Baju Kurung Basiba: Cerminan Jati Diri Perempuan Minangkabau

0
30673
Silvia Devi

Penulis: Silvia Devi

Pakaian adalah salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat dimana saja berada. Pakaian dikenakan sesuai dengan kondisi lingkungan dan juga nilai adat, norma dan agama yang memang dipatuhi oleh tiap kelompok masyarakat. Pakaian tidak hanya tidak hanya sebagai penutup tubuh saja melainkan sebagai lambang status seseorang dalam masyarakat dan  merupakan perwujudan “rasa malu”,  sehingga berusaha menutup segala bagian tubuh.

Bagi masyarakat Minangkabau yang memiliki falsafah hidup Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka pakaian harus menutup aurat. Namun sebelum masuk ajaran Islam di Minangkabau maka pakaian yang dikenakan oleh perempuan Minangkabau terlihat seperti pakaian Jawa dan Bali yang dikenal dengan sebutan kemben. Seperti yang diungkapkan oleh Fatimah (2018) bahwa kemudian bentuk pakaian perempuan Minangkabau mengalami perubahan semenjak masa Paderi 1803 (Pembaruan Islam I) akibat adanya akulturasi dengan bangsa India, Timur Tengah, Cina dan Melayu. Bentuk-bentuk pakaian pada masa itu berbentuk jubah, kerudung dan cadar. Barulah pada fase kedua, dikenal sebagai masa Pembaharuan Islam Awal abad ke-20 yang ditandai dengan kepulangan tokoh Islam antara lain Syech Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Syekh Ibrahim Musa. Para tokoh ini kemudian mengembangkan paham pembaharuan yang berbeda dengan Wahabi abad ke-19. Pada awal abad ke-20 pakaian Islam Wahabi berubah menjadi pakaian baju kurung dengan penutup kepala. Model abad ke 20, hampir sama bentuknya dengan pakaian perempuan Minangkabau yang berkembang sekitar tahun 1682. Masih menurut Fatimah (2018) dikatakan bahwa munculnya baju kurung basiba dipopulerkan  Perguruan  Rahmah, tidak lagi mengikuti model Paderi abad ke-19. Bedanya dengan kedatangan Islam pertama  yang dipengaruhi oleh pakaian dari Cina yang biasanya dibuat pendek kini diperpanjang sampai kebawah panggul.

Sebagai masyarakat yang memegang falsafah Adat Basandi Syara Syara Basandi Kitabullah, maka baju kurung basiba salah satu bentuk perwujudannya. Hal ini dikarenakan baju ini menutup aurat dan longgar. Pakaian ini dikenakan lengkap dengan tingkuluak dan kain jao. Tidak semata-mata longgar melainkan memiliki makna yang sangat terkait dengan kebudayaan Minangkabau.

Adapun makna pada bagian-bagian dari kekhasan baju kurung basiba, seperti yang diungkapkan Fatimah (2018) yakni :1) Bagian siba. Siba batanti  baliak balah, disisiak makau ka amasan. Secara fisik siba menyambung dua kubu dan belakang. Menggambarkan kemampuan perempuan Minangkabau untuk menyambung dua kubu yang bertolak belakang. Perempuan minangkabau harus mampu menjadi mediator, penengah, fasilitator, penyambung lidah dua kaum yang bertolak belakang.2) Bagian kikiek.  disebut juga daun budi merupakan pelindung ketiak agar tidak terlihat (berbeda dengan baju you can see). Kikiek mencerminkan bagaimana seorang perempuan Minangkabau memiliki fungsi menutupi malu. Mamakai raso jo pareso, manaruah malu jo sopan. Yang juga bermakna adat mamakai, dipakai siang jo malam yang berarti dimanapun berada perempuan Minangkabau tetap             berpedoman pada adat basandi syara’, syara’ basandi  kitabullah.3) Baju berbentuk kurung, yakni baju yang longgar berbentuk kurungan yakni kain pandindiang miang, Ameh pandindiang malu.Artinya pakaian bagi orang minang adalah sebagai pelindung tubuh. Pakaian juga sebagai penutup malu. Perempuan Minangkabau  menutup malu dengan  memakai pakaian yang bersifat mengurung tidak menampakkan lekuk tubuh.4). Lengan Lapang. Mengandung pepatah tagak baapuang jo aturan, baukua jangko  jo jangka. Artinya segala tindak tanduk perempuan Minangkabau harus  sesuai dengan aturan, pandai membawa diri dalam kondisi apapun, menjaga sopan santun. Adapun bentuk lengannya dibiarkan lepas sampai pergelangan tangan agar memudahkan perempuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari 5).Leher tanpa krah Lihianyo lapeh tak  bakatuak, babalah sainggo dado.Leher berfungsi untuk menempatkan aksesoris. Bagi permpuan Minangkabau, memakai aksesoris dalam menghadiri acara-acara tertentu akan mencerminkan bagaimana kondisi keluarga dan kaumnya.

Baju kurung basiba dikenal sebagai pakaian adat perempuan Minangkabau. Secara definisi baju kurung basiba menurut Imelda (2016) adalah pakaian adat  khas perempuan Minangkabau yang bentuknya longgar dan panjang sampai ke lutut. Mempunyai siba, kikik pada ketiak dan lengannya panjang sampai pergelangan tangan, leher tanpa kerah dan bagian depan  sedkit dibelah sebatas dada.

Adapun pepatah minang terkait pakaian ini yakni : “babaju kuruang gadamg langan, paapuih miang dalam kampuang, pangipeh angek nak nyo dingin, Siba batanti baliak balah, basisiak makau ka amasan,  Gadang basalo jo nan ketek, Tando rang gadang bapangiriang, Tagak baapuang  jo aturan, Baukua jangko jo jangkau, Duduak baagak bainggoan, lihianyo lapeh tak bakatuak, babalah sainggo dado, Rang gadang pahamnyo lapang, rang cadiak paham salero”.

Fenomena saat ini

Namun yang terjadi pada saat ini adalah banyak perempuan Minangkabau yang tak lagi mengetahui apa itu baju kurung basiba. Besarnya pengaruh model pakaian yang sangat mudah didapatkan dari kemajuan teknologi menyebabkan mereka lebih merasa bangga menggunakan model pakaian di luar daerahnya. Bahkan meski telah tahu bahwa itu menampakkan aurat mereka tetap saja mengenakannya dengan rasa bangga.

Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan karena akan sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Terlebih perempuan Minangkabau adalah limpapeh rumah nan gadang.  Limpapeh adalah tiang tengah sebuah bangunan, pusat segala kekuatan tiang-tiang lainnya. Jadi maknanya bahwa perempuan di Minangkabau merupakan tiang kokoh dalam rumah tangga. Jika tiang itu rusak tergerus oleh kuatnya arus modernisasi zaman, maka hancurlah masyarakat Minangkabau dengan segala adat yang dimilikinya. Padahal nilai-nilaia adat, nilai agama dan norma tercermin dari baju kurung basiba tersebut.

Saat ini baju kurung basiba yang merupakan identitas perempuan Minangkabau  sudah kurang bermakna. Baju kurung basiba sudah dianggap sebagai pakaian kuno, yang dipakai oleh nenek moyang pada masa dahulu. Mereka tidak lagi memahami apa makna dari pakaian tersebut. Baju kurung basiba saat ini hanya dipakai oleh para bundo kanduang. Bahkan meski dipakai pun oleh para bundo kanduang tetap saja mereka sebagian besar belum memahami apa makna dari bagian-bagian khas pakaian tersebut. Sehingga banyak kita lihat mereka memakai baju kurung basiba hanya sebatas nama saja. Pakaian yang dipakai terlihat melekat ketat ke badan sehingga menampakkan lekuk tubuh si pemakai. Padahal seyogyanya baju kurung basiba tersebut longgar dan tidak menampakkan lekuk tubuh si pemakainya, karena sesungguhnya wanita itu adalah aurat.

Saat ini hal biasa kita melihat pakaian tradisional perempuan Minangkabau yang tidak lagi sesuai dengan falsafah yang dianut. Bahkan banyak para desainer yang terlalu berkreasi sehingga melanggar nilai-nilai kesopanan yang dimiliki masyarakat Minangkabau dengan mengatasnamakan seni. Hendaknya hal itu diberi penjelasan pada berbagai forum diskusi dengan melibatkan berbagai lini agar nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam pakaian tersebut tidak luntur. Adanya penjelasan bagaimana pakaian perempuan Minangkabau bisa di kreasi tanpa menghilangkan nilai-nilai di dalamnya. Akhirnya, kedepannya kita dapat melestarikan baju kuruang basiba dalam kehidupan ini [ Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 24 Maret 2019