Pagi itu, beberapa nelayan duduk santai di dipan sebuah rumah panggung di Nagari Lansano, salah satu nagari di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Terik matahari mulai menyengat mengiringi kepulangan mereka seakan mendorong untuk mengaso sejenak. Mereka memang butuh melepas lelah sejenak setelah sejak subuh bekerja di tengah laut. Umumnya obrolan dan canda mereka membahas seputar hasil yang diperoleh pagi ini.
‘dapek bara (dapat berapa)?’ tanya seorang bapak.
‘limo pulu ibu nyo (cuma lima puluh ribu rupiah)’ jawab yang lain.
Penghasilan mereka pagi itu hanya Rp.50.000,-. Hasil sebanyak itu dibagi untuk biaya baka (bahan bakar) melaut dan dibawa ke rumah. Kala itu musim melaut sedang sedikit. Banyak diantara nelayan tidak mendapatkan hasil tangkap. Bahkan, beberapa diantara mereka untuk menutupi baka saja kadang tidak bisa. Begitulah keseharian sekelompok bapak-bapak tersebut yang sehari-hari melaut menggunakan sampan robin (sampan 15 PK) dengan alat tangkap seadanya. Mereka disebut juga dengan nelayan robin.
Baca juga: PPKD, titik awal atau pengulangan sejarah
Sebagian masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan memang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Berdasarkan data statistik tahun 2016, terdapat 18.937 orang berprofesi sebagai nelayan dengan rincian 14.091 jiwa nelayan penuh waktu dan 4.846 jiwa nelayan paruh waktu. Jumlah tersebut, umumnya hidup sebagai nelayan tradisional dengan mengandalkan alat tangkap sederhana, modal kecil dan hasil tangkap yang sedikit. Bahkan, sebagian hidup memburuh kepada pemilik alat tangkap tanpa memiliki alat kerja.
Hidup sebagai nelayan tradisional di Kabupaten Pesisir Selatan bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Seringkali, hasil tangkap yang mereka peroleh di pagi hari hanya cukup memenuhi konsumsi di hari yang sama. Bahkan sering hasil tangkap mereka tidak cukup untuk memenuhi biaya melaut yang mereka keluarkan. Ketika masa seperti ini tiba, maka jalan keluar yang mereka tempuh adalah berhutang. Menjadi tradisi bagi mereka hidup dengan menggali lobang tutup lobang.
Kita yang selalu merasa bangga dengan luas dan kayanya laut seakan ironis menyaksikan kehidupan nelayannya. Mengandalkan hasil menangkap sangat tidak mungkin bahkan hanya untuk sekadar mempertahankan hidup. Tidak peduli apakah mereka nelayan robin, nelayan pukat tepi atau nelayan pukat payang, semua sama saja. Sehingga, lama kelamaan mereka selalu terperangkap dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dan miskin.
Untuk dapat melanjutkan dapur tetap ngebul merekapun harus kreatif. Jika tidak, maka mengandalkan hasil tangkap akan mengancam hidup mereka. Beberapa cara yang mereka lakukan disaat hasil tangkapan mereka tidak ada adalah dengan membantu penangkapan orang lain, memanfaatkan pasang sedang naik untuk menangkap kepiting atau udang, bekerja di luar kerjaan nelayan dan sebagainya. Namun, pekerjaan-pekerjaan sampingan tersebut hanyalah sementara.
Berbagai program pemerintah sebenarnya telah digulirkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Beberapa diantaranya seperti asuransi nelayan, bantuan alat tangkap, tabungan nelayan dan lainnya. Namun pemberian bantuan tersebut belum berdampak signifikan pada peningkatkan taraf hidup nelayan. Program yang ada seakan tidak mampu mengangkat penghasilan mereka. Mereka yang mengandalkan alat tradisional seakan takluk pada alam.
Persoalan masyarakat nelayan di Kabupaten Pesisir Selatan memang cukup rumit. Keterbatasan penguasaan teknologi mengakibatkan nelayan tradisional senantiasa takluk pada alam. Kekalahan teknologi juga mengakibatkan pengumpulan hasil laut yang kecil jika dihadapkan pada penggunaan teknologi yang lebih canggih. Disisi lain dari sumber daya manusia, nelayan tradisional juga umumnya sangat minim mengecap pendidikan formal dan keterampilan yang berpotensi mencari penghasilan tambahan.
Penulis: Firdaus Marbun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 23 September 2018