telah mewarisi kesaktian sang raja serta menimba ilmu ke berbagai guru yang mumpuni.  Linggau terus bertumbuh menjadi remaja yang memiliki kepribadian muliya. Wajah rupawan menjadikan Linggau sagat disayangi oleh seluruh anggota kerajaan serta senantiasa menjadi buah bibir masyarakat. Banyak para gadis di kerajaan yang mendambakan menjadi pendamping hidupnya. Sayang seribu kali sayang, Linggau belum bermaksud menjatuhkan pilihannya pada seorang gadis. Sebagai pewaris tahta Linggau menyadari tugas serta tanggung jawabnya kelak. Karena itu, yang terpenting bukanlah segera menikah serta menjalani kehidupan berumah tangga. Tugasnya sekarang mengumpulkan banyak bekal pengetahuan sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Berilmu tinggi, baik ilmu kesaktian, maupun ilmu tentang pemerintahan.

Pilihan hidup tidak segera mempersunting seorang gadis menjadikan Linggau dijuluki ”bujang tua”. Namun demikian, julukan tersebut tidaklah menjadikan Linggau surut dari keputusan yang diambil. Dia tetap dengan sikapnya, menimba banyak pengalaman serta memilih untuk tidak segera menikah. Apalagi, dia memiliki Dayang Torek, adik perempuannya yang cantik jelita. Kecantikan Dayang Torek tersebar sampai ke kerajaan tetangga. Linggau sangat menyayangi Dayang Torek. Dia sadar bahwa Dayang Torek adalah incaran setiap pemuda di kerajaan bahkan oleh mereka yang berasal dari kerajaan tetangga tersebut. Karena itu, tanggung jawabnya adalah melindungi Dayang Torek. Linggau tidak mencemaskan setiap pemuda yang ada di kerajaan. Sebaliknya, gelagat kurang baik justru muncul dari para raja dan pengeran sakti yang berasal dari kerajaan tetangga. Mereka mengincar Dayang Torek dan tentunya akan menempuh segala cara untuk dapat mempersuntingnya.

Kecantikan Dayang Torek terdengar oleh seorang pendekar sakti yang bernama Si Pahit Lidah. Sesuai dengan namanya, Si Pahit Lidah memiliki sumpah yang sakti. Perkataan Si Pahit Lidah adalah kenyataan pahit bagi setiap yang mendengarnya. Siapa yang tidak suka akan merasakan akibat dari sumpah sakti Si Pahit Lidah. Linggau makin mengkhawatirkan keselamatan Dayang Torek yang ternyata tidak menyenangi Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah berkeinginan mempersuntingnya dan seluruh anggota kelurga kerajaan tidak merestui. Untuk menghindari Si Pahit Lidah, Linggau pun menyembunyikan Dayang Torek di dasar sungai. Linggau sengaja membuat sebuah lubuk yang dalam dengan menancapkan taring giginya ke dasar sungai. Disitulah Dayang Torek bersembunyi. Dayang Torek selamat dari incaran Si Pahit Lidah. Bukan hanya itu, tidak seorang pun mengetahui keberadaan lubuk persembunyian Dayang Torek.

Masyarakat Lubuklinggau percaya bahwa dari banyaknya lubuk yang terdapat di sungai Lubuklinggau, lubuk yang konon menjadi tempat persembunyian Dayang Torek pada zaman dahulu adalah keramat serta memiliki keanehan. Lubuk itu kecil namun sangat dalam. Sampai sekarang lubuk itu dianggap sakti serta kemudian ditakuti. Masyarakat percaya bahwa dalam setiap tahun lubuk tersebut  akan memakan korban. Mereka adalah para gadis berwajah cantik yang akan menemani Dayang Torek dalam persembunyiannya.

Karena yang membuat lubuk tersebut adalah Linggau maka lubuk tersebut dinamakan “Lubuklinggau”. Lubuk itu berada tepat di bawah jembatan yang terletak di Dusun Linggau Kelurahan Linggau Kecamatan Lubuklinggau Barat I. Lubuk tersebut kecil dan dalam serta air di atasnya sangat tenang. Tidak pernah ada batu yang menutupi lubuk tersebut. Pada zaman dahulu daerah di sekitar Lubuk tersebut dikenal dengan nama Dusun Linggau. Sekarang, menjadi nama sebuah kota, Kota Lubuklinggau.

Oleh: Hasanadi (Peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

Dialog Sejarah dan Budaya Maritim di Kabupaten Pasaman Barat

0

Pasaman – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat mengadakan Dialog Sejarah dan Budaya Maritim. Kegiatan dilaksanakan pada Senin, 7 Mei 2018 di Ruang Auditorium Kantor Bupati Pasaman Barat. Pembukaan secara resmi dilakukan oleh Bupati Pasaman Barat Sahiran, MM.

Dalam sambutannya, Suarman melaporkan bahwa kegiatan diikuti oleh 50 orang peserta yang berasal dari Pemda/instansi terkait sebanyak 16 orang, guru SLTA se-Kabupaten Pasaman Barat sebanyak 14 orang dan guru SLTP se-Kabupaten Pasaman Barat sebanyak 20 orang.  Kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan. Kebudayaan juga menjadi magnet pembangunan pariwisata. Pasaman Barat adalah salah satu basis kebudayaan di Sumatera Barat.

Suarman juga berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat bisa segera menyusun pokok-pokok pikiran kebudayaan daerahnya sesuai dengan petunjuk dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau pokok pikiran kebudayaan ini sudah selesai, nantinya akan ada Dana Alokasi Kebudayaan untuk pemerintah daerah.

Sementara itu Bupati Pasaman Barat, Sahiran, MM dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada BPNB Sumatera Barat yang bersedia melaksanakan kegiatan ini di Pasaman Barat. Dia mendukung kegiatan ini dan berharap melalui para peserta bisa mendapatkan ilmu yang banyak tentang sejarah dan budaya maritim sehingga ilmu tersebut bisa diterapkan kepada anak didik. Kebudayaan penting untuk pembentukan karakter bangsa, terutama generasi muda . Beliau juga berharap bahwa Pasaman Barat bisa menggali potensi sejarah dan budayanya sendiri sehingga mempunyai identitas diri.

Kegiatan ini adalah sebuah program yang bertujuan untuk menggali persoalan – persoalan sejarah dan budaya maritim yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Selain itu, kegiatan ini juga mempunyai misi untuk mensosialisasikan beberapa hasil penelitian BPNB Sumatera Barat yang pernah dilaksanakan di Kabupaten Pasaman Barat. Dia menyampaikan bahwa Indonesia diakui sebagai super power kebudayaan di dunia.

Selama kegiatan, ada 5 orang narasumber yang akan membahas sejarah dan budaya kemaritiman di Pesisir Barat Sumatera khususnya Kabupaten Pasaman Barat yakni:

  1. Suarman tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah
  2. Dr. Phil Gusti Asnan tentang Pantai Barat Sumatera Dalam Perspektif Sejarah
  3. Jonnedi, M. Si tentang Pandangan Akademisi Terhadap Potensi Kemaritiman Pasaman Barat
  4. Abdullah Munzir tentang Pemberdayaan Masyarakat Maritim
  5. Drs. Refisrul tentang Potensi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pasaman Barat

Tari Pemulia Jame dan Tari Piasan Raya

0
Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Pemulia Jame yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada tari tradisional, tim Aceh yang diwakili sanggar Meurunoe Art menampilkan tari pemulia Jame (memuliakan tamu). Tarian ini merupakan pengembangan dari tari tradisional Ranup Lampuan. Tari Pemulia Jame berarti memuliakan tamu dengan di sambut dan di sajikan ranup (sirih) dan makanan-makanan khas Aceh.

Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Selanjutnya untuk tari kreasi mereka menampilkan Tari Piasan Raya (pesta panen) yaitu tari yang diangkat dari kebiasaan masyarakat Aceh yang selalu merayakan pesta panen dengan menampilkan tarian dari wujud kebahagiaan dan rasa syukur atau hasil panen yang di capai.

Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus
Salah satu gerak tari Piasan Raya yang dibawakan oleh Sanggar Meurunoe Art pada gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Lenggeran dan Tari Keprak Kanak

0
Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari lenggeran yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Penampilan BPNB Yogyakarta diwakili Bale Seni Wasana Nugraha dengan tari Lenggeran, yaitu salah satu kesenian khas Banyumas Jawa Tengah. Secara utuh, kesenian ini tampil dalam beberapa babak, yakni gambyongan, badoran, hingga baladewan. Supriyadi menyusun koreografi Lenggeran pada tahun 1985, berpijak dari ragam gerak gambyongan lantas distilir dan dibakukan dalam struktur gerak.

Salah satu gerak tari lenggeran yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Dalam penampilan tari kreasi, Bale Seni Wasana Nugraha menampilkan tari Keprak Kanak, Tari ini menggambarkan  gadis – gadis yang bersuka ria di bawah sinar purnama. Keberagaman bukan menjadi penghalang bersuka cita saling membantu dan gotong royong.

Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus
Salah satu gerak tari Keprak Kanak yang dibawakan Bale Seni Wasana Nugraha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Kabupaten Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Balalek dan Tari Masang Pantak

0
Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari balalek yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Kalimantan Barat yang diwakili Sanggar Seni Simpor pada pertunjukan kesenian tradisionalnya menampilkan Balalek, Balalek dalam bahasa Dayak artinya gotong royong atau bekerja bersama-sama yang dilakukan oleh suku Dayak dari membuka lahan hingga panen. Ada beberapa tahapan seperti membuka lahan, menanam benih padi, panen padi dan menjadikan padi menjadi beras. Tari ini digarap sesuai dengan kaedah-kaedah tari Dayak khususnya tari pertunjukan.

Salah satu gerak tari balalek yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada penampilan seni kreasi, mereka menampilkan tari Masang Pantak. Tari ini menceritakan Alam  dan manusia dijadikan objek kepentingan merusak kehidupan alam dan lingkungan menjadi kebutuhan, sementara masyarakat pedalaman hidup di alam tradisional.  merusak, memusnahkan adalah perbuatan keji hingga masyarakat mendapat malapetaka, ingkar kesepakatan berarti berhadapan dengan alam. Mampukah objek penyesalan diakhiri oleh pasang pantak ? Dengan pasang pantak manusia merasa bersalah dan meminta pengampunan kepada roh-roh halus yang telah terganggu dengan kerusakan alam sebagai tempat tinggalnya.

Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Roh-roh halus pun dipindahkan ke media patung atau pantak melalui sebuah upacara, khususnya membaca mantra, menabur beras kuning,memepas pantak dengan daun juang, membunyikan besi ke tempat yang akan  dipasang pantak . Semua yang dilakukan semata untuk memanggil roh-roh para leluhur yang dianggap mampu menjaga pelestarian alam, dan rasa penghormatan kepada roh-roh halus yang  telah menjaga alam. Tarian ini digarap sesuai dengan tari pertunjukan, namun tidak meninggalkan kaidah-kaidah tari tradisional.

Salah satu gerak tari Masang Pantak yang dibawakan sanggar seni Simpor dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Tari Telek dan Tari Ala Ayuning Gringsing

0
Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

BPNB Sumbar sukses menggelar Gebyar Seni Budaya Multikultural se-Indonesia di Pantai Carocok, Pesisir Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan dua hari berturut-turut yakni Minggu-Senin, 15-16 April 2018. Sebanyak 11 sanggar seni yang mewakili 11 BPNB seluruh Indonesia ikut terlibat menampilkan kesenian khas masing-masing daerah. Ada dua kategori penampilan kesenian yang ditampilkan yakni tari tradisional pada hari pertama dan tari kreasi pada hari kedua.

Salah satu gerak tari Telek yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Pada penampilan tari tradisi, BPNB Bali diwakili Sanggar Supraba Eka Dutha menampilkan tari Telek, yaitu tarian sakral (Tari Wali) warisan leluhur yang pantang tidak dipentaskan. Sangat diyakini pementasan tari ini adalah sarana untuk “meminang” keselamatan dunia, khususnya bagi banjar atau desa adat masyarakat pendukungnya.

Salah satu gerak tari Telek yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (15/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Diyakini juga oleh mereka apabila tidak mementaskan Telek sama halnya dengan mengundang beragam jenis marabahaya. Keyakinan tersebut yang turut menjadikan Tari Kelek tetap lestari hingga saat ini. Bahkan demi menjaga tetamian (warisan) leluhur ini, seluruh pakem pada pementasan Tari Tteelek tetap dipertahankan sebagaimana adanya.

Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Sementara untuk tari kreasi, tim ini menampilkan tari Ala Ayuning Gringsing  berarti hari yang baik dan indah untuk menenun kain Gringsing. Alkisah Dewa Indra telah memberikan suatu anugerah keahlian seni tenun kepada seluruh masyarakat Desa Tenganan, Pegringsingan kabupaten Karangasem Bali. warga masyarakat begitu kompak, penuh semangat menenun sehingga hasil tenun yang dihasilkan motif – motifnya sangat indah.

Salah satu gerak tari Ala Ayuning Gringsing yang dibawakan sanggar seni Eka Dutha dalam gelaran Gebyar Seni Budaya Multikultur (16/4) di Pesisir Selatan. Foto. Firdaus

Sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah keterampilan menenun kain yang terkenal dengan kain Gringsing tersebut. Masyarakat mencari hari baik dan setiap hari baik tersebut karya tenun tersebut selalu dipersembahkan untuk dihaturkan kepada Dewa Indra agar selalu diberkati dan diberikan berkah kesuksesan dan kelancaran rejeki bagi seluruh  penenun yang ada di desa Tengana Pegringsingan, Kabupaten Karangasem Bali.