‘Kieh Jo Kato’ dan Karakter Masyarakat Minangkabau*

0
3068
Silvia Devi

Penulis : Silvia Devi, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat

Saat ini generasi muda di Minangkabau sudah banyak yang kurang mengerti dengan  kieh jo kato. Di keluarga kita saja, menghardik anak sebuah solusi ketika kieh jo kato tidak lagi menjadi senjata ampuh untuk menyelesaikan suatu masalah. Padahal kieh jo kato ini merupakan salah-satu metode dalam mendidik yang bertujuan membentuk karakter orang Minangkabau dengan berdasarkan falsafah alam takambang jadi guru. Kieh adalah cara menyampaikan sesuatu dengan tidak berterus terang atau menggunakan perumpamaan, bisa dengan sindiran yang bersifat pujian maupun cemoohan. Navis (1984) dengan menariknya menjelaskan bahwa kieh juga dikenal dengan istilah sindia, hereanggendeang, dan  kato malereang.  Penggunaan kieh biasanya menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi sehingga orang yang diajak berkomunikasi tidak merasa direndahkan. Sedangkan kato adalah cara menyampaikan sesuatu dengan berterus terang atau terbuka akan tetapi tetap memperhatikan pemilihan kata-kata yang digunakan.

Sebagai  orang Minangkabau, dalam berbahasa sudah seharusnya mengerti akan kieh jo kato seperti ungkapan tau di kieh kato sampai.  Di dalam berinteraksi antara sesama dengan melakukan sebuah komunikasi, tentu terdapat adab sopan santun dalam berbahasa agar interaksi tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika dalam berinteraksi, komunikasi yang digunakan tidak sopan, maka bisa dibayangkan akan terjadi kesalahpahaman yang bukan tidak mungkin berujung pertumpahan darah. Oleh karena itu sangat perlu diperhatikan dengan siapa kita berkomunikasi, dalam situasi apa dan dengan pemilihan bahasa yang tepat. Hal ini dilakukan agar maksud yang akan disampaikan dalam berkomunikasi dapat tersampaikan dengan baik.

Penggunaan bahasa kieh pada orang Minangkabau sangat tertata rapi dalam ragam bahasa adat. Hal ini terlihat dalam setiap penyelenggaraan prosesi adat baik itu kelahiran, perkawinan, penobatan gala sampai pada prosesi kematian. Penggunakan kieh berlaku di semua daerah di Minangkabau dan dapat dilihat pada petatah petitih, pidato adat atau nasehat yang diungkapkakan dalam setiap rangkaian prosesi tersebut.

Oktavianus dan Ike Revita (2013: 130) mengungkapkan bahwa orang Minangkabau yang menggunakan bahasa kiasan (kieh) menggambarkan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang bersifat dinamis, terbuka dan fleksibel. Penggunaan metafora dalam kieh menunjukkan kesantunan yang mampu menjaga harga diri masing-masing pihak agar terhindar dari konflik. Biasanya konflik terjadi berawal dari kesalahpahaman dalam pemakaian bahasa. Oleh karena itu masyarakat Minangkabau dalam  berkomunikasi sangat dianjurkan untuk berhati-hati seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam danga-dangaan.

Kieh sangat dikenal dalam sastra Minangkabau, dan juga berlaku dalam ruang lingkup kebudayaan Minangkabau secara luas. Hal ini sesuai dengan falsafah yang dianut oleh orang Minangkabau yakni alam takambang jadi guru. Alam menjadi sumber inspirasi dan berperilaku dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu gambaran alam akan menjadi perumpamaan yang sangat tepat bagi orang Minangkabau yang hidupnya sangat bergantung dengan alam.

Karakter

Karakter seseorang dibentuk semenjak usia dini. Oleh karena itu apabila yang ditanam kebaikan maka akan menuai kebaikan kelak di masa pertumbuhan dan perkembangannya menuju kedewasaan. Thomas Lickona (1991)  mengungkapkan bahwa kualitas karakter suatu masyarakat dicirikan dari kualitas karakter generasi mudanya. Hal ini bisa menjadi indikator penting apakah suatu bangsa bisa maju atau tidak.  10 tanda dari karakter generasi muda yang perlu dicemaskan karena akan mendatangkan kehancuran salah satunya yakni penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk .

Penananam karakter yang berkualitas menjadi sangat penting dilakukan sejak usia dini. Terlebih dengan semakin kuatnya arus globalisasi yang sulit untuk dibendung. Tempat pendidikan karakter yang paling pertama dan utama adalah keluarga. Perihal ini berkenaan dengan pentransferan kieh jo kato. Pentransferan kieh jo kato tersebut memiliki metode, begitu juga dengan orang Minangkabau sebagai penganut matrilineal.

Metode kieh jo kato dalam pendidikan masyarakat matrilineal sudah diajarkan nenek moyang masyarakat Minangkabau.  Metode ini bertujuan dalam menyampaikan pesan-pesan yang bernilai edukatif dari seorang mamak, ibu dan anggota kerabatnya.  Kieh jo kato yang bersumber dari alam menjadi pedoman masyarakat dalam memupuk ketajaman berfikir yang membentuk karakter seseorang. Ungkapan-ungkapan kieh dapat bernilai positif seperti ibaraik ilmu padi, makin barisi makin tunduk (ibarat ilmu padi, makin berisi makin tunduk). Kieh ini mengajarkan agar orang-orang yang tinggi ilmunya tidak menjadi orang yang sombong [Jamna,?].

Kieh yang diajarkan dalam sistem matrilineal orang Minangkabau salah satunya alasan menjadi penting adalah dikarenakan sistem keluarga luas yang dianut. Adanya pola hubungan kekerabatan ipa bisan, anak kemenakan, minantu mintuo, dimana hubungan yang tercipta jika tidak disikapi dengan baik akan mudah menimbulkan konflik. Begitu juga sebaliknya, jika anggota keluarga luas semakin bisa menyikapi dengan ketajaman berfikir dari kesopanan berbahasa dalam menggunakan kieh jo kato maka akan menciptakan hubungan keluarga yang harmonis. Meskipun kieh  yang akan disampaikan tujuannya untuk menyindir atau bahkan mencemooh pihak lain, akan tetapi dengan penyampaian menggunakan kieh  maka tidak akan secara langsung membuat emosi seseorang tidak terkendali dikarenakan merasa direndahkan. Itulah keistimewaan penggunaan bahasa kieh  yang menjadi kebanggaan budi bahasa, terutama orang Minangkabau.

Berbeda halnya dengan metode kato yang menyampaikan pesan atau maksud dengan menggunakan kata-kata secara langsung berterus terang. Aggota keluarga luas juga menerapkan pendidikan karakter dengan keterbukaan atau jujur. Jika ada suatu pesan yang disampaikan maka akan diungkapkan tidak menggunakan kieh.  Penggunaan kato harus memperhatikan kepada siapa ditujukan, dimana tempat menyampaikan dan situasi dalam penyampaian kato tersebut. Hal ini dikarenakan akan berdampak langsung kepada pihak yang akan menerima pesan. Meskipun orang Minangkabau sangat menyukai keterbukaan, yang lebih diutamakan adalah kehati-hatian dalam memilih kata-kata yang akan disampaikan. Seperti ungkapan kok mangecek maagak-agak, pikiakan kalau bakato, tapi usah katokan nan tapikia, sabab luko di pisau tampak darah, duo tigo taweh panawa, tapi luko di lidah sulik ubeknyo. Ungkapan itu sangat ditekankan kepada anak kemenakan sebagai jiwa-jiwa yang penuh gejolak yang terkadang dengan sangat emosional dalam mengungkapkan isi hatinya, sehingga kurang memikirkan akibat di belakangnya.

Harapan ke depannya, kieh jo kato menjadi hal yang penting untuk dipelajari, dipahami dan dilaksanakan. Hal ini bertujuan dalam pembentukan karakter seseorang terutama generasi muda menjadi karakter yang berkualitas.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 16 April 2017