Bakajang

0
1952

Penulis: Ernatip (Peneliti BPNB Sumatera Barat)

Bakajang adalah suatu istilah untuk menyebutkan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka memeriahkan hari raya Idul Fitri. Asal kata tersebut adalah kajang yang maksudnya adalah perahu. Kajang adalah sampan yang disulap menjadi perahu/kapal. Kapal tersebut mirip kapal pesiar  tampil dengan megahnya sehingga menjadi pusat perhatian masyarakat ramai. Kajang terbuat dari dua buah sampan kecil dirakit menjadi satu. Selain sampan peralatan lain yang digunakan adalah kayu untuk kerangka,  triplek untuk penutup kerangka, paku dan peralatan lainnya. Di samping itu ada bahan lain yang digunakan untuk mempercantik tampilan kajang seperti cat dan hiasan lainnya.

Foto. Ernatip

Tampilan kajang yang begitu megah memerlukan biaya yang cukup banyak. Satu buah kajang menghabiskan biaya antara 15 – 20 juta yang  berasal dari partisipasi masyarakat. Masyarakat Nagari Gunung Malintang Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota begitu antusias terhadap perayaan ini. Oleh sebab itu segala upaya dilakukan agar perayaan bisa terlaksana setiap tahunnya. Nagari tersebut terdiri dari 5 desa/jorong  sekaligus sebagai tempat pusat perayaan bakajang yang berlangsung secara bergantian. Pemukiman masyarakat berada di pinggir sungai sehingga rumah-rumah mereka menjadi tempat istirahat pengunjung sekaligus tempat menyaksikan perayaan bakajangKajang yang tampil pada perayaan tahun ini sebanyak 5 buah berasal dari setiap desa/jorong. Pada setiap kajang di pasangkan identitas/asal kajang tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para penonton tahu nama desa/jorong pemiliki kajang itu.

Proses pembuatan kajang berlangsung cukup lama diperkirakan lebih kurang selama satu bulan. Pembuatan kajang sudah mulai dirancang menjelang puasa dan diperkirakan menjelang lebaran telah selesai. Suasana puasa tidak mengurangi semangat mereka bekerja menyiapkan kajang yang akan ditampilkan dihari perayaan tersebut. Pembuataan kajang dilakukan secara gotong royong terutama oleh para pemuda. Meskipun demikian dalam proses pembuatan juga menggunakan tenaga ahli sebagai perancang, membentuk kerangka sesuai dengan kesepakatan bersama. Bentuk kajang secara umum hampir sama  tetapi tetap ada perbedaan misalnya ukuran panjang, lebar, tinggi atau hiasannya. Setiap desa/jorong akan berusaha menampilkan kajang yang paling bagus. Biasanya diantara kajang-kajang itu  ada yang akan jadi pemenang, ada penilaian dari pihak pemerintah setempat. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi masyarakat agar terus mengembangkan kemampuan, ada perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.

Foto. Ernatip

Tempat pelaksanaan bakajang setiap harinya berpindah-pindah tetapi masih tetap di sungai. Setiap desa/jorong mempunyai tapian mandi di sanalah tempat berlangnya bakajang. Perayaan bakajang berlangsung selama 5 hari yang dimulai pada hari raya ke  tiga atau ke empat. Di hari tersebut masih suasana libur sekolah, para perantau masih berada dikampung sehingga mereka dapat menyaksikan perayaan bakajang. Perayaan bakajang tidak saja diminati oleh masyarakat sekitarnya bahkan pengunjung dari luar daerah juga turut meramaikannya. Ketika berlangsungnya perayaan bakajang, para penonton berada di tepi sungai sepanjang areal yang dilewati kajang. Penonton berdesak-desakan bahkan ada yang turun ke sungai untuk melihat kajang dari dekat.

Setiap hari perayaan bakajang, semua kajang berada pada satu tempat siap untuk dibawa hilir mudik oleh timnya masing-masing. Kajangkajang tersebut didorong  hilir mudik sesuai dengan batas yang telah disepakati. Kajang itu tidak berpenumpang, di dalamnya hanya ada tim seni musik talempong. Talempong dimainkan sebagai hiburan mengiringi kajang hilir mudik dan dibagian muka kajang berdiri seorang pemuda berpakaian daerah. Di samping itu juga diadakan acara pacu sampan. Suasana di sungai cukup meriah kajang yang hilir mudik, pacu sampan, anak-anak mandi-mandi, para remaja termasuk orang dewasa bersampan-sampan. Kegembiraan terpancar dari wajah mereka, begitu menyenangkan perayaan tersebut.

Foto. Ernatip

Kegembiraan masyarakat dihari perayaan tercermin dari perilaku yang ditampilkannya. Tua, muda, laki-laki perempuan turut menyaksikan perayaan bakajang, sekurang-kurangnya sebagai penonton. Kegembiraan yang  dirasakan berbeda-beda, oleh anak-anak mereka senang karena mendapat kesempatan untuk mandi-mandi pakai benen. Selain itu mereka dengan senang hati berbelanja apa saja yang ia mau terutama makanan dan minuman.  Sedangkan para remaja asik bersampan-sampan, ada juga yang mandi-mandi dan tidak ketinggalan berfoto-foto. Para orang tua-tua saling bertemu, dikunjungi oleh sanak saudara maupun kenalan sebaya yang dekat maupun jauh, mereka bersilaturahmi.

Pada hari perayaan nagari tersebut terlihat ramai, masyarakat berkumpul disekitar lokasi perayaan. Di sepanjang aliran sungai seberang menyeberang masyarakat berdesak-desakan menyaksikan kajang dan acara lainnya. Perayaan itu pun menjadi peluang bagi pedagang untuk menjual berbagai makanan dan keperluan lain. Di sana terlihat adanya para penjual makanan siap saji seperti sate, miso, indomie dan makanan lainnya serta aneka minuman kesukaan kebanyakan orang. Selain itu juga ada petugas parkir untuk mengatur parkir kendaraan pengunjung termasuk yang dari luar daerah. Hal demikian membuat para pengunjung merasa aman meninggalkan kendaraan dan leluasa berjalan-jalan disepanjang lokasi perayaan.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Rubrik Bendang pada Minggu, 3 September 2017.