Beranda blog Halaman 15

Silek, Rumah Gadang Indak Bapintu Mancik Saikue Bapantang Lalu (8)

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Sekali-kali kami disuruh guru menendang atau menumbuk, dan beliau perlihatkan tjara mengelakkannja. Dan sudah itu beliau menendang, tetapi pura-pura dan tidak keras, (sebab djika sebenarnja tentulah mudah kena perut kami), dan kami mengelakkan. Djika kami kurang tahu mengelakkan, ditundjukkan betapa mestinja. Demikianlah berganti-ganti sampai lantjar, tepat, dan automatis tangkisan kami (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :66).

Begitulah nuansa seorang anak Minangkabau dikelampauan belajar silek. Seorang guru silek, mengajarkan kepada seorang anak sasian cara menendang dan mengelak yang baik dan benar dalam bersilek  begitu juga dengan antisipasi bila serangan akan tiba.

Dalam kaitan inilah muncul ungkapan-rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu (tidak bisa masuk). Ini adalah prinsip dalam silek Minangkabau yang menegaskan bahwa dalam posisi terbuka sekalipun, seorang pasilek tidak mudah diserang, karena setiap serangan akan diantisipasi dengan baik. Penyerang diingatkan akan resiko tangkisan yang tidak kalah fatalnya dengan serangan balik bila dikenai.

Baca juga: Silek, garak-garik, pandang kutiko, dimintak baru dibari

Sebuah ungkapan yang harus dipahami dengan baik, sebab dengan pemahaman yang sempit akan membuat tafsiran yang berbeda pula, seperti rumah gadang indak bapintu, selama ini yang kita lihat rumah gadang tersebut ada pintunya,  namun kita harus memahaminya bahwa ada makna dibalik hal tersebut.

Bagi seorang yang belajar silek pun sikap kearifan juga diperlihatkan, hal ini sesuai prinsip silek Minangkabau, dimana bila terjadi perselisihan dengan sesamanya tidak akan berkelahi di hadapan orang ramai atau ditempat perselisihan itu terjadi. Mereka akan pergi ke tempat yang sepi berdua saja atau ditemani kawan-kawan masing-masing.  Kawan-kawan mereka hanya menyaksikan saja. Tidak boleh ikut campur selama tidak terjadi kecurangan dengan menggunakan alat atau bila melihat gelagat salah seorang akan terbunuh. Perkelahian yang dilakukan di tempat ramai dipandang sebagai perkelahian para pengecut yang mengharapkan bantuan teman-teman sendiri atau diminta dilerai segera. Jika terdapat perkelahian di tempat ramai, maka hal itu merupakan suatu pengeroyokan terhadap seseorang yang tertangkap basah karena mencuri atau menggoda perempuan. Lazimnya orang yang dikeroyok itu dibiarkan saja oleh teman-temannya sendiri (Navis, 1984 : 266).

Lazimnya di daerah Sumatera Barat silek merupakan suatu keterampilan untuk membela diri tanpa mempergunakan senjata atau alat lainnya. Dalam usaha bela diri dari serangan musuh, maka silek ini diajarkan tanpa mempergunakan alat, melainkan sepenuhnya berpegang kepada keterampilan untuk mempertahankan diri dari serangan. Belajar silek bukan untuk mencari musuh, melainkan untuk mencari teman. Hal ini sesuai dengan pepatah- musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan. Membiasakan diri untuk membela diri dengan jiwa kesatria seperti itu sedini mungkin. Sebab kalau tidak diajarkan sedini mungkin, kemungkinan setiap hari, setiap malam akan terjadi perkelahian dan pertumbahan darah. Situasi seperti ini sangat memungkinkan, lebih-lebih pada zaman dahulu, dimana mobilitias kaum remaja dari rumah ke surau sangat tinggi.

Pendalaman atas ungkapan tersebut bisa kita pahami bahwa seorang pasilek bila diserang tidak boleh menangkis apalagi menyerang, akan tetapi diwajibkan mengelak sampai empat kali. Dalam silek Minangkabau aliran Kumango misalnya, terdapat empat gerakan berupa elakan, yakni elakan mande, elakan bapak, elakan guru dan elakan sahabat karib. Elakan dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mande (ibu), bapak, guru dan sahabat karib yang sedang memarahi atau menasehati kita, dan yang harus dilakukan adalah memahami bukan melawan. Pada serangan kelima baru boleh menangkis serangan musuh, Karena serangan atau pukulan yang kelima itu musuh sudah kemasukan setan sehingga setan dalam tubuhnya harus ditundukkan. Tangkisan maupun pukulan yang kelima bukan berarti harus menyakiti pihak musuh, melainkan masih berupa nasehat. Karena secara kasar mata musuh itu adalah lawan, namun secara batin adalah kawan (saudara), sehingga ia harus diselamatkan (Purna dan kawan-kawan, 1996/1997 : 45, Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 83-84 dan Hasanuddin dan kawan-kawan, 2015 :11).

Serangan di dalam silek diartikan sebagai usaha mempertahankan diri dengan cara melancarkan pukulan, tendangan dan lainnya pada suatu sasaran di bagian tubuh lawan. Dikatakan sebagai usaha mempertahankan diri karena pada dasarnya semua teknik di dalam silek (apakah serangan maupun pertahanan) semata-mata hanya untuk mempertahankan diri atau membela diri. Sehingga seorang pasilek mengutamakan praktik pertahanan diri terlebih dahulu dari praktik menyerang. Teknik serangan harus dikuasai secara baik dan benar, karena hal ini akan sangat berpengaruh pada penguasan teknik-teknik serangan di tingkat lanjutan.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari prinsip rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu (tidak bisa masuk) bahwa sikap kehati-hatian dan sikap kearifan dalam kehidupan ini mestilah kita tumbuh kembangkan, dan janganlah sekali-kali menyerang orang karena serangan yang kita buat akan membuat serangan tersebut balik kepada kita juga. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 20 September 2018.

Silek, Garak Garik Pandang Kutiko, Dimintak Baru Dibari, Sia Mulai Sia Kanai (7)

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai- gerak (bathin) gerik (gerak fisik), pandang sakutiko (segera), diminta baru diberi, siapa memulai dialah yang dikenai. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa jika tidak ada garak (aksi) maka tidak ada pula garik (reaksi), seorang haruslah arif dengan situasi dan kondisi, serta sabar sehingga tidak memulai konflik dengan mendahului menyerang karena dalam silek Minangkabau berlaku bahwa orang yang menyerang lebih dahulu justru akan mendapat cidera lebih dahulu atau mengalami kekalahan.

Disigi dalam bahasa Minangkabau, garak (gerak) itu adalah kemampuan membaca, mencium bahaya (insting) sesuatu akan terjadi. Contohnya seorang pesilek bisa merasakan ada sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Garik (gerik) adalah gerakan yang dihasilkan (tindakan) sebagai antisipasi dari serangan yang akan datang. Sehinga dua elemen tersebut, yakni garak dan garik harus dipahami dengan baik oleh seorang pasilek.

Garak garik pandang kutiko, teliti mengamati gerak lawan, termasuk gerak pandang sudut mata, meneliti dengan mata lahir, memastikan ketelitian dengan mata batin.

Baca juga: Silek, basilek di rumah gadang kok mancak di ilaman

Menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012 : 80 dan 84) seorang pasilek selain mampu menguasai jurus ia juga harus mampu menguasai elakan (tangkisan) dari serangan lawan. Jurus-jurus serta elakan yang diajarkan pada perguruan silek pada umumnya mengambil makna gerak mengikuti alam dan perilaku kehidupan manusia. Penciptaan jurus untuk menyerang lawan dan elakan di perguruan silek tradisional banyak mempergunakan makna filosofi gerak melalui membaca alam lingkungan dan kehidupan sekitarnya. Misalnya makna elakan yang diajarkan perguruan silek Kumango mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat bijaksana. Seorang pasilek tidak hanya diajarkan dan dilatih jasmaninya untuk menjadi sehat dan kuat, tetapi secara bathin juga diberi sentuhan pemaknaan kecerdasan emosi dan spiritual yang baik.

Kalau kita pahami dengan baik, bahwa basilek menampilkan garak garik anggota tubuh atau jasmani, dan ini merefleksikan  bagaimana kemampuan kematangan dalam membaca tanda dan isyarat yang dimunculkan oleh lawan basilek. Kematangan membaca garak garik  – gerak lebih jelas dan kentara dan gerik lebih halus- lawan di lahirkan juga dalam bentuk garak dan garik silek yang bersifat antisipatif. Meskipun kita tidak dapat menafikan dalam aliran silek yang sama, garak  relatif sama dan garik yang mungkin berbeda, tergantung kedalaman ilmu silek yang dimiliki oleh seseorang.  Bukan berhenti disitu saja, garak garik antisipatif bisa dimaksudkan sebagai upaya merapikan pertahanan, mencari peluang, serta menemukan titik lemah dari lawan.

Menurut Hasanadi- peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat bahwa seseorang pandeka dalam silek (orang yang berilmu sangat mumpuni dalam silek) relatif tidak memilih bagian mendahului menyerang, karena menyerang berarti membuka peluang bagi lawan untuk menjatuhkan dan akhirnya bisa meraih sebuah kemenangan. Namun seorang pandeka memilih bersabar menunggu, bersiap atas segala kemungkinan serangan, lahir dan bathin. Serangan lawan merupakan bentuk permintaan yang menghendaki pemberian, bisa baik dan mungkin juga bisa bersifat buruk bagi pihak lawan.

Kita sering mendengar ungkapan, sia mulai sia kanai, sia malalah sia patah– dalam persoalan ini perlu kesabaran. Ungkapan ini juga mengisyaratkan kepada kita perlu kesabaran untuk istiqomah dalam kesabaran. Tidak sabar, dikendalikan kesombongan serta nafsu untuk mengalah justru akan menjadi bumerang.

Bahkan dalam prinsip silek, bersabar menunggu dalam basilek  bukan refeksi kefasifan, apalagi ketakutan. Bersabar dalam basilek lebih merupakan bukti kematangan sekaligus kekuatan seseorang pandeka dalam mengendalikan emosi, kemudian menampilkan garak serta garik yang baik.

Kesabaran sangat dituntut dalam prinsip silek apalagi perkelahian, perkelahian sangat dihindari baik perkelahian antara satu sasaran-seperguruan maupun diluar sasaran-perguruan. Mereka yang tergabung dalam satu sasaran-perguruan diharuskan membina suatu ikatan solidaritas. Sebuah ikatan yang dibingkai oleh nilai-nilai persaudaraan secara lahir dan bathin.

Di kekinian prinsip garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai semestinya penting kita terapkan terutama dalam kehidupan kita. Kita perlu  arif dengan situasi dan kondisi serta sabar sehingga tidak memulai konflik dengan mendahului menyerang, orang yang menyerang lebih dahulu justru akan mendapat cidera lebih dahulu. Ada makna dan nilai yang perlu direnungkan kembali bahwa untuk menghindar dari serangan musuh kita perlu dan bijaksana dan menghindari untuk menyerang. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Buaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 19 September 2018.

Silek, Basilek di Rumah Gadang, Kok Mancak yo di Ilaman (6)

0

Basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman, sebuah ungkapan yang maha dahsyat bila kita pahami dengan bijak. Basilek di rumah gadang merupakan silek kato, berundiang (berunding), bermusyawarah, kehalusan budi bahasa dan kemampuan berdiplomasi. Mancak di ilaman, silek secara fisik yakni mengasah kelincahan, keindahan gerak tentu melibatkan kepekaan emosi, semuanya tertuang dalam gerak.

Bagi orang Minangkabau rumah gadang selain sebagai tempat kediaman keluarga, rumah gadang juga berfungsi sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Bukan itu saja dalam rumah gadang ada rangkiang. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Rangkiang tersebut memberikan tanda keadaan penghidupan kaumnya (Navis, 1984 :187). Itu pula sebabnya rumah gadang menjadi episentrum bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Pepatah dan petitihnya yakni rumah gadang sembilan ruang, serentak kuda berlari, sederum gajah mengeram, timah memutih di puncaknya, berderet lumbung di halamannya.

Basilek di rumah gadang juga telah menorehkan pemikiran-pemikiran kritis. Bahkan, pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan yang ada dilingkungannya. Perdebatan intelektual ini dan telah membudaya dalam masyarakat Minangkabau serta telah mengakar.

Baca juga: Silek, manatiang syaraik

Mancak disebut juga dengan bungo silek (bunga silek) atau representasi fisik dan estetik dari silek itu sendiri. Mancak tanpa menyentuh sisi silek hanyalah pengajaran keterampilan fisik yang hampa nilai. Sebagai ranah prifat kaum atau keluarga komunal matrilineal, silek Minangkabau secara prinsip pembelajarannya dilakukan secara tersembunyi, ditengah hutan, di malam hari, atau setidaknya di bawah kolong rumah gadang. Setiap kaum mengembangkan gerakan-gerakan khusus dalam upaya menciptakan jurus rahasia yang dianggap lebih tangguh dari kaum yang lain.

Menurut Hasanuddin dan kawan-kawan (2010 :1) yang diajarkan di tempat terbuka bukanlah silek tetapi adalah mancak. Mancak atau pencak (mappenca’-Bugis) adalah sisi lahiriah dari silek (silat tradisi) Minangkabau. Mancak disebut juga bungo silek  (bunga silat) atau representasi fisik dan estetik yang visual dari silek. Silek sendiri adalah sisi etik atau sisi batiniyah yang terdiri atas tiga dimensi struktural hirarkhis yakni: silek, silik dan suluk. Pembelajaran mancak tanpa menyentuh sisi silek hanyalah pengajaran keterampilan fisik.

Lebih lanjut Dt. Rajo Mudo dalam Mukhtar (2009 :26 dan 45) menjelaskan bahwa fungsi mancak dan silek adalah penguatan budi, karakter atau etik. Seperti dalam ungkapan basilek baarti baadat, baadat baarti mangaji diri, mangaji diri mangaji bana, tahu diri baarti tahu di nan bana, bana badiri sandirinyo. Penguatan budi dalam silek terefleksi dalam berbagai ungkapan, di antaranya: dzahir silek mancari dunsanak, bathin silek mancari raso, raso dabao naiek, pareso dibao turun, antakan kato ka nan bana (zahir silat mencari persaudaraan, bathin silat mencari rasa, rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, antarkan kata kepada kebenaran).

Dalam bentuk yang lain dikatakan dzahir silek mancari kawan, bathin silek mancari tuhan (zahir silat mencari kawan, batin silat mencari tuhan) artinya silek mengelola hubungan sosial horizontal dan hubungan spiritual vertikal (Mulyono dan kawan-kawan, 2012 : 3).

Mancak  sebagai representasi fisik dan visual dari silek adalah berupa gerakan-gerakan badan, kepala, bahu, tangan (siku, lengan, telapak tangan, kepalan, jari), dan kaki (lutut, tungkai, tapak, ujung jari). Gerakan-gerakan mancak adalah berupa salam penghormatan, elakan, tangkapan, kuncian, dan serangan (pukulan, sepakan, hantaman). Gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara perorangan, berpasangan atau berkelompok. Mancak dalam bentuk permainan adalah randai sedangkan beladiri adalah dasar silek.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman yakni pertama silek mengajarkan kepekaan emosi dan pemikiran sekaligus keindahan, kelincahan, kekuatan gerak. Kedua, letakkan sesuatu di posisinya yang tepat, silek kato di rumah gadang, silek fisik di bawa ke halaman, dan ketiga dalam berunding atau bersilang pendapat jangan sampai mengakibatkan kekerasan fisik, untuk basilek fisik sudah ada wadah yang disiapkan oleh masyarakat Minangkabau. Terakhir, kenapa kita harus mencari pelajaran yang lain, di silek kita bisa banyak belajar darinya. Bersambung..

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspress pada 18 September 2018

Silek, Manatiang Syaraik (5)

0

Pada waktu itu kami harus bersumpah, tidak akan mempergunakan kepandaian silat [silek] dan pentjak itu kepada maksud jang djahat dan menjerang orang dengan tak semena-mena. Kepandaian ini boleh dipergunakan untuk pendjaga diri semata-mata (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).

Sebuah untaian narasi yang baik dan indah dalam memahami bagaimana manatiang syaraik (mengangkat sumpah) dalam silek Minangkabau. Persoalan ini sesungguhnya tidak terlepas pada prinsip silek Minangkabau itu sendiri. Secara prinsip silek Minangkabau merupakan bentuk pendidikan tradisional, seni pertunjukan bagian dari ritual, bentuk praktis bela diri, pencerahan spiritual, dan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Kondisi yang demikian membuat seseorang yang ingin belajar silek tidaklah serta merta langsung diterima, namun harus melalui proses dan memenuhi syarat hingga diterima menjadi murid-anak sasian. Salah-satunya dikenal dengan istilah manatiang syaraik.

Menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan dalam Silat Tradisional Minangkabau (2012 :12) menjelaskan seorang anak sasian (murid) di antar dan diserahkan oleh mamak atau bapaknya menghadap guru dengan membawa persyaratan yang disebut manatiang syaraik (mengangkat sumpah).

Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari

Kita tidak dapat menafikan bahwa setiap nagari dan sasaran silek Minangkabau memberlakukan hal yang sama sebagai adat silek yang mutlak dilaksanakan oleh setiap anak sasian sebelum diakui sebagai murid. Walaupun tata cara dan bahasa yang beragam sesuai adat salingka nagari yang ada di ranah Minangkabau namun intinya tetap sama sebagai bentuk pembelajaran mental spiritual bagi sang calon murid dan ini merupakan sebuah keunikan bila kita memahami tentang persoalan silek Minangkabau itu sendiri.

Lebih lanjut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 13) menjelaskan ketika anak sasian telah melakukan manatiang syaraik maka akan mengucapkan sumpah setia untuk mematuhi segala perintah dan larangan dari guru dengan mengucapkan sumpah lawan idak dikandak, tasarobok  tajua  tamakan bali, tabujua lalu tabalintang patah, adaik silek tagak di nan bana, adaik iduik ganti baganti. Nyampang barih tamakan paek, nyampang tunjuak  kesong ka kida, ka ateh idak bapucuak, ka baruah idak baurek, ditongah digiriak kumbang, karakok tumbuah di batu, iduik tempang matinyo anggan.

Mengenai manatiang syaraik, seperti yang dijelaskan pada bagian diatas sesuai dengan adat salingka nagari, misalnya di perguruan Silek Kumango  menurut Agoes Tri Mulyono dan kawan-kawan (2012: 74-75) bahwa syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik beragam, seperti antara lain kumayan langkok (kemenyan putih, hitam dan merah atau coklat), sirie langkok jo isok (daun sirih, gambir, sada, tembakau), sirawik (pisau atau senjata tajam), marawa (kain kebesaran adat berwarna kuning, merah dan hijau atau hitam), langkok gulai (cabe, garam, bawang, lada hitam), langkok dapua (ayam, telur, beras, pulut, pisang, panyaram, kopi), langkok bilek (ending, cermin, sisir, jarum, benang, tikar). langkok suaian (minyak urut, baju bahasan, suluah atau lampu), langkok bakarilahan (kain putiah, kapuk, kain panjang), dan sebagainya. Kitapun menyadari setiap daerah dan sasaran sekarang ini mengenai manatiang syaraik ini berbeda sesuai dengan kondisi daerah, dan waktunya.

Setelah itu anak sasian dimandikan dengan istilah balimau, makan bajamba (makan bersama) dan anak sasian diharuskan memakan isi perut ayam manatiang syaraik yang disembelih guru disasaran sehingga berlakulah peraturan dan hukum sasaran silek bagi anak sasian yang telah diakui sebagai murid, dan barulahlah setelah itu anak sasian mendapat pelajaran basilek.

Semua syarat yang dibawa dalam manatiang syaraik tidaklah semata kebendaan semata, namun memiliki makna tersendiri-dan pemaknaannya akan selalu menjadi bagian hidup dari seorang anak sasian. Misalnya lado jo garam  melambangkan sebagai upaya dan kemauan seorang murid untuk belajar silek dengan tekat dan semangat yang kuat. Pisau dimaknai sebagai proses memahami kehidupan, disini seorang murid ditempa untuk belajar. Kain putih dimaknai sebagai sakabuang kain kafan yang nantinya apabila disaat dipanggil sang khalik tidak membuat susah orang lain. Jarum panjaik jo banang dimaknai adanya pembelajaran bahwa di perguruan silek mengajarkan murid supaya murid tidak berperilaku boros, memanfaatkan apa yang ada menjadi berguna. Bareh sacupak dimaknai adanya suatu proses dimana mereka diajarkan untuk mandiri tidak boleh tergantung kepada orang tua, apalagi meminta kepada gurunya. Ayam batino, ayam dipelihara untuk diambil telurnya dimanfaatkan sebagai obat apabila mengalami sakit, dan juga sebagai penambah tenaga untuk penambahan gizi, dan sebagainya.

Kekinian, begitulah manatiang syaraik dalam silek Minangkabau, sebuah perihal terpenting bila kita maknai. Disengaja ataupun tidak, kita sering tidak mengindahkan lagi apa yang telah diperjanjikan-dipersumpahkan, baik pada tingkatan paling rendah pada diri sendiri maupun pada tingkat yang lebih tinggi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seyogjanya apa yang telah kita perjanjikan-dipersumpahkan kita laksana dengan baik, karena perihal tersebut akan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak nantinya. Sebuah pelajaran berharga bila kita memaknai dengan baik dalam manatiang syaraik dalam silek Minangkabau. Bersambung…

Penulis: Undri, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 17 September 2018

Surau, Silek dan Pemuda Kekinian

0

Dulunya, surau selain sebagai tempat mengaji guna meningkatkan peningkatan pengetahuan agama Islam juga sebagai tempat berlatih ilmu bela diri yang dikenal dengan silek. Surau sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat itu sendiri, khususnya kaum pria, mulai dari anak-anak mereka tinggal di Surau.

Pemuda Minangkabau disebut juga dengan anak mudo yang dibentuk sejak kecil untuk dididik dan dibina dalam kehidupan basurau, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Sosok pemuda di Minangkabau menjadi pelindung, pengaman dan tulang punggung dalam memajukan kehidupan nagari, bukan itu saja pemuda Minangkabau merupakan parit paga nagari.

Baca juga: Silek, parik paga dalam nagari

Pemuda Minangkabau tidak tinggal di kampung di masa lalunya, mereka banyak pergi merantau sehingga kebutuhan ilmu bela diri sangatlah tinggi. Ini terlihat dari petatah petitih orang Minang karakau madang kahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampung paguno balun. Artinya pemuda harus keluar dari daerah kampungnya maka dibekali dengan ilmu bela diri yang dikenal dengan silek.

Silek pada dasarnya di Minangkabau bukan mencari musuh. Ini terlihat dari petatah petitih Minangkabau itu sendiri lawan tak dicari, jika ada pantang diilakkan.  Artinya silek itu dimanfaatkan untuk bela diri tanpa menggunakan alat dan senjata. Belajar silek saat ini di sasaran-saran, sanggar-sanggar seni tradisi dan organisasi silek di bawah naungan IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Beda misi dari organisasi IPSI tersebut, ilmu bela diri lebih bersifat pertandingan dan silek yang dilakukan pada sanggar-sanggar seni lebih bersifat  pada seni gerak gerik keindahan dalam gerakan bela diri.. Pendidikan silek di masa lalu seiring sejalan dengan silek bathin, artinya silek secara lahir dilihat melalui gerak fisik sementara silat bathin berhubungan pesilat dengan Tuhan-Nya.

Dalam belajar untuk berguru silek zaman dulunya, ada bersyarat berguru, seperti membawa beras, pisau, cermin, kain kafan, limau, ayam jago tergantung permintaan guru di mana belajar ber silek. Syarat berguru masing-masing daerah itu berbeda. Beda dengan belajar bersilat secara organisasi dibawah naungan IPSI, seperti membayar uang masuk belajar, uang bulanan belajar.

Namun pada sanggar, belajar bersilat tergantung bagaimana sanggar itu sendiri, karana diantara sanggar ada sanggar ekonomi, artinya membayar saat masuk untuk belajar, ada pula siapa yang mau, boleh bergabung pada silek di sanggar tersebut. Silek  tersebut cuma belajar untuk gerakan saja yang bersifat lahiriah, dan silek bathin itu belajar khusus dan memenuhi syarat untuk berguru. Dengan demikian silek pada zaman dulu dengan zaman sekarang terjadi pemisahan atau pengotak-kotakkan sehingga bukan lagi satu kesatuan yang utuh untuk dijadikan pegangan bagi pemuda tadi.

Kita bisa lihat pemuda tadi ahli agama, belum tentu pandai bersilat, begitu juga sebaliknya. Dalam untuk mendapatkan kedudukan bagi pemuda tadi dalam kehidupan bermasyarakat, di masa lalu seorang penghulu harus pandai bersilat, berpetatah petitih dan paham dengan agama. Namun kita lihat situasi sekarang, penghulu tidak harus menguasai tiga ilmu pengetahuan tadi, cukup kuat secara ekonomi.

Dari uraian di atas surau dan silek pada kondisi terkini terjadi spesialisasi bidang yang terpisah dan perubahan tradisi dalam berguru dan tempat untuk berguru. Pemuda Minagkabau bisa dinyatakan bukan pemuda yang sempurna di zaman lalu, dengan alasan pemuda hanya menguasai satu bidang ilmu saja atau tidak sama sekali. Pemuda yang dianggap sempurna bagi konteks Minangkabau adalah pemuda yang mampu menguasai ilmu bela diri, ilmu adat, dan ilmu agama sehingga dalam diri seorang pemimpin ia mampu memahami masyarakat itu sendiri dari berbagai aspek.

Pemuda yang dibekali dengan ilmu agama, maka ia akan belajar bersikap dan bertutur bicara yang sopan sesuai aqidah Islam itu sendiri. Pemuda yang tahu dengan adat maka ia tahu dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat mengarahkan dirinya sendiri dan orang lain dalam tatanan adat berlaku sehingga tidak terjadi konteks penyimpangan dalam bergaul dan berkomunikasi dalam masyarakat itu sendiri. Begitu juga pemuda yang menguasai ilmu bela diri, maka ia mampu menjaga sanak saudara, karib kerabatnya dari tangan-tangan jahil yang merusak anak nagari itu sendiri, sehingga surau lebih mengutamakan pengelolaan tentang menciptakan orang-orang tahu dengan agamanya sendiri.

Penulis: Risma Dona, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian umum Singgalang pada 16 September 2018

Juknis Lomba Menulis Naskah Dongeng dan Mendongeng 2018

0

Padang – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat mengadakan lomba menulis naskah dongeng dan mendongeng 2018. Sasaran lomba ini adalah guru-guru Taman Kanak-kanak yang ada di Sumatera Barat. Pemilihan guru-guru TK ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi mendongeng guru sebagai tulang punggung pendidikan anak usia dini. Harapannya, melalui kegiatan ini guru-guru TK mampu berperan aktif membangun karakter generasi muda melalui media mendongeng.

Bagi siapa saja yang berprofesi sebagai guru TK, berdomisili di Sumatera Barat dan tertarik untuk mengikuti lomba ini, silahkan mendownload petunjuk teknis berikut: Juknis Lomba Menulis Naskah Dongeng

Silek, Parik Paga dalam Nagari (4)

0

Cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebetulnya ada pada prinsip dalam silek Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan filosofis, yakni parik paga dalam nagari. Parik paga dalam nagari ‘parit pagar dalam nagarimaksudnya adalah bahwa silek merupakan benteng bagi sebuah nagari untuk melindungi masyarakat dan kepentingan nagari itu dari berbagai ancaman dan serangan dari luar.

Itu pula sebabnya silek dipelajari anak nagari di Minangkabau untuk mempertahankan serangan musuh, misalnya perampok dan sejenisnya. Anak laki-laki Minangkabau sejak kecil sudah dilatih untuk bersilek di surau. Mereka dilatih oleh guru mengaji yang menguasai ilmu silek tersebut. Latihan silek biasanya usai belajar mengaji pada malam hari. Belajar silek  secara prinsip bagi anak laki-laki Minangkabau tidak terlepas dari kewajiban terhadap bersama yaitu masyarakat, orang kampung yang harus dipertenggangkan dan kewajiban terhadap nagari sebagai sebuah organisasi yang harus dijaga agar jangan binasa.

Kita tidak dapat memungkirinya bahwa silek Minangkabau, pada mulanya merupakan basis penguatan identitas diri, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat Minangkabau yang bersuku-suku dan egalitarian. Harga diri mengharuskan setiap orang bersaing satu sama lain. Oleh sebab itu, konflik menjadi lumrah bahkan niscaya. Tetapi, silek Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, karena filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan ‘lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan’.

Navis (1984 :267) menjelaskan bahwa pada masa lalu semua anak laki-laki harus belajar silek  di sasaran kampungnya, yang tujuannya untuk menjaga diri tersebut. Terutama bagi orang-orang yang akan pergi merantau atau akan melakukan perdagangan keliling. Oleh karena itulah, banyak di antara para ulama ternyata seorang pendekar yang tanguh pula. Kemahiran memainkan silek itu terutama sangat dipentingkan para pedagang keliling, yang membawa dagangannya dari pekan ke pekan yang lain, yang sewaktu-waktu akan mungkin dihadang penyamun.

Baca juga: Silek, lawan tajilapak indak dihadoki jo balabek

Berkenaan dengan hal tersebut maka silek sebetulnya bekal bagi orang Minangkabau terutama kaum laki-laki dikampung halaman dan juga diperantauan. Kepopuleran orang Minangkabau dalam segi ini telah banyak diulas oleh para ahli, misalnya Kato (1982 :82) menjelaskan bahwa ketika gerakan merantau semakin popular, maka para perantau yang kembali biasanya membawa kekayaan, kekuasaan, serta prestise baru, selain gagasan-gagasan dan praktik-praktik baru dari dunia luar ke daerah asal usul mereka. Kato juga menemukan adanya suatu perubahan besar dalam tradisi merantau suku Minangkabau setelah PD II. Setelah perang, merantau secara eksklusif terkait dengan keluarga inti. Orang Minangkabau meninggalkan daerah asalnya dengan keluarga, atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Silek sebagai bekal mereka dirantau menjadi peganggan yang abadi.

Uniknya, bagi kaum laki-laki Minangkabau selain belajar bersilek di surau-surau juga belajar bagaimana mempertahankan diri berupa argumentasi, tempatnya yakni di lapau. Surau-surau dan lapau merupakan arena untuk “pendewasaan” serta “periode turun tanah” anak-anak muda, yaitu transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Naim (1978)  anak-anak (laki-laki) antara usia 7 sampai 10 tahun didorong keluar dari rumah ibunya untuk berdiam di surau-surau. Mereka tidur dan bermain di sekitar surau, atau tidur bersama teman-teman mereka di lapau-lapau. Dalam surau diajarkan membaca Al-Quran dan bersilek. Mereka kembali ke rumah hanya waktu makan dan mencuci pakaian untuk kemudian kembali lagi ke surau atau lapau. Begitulah siklus anak Minangkabau dalam memahami kehidupan, khususnya mempertahankan diri, keluarga dan masyarakatnya.

Disigi dari perspektif sejarah,  zaman dahulu  pada kerajaan-kerajaan mempunyai guru yang melatih prajurit untuk bersilek baik perorangan maupun berkelompok. Tidak berhenti disitu saja pada zaman pemerintah Belanda silek juga digunakan dalam mempertahankan nagari, namun ruang gerak silek ini tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Sebab dipandang berbahaya terhadap kelangsungan kedudukan pemerintahannya. Ada larangan berlatih bela diri seperti silek bahkan ada larangan untuk berkumpul dan berkelompok.  Kemudian, pada zaman penjajahan Jepang,  perkembangan silek tidak terlepas dari politik Jepang terhadap bangsa yang diduduki berlainan dengan politik penjajahan Belanda. Silek sebagai ilmu beladiri didorong dan dikembangkan untuk kepentingan Jepang sendiri, dengan mengobarkan semangat pertahanan bersama dan menghargai sama sama bangsa asia.

Jadi, jelaslah bahwa cara pembelaan diri, keluarga dan masyarakat yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sebuah prinsip yang esensial dalam silek. Tak perlu jauh-jauh untuk belajar, semuanya ada dalam silek- parik paga dalam nagari. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 15 September 2018

Silek, Lawan Tajilapak Indak Dihadoki Jo Balabek (3)

0

Keseharian kita dalam pergaulan dan persahabatan selalu dibingkai lawan dan kawan, kawan yang baik dan buruk. Pembingkaian tersebut didasari pada perihal nilai yang yang kita hadapi. Jika nilai yang dihadapi baik maka muaranya menjadi kawan dan begitu juga sebaliknya. Sebab prinsip hidup kita salah -satunya memilih dan merespon pergaulan dan persahabatan, bahkan kadang-kala pertarungan, permusuhan pun tak terelakkan.

Ketika pertarungan dan permusuhan tersebut muncul perlulah kiranya kita belajar dari prinsip yang ada dalam silek. Ungkapan lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak -ketika  lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak.  Begitu ungkapan tersebut sarat dengan nilai, ungkapan yang mengandung pesan bahwa  dalam pertarungan sekalipun, sikap permusuhan tidak boleh ditunjukkan, jika lawan terjerembab atau jatuh maka jangankan menambah kuantitas dan kualitas serangan, menunjukkan sikap siap menyerang pun dilarang. Justru yang diperintahkan yakni menggapainya untuk dibawa berdiri, walaupun kewaspadaan harus tetap dijaga.

Karena sifatnya untuk membela diri, maka ada aturan dalam silek untuk tidak menyerang bagian berbahaya dari tubuh lawan. Silek juga mengandung hikmah, kalau mereka yang menguasai silek dengan baik, mestinya memiliki kesabaran yang tinggi.

Baca juga: Silek, musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan

Disini letaknya silek sebagai media pendidikan yang efektif dalam masyarakat Minangkabau dalam menghadapi lawan untuk bertarung. Bukan itu saja silek Minangkabau menjadi dasar pembelajaran adat, budi pekerti bahkan agama; memiliki prinsip etik bahwa silek bukan untuk menciderai; bahkan silek juga bukan untuk dipertontonkan apalagi digunakan sebagai ekspose kekuatan (Mulyono, 2012: 10-11).

Dengan demikian, silek Minangkabau berbeda dari silat-silat lain yang saat ini cenderung diekspose sebagai simbol kekuatan yang siap anarkhis sebagai lasykar pada kelompok komunitas tertentu. Di samping itu, dalam pewarisan  silek Minangkabau tidak saja diajarkan etika dan keterampilan bela diri (ketangkasan) melainkan juga keterampilan silek lidah (diplomasi) dan mancak yang menjadi dasar kreatifitas dan representasi seni gerak (seperti tarian, teater, dan permainan rakyat).

Ketika kita –lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak– maka kita telah menjunjung aspek yang paling maha dalam adat Minangkabau yakni budi. Menurut Nasroen (1957:173) budi ini mendapat tempat utama dalam adat Minangkabau. Malahan sifat-sifat yang baik lainnya yang dikehendaki  adat itu bagi orang Minangkabau adalah pecahan dari budi itu sendiri. Adat Minangkabau berdasarkan prinsip hidup seseorang dengan bersama, yaitu perseimbangan seseorang dengan masyarakat dan sebuah dasar ikatan yang penting dalam melaksanakan prinsip itu adalah budi.

Sebab dengan adanya budi ada kesanggupan merasakan perasaan orang lain, merasakan orang lain itu adalah sesamanya, juga saudara, senang dan sakit orang lain itu adalah senang dan sakit  dia juga. Adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti yang baik dan mulia, sehingga pribadi mampu merasakan ke dalam dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain.

Bukan itu saja ungkapan tersebut juga mengandung makna bahwa lawan jatuh tidak dihadapi dengan gerak kaki atau gerak tangan, atau variasi kedua gerak tersebut yang bersifat menyerang. Kita sering mendengar dan mengungkapkan membunuh mahidui maampang malapehan, kutiko lawan tajatuah tajilapak, dijapuik jo bayang tangan. Maksudnya adalah dalam proses ini lawan jatuhpun kita bantu untuk berdiri sempurna, dan kemudian baru cakak dilanjutkan. Semuanya bertujuan untuk menghargai dan menjaga harga diri lawan, sehingga tidak dipermalukan, baik dari kita maupun dari orang lain yang menyaksikan.

Ditinjau dari makna yang terkandung didalamnya tidak terlepas dari persoalan sportifitas, kearifan dalam menjaga kehormatan lawan, tidak justru memanfaatkan kondisi lawan yang sedang terjatuh dalam rangka memenangkan cakak.  Sehingga, sebelum  cakak dimulai, cakak yang tidak terelakkan, muncul ajakan bijak sebagaimana terefleksi melalui ungkapan  bukaklah langkah dari sinan,  nak ambo iriangkan dari siko.

Perisai ini tercermain dalam langkah yang dimiliki pesilat, yaitu 3 langkah mundur, dan hanya 1 langkah maju. Maksudnya bahwa seorang pesilat mesti banyak mengalah, bersabar, dan tidak melayani serangan lawan dalam tahap awal. Tiga langkah mundur memberi kesempatan kepada lawan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan serangan, begitulah nuansa keelokan yang terkandung dalam silek.

Jadi dikehidupan kita, bila ada kawan yang terjatuh-terjerembab– jangan ikut memberi beban pula namun kita membantunya untuk bangkit dan berdiri, dan itulah salah-satu esensi yang terpatri dalam silek Minangkabau. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 14 September 2018

Silek, Musuah Indak Dicari Jikok Basuo Pantang Diilakkan (2)

0

“Betul engkau tidak akan mentjari sengketa,”kata ajah, tetapi seandainja ada orang gila-gilaan memukulmu dulu dan menantangmu berkelahi, engkau harus pandai mengelakkan dan membalas. Betapa djuga engkau ingin damai, sebagai persediaan perlu kepandaian ini (Muhammad Radjab dalam Semasa Ketjil dikampung, 1913-1928 Autobiografi Seorang Anak Minangkabau, 1950 :65).

Begitulah nukilan kehidupan seorang anak Minangkabau dalam memahami prinsip silek itu sendiri. Namun, hari ini adakah kita punya prinsip tersebut-musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan-seperti yang diajarkan dalam prinsip silek. Pertanyaan mendasar jika dikaitkan dengan melihat kondisi masyarakat saat ini yang cenderung lebih banyak mencari lawan daripada kawan. Prinsip yang sangat bertentangan sekali dengan prinsip dalam silek itu sendiri.

Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar. Ada adat silek yang dilakukan oleh setiap calon murid sehingga diakui dan sah menjadi anak sasian. Berlaku untuk siapa saja yang akan belajar silek termasuk anak dan keluarga guru sendiri. Mereka dituntut untuk bersunguh-sungguh, dengan keterampilan fisik dan lidah serta kematangan secara psikologis. Sebab dalam prakteknya seorang yang bermain silek dapat mencederai dan dapat mematikan, Itupula sebabnya, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesar membela diri.

Baca juga: silek lahienyo mancari kawan batinnyo mancari tuhan

Oleh karena itupula dalam silek menghendaki pelakunya orang yang telah dewasa dan matang secara pemikiran, siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek baik dunia dan akhirat.

Perspektif sejarah menurut Mulyono dan kawan-kawan (2010:10-11), silek sebelum agama Islam masuk ke ranah Minangkabau merupakan bela diri yang tidak hanya sekedar melumpuhkan lawan tetapi lebih mematikan. Maka, jarang diperlihatkan secara umum. Setiap guru silek yang mengajar di tempat umum selalu mendapat kawan dan terjadi pertarungan sampai mati, sehingga tempat latihan silek dinamakan sasaran dikarenakan latihan silek ditempat yang semestinya atau tempat yang tepat. Tempat tersebut antara lain di rumah gadang, kandang peliharaan hewan, parak ladang atau di hutan yang jauh dari pemukiman penduduk.  Namun, setelah Islam masuk ke Minangkabau silek menjadi media untuk belajar agama Islam dan silek mulai dikembangkan di surau-surau.

Pada dasarnya silek merupakan seni bela diri. Artinya, sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Pertahanannya ialah tangkap dan elek. Jenis tangkap ialah tangkok (tangkap) dengan menggunakan kedua tangan, kabek (kebat) dengan menggunakan siku, dan kunci dengan menggunakan seluruh anggota tangan.

Keterampilan bersilek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau “mencari” musuh. Namun, ketika musuh ternyata datang juga, maka seorang pesilat tidak boleh mengelak. Bahkan, dalam aliran tertentu, khususnya aliran Staralak dan aliran keras lainnya yang diciptakan memang untuk perang atau jihad (misalnya mengusir penjajah), maka dinyatakan kafir bila mundur. Sebaliknya, dalam masa damai, musuh tidak saja tidak boleh dicari tetapi ketika bertemu pun harus dielakkan.

Persoalan ini tidak terlepas dari hal bahwa setiap makhluk hidup dibekali naluri mempertahankan diri dari berbagai ancaman untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ayam diberi taji, harimau diberi taring dan cakar yang tajam, ular diberi bisa yang mematikan dan sebagainya.

Menurut Navis (1984:266) seorang tuo silek, ketika terjadi keenoran ia tidak tampil ke depan untuk menyelesaikan. Ia membiarkan anak didiknya menyelesaikan walaupun ia tahu keadaan itu tidak akan mudah mereka atasi. Hal itu merupakan salah-satu metode pendidikan pendekar. Bila keadaan telah kritis, yang akan dapat menimbulkan bencana, barulah pendekar tampil ke depan. Namun, pada umumnya para pendekar jarang sekali terlibat dalam persengketaan karena mereka saling menyegani. Mereka selalu memperingatkan anak didiknya agar tidak membuat sengketa dengan seorang pendekar. Malahan, mereka akan menganjurkan anak didiknya agar pergi berguru kepada pendekar yang lain. Dengan cara demikian dapat dihidarkan persengketaan antara remaja yang akan dapat melibatkan seluruh anggota sasaran sependidikannya. Perselisihan antara remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi, mereka akan pergi ke pemedanan.

Lebih lanjut Navis (1984:266) menjelaskan bahwa orang Minangkabau yang berselisih dengan sesamanya tidak akan berkelahi di hadapan orang ramah atau tempat perselisihan itu terjadi. Mereka akan pergi ke tempat yang sepi berdua saja atau ditemani kawan masing-masing. Kawan-kawan mereka hanya menyaksikan saja. Tidak boleh ikut campur selama tidak terjadi kecurangan dengan mengunakan alat atau bila melihat gelagat salah seorang akan terbunuh. Perkelahian yang dilakukan di tempat ramai dipandang sebagai perkelahian para pengecut yang mengaharapkan bantuan teman-teman sendiri atau dilerai segera.

Jadi begitulah bernilainya prinsip dalam silek- musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan– bila kita praktekkan dalam kehidupan sehari hari dalam bermasyarakat akan menciptakan keharmonisan. Mudah-mudahan. Bersambung...

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Padang Ekspres pada 13 September 2018

Silek, Lahienyo Mancari Kawan Batinnyo Mancari Tuhan (1)

0

Bagi kita kata silek tidaklah asing, apalagi bagi orang Minangkabau. Sebab sejak dahulu  adat Minangkabau menjadikan silek  sebagai warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya-berfungsi sebagai membela diri-parik paga nagari.  Silek  Minangkabau mengajarkan nilai-nilai etik interaksi yang fundamental, sebab filosofi yang diajarkan adalah lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan -lahirnya mencari kawan batinnya mencari tuhan. Begitulah esensi sarat dengan nilai yang terkandung dalam silek Minangkabau tersebut.

Disigi dari ajarannya, ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahiriah, silik adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri batiniah, dan suluk adalah ilmu mempelajari atau mengenal diri lahir batin. Bahkan lebih jauh, beberapa pelaku- tuo silek mencoba mengaitkan “silat” (silek) dengan “salat” (sholat) dan “silat-urrahim” (hubungan baik dengan sesama manusia). Ketiga kata tersebut memiliki akar yang sama, terdiri atas tiga huruf Arab, yakni: sim-lam-ta.

Dalam tataran prakteknya, silek diwariskan melalui proses belajar, menuntut kesungguhan, keterampilan fisik dan lidah serta kematangan psikologis. Silek dalam pengunaannya memiliki konsekuensi yang besar, yakni menciderai dan dapat mematikan. Oleh sebab itu, silek hanya dipergunakan dalam keadaan terdesak membela diri. Namun bila terdesak gerakan silek bisa digunakan pula- munculah ungkapan musuah indak dicari jikok basuo pantang diilakkan- musuh tidak dicari, kalau bertemu  pantang dielakkan.

Sebagai sebuah keterampilan, silek melahirkan kreatifitas seni gerak yang disebut pancak. Pancak terekspresi pada berbagai aktifitas gerak seperti langkah balega, silek atau tari galombang, sipak rago, randai, tari manari, dan keterampilan berburu. Jadi, yang dipertunjukkan sebagai permainan atau kreatifitas seni adalah pancak.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/mahakarya-silek-minangkabau/

Perihal ini sesuai dengan ungkapan basilek di rumah gadang, kok mancak yo di ilaman bersilat di rumah gadang, kok mancak yo di halaman’. Pancak merupakan salah satu bungo silek, yaitu representasi silek dalam bentuk gerak fisik. Oleh karena silek meliputi silik dan suluk, maka bungo silik adalah gayuang atau parmayo (gerak tubuh atau batiniah) dan bungo suluk adalah magrifatullah yakni suatu gerak spiritual berupa makrifat Allah SWT.

Silek Minangkabau tradisional adalah bagian dari tradisi lisan Minangkabau yang diajarkan secara lisan dan disertai peragaan laku dan peralatan. Sebagai tradisi lisan, sejarah kelahiran dan silsilah perkembangannya relatif sulit dilacak. Hal itu disebabkan karena penciptaannya bersifat anonymous dan kolektif. Itu sebabnya, penamaan aliran Silek Minangkabau didasarkan kepada sumber inspirasi dan pola gerakan serta nama nagari asal pengembang atau pengembangan awalnya. Sebut saja misalnya, Silek Usali atau Silek Tuo (penamaan berdasarkan ketuaan atau keawalan), Silek Harimau, Silek Kuciang, Silek Buayo, Silek Alang Babega (penamaan berdasarkan sumber inspirasi dan pola gerakan), Silek Kumango, Silek Lintau, Silek Paninjauan, Silek Balubuih (penamaan berdasarkan nama nagari asal pengembang atau pengembangannya), dan lain sebagainya.

Perspektif wujud, silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud yakni silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri). Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah. Keterampilan silat lidah menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk tampil di depan umum mengutarakan pendapat, mengeluarkan ide-ide kreatif, mempertahankan argumentasi, dan kemampuan diplomasi. Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana- tahu di ereang dengan gendeang, tahu di angin nan bakisa, tahu di bayang kato sampai ‘tahu dengan ungkapan berkias, tahu dengan angin yang beralih, tahu dengan tujuan kiasan’.

Kemudian Silek tagak atau disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (amar makruf nahi mungkar). Silek tagak menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri di hadapan khalayak untuk menyatakan kebenaran dan keadilan.

Baik silek duduak  (silat duduk) dan silek tagak (silat berdiri) pada prinsipnya mengutamakan atau mengandalkan kecerdasan intelektual (ajaran falsafah alam terkembang jadi guru), kecerdasan emosional (ajaran budi), dan kecerdasan spiritual ajaran tauhid.

Itupula sebabnya silek pada dasarnya seni bela diri dengan sifat keampuhannya lebih mengutamakan pertahanan. Prinsip demikian bermakna bahwa silek adalah keterampilan yang mampu menciderai bahkan mematikan lawan, karena itu silek mengehendaki pelakunya adalah orang yang telah dewasa dan matang, yang siap mempertanggungjawabkan efek penggunaan silek itu, baik di dunia dan akhirat.

Keterampilan bersilek dalam silek bukan untuk dibanggakan atau disombongkan, sehingga mengundang atau mencari musuh namun memperbanyak kawan. Sifat perkawanan dan silaturahmi yang hakiki dibingkai oleh silek itu sendiri.

Memperbanyak teman dan mengurangi lawan dalam kehidupan bermasyarakat bisa menjadi hal ikhwal yang bisa diambil dalam prinsip silek itu sendiri. Kemudian secara bathiniah diri kita dekatkan pada yang maha kuasa- lahienyo mancari kawan, batinnyo mancari tuhan. Bersambung.

Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspres pada 12 September 2018