BATOMBE: Tradisi Berbalas Pantun di Minangkabau*

0
2354
Batombe

Penulis: Firdaus Marbun

Batombe

Salah satu kesenian tradisional yang cukup populer dalam masyarakat Minangkabau adalah Batombe. Kesenian ini merupakan bentuk seni berbalas pantun dengan diiringi alat musik rabab. Dimainkan oleh dua orang laki-laki dan perempuan, atau berkelompok. Para pemain disebut dengan pendendang. Biasanya pendendang utama merangkap sebagai pengiring. Dendangan pantun dalam kesenian batombe biasanya merupakan ungkapan perasaan dan cerita perjalanan hidup seperti cinta, sedih, semangat dan lain-lain. Pantunnya mengandung kata kiasan dan melepaskan hasrat hati.

Lahir dan berkembang pada masyarakat Nagari Abai, Kabupaten Solok Selatan, batombe hampir sama dengan kesenian berpantun di daerah-daerah lain. Jika di Palembang dan Bengkulu kita mengenal kesenian berpantun dengan istilah Batang Hari Sembilan, Gitar Tunggal atau Rejung, maka kesenian berpantun di Sumatera Barat dikenal dengan kesenian batombe.

Secara sekilas perbedaan utama diantara kesenian berpantun tersebut ada pada alat musik pengiringnya. Pada kesenian rejung dan batang hari sembilan, alat musik pengiringnya adalah gitar sehingga kesenian tersebut seringkali disebut dengan gitar tunggal karena biasanya hanya menggunakan satu gitar. Sementara kesenian batombe menggunakan rabab sebagai pengiring. Namun dalam hal dendang menggunakan media yang sama yaitu pantun. Pantun tersebut mengandung cerita-cerita kehidupan sehari-hari seperti percintaan, kesedihan, pembangkit semangat dan nasihat.

Secara asal kata, batombe berasal dari kata ‘ba’ dan ‘tombe’. ‘ba’ pada bahasa Minangkabau merupakan awalan kata sedangkan ‘tombe’ berarti pantun. Sehingga batombe sama dengan berpantun. Sesuai dengan namanya, kesenian berpantun ini dilaksanakan dengan cara berbalas pantun antar individu dan antar kelompok. Tombe sendiri dalam bahasa abai mempunyai tiga makna: 1) tiang atau tegak, 2) musyawarah atau mufakat, 3) bersatu. Dengan adanya tombe ini, masyarakat menjadi bersatu, bekerjasama manjapuik baban nan jauah, pambao baban nan barek (menjemput beban yang jauh, pembawa beban yang berat. Jadi esensi dari berbalasan pantun (batombe) pada hakikatnya dalam rangka manjapuik baban nan barek (Refisrul dan Rismadona 2016, 51).

Kesenian Batombe

Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini muncul. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat tradisi ini muncul pada saat gotong royong membangun rumah gadang/masjid. Pada masa lalu gotong royong memang kerap dilakukan baik dalam pembangunan kampung/nagari, pembangunan rumah gadang serta pembangunan masjid.  Konon, disaat warga sedang mengambil kayu ke hutan untuk keperluan tiang, ada satu ketika kayu yang sudah ditebang tidak bisa diangkat bahkan sama sekali tidak bisa digeser. Berbagai usaha telah mereka lakukan, kayu tersebut tetap tidak bisa diangkat.

Dalam kondisi putus asa, tiba-tiba para perempuan yang memang bertugas untuk menyiapkan bekal mencari cara untuk memberi semangat kepada kaum pria yang sedang susah payah mencari cara untuk memindahkan kayu. Lalu secara spontan mereka mulai berpantun yang kemudian dibalas oleh para pekerja pria. Dalam sahut-sahutan pantun tersebut, kemudian tanpa disadari kayu yang tadi tidak bisa digeser kemudian sedikit demi sedikit bergeser dan bisa dipindahkan ke lokasi pembangunan rumah. Demikian selanjutnya balas pantun berkembang dalam berbagai kegiatan-kegiatan bersama hingga akhirnya menjadi satu tradisi dalam perhelatan-perhelatan.

Kesenian batombe umumnya dilaksanakan untuk mengisi berbagai acara perhelatan. Pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan tentu orang yang punya acara. Pemilik acara ini disebut dengan sipangkalan. Sipangkalan bertanggungjawab mempersiapkan segala pertunjukan mulai dari tempat pelaksanaan, mengundang warga, dan membicarakan izin dan teknis pelaksanaan dengan penghulu. Sipangkalan juga menentukan pendendang serta menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Biasanya melibatkan warga kaum dengan sepengetahuan penghulu. Untuk memastikan segalanya berjalan lancar, persiapan dimulai sejak jauh-jauh hari. Dimulai dengan rapek awak, mengundang rajo tigo selo, alim ulama, cerdik pandai untuk meminta izin. Pertemuan disebut dengan duduak urang tuo.

Dalam pelaksanaan, biasanya para pendendang tidak mempunyai panduan atau teks pantun tapi mengalir dengan spontan. Iringan musiknya juga cenderung monoton. Satu hal yang menarik dari kesenian ini adalah lantunan pantun yang seringkali menggambarkan keadaan faktual sehingga penikmat suka betah berlama-lama menyaksikannya. Kesenian batombe juga sering melibatkan orang lain atau penonton dalam balas pantun.

Tidak ada batasan usia untuk bisa menjadi seorang pendendang. Dari remaja hingga orang tua, jika punya persediaan pantun yang banyak bisa menjadi pendendang. Tidak juga ada pendidikan khusus untuk bisa menjadi seorang pendendang. Dendang batombe biasanya dipelajari dari kebiasaan seseorang menonton pertunjukan batombe dan mencoba mempraktekkannya. Belajar lebih banyak dilakukan melalui kegiatan-kegiatan batombe dalam perhelatan-perhelatan. Sementara pemain musik atau pengiring biasanya terbatas pada laki-laki karena lebih familiar pada alat musik.

Kini batombe telah berkembang dalam berbagai acara seperti perkawinan, pembangunan rumah, memasuki rumah, batagak penghulu dan menyambut tamu. Perkembangan juga diikuti modifikasi assesories dan musik pengiring disesuaikan dengan kondisi masyarakat terkini dan keinginan para penikmatnya. Fungsi untuk membangkitkan semangat pada masa lalu juga berkembang ke arah hiburan masyarakat. Pantun batombe juga semakin beragam mengikuti kemajuan zaman.

*Artikel ini telah dimuat di Harian Singgalang rubrik Bendang pada 16 Juli 2017.