Sejarah dan Perubahan Alat Tangkap Nelayan Pulau Salemo Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan – Muhammad Kamil Jafar N

0
4603

SEJARAH DAN PERUBAHAN ALAT TANGKAP NELAYAN PULAU SALEMO KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN

 

Muhammad Kamil Jafar N, S.Sos., M.Si

Ketua Koalisi Anak Muda Online Indonesia Kota Makassar

Jalan Perintis Kemerdekaan Km. VIII  Kota Makassar

muhkamiljafar@gmail.com

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai perubahan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Pulau Salemo untuk mengengola sumber daya alam yang ada disekitaran mereka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, menggunakan teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan alat tangkap dalam kehidupan nelayan Pulau Salemo, membuktikan bahwa mereka telah melakukan modernisasi dalam hal alat tangkap selain itu mereka harus beradaptasi dengan lingkungan alam yang terus berubah akibat perubahan iklim.

 

PENDAHULUAN

Komunitas nelayan secara kebudayaan berbeda dengan komunitas agraris (pertanian) karena perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapi. Orang-orang yang termasuk dalam komunitas agraris direpresentasi oleh kaum tani yang diperhadapkan oleh sumber daya yang terkontrol, yakni pengengolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan hasil relatif bisa diprediksi (Satria : 2015).

Sifat produksi yang demikian membuat lokasi produksi dapat ditetapkan. Ini menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan elemen resiko yang cukup rendah. Karakteristik tersebut sangat berbeda dengan nelayan. Komunitas nelayan dalam menghadapi sumber daya yang hingga saat ini masih sangat terbuka. Karakteristik ini membuat nelayan mesti berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, yang demikian membuat elemen resiko menjadi sangat tinggi.

Namun beberapa keluarga nelayan di Pulau Salemo juga dapat dikatakan sebagai petani karena dalam keluarga, seorang ayah dapat berprofesi sebagai nelayan dan isteri bekerja sebagai pembudidaya rumput laut (petani rumput laut). Ada musim-musim tertentu yang membuat nelayan tidak dapat melaut, sementara pada musim selanjutnya mereka kembali melaut. Berbagai macam jenis pekerjaan yang dimiliki oleh keluarga nelayan merupakan bagian dari adaptasi komunitas pesisir terhadap kondisi ekologi yang mereka hadapi.

Akan tetapi, menurut Firth (1996) komunitas nelayan tersebut memiliki kemiripan dengan kaum tani, yakni bahwa sifat usahanya berskala kecil dengan peralatan dan organisasi pasar yang sederhana, eksploitasi yang sering berkaitan dengan masalah kerja sama, sebagian besar menyandarkan diri pada produksi yang bersifat subsisten, dan memiliki keragaman dalam tingkat dan perilaku ekonomi.

Untuk melihat karakteristik suatu komunitas terkhusus nelayan harus dilihat secara terperinci seperti melihat dalam dua sumbu, horizontal (sebagai satuan-satuan sosial) dan vertikal (sebagai unsur pengikat satuan sosial), kemudian yang paling utama dikatakan oleh Koentjaraningrat (1990) adalah identitas tempat merupakan unsur pengikat yang penting dan dapat membedakan dari satuan sosial lainnya.

Penelitian ini dirancang  menggunakan penelitian kualitatif yang menekankan pada pola-pola kebudayaan nelayan etnik bugis-makassar di Pulau Salemo. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, namun sebelum melakukan penelitian lapangan saya mengumpulkan beberapa penelitian terdahulu mengenai kajian sekuritas sosial di keluarga nelayan, kemudian menarik hasil penelitian serta kajian teoritik dari peneliti terdahulu sebagai bahan perbandingan. Proses pengumpulan penelitian terdahulu saya lakukan untuk memperoleh gambaran awal mengenai kehidupan nelayan dahulu dan sekarang sehingga saya dapat melihat aspek-aspek yang berubah dan bertahan di keluarga nelayan ketika dalam proses penelitian lapangan. Selanjutnya penelitian yang saya lakukan adalah proses penelitian lapangan. Pada proses ini saya membenamkan diri secara serius untuk mengumpulkan data lapangan, melalui wawancara dan observasi.

 

 

PEMBAHASAN

Satu hal penting dalam kehidupan nelayan adalah teknologi  penangkapan, baik dalam bentuk alat tangkap maupun alat bantu penangkapan (perahu) terutama untuk nelayan kepiting rajungan yang menggunakan teknik sampe dan tanggo. Ketergantungan nelayan terhadap teknologi  penangkapan itu sangat tinggi, karena selain kondisi sumberdaya kepiting rajungan  yang tidak menetap, yaitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, juga untuk menangkapnya nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup di laut.

Teknologi nelayan akan memengaruhi apa yang akan ditangkap nelayan (mata pencaharian) Pulau Salemo telah mengalami berbagai perubahan bentuk alat tangkap sehingga membuat dinamika mata pencaharian nelayan menjadi berubah setiap beberapa tahun, selain karena faktor sumber daya alam (ikan) yang semakin berkurang, sehingga nelayan harus semakin kreatif dalam mengeksploitasi wilayah laut.

Kompleksnya permasalahan yang  terjadi pada komunitas nelayan  disebabkan nelayan  hidup dalam suasana alam yang  keras yang selalu diliputi ketidakpastian  dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan semakin membuat komunitas nelayan harus menghadapi berbagai macam permasalahan  yang kompleks. Usaha untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan bagi komunitas nelayan tentu tidak  akan terlepas dari pemilikan alat  tangkap. Karena dengan  tersedianya alat tangkap yang  memadai tentu akan berpengaruh  terhadap tingkat produktivitas

Komunitas nelayan dalam  melaksanakan aktivitasnya  terutama dalam hal melaut masih ada yang menggunakan alat  tangkap secara tradisional yang  diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak turun temurun seperti penggunaan kapal lepa-lepa tanpa mesin yang digunakan para penangkap kepiting rajungan, meskipun tangkapan telah berubah namun penggunaan tekonologi yang diwariskan masih digunakan oleh para nelayan kepiting rajungan yang tidak menggunakan alat tangkap rakkang. Keterbatasan peralatan yang  sangat sederhana tersebut membuat nelayan memperoleh hasil tangkapan sangat sedikit bahkan seringkali tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga.

Perubahan teknologi dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan secara antropologi dapat dipandang sebagai bentuk perubahan budaya. Perubahan budaya tersebut dapat berlangsung melalui difusi dan inovasi yang dilakukan oleh nelayan.

Berdasarkan sejarah bahwa komunitas nelayan di Pulau Salemo awalnya adalah nelayan penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap seperti jala lappara dan nilon. Alat tangkap tersebut dibuat sendiri oleh nelayan dengan pengetahuan yang telah diwarisi sehingga pembuatan nya masih sangat sederhana waktu itu.

Era jala lappara dan nilon berlangsung selama kurang lebih semenjak tahun 1960 dan terus berkembang kedepannya karena berbagai faktor yang ada, membuat beberapa nelayan terus meningkatkan alat tangkap mereka. Setelah kemudian beberapa tahun selanjutnya nelayan Pulau Salemo mulai mengenal metode penangkapan bagang tancap yang mereka pelajari dari pulau-pulau tetangga seperti saugi dan sagara. Tahun 1964 bagang tancap mulai beroperasi di sekitaran laut Pulau Salemo dengan menangkap ikan jenis banyara’ dan gamasi. Pada tahun tersebut produksi ikan sangat melimpah bahkan terkadang Pulau ini menjadi penuh dengan bangkai ikan yang sangat melimpah karena jumlah produksi yang berlebihan.

Jarak lokasi bagang tancap tidak terlalu jauh dari area pinggir pantai, sekitar kurang lebih 1 km dari dermaga utama Pulau Salemo. Nelayan sangat tidak susah ikan pada saat itu, waktu penangkapan pun relatif singkat karena jumlah ikan pada saat itu melimpah dengan kondisi laut sangat mendukung.

Perubahan alat tangkap yang digunakan nelayan Pulau Salemo pada era 1960 menggunakan jala lappara hingga ke tahun 1964 menggunakan bagan tancap tidak menghilangkan eksistensi alat tangkap jala lappara yang terlebih dahulu hadir di Pulau Salemo, kedua alat tangkap ini menjadi andalan para nelayan untuk mendapatkan ikan pada era tahun 1960an. Pada era ini juga produksi ikan di Pulau Salemo dapat dikatakan sangat tinggi. Penggunaan alat tangkap jala lappara dan bagan tancap juga sangat bersahabat dengan lingkungan laut karena tidak merusak ekosistem laut seperti terumbu karang dan padang lamun pada saat itu.

Perubahan yang terjadi pada era ini dikarenakan faktor difusi (persebaran) dari nelayan pulau tetangga sehingga nelayan yang memiliki modal lebih di Pulau ini membuat inovasi dalam cara tangkap mereka menjadi ke nelayan bagang tancap dan dapat dikerjakan menggunakan kelompok yang relatif kecil dan hasil yang melimpah pada saat itu.

Kemudian pada era  tahun 1970an perubahan alat tangkap yang mendominasi Pulau Salemo adalah keberadaan nelayan pa’ggaE. Nelayan pa’ggaE adalah nelayan yang menggunakan kapal motor besar dengan jumlah anak buah kapal (sawi) sekitar 15 sampai 20 orang dengan alat tangkap jaring porsein yang diperkenalkan oleh pemerintah saat itu.

Pada era ini nelayan Pulau Salemo secara bergotong-royong untuk membuat kapal pa’ggaE dengan dana bersama karena pembuatan kapal ini membutuhkan modal yang cukup tinggi pada saat itu. Bahan baku dan mesin kapal yang mahal membuat individu-individu sulit memiliki sendiri kapal ini. Dengan menggunakan kapal ini nelayan Pulau Salemo mempunyai jelajah yang cukup tinggi meskipun tidak keluar dari wilayah perairan Pangkep.

Perkembangan kapal pa’ggaE ini tersendiri membuat dampak positif dan negatif pada perkembangan alat tangkap nelayan. Dikarenakan pada tahun tersebut kapal cantrang juga beroperasi dengan bentuk yang hampir sama dengan kapal pa’ggaE sehingga nelayan sulit membedakan apakah itu nelayan pa’ggaE atau nelayan cantrang. Pemahaman nelayan Pulau Salemo sangat tidak setuju dengan kehadiran nelayan cantrang karena alat tangkap yang mereka gunakan dapat merusak ekosistem laut yang akan berdampak pada jumlah dan jenis ikan akan berkurang pada tahun itu.

Sehingga pada tahun 1977 terjadi tragedi pembakaran dan pemukulan yang dilakukan oleh nelayan Pulau Salemo kepada nelayan cantrang yang beroperasi disekitar Pulau Salemo. Sebanyak tiga orang nelayan Pulau Salemo harus mendekam dalam penjara akbiat perbuatan menghakimi sendiri pada saat itu, namun menimbulkan dampak postif karena nelayan cantrang tidak berani lagi beroperasi di sekitar laut Pulau Salemo.

Keberadaan kapal pa’ggaE ini berlangsung cukup lama digunakan oleh nelayan Pulau Salemo, hingga dekade 1990an masih beroperasi meskipun jumlahnya sudah sangat berkurang dibandingkan dengan dekade 1970an. Berkurangnya nelayan pa’ggaE ini dikarenakan hasil ikan yang menurun pada waktu itu sehingga beberapa nelayan merugi dan terpaksa menjual kapal mereka ke nelayan tetangga yang masih beroperasi.

Biaya operasional yang tinggi mengakibatkan kapal pa’ggaE tidak menjadi andalan lagi di Pulau Salemo karena tidak sebanding dengan jumlah tangkapan yang mereka hasilkan. Pengaruh lain nya adalah kerusakan lingkungan karena pada dekade tersebut banyak beroperasi nelayan bara’cung disekitar Pulau Salemo. Nelayan bara’cung merupakan nelayan yang menggunakan metode tangkap ikan dengan mem-bom dilokasi yang dianggap memiliki banyak ikan. Kegiatan tersebut kemudian berdampak pada kerusakan lingkungan ekosistem laut yang membuat ikan semakin sulit didapatkan di sekitaran Pulau Salemo.

Perubahan ekosistem laut akibat aktivitas yang dilakukan oleh nelayan membuat nelayan Pulau Salemo pada dekade sering sekali mendapatkan musim paceklik dikarenakan tidak ada ikan sama sekali yang bisa ditangkap dan kehilangan jenis-jenis ikan karena rusaknya terumbu karang pada laut sekitar serta dampak yang ditimbulkan dari nelayan cantrang yang merusak padang lamun tempat ikan makan dan berkembangbiak.

Pada tahun 1995 nelayan Pulau Salemo kembali menggunakan jala untuk menangkap dilaut tapi bukan lagi untuk menangkap ikan, melainkan untuk menangkap kepiting rajungan yang banyak disekitar laut Pulau ini, mereka mulai penangkapan kepiting menggunakan puka atau jala hasil yang didapatkan juga lumayan menjanjikan bahkan pada dekade ini beberapa pemiliki modal membentuk perusahan pengupasan kepiting rajungan karena melimpahnya hasil kepiting rajungan.

Keberadaan kepiting rajungan tersendiri di Pulau bukan secara alami, namun proses pemberdayaan yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin pada tahun 1965 dengan melakukan penebaran bibit kepiting rajungan di Pulau ini. Namun pada tahun 1995 kemudian nelayan beralih untuk memburu kepiting rajungan disekitar Pulau.

Dalam perkembangan kekinian kepiting rajungan pun sangat sulit ditemukan jika menggunakan puka’ atau jala. Sehingga nelayan Pulau Salemo belajar dari orang-orang didaratan untuk belajar membuat rakkang untuk menangkap kepiting dengan menggunakan umpan. Aktivitas ini masih berlangsung hingga saat ini meskipun jumlah hasil tangkapan kepiting rajungan mulai berkurang namun masih menjadi salah satu mata pencaharian nelayan di Pulau Salemo.

Gambar 1.1 Salah satu bentuk rakkang kepiting rajungan milik nelayan Pulau Salemo

 

Selain mengandalkan dari hasil tangkapan kepiting rajungan, nelayan  Pulau Salemo saat ini berupaya untuk mengembangkan  usaha budidaya rumput laut. Hal ini dilakukan nelayan  karena hasil dari melaut saat ini sudah tidak mencukupi  lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan  budidaya rumput laut ini mulai dijalankan tepat pada  tahun 2000an meskipun awalnya telah mulai di sosialisasikan sejak tahun 1970 oleh pemerintah. Modal yang dibutuhkan untuk dapat memulai usaha pembudidayaan rumput laut ini  bervariasi, mulai dari Rp.50.000,00 sampai dengan  Rp.100.000,00. Modal tersebut selain dipergunakan  untuk membeli bibit, juga dipergunakan untuk membeli  peralatan budidaya, seperti tali pengikat rumput laut dan  pelampung, serta upah para pengikat rumput laut.

Kegiatan pembudidayaan rumput laut saat ini menjadi  primadona bagi para nelayan. Waktu panen yang  singkat (40 hari) dan perawatan yang mudah membuat  nelayan banyak yang mengisi waktu-waktu  senggangnya dengan kegiatan pembudidayaan rumput  laut ini. Hasil panen rumput laut basah dijual dengan  harga Rp. 800 per kilogram, sedangkan untuk rumput  laut kering dijual dengan harga rata-rata  Rp.7.000,00 per  kilogram. Hasil panen tersebut dijual ke pengepul rumput  laut.

Kegiatan ini berjalan bukan tanpa hambatan. Hambatan  utama datang dari kondisi alam dan lingkungan pesisir  Pulau Salemo. Kondisi cuaca yang tidak menentu, hujan deras dan arus air laut mengakibatkan beberapa kali  mengalami gagal panen. Kemudian datang nya ribuan ikan-ikan yang migrasi terkadang memakan rumput laut ini sehingga hasilnya kurang maksimal.

Gambar 1.2 Rumput laut hasil panen yang sedang dikeringkan sebelum dijual.

 

Selain hambatan dari faktor alam tersebut, hambatan  lainnya juga datang dari kondisi infrastruktur dalam Pulau. Pulau ini tergolong miskin dan terisolir ditengah laju  pembangunan desa-desa di daratan. Tidak ada sentra  perdagangan dan jasa lokal yang terdapat di Pulau ini.  Selain itu, sarana transportasi dan infrastruktur lainnya  juga masih sangat terbatas. Hal ini menyulitkan nelayan  untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif  sebagai sumber pendapatannya. Untuk melihat lebih jelas mengenai uraian mengenai perubahan alat tangkap nelayan di Pulau Salemo dapat dilihat pada tabel 1.1 dibawah ini :

Tabel 5.1 Perubahan Alat Tangkap Nelayan Pulau Salemo

No Tahun Jenis Alat Tangkap Hasil Tangkapan Keterangan
1 1960 Jala Lappara dan Nilon Ikan banyara, gamasi, baronang, au-au dan lain-lain. Merupakan Jala buatan jahitan sendiri nelayan Pulau Salemo.
2 1964 Bagan Tancap Bambu. Ikan banyara, au-au dan gamasi. Merupakan proses difusi dari kelompok nelayan tetangga sagara dan saugi.
3 1970 Pa’ggaE Ikan Banyara, layang, dan cakalang. Perkembangan ini akibat dari pengenalan jaring porsein.
4 1990 Puka Kepiting, Sampe, dan Tanggo Kepiting Rajungan dan Kepiting Sojo. Hasil inovasi nelayan Pulau Salemo dari jala lappara.
5 2000 Rakkang Kepiting Kepiting Rajungan Merupakan proses difusi dari nelayan kepiting di Pangkep.
6 2000 Budidaya Rumput Laut. Rumput Laut. Pengenalan oleh dinas perikanan dan kelautan.

*Sumber diolah dari berbagai sumber

 

Perubahan alat tangkap yang terjadi di Pulau Salemo memberikan gambaran yang jelas bahwa nelayan selalu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik secara ekologi dan sosial. Meskipun perubahan ini menunjukkan proses kemiskinan karena nelayan selalu diperhadapkan dengan lingkungan alam yang tidak pasti dengan pola-pola penangkapan yang berpindah-pindah

Gambaran demikian dapat kita lihat mengenai perubahan alat tangkap dan hasil tangkap ikan yang semakin ke arah tahun 2000an telah sangat berkurang, bahkan kondisi kekinian Pulau ini nelayan ikan hampir sulit untuk diidentifikasi, disebabkan mereka semua telah menjadi nelayan kepiting rajungan dan rumput laut yang dianggap bisa di eksploitasi dan menghasilkan dibandingkan dengan menangkap ikan.

Gambar 1.3 Aktivitas remaja perempuan melakukan pembibitan rumput laut

 

Tahun 1960an dikatakan sebagai masa keemasan bagi nelayan di Pulau Salemo, karena jumlah produksi yang sangat tinggi dan wilayah penangkapan yang relatif dekat dari wilayah pantai membuat pemasukan dan pengeluaran masih dapat berimbang. Namun kondisi itu sedikit demi sedikit mengalami perubahan, baik karena faktor manusia dan lingkungan. Perubahan musim dan iklim menjadi faktor paling memengaruhi kehidupan mereka sehingga jumlah ikan semakin sulit untuk didapatkan oleh nelayan ditambah lagi dengan kehadiran alat tangkap yang merusak ekosistem laut seperti pukat harimau (cantrang/trowl) dan bom disekitar Pulau ini pada era 1970 mengakibatkan beberapa jenis ikan telah berkurang dan sulit untuk ditangkap seperti gamasi dan au-au.

Puncaknya kemudian pada tahun 1990 dimana nelayan ikan beralih menjadi nelayan kepiting rajungan dikarenakan sulitnya menangkap ikan disekitaran Pulau ditambah dengan pengetahuan nelayan menangkap dengan metode lain juga tidak berkembang.

 

 

PENUTUP

Perubahan alat tangkap nelayan Pulau Salemo telah mengalami berbagai perubahan bentuk alat tangkap sehingga membuat dinamika mata pencaharian nelayan menjadi berubah setiap beberapa tahun, selain karena faktor sumber daya alam (ikan) yang semakin berkurang, sehingga nelayan harus semakin kreatif dalam mengeksploitasi wilayah laut.  Kompleksnya permasalahan yang  terjadi pada komunitas nelayan  disebabkan nelayan  hidup dalam suasana alam yang  keras yang selalu diliputi ketidakpastian  dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan semakin membuat komunitas nelayan harus menghadapi berbagai macam permasalahan  yang kompleks.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Arifin, Ansar. 2014. Perangkap Kemiskinan dan Kekerasan Struktural. Jakarta : Orbit

Firth, Raymond. 1996. Malay Fishermen : Their Peasant Economy. London : Routledge & Kagan Paul Ltd.

Getubig, I.P. and Sonke Schmidt (eds) 1992. Rethinking Social Security: Reaching Out The Poor. Malaysia: S.P Muda Printing Sdn. Bhd. Kuala Lumpur.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah dan Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusnadi. 1987. Pusat Studi Komunitas Pantai. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi. 2001. Pangamba’ Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKIS.

Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan Sumarjono. 2006.  Perempuan Pesisir. Yogyakarta:  LKIS.

Salam, Rahayu. 2014. Assitulungeng : Tolong Menolong dalam Upacara Aqiqah di Pulau Salemo. Walasuji,15(2):327-339.

Satria, Arief. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Yayasan Obor.

Soetomo. 2013. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tang, Mahmud. 1996. Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Barru Sulawesi Selatan, Indonesia. Wageningen : Grafisch Service Cantrum Van Gils, B.V.

Tang, Mahmud, dkk. 2005. Kajian Sekuritas Sosial Bagi Keluarga Nelayan Miskin Di Kota Pare-Pare Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Baru-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Jakarta: Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Depsos RI.

Tang, Mahmud, dkk. 2010. Kajian Sekuritas Sosial Sebagai Basis Penanggulangan Kemiskinan Komunitas Nelayan Di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makassar: LP2M Unhas.

Tang, Mahmud, dkk. 2012. Berbagai Bentuk Sekuritas Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan Pada Komunitas Nelayan Pulau Salemo Sulsel dan Rangas Barat Sulbar. Penelitian Unggulan Program Studi, LP2M Unhas.