Rajo Adil Disambah, Rajo Zalim Disanggah

0
1860

Bagaimana ketentuan seorang pemimpin dalam adat Minangkabau ?. Orang yang dijadikan pemimpin itu tidaklah pula boleh sembarang orang. Untuk jadi pemimpin seseorang harus memahami syarat-syarat tertentu pula. Pemimpin itu harus tunduk pada alur dan patut (alua jo patuik) dan tidaklah boleh pemimpin itu melakukan kewajibannya sewenang-wenang saja. Malahan secara adat memfatwakan bahwa rajo adil disambah, rajo zalim disanggah. Dari sini nyatalah bahwa pemimpin itu setelah diangkat dapat didaulat dan disanggah.

Bukan itu saja seorang pemimpin menurut adat Minangkabau harus beralam lapang, yaitu berjiwa besar, sebab pemimpin itu adalah pusat jala timbunan kapal, yaitu banyak dan bercorak ragam soal yang dihadapkan padanya yang akan dipecahkan. Tidak ada tempat bagi seorang dictator atau raka absolut-raja mutlak dalam memimpin.

Seorang pemimpin itu harus ditanam oleh rakyat dan sesudah seorang menjadi pemimpin dia harus tunduk pada alur dan patut . Rakyatlah yang akan menentukan alur dan patut itu dan selanjutnya dalam hal ini dalam tangan rakyat berada kekuasaan untuk bertindak terhadap pemimpin itu sebab pemimpin yang demikian itu dapat disanggah dan didaulat.

Dalam proses memimpin seorang pemimpin haruslah merujuk kepada kata mufakat. Mufakat yang dikehendaki disini bukanlah mufakat asal mufakat saja. Mufakat yang harus memenuhi syarat yaitu mufakat harus beraja yaitu tunduk dan berdasarkan pada alur dan patut tadi. Mufakat yang tidak berdasarkan alur dan patut tersebut adalah mufakat yang hampa.

Sejalan dengan itu disini letaknya kebenaran. Kebenaran adalah kata sepakat, kata seiya yang artinya terciptanya persamaan pendapat tanpa ada bantahan dari anggota masyarakat. Yang raja kata mufakat,artinya adalah bahwa yang berkuasa ialah hasil musyawarah, hasil mufakat dari segenap anggota masyarakat. Kemudian setiap anggota masyarakat itu dalam berbuat dan bertindak tidak boleh bertentangan dengan kehendak dan keinginan anggota lainnya, haruslah seiya sekata, sehilir semudik. Muaranya akan terciptalah suasana aman, damai dan tenteram dalam masyarakat.

Di samping itu, bila menjadi seorang penguasa atau seorang raja janganlah berbuat dan bertindak menyimpang dari hasil mufakat atau musyawarah yang telah disepakati bersama. Raja hanya boleh menjalankan hasil musyawarah tidak diizinkan menyimpang dari hasil mufakat bila hal ini terlaksana dan berjalan dengan baik maka suasana rukun dan damai akan tercipta dalam kehidupan rakyat yang dipimpinnya.

Pimpinan itu mempunyai hirarki dan yang tertinggi, yaitu apa yang dinamakan saiyo sakato. Makna yang dikandung dalam istilah saiyo itu disebut baiyo-iyo (beriya-iya =berya-ya) dengan pasangannya batido-tido (bertidak-tidak) atau babukan-bukan (berbukan-bukan), yang lazim diucapkan, baiyo-iyo, batido-tido. Artinya, bermufakat dengan sungguh-sungguh, bukan asal mufakat, bukan mengiya-iya atau menyatakan persetujuan segala apa yang diputuskan pimpinan mereka. Mamangan menyebut dengan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, penghulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka alua jo patuik (kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke alur dan patut (Navis, 1984 : 77).

Lebih lanjut Navis (1984 : 77) menjelaskan bahwa maksud dari mamang itu ialah bahwa pimpinan kemenakan adalah mamak, pimpinan mamak adalah penghulu, pimpinan penghulu adalah mufakat, sedangkan pimpinan mufakat adalah garis hukum dan garis kepatutan atau kepantasan.  Meskipun mufakat telah menutut garis yang pantas untuk dibicarakan bersama, mufakat itu mempunyai rukun, yakni kebulatan pendapat, sebagaimana yang dimaksud petitih bulek aia dek pambuluah, bulek kato de mufakaik (bulat air oleh pembuluh  bulat kata oleh mufakat).

Kebulatan kata itulah yang dimaksud dengan sakato, yang dapat ditafsirkan apa yang diungkapkan mamangan dan diperkuat oleh petitih itu, bahwa mufakat yang juga berarti beriya-iya, melahirkan kata yang bulat karena orang yang beriya-iya itu telah melahirkan kesatuan kata dan juga kesamaan kata. Oleh karena itu pengertian kato disini, bukanlah merupakan ucapan atau kalimat, melainkan merupakan keputusan mufakat, baik berbentuk peraturan, undang-undang maupun hukum.

Jadi jelaslah dasar adat mengenai pemimpin ialah pemimpin itu digadangkan (dibesarkan, ditanam), yaitu pemimpin yang diimamkan dan dia menjalankan tugasnya harus berdasarkan alur dan patut dan dalam hal ini rakyat pulalah yang menentukan isi alur (alua) dan patut (patuik) itu. Seorang pemimpin tidak boleh bertindak semaunya saja sekehendak hati- tidaklah boleh pemimpin itu melakukan kewajibannya sewenang-wenang saja. Hanya pada pemimpin yang diimamkan sajalah para makmum akan mau mengikut dengan sepenuh hati, lahir dan batin. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah