110 TAHUN SEMEN PADANG MEMBANGUN NEGERI, MEMAJUKAN KEBUDAYAAN

0
2435

Oleh: Ferawati

Industri Semen Padang tidak hanya identik dengan Indarung, Teluk Bayur, jalur kereta api, dan perkembangan perusahaan tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto. Indarung, daerah di Kecamatan dan Kenagarian Lubuk Kilangan, banyak memiliki deposit karang putih berkualitas di Indonesia. Karang putih itu merupakan bahan baku utama pabrik semen tertua di Asia Tenggara ini (1910). Teluk Bayur (Emmahaven, dibangun1888-1893), menjadi pelabuhan tertua dan pintu keluar-masuk bagi barang dan manusia di wilayah Sumatera Barat. Jalur kereta apinya menghubungkan pabrik semen Padang dengan Teluk Bayur, dan dengan tambang tua batu bara Ombilin-Sawahlunto (1892). Aktivitas penambangan legal sudah tidak beroperasi lagi di Sawahlunto. Namun kota ini sudah berhasil menyabet penghargaan tertinggi The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dengan predikat World Heritage (warisan dunia) kota tambang tua pada 6 Juli 2019, bebarengan dengan kota tua “Pink City” Jaipur, India. Penghargaan ini sebagai bentuk nyata keberhasilan melaksanakan amanat UU No 05, Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Industri semen Padang, sebaliknya, diasumsikan memberi efek yang lebih luas dan mendalam terhadap upaya-upaya mengembalikan harga diri urang Minang-Sumatera Barat. Efek itu berasal dari keberadaan fisik pabrik tinggalan Belanda itu sendiri, yang kemudian menjadi P.T. Semen Padang; atau dari produksinya yang berkualitas tinggi sehingga menjadi rujukan perusahaan semen yang berdiri setelahnya; dan dari kiprahnya bagi pembinaan pembangunan manusia di sekitarnya. Namun yang menjadi perhatian kita di sini, dan barang kali cukup kontroversial, yang belum begitu disinggung oleh penulis lainnya, justru dari keberadaan pabrik semen Padang dan efek produksinya. Selain kedua hal itu, kiprahnya sudah sering dibahas.

Soal kiprah P.T. Semen Padang sudah tidak asing lagi dan sudah sering dibahas oleh penulis terkemuka. Mestika Zed, dkk., (2001) menyorot aspek sejarahnya. Suryadi (Singgalang, 9 Februari 2020 dan 4 Februari 2010) tentang fluktuasi modal awal perusahaan dan perkembangan produksinya dari tahun ke tahun. Gusti Asnan (2000) dan Asrinaldi A., (Singgalang. 29 Februari 2020) dari aspek sosial-ekonomi terkait kedermawanan perusahaan ini. Afrizal dkk., (2002 ) dan Israr Iskandar (2007) terkait aspek politik otonomi daerah dan hukum privatisasi. Ganda Cipta (Singgalang. 9 Februari 2020) dan Suryadi tentang persepakbolaan asuhannya (Persatuan Sepak Bola Semen Padang-PSSP). Masih banyak lagi kiprah P.T. Semen Padang, seperti bidang kewirausahaan, olahraga, seni-budaya, literasi, informasi (radio), agama, kesehatan, energi listrik, lingkungan, irigasi, pendidikan, kemanusiaan, dan kedepannya barang kali aspek wisata.

***

Keberadaan pabrik semen Padang di Indarung, Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat dikenal dan tersebar luas di berbagai wilayah. Hal ini sangat penting artinya, baik bagi urak awak, bangsa Indonesia, dan tentu saja bagi perusahaan kebanggaan masyarakat Sumatera Barat ini.  Secara garis besar, keberadaan pabrik semen Padang berikut manajerial perusahaan, pada mulanya memang tidak terkait dengan penguatan harga diri urang awak, melainkan bagi kolonial Belanda. Mulanya, pabrik semen Padang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1907 di Indarung namun berproduksi tahun 1913. Statuta pendiriannya 18 Maret 1910 dan terdaftar di Amsterdam 23 Maret 1910 dengan Besluit Ratu Wilhelmina keluar pada 8 April 1918, yang berarti proses pengurusan kekuatan hukumnya kurang dari dua bulan. Sejak itulah 10 pendiri sekaligus pemodal yang berbeda-beda besarannya mulai mengoperasikannya (Suryadi, 2010, 2020). Awalnya pabrik ini bernama Nederlandsch-Indische Portland Cement Maatschappij (NV NI-CPM). Pabrik ini kini dikenal dengan nama P.T. Semen Padang.

Namun pabrik semen Padang, bagaimanapun juga, sudah menjadi modal kapital dan modal sosial-budaya terbesar “yang terbayangkan” oleh urang awak saisuak. Perusahaan ini menjadi aset “yang terbayangkan” agar menjadi “tuan di negeri sendiri.” Akhirnya, setelah melalui proses yang panjang, angan-angan itu terwujud juga. Pemerintah Indonesia mendesak Kolonial Belanda merespon permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk melepas seluruh perusahaan eks-Kolonial Belanda di Indonesia melalui program rasionalisasi dan nasionalisasi, termasuk semen Padang. Momentumnya ditandai dengan rapat luar biasa perusahaan semen Padang pada 2 Oktober 1958. Perusahaan semen Padang kiranya di ambang kebangkrutan pula.

Pemerintah Republik Indonesia resmi mengambil alih perusahaan ini pada 5 Juli 1958 dan dikuasai tahun 1959. Hal ini menarik, karena pada waktu itu Sumatera Barat dalam konflik vertikal. Ketika itu pula Pemerintah Republik Indonesia mewarisi hutang Belanda sebesar ƒ2,5 juta, dan berangsur-angsur pulih dari ancaman bangkrut. Hutang itu baru lunas pada tahun 2003. Namun modalnya terus meningkat menjadi “ƒ3 miljoen” pada 1970, dari modal awal berdirinya cuma ƒ1.350.000 (Padang Ekspres, Minggu, 9 Februari 2020). Setelah itu, pabrik ini mulai relatif stabil beroperasi.

Namun dewasa ini, masyarakat Sumatera Barat apalagi Kenagarian Lubuk Kilangan mulai menyadari untuk ‘memiliki’ hak atas sebagian aset pabrik semen Padang ini. Puncaknya ketika sistem otonomi daerah menguat dalam gerakan reformasi 1997/1998, dan ketika beberapa pabrik baru perusahaan ini dibangun dan melibatkan modal lain. Sejak saat itu mulai menguat isu hak ulayat nagari, yang menuntut agar keuntungannya disisihkan untuk anak-kamanakan dan nagari setempat. Pemerintah Daerah Sumatera Barat tidak banyak bergeming. Gelombang tuntutan ini sudah beberapa kali muncul hingga mengganggu kelancaran produksi, yang terbaru pada 7 Januari 2020.

Barangkali gelombang protes di Indarung yang kerap terjadi merupakan wujud dari rasa identitas urang awak dan ekspresi harga dirinya yang terkekang selama itu. Lalu bagaimanakah wujud kebanggaan urang awak memiliki pabrik semen Padang ini? Jawabnya ada pada kualitas produksinya yang terlihat dari tinggalan produk budaya, hasil cipta dan karsa manusia dalam bentuk bangunan-bangunan tua, monumen-monumen bersejarah, sarana dan prasarana pembangunan, yang tersebar dan dikenal sampai manca negara. Bangunan-bangunan tertentu bisa menjadi suatu ikon yang membanggakan dan menjadi sumber kasat mata bagi harga diri urang awak. Bangunan apa sajakah itu?

***

Sebelum mengidentifikasi bangunan-bangunan tua yang terbuat dari semen Padang, perlu diketahui bahwa pabrik semen Padang memang bukan pabrik tertua dan bukan pula dengan ekspansi terluas pertama di dunia. Pabrik ini pada mula berdirinya juga belum mampu menguasai pasar Asia apalagi dunia, karena awal berdirinya hanya ada satu pabrik. Adapun produsen semen raksasa pertama di dunia adalah perusahaan bernama Lafarge, berada di Desa Teil, Algeria. Lafarge mampu menguasai pasar Asia dan Timur Tengah sejak berdiri tahun 1833. Perusahaan itu dikendalikan dari Paris, Perancis. Pabrik itu menyuplai semen konstruksi monumental dunia, Terusan Suez yang membangun kanal antara Laut Tengah dan Laut Merah pada tahun 1864 (Rizkydanti, 2014). Arus manusia dan budaya bertransformasi siknifikan, dengan terpinggirkan dan ditinggalkannya jalur sutra-jalur rempah sebelumnya di kawasan Tanjung Harapan-Afrika Selatan.

Bagian yang paling penting dari kemunculan perusahaan semen seperti Lafarge adalah bukti bahwa sejak adanya semen, sejak itu pula peradaban dunia kembali berubah, setelah fase penemuan energi listrik dan tenaga uap. Semen yang digunakan juga teruji kekuatannya, dan diakui dunia. Pabrik semen Padang yang berjarak 77 tahun lebih muda dari perusahaan Lafarge, kiranya masih dalam fase yang sama, yaitu ikut membawa perubahan peradaban baru dunia.

Adapun sejumlah bangunan tua yang sementara ini terindikasi menggunakan semen Padang (berdasarkan tahun berdiri, bentuk, dan kekuatannya), dan perlu dicek ulang, misalnya sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Kota Padang, Bukittinggi, hingga kota tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto yang berada di kawasan Sumatera, memilki sejumlah bangunan tua dan menjadi ikon setempat. Misalnya di Padang, ada  bangunan De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia; berdiri 31 Maret 1921) di Batang Arau; gedung Balai Kota lama yang dirancang oleh arsitek Belanda, Thomas Karsten (1936), Masjid Muhammadan, Mesjid Ganting yang masih mempertahankan keramik salinya. Contoh lainnya di kota tua tambang Ombilin-Sawahlunto, sangat banyak mewarisi bangunan tua yang terbuat dari semen, dan kemungkinan besar produksi semen Padang. Ada “goedang ransoem”, penjara, silo, rumah sakit, masjid, bangker tua di bawah masjid, gereja, sekolah, jembatan, terowongan rel, dan stasiun tua, dan masih banyak lagi. P.T. Semen Padang yang sudah berusia 110 tahun ini kiranya dapat secara konkrit mendata bangunan tua yang monumental yang menggunakan semen Padang. Hal ini perlu pengkajian ulang dengan serius dan mendalam, untuk itu pula perlu kerja sama P.T. Semen Padang dengan instansi terkait. Upaya ini akan melegitimasi kinerja dan kualitas semen Padang agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen besar lainnya, sebagaimana dunia mengenal kinerja Lafarge untuk Terusan Suez. Semoga sukses!

Ferawati (Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat, Dirjenbud, Kemdikbud)