Pelajaran untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk sesungguhnya telah ada dalam kebudayaan kita. Hal itu bisa kita lihat dalam berbagai ungkapan serta kesenian yang sering ditampilkan dalam berbagai perayaan. Namun, menjadi ironi kemudian ketika kita menghadapkan nilai filosofis tersebut dengan merebaknya berita bohong atau hoaks. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan tampilan ungkapan dan kesenian yang mempunyai nilai filosofis tersebut?. Untuk itu, kita bisa belajar dari indang.
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan indang ditampilkan dalam berbagai perhelatan seperti baralek/pesta perkawinan, batagak penghulu dan berbagai acara seremonial seperti penyambutan tamu-tamu besar atau pejabat. Kepopuleran kesenian ini juga telah mendorong semua kalangan untuk tidak hanya menyaksikan tapi juga memainkan. Bahkan, indang sudah dimainkan oleh kalangan anak-anak hingga orang tua. Kita yang menyaksikan juga sering tertarik dan mengagumi keindahan kesenian tersebut.
Bagi masyarakat awam, menyaksikan indang mungkin hanya dimaknai sebagai hiburan semata. Tentu tidak sepenuhnya salah, mengingat indang yang berkembang sekarang lebih ditampilkan sebagai hiburan dan disajikan dengan iringan instrumen yang menarik. Tapi, acapkali kondisi ini mengakibatkan kaburnya nilai yang terkandung dalam indang atau bahkan tidak tersampaikan sama sekali. Padahal jika kita mempelajari lebih mendalam, indang merupakan kesenian tradisional yang sarat pengetahuan dan masih relevan untuk dijadikan dalam ragam pembelajaran masa kini.
Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/belajar-gotong-royong-dari-tradisi-batobo/
Indang bagi masyarakat Minangkabau merupakan permainan anak nagari. Maryetti (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa indang adalah pertunjukan sastra lisan Minangkabau dalam bentuk dendangan dengan instrumen pengiring rapa’i. Secara asal bahasa indang berasal dari kata ‘ma-indang’ (maindang beras dengan nyiru untuk menyisihkan beras dengan atah). Seperti diungkapkan dalam mamangan, ‘diindang ditampi tareh, dipiliah atah ciek-ciek” (ditampi beras, untuk memilih atah satu demi satu). Secara filosofis, arti dari indang itu adalah memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal, yang halal dengan yang haram, yang benar dan yang salah.
Sementara menurut Suryadi (dalam Amir 2006:100), Indang adalah bersilat lidah: tanya jawab, saling menjelekkan, menyindir, mencemooh, mengukur kemampuan lawan mengenai suatu bidang pengetahuan yang disampaikan dalam teks lirik yang didendangkan dengan bahasa yang sangat konotatif, penuh kiasan dan ibarat khas Minangkabau. Kedua definisi ini menjelaskan kepada kita bahwa untuk memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal dilakukan dengan silat lidah, menjelekkan, menyindir dan mengukur kemampuan lawan.
Pada masa lampau, indang hanya digunakan sebagai media dakwah atau media penyampaian syiar Islam. Sekarang indang mulai dikembangkan tidak saja sebagai media dakwah tapi juga hiburan bagi masyarakat luas (Maryetti 2010:4). Kesenian inipun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampilannya lebih menarik. Tempat pelaksanaannya juga berubah, yang awalnya ditampilkan di surau-surau, tapi sekrang sudah di laga-laga. Ini juga ditampilkan dalam berbagai perayaan alek nagari seperti penyambutan tamu, batagak pangulu, dan acara-acara hiburan lainnya.
Dalam pelaksanaannya, indang melibatkan beberapa unsur yakni tukang dikia, anak indang dan tuo indang. Masing-masing memiliki peran dan tugas yang berbeda. Tukang dikia misalnya bertugas menyampaikan dendang atau syair-syair. Anak indang mempunyai tugas-tugas memimpin dan memberi komando tentang gerak dan penutup gerak (tukang aliah), menyusun bait dan meningkah permainan rapai (tukang apik), mengulangi baris tertentu dalam pantun (tukang pangga), meramaikan bunyi baik vokal maupun instrumen (bungo salapan) serta pengikut (tukang kalang). Tuo indang bertugas menjaga keselamatan seluruh personil lahir maupun batin.
Umumnya jumlah pemain indang terdiri dari 9 hingga 15 orang. Jumlah tersebut di bagi dalam pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing-masing. Satu orang diantaranya bertugas sebagai pendendang, satu orang yang mengatur gerak, dua orang sebagai penulis teks dan bait-bait pantun, dua orang memperindah vokal dan instrumen serta sisanya bertugas meramaikan. Sementara itu ada satu tuo indang yang bertanggung jawab pada keselamatan seluruh tim.
Poin penting yang hendak disampaikan dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan cara dan tujuannya. Disini kita telah diajarkan untuk dapat memilah antara yang benar dan salah. Jika merunut pada definisi Maryetti dan Suryadi maka cara yang digunakan adalah melalui silat lidah, menjelekkan, menyindir, mencemooh, dan mengukur kemampuan lawan. Silat lidah tidak selalu dipandang negatif mengingat dapat menjadi cara efektif mengklarifikasi kesahihan dan kebenaran informasi. Tentu dilakukan dengan bahasa konotasi yang tidak menyinggung secara langsung lawan main.
Pelajaran penting lainnya adalah bahwa menyajikan sejumlah fakta dan data menjadi keharusan untuk memastikan kemenangan argumen. Mengungkap kebenaran tidak bisa dilakukan hanya dengan cuap-cuap atau omong kosong belaka. Seseorang yang terlibat di dalamnya terlebih dahulu harus mempersiapkan diri dengan segala informasi, fakta dan data yang akan memperkuat argumennya. Sehingga seseorang tidak lagi berkelit atas pendapatnya. Pada intinya, seseorang harus berwawasan luas, punya referensi dan sarat pengalaman.
Selanjutnya bagaimana kita menghubungkannya dengan kondisi masa kini? Kondisi saat ini menunjukkan perkembangan teknologi informasi yang pesat. Perkembangan tersebut telah mendorong akses informasi yang semakin mudah bagi semua orang. Hal ini seharusnya dapat bernilai positif karena mudahnya seseorang mencari referensi dalam belajar dan menambah wawasan. Namun disaat yang sama keterbukaan informasi yang tidak terbatas menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat kita. Keterbukaan informasi malah telah mendorong masyarakat lebih mudah menyebar informasi bohong (hoaks), fitnah tanpa memilah mana yang baik dan buruk atau benar dan salah.
Memahami fungsi filosofis indang tentu dapat dipahami sebagai penyaringan informasi. Penyaringan informasi dengan mengklarifikasi satu informasi dengan informasi lain. Menghadapkan antara argumen dengan argumen yang lain. Selain itu, kecakapan dalam meyampaikan buah pikiran secara cepat dan tepat sangat dituntut di dalam keterbukaan sekarang. Seseorang dituntut harus membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu, juga dengan pengalaman yang luas. Jika seseorang tidak memiliki dua kecakapan ini, bisa dipastikan akan menjadi korban dan pelaku berita bohong. Bisa dipastikan, ketika hal ini tidak dilakukan maka akibatnya akan semakin buruk.
Pelajaran ini sesungguhnya sangat relevan ketika dihadapkan pada kondisi persebaran berita hoaks belakangan ini. Tentu saja, tidak harus mengembalikan kesenian indang pada bentuk lamanya agar dapat mempelajari nilai-nilainya. Mungkin melalui setiap pertunjukan indang, para pelaku bisa menjelaskan makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Setidaknya itu dapat mengingatkan masyarakat untuk senantiasa menyaring informasi dan memperluas wawasan.
Artikel ini telah tebit di Harian Singgalang.