Penulis : Undri, Peneliti pada BPNB Sumatera Barat
Pembentukan Komandemen Sumatera bisa dirunut dari kondisi bangsa Indonesia setelah merdeka. Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai bagian dari Badan Pertolongan Korban Perang. BKR bukan badan militer dan semata-mata semacam Hansip Wanra saja saat itu. Pada tanggal 5 Oktober 1945, B.K.R ini dengan maklumat Pemerintah no.6, telah ditransformasikan menjadi T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Isi maklumat untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat. Pada tanggal 6 Oktober 1945 keluar maklumat tambahan yaitu, sebagai menteri keamanan rakyat diangkat Soeprijadi.
Untaian mengenai Komandemen Sumatera ini secara gamblang dijelaskan oleh Chairul Basri dalam bukunya dengan judul Apa Yang Saya Ingat (2003) menjelaskan bahwa pada awalnya Komandamen Sumatera berpusat di Prapat –Sumatera Utara. Markas Komandemen Sumatera ditempatkan di sebuah villa besar, bertingkat, berkas peristirahatan Gubernur Belanda di zaman Hindia Belanda. Di daerah ini komandemen tidak dapat berfungsi penuh. Tempatnya terlalu terisolasi dan markas ini tidak mempunyai perangkat perhubungan yang dapat menghubungkan markas ini dengan kesatuan-kesatuan di seluruh Sumatera. Mayor Sudarsono komandan seksi Perhubungan yang ditugaskan untuk membangun perhubungan komandemen ternyata mempunyai banyak kesulitan untuk mendapatkan alat perhubungan. Sebagian pejabat seperti Kolonel M. Nuch yang memimpin komandemen di Sumatera Selatan tidak pernah datang ke Prapat. Semua ini, membuat komandemen tidak berfungsi. Akhirnya seksi Intelijen Komandemen dipindahkan ke Pematang Siantar tepatnya di Marihat, khususnya bagian yang harus menghadapi tugas Sumatera Timur.
Dengan terbentuknya kantor di Marihat, yang akan memantau front Sumatera Timur, Tapanuli dan Aceh maka kantor intelijen sekarang ini mempunyai dua kantor. Kantor yang lain ada di Bukittinggi, yang memantau kejadian-kejadian di front Padang dan sekitarnya, serta seluruh Sumatera Tengah meliputi Sumatera Selatan.
Komandemen Sumatera pindah ke Bukitinggi beberapa hari sebelum agresi Belanda pertama. Pada waktu ini yang seharusnya komandemen yang membentuk kesatuan-kesatuan, tetapi sekarang terbalik. Devisi lebih dahlu lahir dari komandemen. Laskar-laskar lebih dahulu lahir dari komando-komando.
Di Sumatera Barat proses menentarakan laskar ini berjalan lancar. Sumatera Barat penduduknya homogen. Tidak ada pertentangan suku dan kerja sama antara pihak tentara dan pemuka-pemuka masyarakat semenjak semula berjalan lancar. Kerjasama antara tentara dan pemuka-pemuka agama misalnya telah menyebabkan laskar-laskar seperti Hisbullah dan Sabilillah dapat dijadikan batalyon-batalyon yang akhirnya menjadi bagian resimen Bukittinggi. Sebab itu Sumatera Barat dalam revolusi dapat memusatkan perhatiannya kepada musuh yaitu Belanda.
Di Sumatera Timur pertentangan antara suku dengan suku sangat tajam. Mereka hanya mengenal penyelesaian masalah melalui kekerasan. Perpecahan dalam partai politik sangat mempengaruhi penyatuan laskar-laskar. Sebenarnya Komandemen Sumatera merupakan wahana yang terbaik untuk menyatukan laskar-laskar. Tetapi ini tidak dapat terwujud, dan mengakibatkan terjadinya tragedi yang menyedihkan. Semua ini membuka kesempatan bagi Belanda untuk mempercepat lahirnya negara Sumatera Timur.
Kemudian ketika Hatta diangkat menjadi perdana menteri pada Januari 1948, dia juga menjabat sebagai menteri pertahanan dihadapkan kepada semakin mengecilnya wilayah kekuasaan republik, terutama di Jawa. Dia membuat rencana bersama kolonel A.H. Nasution, Panglima Devisi Siliwangi dari Jawa Barat untuk merampingkan angkatan bersenjata Republik. Dengan demobilisasi besar-besaran mereka bermaksud menjadikan struktur angkatan bersenjata sangat efisien dan sejalan dengan itu mengurangi beban keuangan negara.
Dalam perjalanannya bersama Hatta ke Bukittinggi pada bulan April 1948, Nasution menyampaikan langkah-langkah rasionalisasi itu kepada para perwira Komando Sumatera, yang semuanya menolak tegas rencana tersebut. Perwira-perwira Sumatera mengemukakan bahwa reorganisasi itu mungkin baik untuk diterapkan di Jawa, tetapi tidak cocok sama sekali untuk Sumatera, Belanda hanya menguasai sekitar seperlima wilayah pulau ini sementara Jawa setengahnya. Angkatan bersenjata di Sumatera tidak menjadi beban keuangan Republik karena kebutuhan makanan prajurit dipasok oleh rakyat setempat, dan senjata mereka diproduksi secara lokal atau dibeli dengan dana hasil perdangangan dengan Singapura dan Malaysia. Kesatuan atau brigade mobil seperti itu tidak sesuai dengan tipe perjuangan rakyat yang sedang marak di Sumatera, sementara demobilisasi besar-besaran hanya akan membawa dampak psikologis yang buruk terhadap para tentara yang telah berjuang secara sukarela melawan Belanda demi membela Republik. Pertentangan teebuka oleh perwira Komando Sumatera terhadap rencana rasionalisasi itu membuat marah Hatta dan Nasution.
Komandemen Sumatera sekarang dibawah pimpinan kolonel Hidayat. Sebutannya Panglima Tentara Teritorium Sumatera (PTTS). Pada waktu kolonel Hidayat memimpin Komandemen Sumatera, Devisi Benteng sedang menghadapi peralihan. Kepergian Ismail Lengah-pemimpin Devisi Banteng ke Jawa waktu itu menimbulkan luka yang dalam diantara para perwira Devisi Banteng. Waktu itu Kolonel Hidayat masih memerlukan waktu untuk dapat menyesuaikan sikap dan tindakannya dengan situasi di Sumatera Barat.
Adanya jurang antara pimpinan dan yang dipimpin tidak memudahkan tugasnya. Tindakan yang pertama ialah memecah daerah Devisi Banteng atau sub-teritorial Sumatera Tengah menjadi sub-teritorium Sumatera Barat dan Sub-teritorial Riau. Devisi Banteng, setelah Kolonel Ismail Lengah dicopot sudah seperti ayam kehilangan induk. Ditambah satu pukulan psikologis yaitu terbaginya Sumatera Tengah menjadi sub-teritorial tersebut. Kejadian-kejadian ini menggoyahkan kepemimpinan Devisi Banteng, justru pada saat Republik menghadapi argesi militer Belanda II.
Pada waktu agresi militer Belanda II ini markas komandemen Sumatera di Bukittinggi pernah di bom oleh Belanda ketika para anggota Komandemen Sumatera sedang rapat. Seiring dengan kondisi ini pada tanggal 21 Desember 1947 Bukittinggi dibumihanguskan. Dengan kondisi inipun basi komandamen Sumatera di pindahkan ke Rao. Komandemen memilih Rao sebagai basis mengingat letak geografisnya dan mudah berhubungan dengan Tapanuli. Dari Rao ada jalan yang menuju ke Rokan, Pasir Pangarayan dan Bagansiapiapi langsung ke Selat Malaya dan Singapura. Selain menentukan basis perjuangan komandemen Sumatera juga dibentuk staf komandemen Sumatera. Letnan Kolonel A. Tahir ditetapkan sebagai kepala staf, Mayor Chairul Basri Staf Umum I (intelijen), Mayor Kartakesuma sebagai Staf Umum II (Operasi), Mayor Tjakradipura sebagai staf III (Personil) dan Kapten D.I Pandjaitan sebagai Staf Umum IV (Logistik). Tugas mereka selain membantu Panglima juga menyediakan logistik untuk front.
Rao merupakan benteng Komandemen Sumatera terakhir. Komandemen Sumatera berangsur-angsur mulai di demobilisasi. Perwira-perwiranya ditempatkan oleh Panglima ke berbagai daerah. Letnan Kolonel Ahmad Tahir ditarik ke Jakarta. Mayor Tjakradipura di tarik ke Jakarta. Kapten Panjaitan dan Mayor M.M.R Kartakesuma ditempatkan di Medan. Demgan demikian selesailah tugas komandemen di daerah Rao. Sebagian dari tugasnya dibebankan kepada Markas Besar Angkatan Darat Jakarta. Wassalam.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 2 April 2017