‘Lapau’: Media sosial Masyarakat Minangkabau*

0
9919
Mardoni

Penulis : Mardoni, Staf pada BPNB Sumatera Barat

Hiruk-pikuk pembicaraan antara hoax dan kebebasan berpendapat di negeri ini, membuat saya menjadi tergugah ingin membuat  sebuah perbandingan lain tentang kebebasan berbicara. Banyak berita tentang hoax dimuat diberbagai media, ada berita di sebuah media lokal Sumatera Barat yang memuat headline besar di halaman pertama dengan judul besarnya “Penyebar Hoax didenda”. Dalam acara Indonesia Lawer Club (ILC) yang ditayang oleh station TV swasta Indonesia juga dibahas tentang hoax VS Kebebasan berpendapat. Bahkan dalam tayangan tersebut seorang akademisi atau dosen universitas negeri berkata bahwa penyebar hoax yang paling sempurna adalah ‘penguasa’ itu sendiri.

Saya tidak tahu apakah masyarakat (baca: publik) yang merasa resah dengan hoax, atau pemerintah yang resah dengan penyebar hoax. Bukti resahnya pemerintah dengan hoax maka dibentuklah Badan Cyber Nasional dan sosialisasi (program literasi) ke netizen tentang bahaya hoax. Hal ini bisa menjadi sebuah warning bagi netizen agar lebih berhati-hati mengunakan media sosial yang dipakainya. Tidak Demikian dengan masyarakat Sumatera Barat umumnya dan Minangkabau khususnya. Kenapa? Memang pada masa dahulu belum ada media-media sosial seperti android, facebook, Whatsapp, dan lainnya. Tidak semua urang awak juga bisa mengunakan android, instagram, facebook, whatshaap, dan media sosial lainnya. Mereka juga tidak memiliki akses untuk menyampaikan pendapat, opini, atau sumbangsih saran kepada media masa, baik cetak atau online. Keinginan untuk menyampaikan pendapat, opini, ini di-lewa-kan oleh masyarakat melalui media yang disebut tradisi ma ota di lapau.

Urang awak (baca orang Minangkabau) memiliki sebuah budaya/kebiasaan yang suka mendiskusikan sesuatu atau menginformasikan sesuatu ditempat yang non formal yang dikenal dengan lapau. Kebiasaan itu disebut “Ma ota”. Ota dalam kamus lengkap Bahasa Minangkabau (Minang – Indonesia) bagian pertama berarti omong, bercerita (Gouzali Saydam, 2004:266). Sehingga terkadang orang sering menyebutnya dengan  ota, ota lapeh, dan yang lebih sering kita dengar adalah ota dilapau atau ota lapau. Mirip saketek jo Indonesia Lawer Club (ILC) versi salah satu TV swasta nasional kita.

Ma ota dilapau (ota lapau) dilakukan oleh bapak-bapak, angku-angku, atau  mungkin juga ninik mamak kita di lapau. Hal ini biasanya dilakukan pada pagi hari dari jam 06.00 sampai jam 08.00 pagi atau sore sampai malam hari dari jam 06.00 sampai jam 10.00 malam atau lebih. Sangat jarang dilakukan diluar jam tersebut, karena masyarakat akan melakukan aktivitas ekonomi menurut profesinya masing-masing.  Ma ota dilapau dilakukan pada waktu-waktu tersebut, sehingga orang melakukannya secara bebas sampai balapik-lapik. Namun walaupun demikian, tidak pernah ada berita yang menjelaskan tentang pengaduan atau laporan ke kantor polisi bahwa dilapau tertentu telah terjadi pembohongan berita, atau seseorang yang ma ota dilapau tertentu telah menyebarkan berita bohong, dan sebagainya. Atau yang disebut hoax (berita bohong) yang sedang banyak diperbincangkan sekarang ini.

Berbagai hal sering dijadikan topik atau tema yang diperbincangkan di lapau. Mulai dari masalah lokal sampai nasional, persoalan wali nagari sampai presiden, masalah ekonomi dan harga-harga kebutuhan pokok, politik, budaya, dan lainnya. Berbagai versi berita yang diberita televisi menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan dilapau. Bahkan ada beberapa orang yang ma ota dilapau sampai membicangkan bentuk fisik, raga, dan tindak tanduk orang, atau pejabat tertentu dengan menjelekkannya. Begitulah kondisi realitas lapau di Minangkabau.

Jika dikaji secara ilmiah, lapau dijadikan media sosial bagi masyarakat Minangkabau dikampung-kampung. Mungkin di daerah Minangkabau perkotaan ma ota di lapau sudah kurang dilakukan. Namun di berbagai daerah di darek Minangkabau (di Tiga Luhak ; Luhak Tanah Datar, Luhak agam, dan luhak 50 Kota) tradisi ma ota di lapau masih dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga menjadi media tempat berbagi informasi dan bertukar pikiran bagi masyarakat di daerah tersebut. Di lapau dijadikan tempat berbagi informasi dan mendiskusikan berbagai berita. Persoalannya apakah ini (carito di lapau) termasuk hoax dalam pengertian Komisi Informasi Pusat nantinya? Ini masih perlu ditelusuri. Mengingat berita yang dimunculkan oleh media lokal Penyebar Hoax akan didenda, jangan-jangan Tim Badan cyber Nasional akan sidak di lapau-lapau untuk ‘mengrebek’ Bapak-Bapak yang ma ota di lapau. Saya harap jangan sampai begitulah. Karena ma ota  di lapau merupakan tradisi berkomunikasi dan berdiskusi yang hanya ada di daerah Minangkabau,. Tradisi ini mungkin tidak pernah ada di daerah lain di luar Sumatera Barat.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari maota dilapau. Hal ini akan membuka hati dan wawasan kita betapa kehidupan bebas berbicara dan berpendapat telah lebih dulu dikembangkan di perkampungan masyarakat Minangkabau. Pertama, lapau sebagai tempat ekpresi kebebasan berpikir dan berpendapat masyarakat tradisional Minangkabau. Pasal 28 Undang-Undang dasar negera Republik Indonesia berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam pasal 28 UUD 1945 ini memiliki makna yang dalam tentang kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat dimuka umum baik secara lisa dan tulisan. Indonesia dengan beragam suku bangsa dan bahasa, meiliki kekayaan intelektualnya di masing-masing daerah. Kebebasan berpikir dan berpendapat di berbagai daerah memiliki khasnya masing-masing. Di daerah kebudayaan Minangkabau wahana/ tempat penyampaian ekpresi kebebasan dan berpendapat ini dilakukan di lapau. Mungkin hanya di Minangkabaulah hal ini dilakukan di lapau?

Kedua, lapau sebagai media berbagi informasi dan berkomunikasi masyarakat. Media informasi dan komunikasi adalah tempat mendapatkan berbagai informasi dan mengkomunikasikan informasi tersebut secara lansung. Di Minangkabau tempat untuk mendapatkannya adalah dilapau. Mungkin koran, HP, Whatsapp, facebook, dan televisi  akan kalah saing dengan ota lapau. Penyebabnya adalah ota lebih dikomunikasikan secara lansung, sehingga siapa yang melakukan apa telah jelas dalam diskusi tersebut.

Ketiga, lapau sebagai wahana pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau. Mungkin kita akan bertanya budaya apa yang akan dilestarikan di lapau?. Kebudayaan menurut Koenjtaraningrat adalah “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta  karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2005;72). Lebih lanjut C . Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2005;80) menjelaskan bahwa ada beberapa unsur kebudayaan umum yang bisa dijelaskan dalam masyarakat, yaitu Bahasa, Sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,sistemmata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah sistem pengetahuan dalam masayrakat. Hal ini bisa diuraikan sebagai suatu pengetahuan masyarakat yang dijadikanmilik bersama dan dijadikan sebagai hak milik karya masyarakat. Salah satu hasil karya  Minangkabau adalah kuliner/ makanan tradisionalnya yang sangat enak dan sedap untuk di nikmati. Banyak makanan tradisional Minangkabau, seperti Rendang, katan goreng, lamang tapai, lapek, teh talua, dan sebagainya. Makanan tersebut sering kita temui dilapau.

Hubungannya dengan pelestarian nilai-nilai budaya dilapau adalah bahwa di lapaulah makanan tersebut dilestarikan,dinikmati, dan dipertahankan. Teh talua (teh telur) merupakan minuman khas Minangkabau yang hanya kita dapatkandi lapau, dan jarang kita temui menu tersebut di beberapa kafe-kafe modern. Teh telur dinikmati bersama dengan makanan katan goreng, atau lamang tapai, atau penganan lainnya. Ma ota dilapau akan lebih bersemangat bila diiringi dengan minum dan makanan tradisional Minangkabau.

Pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau di lapau akan selalu teraktualisasi dengan semakin ramainya masyarakat berdikusi dan berkomunikasi dilapau dalam bentuk ota lapau. Sehingga semakin hari ota lapau menjadi sebuah tradisi yang bisa dijadikan warisan dunia yang perlu dilestarikan sebagai budaya khas budaya Minangkabau. Ketiga hal diatas merupakan manfaat yang dapat kita dapatkan ketika berdiskusi dan berkomunikasi dilapau, sehingga lapau dapat kita manfaatkan sebagai ranah ekpresi kebebasan berpikir masyarakat, sebagai wadah mendapatkan informasi dan berkomunikasi, dan sebagai wadah pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau. Semoga saja.

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, rubrik Bendang pada 28 Mei 2017