Assitalliang Tammajarra di Mandar Abad Ke-16 Oleh: Muhammad Amir

0
16785

ASSITALLIANG TAMMAJARRA

DI MANDAR ABAD KE-16

Oleh: Muhammad Amir

Balai Plestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin – Talasalapang Km 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119,883748, Fax (0411) 865166, HP 081344797300

Email: muhabpnb@yahoo.co.id

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan latar belakang dan proses terjadinya Assitalliang Tammajarra (Perjanjian Tammajarra) di Mandar. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif  sejarah. Hasil kajian menunjukkan bahwa perjanjian yang diselenggarakan di Tammajarra pada abad ke-16, bukan hanya dilatari oleh meningkatnya persaingan antarkerajaan dalam memperluas pengaruh dan wilayah kekuasaan di Mandar, melainkan juga karena pergumulan dalam mengontrol perdagangan maritim di pesisir barat Sulawesi. Perjanjian Tammajarra yang mendasari terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai atau pesisir pantai), diadakan dalam rangka menjalin hubungan kerjasama antarkerajaan, baik dalam mewujudkan ketertiban dan ketenteraman bersama di Mandar maupun dalam meningkatkan kesejahteraan bersama di antara kerajaan-kerajaan di pesisir pantai Mandar. Selain itu, perjanjian ini juga mengandung nilai persatuan dan kesatuan atau integrasi serta toleransi dan persaudaraan. Itulah sebabnya sejumlah perjanjian antarkerajaan, dikenang oleh masyarakat sebagai konvensi dalam menata kehidupan bersama dan hubungan antarkerajaan di Mandar yang memandang kerajaan lain sebagai bagian yang terpisahkan dari keberadaannya.

Kata kunci: Assitalliang, Tammajarra, Mandar, dan kerajaan

 

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia dalam menata kehidupan kenegaraannya pada era reformasi ini, tampaknya tidak lepas dari  gejolak sosial baik berupa konflik politik maupun konflik horizontal. Gejolak sosial yang terjadi di berbagai daerah itu, tidak hanya mengusik panorama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita, tetapi sebagian juga telah mengarah pada gejala disintegrasi bangsa. Selain itu, di dalam penataan pemerintahan juga telah memperlihatkan gejala etnosentrisme dan sifat kedaerahan. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi persatuan dan keutuhan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai contoh, adanya justifikasi isu-isu kesukuan dan kedaerahan dalam pemekaran wilayah, sedangkan dalam pemilihan kepala daerah dimunculkan isu “putra daerah” dan menggunakan simbol-simbol budaya lokal yang sempit. Sementara itu berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh globalisasi memerlukan kekuatan dan ketangguhan budaya bangsa (Zuhdi, 2003: 2).

Demikian pula halnya dengan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar yang kini dikenal dengan Provinsi Sulawesi Barat dalam menata kehidupan kenegaraannya, juga  tidak luput dari gejolak sosial berupa konflik baik internal maupun eksternal, sehingga dinamika kesejarahannya senantiasa diwarnai oleh perang dan damai. Oleh karena itu, hubungan antarkerajaan di daerah ini, tidak hanya diwarnai oleh konflik, tetapi juga tidak sedikit dan bahkan melahirkan puluhan konsensus berupa perjanjian perdamaian atau kerjasama antarkerajaan (Sjariffuddin, 1989: 187). Pada umumnya konsensus yang mendasari hubungan antarkerajaan di daerah ini, tidak hanya berlandaskan pada semangat integrasi atau persatuan dan kesatuan, tetapi juga pada sikap toleransi dan persaudaraan. Sebagai contoh hubungan antara Kerajaan Balanipa (Mandar) dengan Kerajaan Bone, yang dikenang oleh masyarakat bahwa apabila orang Mandar ke Bone dan bermalam, maka ia (orang Mandar) menjadi orang Bone. Begitu pula sebaliknya apabila orang Bone ke Mandar dan bermalam, maka ia (orang Bone) menjadi orang Mandar (Mandra, 1990: 83).

Namun, jika disimak berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini, maka muncul dalam pikiran bahwa kesalahan sejarah apa yang telah diperbuat sehingga bangsa kita yang dikenal sangat ramah dan toleransi berubah menjadi anarkis. Pada sisi lain muncul pemikiran bahwa kita telah melupakan sejarah sehingga kebersamaan, persatuan, dan keutuhan yang telah dibangun dalam kurang waktu yang lama itu telah memudar. Oleh karena itu, penelitian tentang Assitalliang Tammajarra ini sangat relevan dan penting dilakukan untuk mengungkapkan dinamika kesejarahan dan hubungan antarkerajaan di Sulawesi Barat. Sebab, selain dapat memberikan pemahaman tentang dinamika kesejarahan dan hubungan antarkerajaan dalam membangun integrasi bangsa dan menata kehidupan bersama di daerah ini, juga dapat memberikan pentunjuk dalam membangun karakter dan jatidiri bangsa serta dalam meningkatkan kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, juga dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang baik dalam penataan pemerintahan dan pemantapan integrasi bangsa, agar terluput dari gejolak disintegrasi bangsa di dalam membangun kekinian dan hari esok.

Sehubungan dengan itu penelitian ini diarahkan untuk menemukenali dan mengungkapkan dasar-dasar kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan antar-kerajaan di daerah Mandar berdasarkan sumber-sumber sejarahnya. Persoalan pokok yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah mengapa kerajaan-kerajaan di daerah Mandar mengadakan Perjanjian Tammajarra? Persoalan itu tidak hanya berkaitan dengan latar belakang terjadinya perjanjian, tetapi juga menyangkut proses atau dinamika pasca Perjanjian Tammajarra. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan berbagai hal menyangkut latar kesejarahan dan dinamika  Perjanjian Tammajarra. Persoalan-persoalan yang melatari lahirnya penjanjian antarakerajaan dan perubahan sosial yang menyertainya harus diungkapkan atau tidak dapat diabaikan dalam memahami dinamika kesejarahan dan hubungan antarakerajaan dalam menata kehidupan bersama di wilayah Mandar. Selain itu, kajian ini juga dimaksudkan dapat meningkatkan pengetahuan dan membuka cakrawala pemikiran dalam memahami peristiwa masa lampau yang mempunyai makna historis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan studi kepustakaan bahwa terdapat sejumlah kajian tentang Mandar, antara lain karya Darmawan Mas’ud Rahman, tentang Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar (1988). Karya ini merupakan salah satu sumber yang amat membantu dalam memahami kehidupan sosial dan budaya politik orang Balanipa Mandar. Karya lainnya adalah Sejarah Mandar oleh M.T. Azis Syah (1997). Karya yang berjumlah tiga jilid ini hanya menyajikan secara deskriptif sejarah kerajaan-kerajaan di daerah Mandar dan tidak sistematis. Sementara A. Saiful Sinrang menulis tentang Mengenal Mandar Sekilas Lintas (1994). Karya ini menyajikan secara singkat tentang berbagai peristiwa perjuangan rakyat Mandar dalam menentang Belanda. Selain itu, Saharuddin menulis tentang Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) Dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan (1985). Meskipun karya ini menyajikan sejumlah data penting, antara lain hubungan Pitu Babana Binanga dengan kerajaan lainnya dan Belanda, susunan pemerintahan, dan sistem pengangkatan pejabat kerajaan, tetapi ia tidak menguraikan latar belakang dan proses terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga serta tidak menggunakan lontarak sebagai rujukannya. Sebelumnya ia juga telah menulis tentang Susunan dan Sistem Pemerintahan Balanipa Dahulu Dalam Hubungannya dengan Kebudayaan Daerah Mandar (1977).

Deskripsi tentang budaya bahari orang Mandar dilakukan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam karyanya yang berjudul Orang Mandar Orang Laut (2005). Karya ini selain menujukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung, juga tentang keunggulan budaya bahari Mandar pada daya cipta mereka untuk terus menerus menyesuaikan diri terhadap gelombang perubahan zaman. Sementara Ibrahim Abbas menulis tentang Pendekatan Budaya Mandar (1999), dan Edward L. Poelinggomang menulis tentang Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat (2012). Kedua karya yang terakhir disebutkan ini, selain mengungkap beberapa aspek budaya Mandar juga menguraikan sedikit tentang sejarah Mandar. Selain itu, terdapat pula sejumlah tulisan tentang Mandar dari aparat pemerintah kolonial Belanda, yaitu  W.J. Leyds yang menulis Memori van Overgave Assistent Resident Mandar (1940). Tulisan ini tidak saja menceritakan secara umum tentang daerah itu selama ia bertugas di Mandar, tetapi juga menyajian sejumlah data penting yang berkaitan dengan keadaan geografis, penduduk, sejarah (1500-1900), keadaan sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan pribumi. Deskripsi tentang susunan hadat, sejarah, dan adat-istiadat di Mandar dilakukan oleh J. Mallinckrodt dengan judul Zuid – Celebes Serie P. No. 77, Gegevens over Mandar en Andere Landschappen van Zuid – Celebes (1933). Uraian secara singkat tentang kerajaan-kerajaan di Mandar juga terdapat dalam Mededeelingngen Betreffende Eenige Mandharsche Landschappen (Anonim, 1909), dan Nota van Toelichting Betreffende het Landschap Balangnipa (Nooteboom, 1912).

Selain itu, naskah  lontarak  juga merupakan sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini. Meskipun historiografi tradisional ini memiliki kelemahan karena tidak menggunakan penanggalan, namun di dalamnya juga terdapat sejumlah data yang penting. Dari penelitian naskah lontarak tentang Mandar, diperoleh antara lain, Lontarak Balanipa Mandar, Lontarak Pattodioloang di Mandar, dan Lontarak Pattappingan Mandar. Semua sumber dan naskah lontarak tersebut, menjadi rujukan dalam penelitian ini.

 

METODE

Untuk menjawab persoalan penelitian, diperlukan analisis berdasarkan metode sejarah. Sebuah metode yang merekonstruksi kembali masa lampau melalui tahapan kerja pengumpulan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan dalam bentuk narasi sejarah. Dua jenis sumber yang digunakan dalam kajian ini, yaitu manuskrip lokal yang disebut lontarak (manuskrip yang semula ditulis  pada daun lontar) dan sumber tertulis lainnya. Sumber lontarak yang digunakan diperoleh dari Museum Daerah Mandar di Majene, yaitu Lontarak Pattodioloang Mandar, Lontarak Pattappingan Mandar, dan Lontarak Balanipa Mandar. Meskipun ketiga lontarak ini tidak menggunakan penanggalan, tetapi dapat memberikan informasi yang amat penting tentang objek kajian. Sementara sumber tertulis lainnya, baik berupa dokumen dan sumber-sumber sejarah lainnya yang tersimpan pada lembaga kearsipan, maupun berupa buku, artikel, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan perjanjian atau persekutuan antarkerajaan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam penelitian ini. Sumber yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis melalui tahapan kritik sumber, interpretasi, dan kemudian direkonstruksi menjadi narasi sejarah tentang Assitalliang Tammajarra di Mandar

 

PEMBAHASAN

Sekilas Tentang Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004, yang disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada 22 September 2004, dan diresmikan pembentukannya pada 16 Oktober 2004. Jauh sebelum terbentuknya provinsi ini, wilayah yang lebih dikenal dengan Mandar ini, terdiri atas Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), Majene, dan Mamuju merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga kabupaten yang sejak dahulu dikenal dengan Mandar, terletak di pesisir barat bagian utara jazirah selatan Sulawesi. Jarak antara Makassar dengan Sulawesi Barat, kurang lebih 300 km di sebelah utara Kota Makassar. Terletak antara 118º dan 119º BT dan antara 1º dan 3º LS. Batas wilayah pemerintahannya pada bagian timur dan selatan berbatasan dengan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, pada bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar, dan pada bagian utara berbatasan dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Luas wilayah provinsi ini adalah 16.937,16 kilometer persegi. Wilayah pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat saat ini terdiri atas lima wilayah pemerintahan kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah (Poelinggomang, 2012:17; ……).

Keberadaan wilayah itu menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Barat, sebagian besar berada pada pesisir pantai jalur pelayaran dan perdagangan maritim Selat Makassar. Lima dari enam kabupaten memiliki wilayah pantai, mulai dari kabupaten paling utara yaitu Kabupaten Mamuju Utara ke selatan Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Polewali Mandar. Hanya Kabupaten Mamasa yang tidak memiliki wilayah pantai. Garis pantai yang panjang dari utara ke selatan ini telah melapangkan penduduknya yang mayoritas orang Mandar dikenal sebagai pelaut dan pedagang antarpulau yang ulung, di samping kegiatan sebagai nelayan dan petani tambak. Selain di provinsi ini, pemukiman orang Mandar dapat juga dijumpai pada sejumlah kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Pinrang, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Selayar, dan Kota Makassar.

 

Pembentukan Kerajaan

Kapan berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah Mandar belum dapat dipastikan. Berdasarkan keterangan lisan dan naskah lokal berupa lontarak (naskah yang semula ditulis pada daun lontar) menunjukkan bahwa, asal mula kerajaan-kerajaan di jazirah selatan Sulawesi tidak terlepas dari kedatangan seorang pangerang atau putri baik dari atas maupun dari bawah. Dikatakan Tomanurung apabila seorang yang tidak diketahui nama dan asal-muasalnya muncul dari atas dan dikatakan Totompok apabila ia muncul dari bawah. Munculnya Tomanurung itu biasanya diawali konflik antara satu negeri yang disebut banua atau lembang (Mandar), wanua (Bugis), dan borik (Makassar) dengan negeri lainnya yang susah didamaikan (PaEni, 1986: 35). Dalam sumber-sumber lontarak diceritakan bahwa hanya Tomanurung yang dapat atau mampu mendamaikan konflik-konflik tersebut. Tomanurung di Gowa dan Bone misalnya, menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat yang sebelumnya dikisahkan dalam keadaan kacau balau dan berhasil membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk kerajaan (Lontarak Akkarungeng Bone; Patunru, 1983: 2). Itulah sebabnya Tomanurung di Gowa dan Bone dianggap sebagai peletak dasar pembentukan kerajaan yang kemudian diangkat menjadi raja pertama di kedua Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.

Sementara kedatangan Tomanurung di wilayah Mandar, dikisahkan sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai tempat di Mandar. Dalam Lontarak Balanipa Mandar dan Lontarak Pattodioloang di Mandar disebutkan bahwa manusia pertama yang disebut Tomanurung datang ke Mandar mendarat di Ulu Saddang. Lebih lanjut dikisahkan dalam kedua lontarak itu, bahwa Tomanurung di Ulu Saddang kawin dengan Tokombong di Bura yang kemudian melahirkan anak yang bernama Tobanua Pong. Kemudian Tobanua Pong kawin dengan Tobisse di Tallang yang melahirkan beberapa orang anak, di antaranya: Landobelua, Lasokeppang, Lando Guttu, Usuk Sabambang, dan Pakdorang (Lontarak Pattodioloang, tt: 7; Lontarak Balanipa, tt: 5). Sumber lain menyebutkan bahwa perkawinan antara Tobanua Pong dengan Tobisse di Tallang melahirkan tujuh orang anak, namun hanya lima orang yang disebutkan namanya dalam lontarak. Kelima orang anak itu kemudian tersebar ke berbagai tempat, yaitu Landobelua ke Gowa, Lasokeppang ke Belua (Luwu), Lando Guttu tinggal di Ulu Saddang, Usuk Sabambang tinggal di Karonangan, dan Pakdorang tinggal Bittuang. Itulah sebabnya orang Mandar menyatakan diri bersaudara dengan orang Toraja, orang Luwu (Bugis), dan orang Gowa (Mattulada, 1998: 63).[1]

Perkawinan antara Pakdorang dengan Rattebiang  melahirkan empat orang anak; Tusudidi, Sibannangan (tinggal di Mamasa), Pongkapadang (tinggal di Makbuliling), dan seorang yang tidak diketahui namanya tinggal di Massupu. Pongkapadang kawin dengan Sanrobone di Buttu Bulu dan lahirlah anak yang dinamakan Bellotere. Anak Pongkapadang yang disebut Bellotere kemudian kawin dengan seorang pria yang tidak disebutkan namanya datang dari Makka dan berlabuh di lereng Buttu Allo. Dalam lontarak dikisahkan bahwa air laut dahulu sampai di Buttu Bulu dan Buttu Allo (Lontarak Pattodioloang, tt: 8). Hasil perkawinan anak Pongkapadang itu melahirkan anak yang dinamakan Tometeeng Bassi. Selanjutnya, Tometeeng Bassi melahirkan Daeng Lumalek, dan Daeng Lumalek melahirkan sebelas orang anak. Kesebelas orang bersaudara itu, adalah: (1) Daeng Tumanang tinggal di Peurangan, (2) Lamberesusu tinggal di Makka, (3) Daeng Manganna tinggal di Tabulahang, (4) Sambalima tinggal di Tabang, (5) Pullaomesa tinggal di Ulu Salu, (6) Taandiri tinggal di Mamuju, (7) Daeng Palullung tinggal di Sendana, (8) Todipikung tinggal di Malakbo, (9) Taluwattu tinggal di Mambu dan melahirkan tiga orang anak (I Manriwa – neneknya orang Matanga, Sappawiwa tinggal di Tawang, dan yang ketiga tinggal di Mambu – neneknya orang di Padang), (10) Topanibulu pergi ke Bone, dan  (11) Topalik tinggal di Lemo (Napo). Topalik melahirkan Tobittoeng dan Tobittoeng kemudian kawin dengan putra Tomakaka Napo, dan lahirlah Taurra-urra.  Lalu Taurra-urra kawin dengan putri Tomakaka Lemo, yang kemudian melahirkan We Apas. Perkawinan antara We Apas dengan Puang di Gandang (putra Tomakaka Napo), melahirkan Imanyambungi yang digelar Todilaling (Leyds, 1940: 9-16).[2]

Gambaran yang dikisahkan dalam kedua lontarak tersebut, tidak hanya menunjukkan bahwa Tomanurung di Ulu Saddang sebagai tokoh pemula adanya pemukiman di Mandar pada umumnya dan di Napo (Balanipa) dan Sendana pada khusunya, tetapi juga memberikan petunjuk bahwa pada prinsipnya penduduk Mandar (Sulawesi Barat) dan Sulawesi Selatan, bahkan Sulawesi Tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Selain itu, juga menunjukkan bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadinya penurunan permukaan air laut (masa glasial). Di samping itu, juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah kelompok migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Hal inilah yang mendasari penduduk daerah pesisir (babana binanga) dan daerah pedalaman (ulunna salu) bercikal bakal pada keturunan yang sama dan bersaudara (Poelinggomang, 2004: 3).

Namun karena berbagai penyebab, seperti pertambahan penduduk, bencana alam, wabah penyakit ataupun karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, sehingga mereka berpindah dan membangun pemukiman baru. Persebaran pemukiman ke berbagai tempat di Mandar tersebut, lambat laun berkembang menjadi persekutuan masyarakat yang disebut banua atau lembang di bawah seorang pimpinan yang dikenal dengan Tomakaka. Maksudnya, adalah orang yang dituakan dan memiliki kelebihan dan kearifan yang dapat dijadikan sebagai teladan atau panutan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Tomakaka dapat diartikan sebagai orang yang punya kesanggupan dalam segala hal atau sanggup mengayomi masyarakat. Selain di Mandar, istilah Tomakaka juga dikenal di Tanah Toraja dan Luwu. Tomakaka tidak hanya diartikan sebagai orang yang dianggap kakak, namun lebih dari itu. Sebab, kata itu mengandung makna yang lebih dalam dan mempunyai arti simbolik apabila kata kaka itu mendapat awalan ma sehingga menjadi kata makaka di belakang kata to. Jadi Tomakaka bermakna orang yang dituakan dan mempunyai banyak kemampuan sehingga diangkat menjadi pemimpin. Tomakaka juga berarti Tomakkelita, artinya orang yang memiliki lita atau negeri (Rahman,1988:155).

Para Tomakaka yang tersebar di Mandar tersebut, pada umumnya terkait atau merupakan keturunan dari Tomanurung di Ulu Saddang. Dalam tulisan dari Leyds yang bersumber dari lontarak, disebutkan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu Saddang kemudian keturunannya tersebar ke berbagai tempat dan terdapat 41 Tomakaka di Mandar, yang masing-masing memerintah di daerah domisilinya. Adapun keempat puluh satu Tomakaka itu adalah: (1) Tomakaka di Ulu Saddang, (2) Tomakaka di Motting – Botang, Rantebulahan, (3) Tomakaka di Rantebulahan, (4) Tomakaka  di Lembang  Api – Allu,  (5) Tomakaka di Makula – Pambusuang, (6) Tomakaka di Salimbokbo – Ulu Mandak, (7) Tomakaka di Lenggo – Mapilli, (8) Tomakaka di Batuwulawang, (9) Tomakaka di Garombang – Bulo, Mapilli Utara, (10) Tomakaka  di Tamaranu, (11) Tomakaka di Pojosang – Napo, (12) Tomakaka di Saragian – Allu, (13) Tomakaka di Ambok Padang – Tubbi, (14) Tomakaka di Kelapa Dua, (15) Tomakaka di Passokkorang, (16) Tomakaka di Malandi – Campalagian, (17) Tomakaka di Karamangang, (18) Tomakaka di Titie – Mapilli, (19) Tomakaka di Leranglerang, (20) Tomakaka di Napo, (21) Tomakaka di Pangale – Samasundu, (22) Tomakaka di Sajoang – Allu, (23) Tomakaka di Salarri – Limboro, (24) Tomakaka di Leppong – Renggean, (25) Tomakaka di Puttanginor – Allu, (26) Tomakaka di Patui – Tandassura, (27) Tomakaka di Tande – Majene, (28) Tomakaka di Buttupau – Pamboang, (29) Tomakaka di Salabose – Majene, 30) Tomakaka di Sonde – Tappalang, (31) Tomakaka di Selumase – Tappalang,    (32) Tomakaka di Puttade – Cenrana, (33) Tomakaka di Seppong – Ulu Mandak,  (34) Tomakaka di Tabbang – Sebelah Timur Mamasa, (35) Tomakaka di Balobang – Pamboang, (36) Tomakaka di Puabang – Majene, (37) Tomakaka di Binuang, (38) Tomakaka di Lebbani – Mamuju, (39) Tomakaka di Kalukku – Mamuju, (40) Tomakaka di Kalumpang, dan (41) Tomakaka di Lomo – Mamuju (Leyds, 1940: 19-20).

         Kepemimpinan Tomakaka pada awalnya dapat  berjalan dengan baik dan menjadi teladan atau panutan yang senantiasa mengayomi warganya. Namun dalam perkembangannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sebab sejumlah Tomakaka, seperti Tomakaka Passokkorang, Lenggo, Lempong, dan Tande berusaha menguasai Tomakaka lain, sehingga terjadi konflik antara Tomakaka yang satu dengan yang lainnya (Lontarak Pattodioloang, tt: 10). Akibatnya ketenteraman dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat terganggu. Itulah sebabnya sejumlah Tomakaka, seperti Tomakaka Napo, Samasundu, Mosso, dan Todatodang berusaha untuk mempersatukan diri dalam suatu ikatan persekutuan yang dikenal Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar). Dalam perkembangannya, persekutuan ini pun tampaknya tidak mampu mengatasi ancaman dan gangguan itu, sehingga mereka kemudian mencari seorang pemimpin yang dapat membantu untuk menyelamatkan rakyat dan negeri dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayahnya (Amir, 2011: 50).

Usaha pencarian itu akhirnya tertuju kepada Imanyambungi karena dianggap mampu dan cakap untuk menjadi pemimpin berdasarkan pengalaman di Kerajan Gowa.[3] Oleh karena itu, mereka juga berusaha menjalin hubungan dengan Gowa, suatu kerajaan yang telah membangun hegemoni kekuasaan di jazirah selatan Sulawesi sejak awal abad ke-16. Ketika kembali ke negeri kelahirannya Napo, Imanyambungi segera memerangi para Tomakaka yang mengancam Appe Banua Kaiyang atau yang membuat kekacauan di Mandar. Atas dukungan dan bantuan dari Gowa dan Appe Banua Kaiyang, ia berhasil mengalahkan dan menaklukkan para Tomakaka yang selama ini membuat keonaran di Mandar, kecuali Tomakaka Passokkorang (Saharuddin,1985:45; Kila,2014:213). Keberhasilan Imanyambungi dalam memulihkan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga ia dipilih dan diangkat menjadi pemimpin atau pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan Appe Banua Kaiyang dan negeri-negeri yang ditaklukkan. Pembentukan kesatuan pemerintahan inilah yang kemudian menjadi dasar berdirinya Kerajaan Balanipa, dengan pusat pemerintahan di Napo, suatu wilayah yang sejak lama dikenal sebagai bandar niaga di Mandar.

Demikian pula dengan para Tomakaka yang lain di Mandar, baik di daerah pesisir atau muara sungai (babana binanga) maupun di daerah pedalaman atau hulu sungai (ulunna salu) berusaha membentuk persekutuan yang terdiri atas beberapa negeri (banua) dalam suatu kesatuan pemerintahan yang kemudian disebut kerajaan. Di daerah pesisir pantai atau muara sungai, selain Balanipa terbentuk pula sejumlah kerajaan antara lain Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan Binuang. Sementara di daerah pegunungan atau hulu sungai terbentuk Kerajaan Rantebulahan, Tabulahan, Aralle, Mambi, Matangnga, Tabang, dan Bambang.  Ketujuh kerajaan di pesisir pantai itu kemudian membentuk persekutuan yang dikenal dengan Pitu Babana Binanga. Bagitu pula ketujuh kerajaan di hulu sungai membentuk persekutuan yang dikenal dengan Pitu Ulunna Salu.

 

Latar Belakang Perjanjian

Pembentukan kesatuan pemerintahan dalam bentuk kerajaan di Mandar, menyebabkan terjadinya pula perubahan pada nama gelar pemimpin negeri (banua) yang sebelumnya dikenal dengan Tomakaka menjadi Papuangan (yang dipertuan atau seseorang yang disapa dengan puang), terutama di daerah pesisir. Sementara pemimpin banua atau lembang di daerah pedalaman atau pegunungan, tidak berubah dan tetap disebut dengan Tomakaka. Perubahan nama gelar pemimpin banua di daerah pesisir itu, seperti Tomakaka Napo, Samasundu, Mosso, dan Todatodang berubah menjadi Papuangan Napo, Papuangan Samasundu, Papuangan Mosso, dan Papuangan Todatodang (Saharuddin, 1985: 6).[4] Masing-masing Papuangan itu, mempunyai kekuasaan sepenuhnya dalam mengurus dan mengatur daerahnya sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Dalam perkembangannya, selain sebagai pemimpin atau ketua persekutuan adat (penghulu ada) di daerahnya masing-masing, para Papuangan juga menjadi anggota dari lembaga adat yang dikenal dengan dewan Ada Kaiyang (adat besar). Dewan Ada Kaiyang inilah yang kemudian berhak memilih dan mengangkat serta memberhentikan seorang raja yang disebut dengan maraqdia pada sejumlah kerajaan di Mandar (Amir, 2011: 54).[5]

Sebelum memangku jabatan secara resmi sebagai maraqdia, seseorang yang terpilih harus terlebih dahulu dilantik oleh Penghulu Ada Kaiyang (ketua dewan adat besar). Pada upacara pelantikan itulah calon maraqdia diparakkai (dimahkotai), yaitu dipasangkan mahkota kebesaran di atas kepalanya, yang dirangkaikan dengan         ikrar atau sumpah jabatan oleh ketua dewan adat. Sebagai contoh pada Kerajaan Balanipa ketika pelantikan maraqdia pertama Imanyambungi yang dilakukan oleh Puang Dipoyosang[6] sebagai ketua dewan adat yang mewakili Appe Banua Kaiyang dan atas nama rakyat, bahwa  “Upakaiyangngo’o, mupakaraja’, madondong duang bongi anna marrattoso’o wake’, maruppu-ruppu’o batu, uwalai membali akaiyangan”(Saharuddin, 1985: 12). Artinya, kami angkat engkau menjadi pemegang tampuk pemerintahan, tetapi engkau harus menghormati kami, besok lusa manakala engkau memutuskan sendi-sendi adat dan menghancurkan aturan dan kebiasaan adat negeri, maka kami akan mengambil kembali kebesaran yang telah kuberikan. Setelah itu, dilakukan perjanjian yang disebut assitalliang antara Maraqdia Balanipa Imanyambungi dengan Puang Dipoyosan yang mewakili rakyat. Masing-masing berpegang pada tiang payung kebesaran dengan mengucapkan sumpah setia, sebagai berikut:

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Malewu parrikdik mo’o? (apakah kalian semuanya sudah bersepakat?).

Puang Dipoyosang menjawab; Malewu Parrikdik mang (kami telah sepakat seluruhnya).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Jari lappar lapparumo’o? (apakah seluruh daratan akulah yang punya?)

Puang Dipoyosan menjawab; O diada o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Buttu-buttu’u mo’o (apakah semua gunung akulah yang punya?).

Puang Dipoyosan menjawab; O diada o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Sasi sasi’u mo’o? (apakah seluruh laut, lautkukah?

Puang Dipoyosan menjawa; O diada’ o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Tau tau u mo’o (apakah seluruh rakyat, rakyatkukah?)

Puang Dipoyosan menjawab; O diada’ o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Iri’ma na daun aju mo’o (anginlah saya dan kalian adalah daun kayu)

Puang Dipoyosan menjawab; O diada’ o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan).

  1. Maraqdia (Imanyambungi) berkata; Rarumma’na buttang mo’o (jarumlah saya dan kalian adalah benang)

Puang Dipoyosan menjawab; O diada’ o dibiasa (benar, asalkan hal tersebut sesuai dengan adat dan kebiasaan) (Saharuddin, 1985: 13-14).

 

Jika disimak ikrar dan assitalliang (perjanjian) tersebut, maka tampak bahwa antara rakyat dengan maraqdia telah terikat suatu perjanjian atau kontrak pemerintahan sejak awal terbentuknya Kerajaan Balanipa. Perjanjian pemerintahan ini merupakan suatu persetujuan bersama atas dasar mufakat antara rakyat dengan maraqdia yang akan memangku tampuk pemerintahan. Dalam perjanjian tersebut, telah diatur dan ditetapkan batas-batas antara kedua belah pihak, baik menyangkut hak dan kewajiban maraqdia terhadap rakyatnya, maupun hak dan kewajiban rakyat terhadap maraqdia atau rajanya. Itulah sebabnya ikrar dan assitalliang itu, senantiasa pula diucapkan pada pelatikan maraqdia Balanipa berikutnya. Maksudnya, setiap kali seorang maraqdia Balanipa dilantik, diulangi lagi pembacaan “perjanjian atau kesepakatan” tersebut, untuk ditaati oleh maraqdia dan rakyat Balanipa. Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan Binuang sejak awal pembentukannya, telah terikat perjanjian atau kontrak pemerintahan antara yang memerintah (maraqdia) dengan yang diperintah (rakyat).

Setelah Imanyambungi dilantik menjadi maraqdia Balanipa, ia mulai menata pemerintahan dan bergiat menyatukan banua-banua (negeri-negeri) di sekitarnya menjadi bagian dari Kerajaan Balanipa. Atas usul dan saran dari  dewan Ada Kaiyang, maka diangkatlah Puang Dipoyosan yang mempunyai kedudukan sebagai Papuangan Limboro, menjadi pemangku adat (parriba ada) Balanipa, untuk mendampinginya  Imanyambungi dalam mengatur pemerintahan di daerah dataran rendah yang disebut lappar (Limboro). Kemudian menyusul pengangkatan Papuangang Tammangalle yang juga biasa disebut dengan Papuangan Biringlembang menjadi pemangku adat kerajaan, untuk mendampingi maraqdia dalam mengatur pemerintahan di daerah pesisir pantai (Saharuddin, 1977:16; Amir,2013:5).

Pengangkatan kedua Papuangang itu menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan kerajaan, tidak berarti bahwa jabatannya sebagai pemimpin banua ditinggalkan. Maksudnya, bahwa mereka tetap menjalankan pemerintahan atau kepemimpinan atas banua asal masing-masing, di samping jabatan mereka sebagai pemangku adat di pusat pemerintahan. Selain itu, secara berurutan mereka juga kemudian menjadi “ketua dan wakil ketua” atau penghulu dari dewan Ada Kaiyang Kerajaan Balanipa (Asdy, 2003: 48). Pengangkatan kedua Papuangan itu menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan dan penghulu ada, karena peran kedua tokoh tersebut, selain Imanyambungi, merupakan orang yang amat berjasa dalam poses pembentukan dan perluasan wilayah kekuasaan Balanipa.

Pengangkatan pemangku adat Balanipa berikutnya adalah pelantikan Puang Sodo menjadi Pabbicara Kaiyang, yang bertugas membantu maraqdia di bidang hukum, memimpin sidang-sidang, dan pendamping tetap maraqdia Balanipa (Sjam, 1990: 9). Ketiga pemangku adat inilah yang kemudian disebut dengan Tallu Sakko Ada (tiga pemangku adat) dalam Kerajaan Balanipa di masa kepemimpinan Imanyambungi. Pada akhir masa kepemimpinannya, Marakdia Imanyambungi mengamanahkan, antara lain bahwa besok lusa saya meninggal dunia, janganlah diangkat menjadi maraqdia orang yang tidak menyayangi rakyat dan negeri, walaupun orang itu adalah anak dan cucu saya.[7] Amanah dari Imanyambungi inilah yang kemudian menjadi pedoman dalam pemilihan dan pengangkatan seorang maraqdia dan pemangku adat, baik di Kerajaan Balanipa maupun pada kerajaan-kerajaan di wilayah Mandar. Dalam perluasan wilayah kekuasaan Balanipa, hanya Tomakaka Passokkorang yang belum berhasil ditaklukkan  Imanyambungi hingga akhir hayatnya (Saidong, 2000: 78).

Imanyambungi digantikan oleh putranya yang bernama Tomepayung menjadi maraqdia Balanipa. Setelah Tomepayung secara resmi memangku jabatan sebagai maraqdia Balanipa yang kedua, ia mulai melanjutkan kebijakan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan Balanipa. Tomepayung bukan hanya berhasil mempengaruhi Tomakaka Barobaro dan Tomakaka Malumba yang kemudian angkat menjadi Papuangan Tenggeleng (Barobaro) dan Papuangan Luyo (Malumba) serta negeri kekuasaannya menjadi bagian dari Balanipa. Tetapi ia juga berhasil menaklukkan Tomakaka Passokkorang, suatu negeri yang dikisahkan cukup besar, menguasai lahan pertanian yang luas dan perdagangan maritim dengan pusat pemerintahan di sekitar daerah Mapilli. Setelah negeri ini ditaklukkan, negeri-negeri kekuasaannya menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Balanipa. Sejumlah negeri (banua) ditempatkan di bawah kekuasaan Papuangan Tenggeleng dan Luyo, seperti Banato, Andau, dan Alapang. Sisanya menjadi daerah otonom, seperti Mapilli, Campalagian, dan Tapango, serta yang lainnya menjadi daerah palili (bawahan), seperti Mangoi, Karoke, Sattako, Salunase, Puttapi,  Sayoang, Saralli, dan Pussui (Syah, 1997: 64).

Selain perluasan wilayah kekuasaan Balanipa melalui penaklukan, juga dilakukan secara damai. Antara lain dengan melalui perjajian persahabatan atau persaudaraan, misalnya Allu dan Taramanu, suatu kerajaan yang dikisahkan lebih tua atau lebih dahulu terbentuk daripada Balanipa. Namun dalam perkembangan-nya, kerajaan itu kemudian bergabung atau menjadi bagian dari Balanipa. Ada juga kerajaan yang secara sukarela bergabung dan menjadi bagian dari Balanipa, antara lain Tubbi. Kerajaan-kerajaan ini kemudian menjadi daerah otonom dalam Balanipa (Mandra, 1991: 97). Tampaknya dalam proses itu, ada kebebasan setiap banua (negeri) atau kerajaan untuk memilih menjadi bagian dari struktur pemerintahan di pusat kerajaan dengan mendapat kedudukan tinggi sebagai pemangku adat kerajaan. Atau menjadi daerah otonom yang berhak mengatur sendiri pemerintahannya, kecuali dalam masalah pertahanan dan keamanan yang tetap menjadi tanggungjawab bersama di bawah pimpinan kerajaan induk (Balanipa).

Perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa di masa pemerintahan Tomepayung, semakin bertambah luas sampai dengan perbatasan Kerajaan Binuang di bagian timur dan Kerajaan Banggae di sebelah barat serta kerajaan-kerajaan di daerah hulu sungai (ulunna salu) pada bagian utara. Kerajaan-kerajaan itu juga senantiasa mempeluas wilayah kekuasaannya, sehingga tidak jarang terjadi konflik antarkerajaan. Namun Balanipa tampaknya yang lebih dominan, sehingga wilayah kekuasaannya yang semula hanya meliputi daerah Limboro, Biringlembang, dan Appe Banua Kaiyang bersama dua belas negeri bawahannya (ana banua) pada masa pemerintahan  Imanyambungi, semakin berkembang dan bertambah luas  di masa pemerintahan Tomepayung. Tercatat sejumlah banua yang menjadi bagian dari Balanipa,  yaitu antara lain meliputi daerah kekuasaan Papuangan Tenggeleng, Papuangan Luyo, Kerajaan Allu, Kerajaan Taramanu, Kerajaan Tubbi, Mapilli, Tapango, Campalagian, dan delapan daerah taklukan yang disebut arruwa banua palili (Syah, 1997: 80).

Perluasan wilayah kekuasaan itu, juga disertai dengan pemindahan pusat pemerintahan yang sebelumnya ditempatkan di Napo-Balanipa, ke daerah pesisir pantai yang terletak di muara Sungai Mandar, yang disebut dengan Tangga-Tangga. Pemindahan pusat kekuasaan itu, tidak terlepas dari kepentingan perdagangan maritim. Itulah sebabnya  dibentuklah petugas-petugas kerajaan yang dalam lontarak disebut dengan sakka manarang (lengkap segala kepandaian), yaitu berjumlah “seribu orang” (tau sallessorang) dengan berbagai keterampilan khusus. Mereka itu antara lain terdiri atas: pembuat perahu, tukang kayu, pandai emas, pandai besi, pandai kuningan, pembuat alat batu, pemintal tali, pembuat alat kesenian, pengukir, pembuat layar perahu, pasukan berani mati, pasukan penyumpit, pasukan senapan, pasukan pengawal, pengasuh, juru masak, pengambil air, dan pengambil kayu. Masing-masing kelompok tersebut terdiri atas dua puluh orang (Lontarak Pattodioloang, tt: 14).

Walaupun Tomepayung berhasil menaklukkan Passokkorang, ia tetap merasa kuatir karena adanya sebagian pasukan Passokkorang yang melarikan diri dan mendapat perlindungan dari kerajaan lain di Mandar, baik di daerah pesisir maupun di pedalaman. Pelarian perang yang demikian itu disebut dengan jangan-jangan manribag, dan senantiasa dilakukan pengejaran terhadapnya. Namun dalam upaya pengejaran terhadap para pelarian perang itu, tampaknya bukan hanya menghadapi jangan-jangan manribag, melainkan Balanipa juga harus berhadapan dengan kerajaan-kerajaan lain di Mandar (Limbugau, 1987: 8). Itulah sebabnya maraqdia Balanipa memprakarsai pertemuan antara kerajaan-kerajaan di daerah pesisir pantai, seperti Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, dan Mamuju. Pertemuan yang diselenggaran di Tammajarra (Balanipa) itu, kemudian melahirkan ikrar kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian atau Assitalliang Tammajarra.

Assitalliang Tammajarra

Setelah menaklukkan Passokkorang, Balanipa tidak hanya menjadi kerajaan yang semakin besar dan kuat, tetapi juga semakin disegani dan memegang peranan penting dalam percaturan politik di Mandar. Sebab, selain melakukan penaklukan dan sejumlah kerajaan kecil di sekitarnya yang secara sukarela bergabung dan menjadi bagian dari Balanipa, juga bergiat menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain di Mandar. Itulah sebabnya kerajaan-kerajaan yang terletak di pesisir pantai Mandar sepakat memenuhi undangan pertemuan yang diprakarsai maraqdia Balanipa, untuk saling membantu dan bekerjasama dalam rangka memajukan kesejahteraan dan keamanan di Mandar. Pada pertemuan yang diselenggarakan di Tammajarra (Napo-Balanipa) tersebut, berhasil melahirkan suatu kesepakatan yang disebut dengan perjanjian atau Assitalliang Tammajarra. Perjanjian inilah yang mendasari terbentuknya persekutuan kerajaan-kerajaan di pesisir pantai, yang dalam perkembangannya dikenal dengan persekutuan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan di pesisir pantai), yaitu terdiri atas Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan Binuang.

Perjanjian di Tamajarra (suatu bukit dalam wilayah Balanipa) terdiri atas berbagai versi yang berbeda antara satu dengan lain. Perbedaan ini tampaknya disebabkan oleh karena di tempat ini telah diadakan beberapa kali perjanjian antarkerajaan, termasuk pembaharuan perjanjian. Oleh karena setiap kali kawasan Mandar dilanda musibah, maka perjanjian di Tamajarra diperbahurui (dikuatkan) kembali. Di antaranya ketika meninggalnya Todijallo (maraqdia Balanipa), terjadi sengketa dengan Ajatappareng, tewasnya Todiboseang dalam perang di Kaili, tewasnya To Matindo di Buttu dalam perang di Galesong, tewasnya To Matindo di Sallomo (maraqdia  Banggae) dalam perang Balanipa pada 1669, dan pengambilalihan kekuasaan maraqdia Balanipa oleh To Matindo di Bata (Sinrang, 1987: 5).

Salah satu versi Perjanjian Tammajarra adalah versi P. Tandiagi, bahwa masalah utama yang dihadapi Balanipa dan kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Mandar adalah kesewenang-wenangan Tomakaka Passokkorang (Mandra, 1987: 25). Versi perjanjian yang pertama kalinya diadakan ini dalah:

“Setelah bulat pertimbangan di Podang, berkumpullah orang di Tamajarra, bersatu dengan bersatu pikiran, tunduk tengadah memikirkan kekejamannya Passokkorang. Berkatalah negeri di Napo (Balanipa), bahwa bagaimana pertimbangannya Sendana?

Berkatalah Sendana: bagaimana kalian, Banggae, Pemboang, Tappalang, Mamuju? Berkatalah Banggae, bahwa Balanipa sajalah beserta Sendana sebaiknya berembuk. Menyebutlah Pemboang, Tappalang dan Mamuju membenarkan perkataan Banggae. Berkatalah Sendana, bahwa bagaimana pendapatmu Napo? Berkatalah Napo, bahwa dimiringkan dan dibalikkan negeri di Mandar, jika tombak dan pagar Passokkorang tidak diruntuhkan. Tidak dapat menelan sesuap nasi rakyat kita, tidak dapat meneguk seteguk air karena kekejaman Passokkorang yang menghadang siang dan malam. Harus kita perangi dan harus dikalahkan, demi keselamatan negeri kita di Mandar, sehingga dapat memperoleh tidur rakyat kita.

Berkatalah Sendana, bahwa benar sekali pendapat Napo. Telah meninggal maraqdia (gelar raja) Barobaro, dibunuh oleh maraqdia Passokkorang, diambil pula istrinya. Mungkin besok, mungkin kita lagi yang kena giliran jika merajalela bagaikan api kejahatannya Passokkorang. Sekali Napo berkeinginan mengadakan perang besar (terhadap Passokkorang), sepuluh kali saya menyetujuinya, karena lebih baik jiwa melayang daripa kehilangan siriq. Bagaimana pendapat Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju? Serempak mereka menjawab bersama Sendana mengatakan, apa yang telah dikatakan baik oleh Sendana dan Balanipa, mati atau hidup akibatnya, pantang kami tinggalkan. Berkatalah Sendana: baiklah hanya saja, janganlah kiranya ada yang setengah hati bereperang, jangan pula ada yang menginginkan harta benda dan penghianatan yang menyertainya. Berkatalah Napo, sekali dikatakan Sendana, sepuluh kali kebenarannya. Marilah kita bersama-sama teguh apa yang diucapkan oleh Sendana, kita akan mengadakan peperangan besar, dan memerangi Passokkorang. Semua negeri, bagi tigalah rakyatmu yang sudah dewasa. Dua bagian menjaga negeri, satu bagian dikerahkan bersama-sama memerangi Passokkorang. Mengangguklah semua negeri di Mandar, telah mengutus pulalah Balanipa dan Barobaro, mengutus pula ke Tinunnungang. Berkatalah Sendana, peranglah yang mengumpulkan kita, rakyat disatuhatikan, disehidup sematikan. Negeri dan rakyat, sesuai adat sesuai kebiasaan jua. Berkatalah Napo, kita masing-masing mempertahankan ada dan rapang kita, negeri pada jorik simemengang (garis yang melambangkan hukumnya yang telah ada sejak semula), demikian pula rakyat. Masing-masing mengayun-ayun kan tangan kita sendiri, melangkahkan langkah kaki kita sendiri, di negeri kita sendiri. Akan tetapi, jika kita di dalam peperangan, satulah bunyi, satulah gerakan, mati kita bersama, hidup kita bersama. Jika telah dikeluarkan dari sarungnya benda tajam kita, pantang disarungkan kembali, walaupun perang belum selesai, lebih baik diberitakan lari, daripada ter-beritakan menyerah (kapada musuh). Barang-siapa di antara kita yang lari dari peperangan, melanggar kesepakatan, pupus tiada memperoleh kebaikan (semacam kutukan), diambil pula negerinya bersama rakyatnya dibagi-bagi. Genggam eratlah pantang melepaskan perjanjian kesepakatan, jiwa boleh melayang tetapi perjanjian pantang diingkari” (Sjariffuddin, 1989:280).

 

Berdasarkan dialog para peserta pertemuan tersebut, dapat diketahui bahwa hanya ada enam kerajaan yang menjadi peserta dalam pertemuan, yaitu Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, dan Mamuju. Adapun Napo yang ikut mengeluarkan pendapatnya, adalah salah satu dari Appe Banua Kaiyyang (empat negeri besar) yang merupakan wilayah inti Kerajaan Balanipa. Jumlah peserta tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu belum terbentuk persekutuan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan yang berada di muara sungai atau pesisir pantai), karena Binuang belum disebutkan di antara peserta.    

Sementara dalam Lontarak Pattapingan Mandar, antara lain disebutkan bahwa:

“Berkumpullah orang di Tammajarra. Hadirlah Sendana, begitu juga yang lainnya. Maka berkata marakdia Balanipa, “Adapun sebabnya kalian kupanggil, kerabatku, sebaiknya bersekutu kita bertujuh, karena bersaudara kita semua dari satu asal, satu nenek kita bersama, kita semua adalah cucu Tokombong Dibura. Siapa yang empunya cucu marakdia Mamuju, dan juga marakdia Tappalang, (jika bukan) Taandiri. Siapa yang empunya cucu marakdia Sendana begitu pula marakdia Pamboang, (jika bukan) Daeng Palulung. Tokombong Dibura juga asalnya. Marakdia Banggae dan marakdia Binuang, Ibongkapadanglah yang memperanakkannya, Tokombong Dibura juga asal-muasalnya.

Itulah sebabnya marakdia Balanipa berkata, “Kita semua bersaudara, karena kita semua berasal dari satu nenek”. Bagaimana pendapat kalian wahai saudara-saudaraku? Kemudian berkatalah yang lima kepada Sendana, “Engkaulah yang berembuk dengan Balanipa”. Berkatalah Balanipa, “Engkaulah yang besar, Sendana”. Berkatalah Sendana, “Sekali engkau katakan, sepuluh kali saya bergembira. Kecuali satu hal, saya yang besar tetapi engkaulah sambolangiq (penutup langit, sejenis burung). Engkaulah (sebagai) suami, sayalah (sebagai) istri, dan sebagai anaklah Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan Binuang, sebab dikhawatirkan bangkitnya kembali kekuatan Passokkorang”. Berkata lagi Sendana, “Mati di pagi hari Balanipa, mati di sore hari Sendana bersama anaknya. Demikian juga, Sendana sehidup semati dengan Pitu Babana Binanga”.

Begitulah kesepakatannya Sendana (dengan) Balanipa, kemudian masing-masing memegang kalumping (semacam daun siri yang dilipat khusus) dan telur, lalu dipecahkan bersama-sama, dipersaksikan kepada dewata di atas dan di bawah. Barangsiapa yang mengingkari perjanjian, dibalikkan bubungannya, dibalikkan tiang (rumahnya).

Dikatakan pula oleh Tomepayung, “Ini juga kupanggilkan kepadamu (hai) istriku, apa yang hidup ketika perangkapmu terpasang, jika masuk semua segenap janganjangan manribagnya (burung merpati terbangnya, musuh yang melarikan diri ke daerah lain) Balanipa ke dalam negerimu, itu sudah menjadi milikmu, (wahai) istriku, ambillah olehmu”. Itulah pemberian Balanipa (kepada istrinya), maka istrilah Sendana, anaklah Lima Babana Binanga, bersama (dalam) keburukan, bersama (dalam) kebaikan, sehidup, semati. Menjamulah Balanipa kepada istri dan anak-anaknya, masing-masing memperoleh seekor kerbau, dan beras sepuluh balasse (tempat beras terbuat dari daun nipa).

Inilah yang masuk mengadakan perjanjian di Balanipa. Dialah yang bernama Tomepayung maraqdia Balanipa, Puatta di Kuqbur maraqdia Sendana, Daetta Melantok marakdia Banggae, Tomelakelake Bulawang marakdia Pamboang, Puatta Dikarenamo marakdia Tapalang, Tomejammeng maraqdia Mamuju, dan cucu Tokombong Dibura maraqdia Binuang” (Lontarak Pattapingan Mandar, tt:7-8).

 

Namun versi Lontarak Pattappingan Mandar tersebut, berbeda dengan versi Rahman dan Saharuddin tentang perjanjian itu sebagaimana berikut ini:

“Marilah kita bersama-sama melakukan apa yang terbaik untuk kepentingan negeri kita masing-masing khususnya kepentingan menjaga keamanan, kesejahteraan demi kebaikan rakyat kita sekalian. Marilah kita bersama-sama untuk mencari jalan yang baik demi kepentingan bersama dan tidak mengusahakan jalan yang buruk untuk keseluruhan. Andaikata kita hanyut, rebah, dan runtuh marilah bersama-sama untuk saling tolong menolong, andaikata kita khilaf marilah kita saling mengingatkan. Baik di gunung dan di darat tidak ada sesuatu yang dapat memisahkan akan kekeluargaan kita sekalian. Besok lusa manakala ada kesusahan yang akan menghancurkan negeri, dan tidak dapat lagi dilangkahi, dilewati, dihindari juga sangat sukar, maka mari kita membulatkan tekad yang teguh seteguh mungkin sebagai satria perkasa dan siap mempertahankan negeri walau hancur sekalian.

Siapa-siapa yang menghindari kata sepakat ini dan merusak perjanjian yang telah disepakati berarti yang bersangkutan tidak akan membela negeri. Dia akan keluar dari persekutuan ini melihat ke dalam dan akan kena sumpah nenek moyang turun temurun. Seandainya piring berbulu, tidak akan berbulu kejadian dari kemanusiaannya, menginjakkan kaki di tanah, tanah akan runtuh, berpegang di dahan kayu, dahan kayu akan rebah bila berakar akarnyapun akan putus bertunas akan hancur juga, bila beranak akan lahir anak tidak punya kepala atau akan beranak tanpa kaki” (Rahman, 1988: 235; Saharuddin, 1985: 36).

 

Jika disimak sejumlah sumber tersebut, tampak bahwa Perjanjian Tammajarra, bukan hanya diadakan karena ketujuh kerajaan itu berasal-muasal yang sama (Tokombong Dibura) sehingga bersaudara, tetapi juga untuk saling membantu dan bekerjasama dalam rangka memajukan kesejahteraan dan keamanan rakyat masing-masing. Di samping itu, perjanjian ini diadakan juga karena adanya kekhawatiran Passokkorang bangkit kembali. Kekhawatiran itu karena adanya sebagian pasukan Passokkorang yang melarikan diri (jangan-jangan manribag) dan mendapat perlindungan dari kerajaan lain di Mandar, baik di wilayah yang kemudian dikenal dengan persekutuan Pitu Babana Binanga, maupun di wilayah persekutuan Pitu Ulunna Salu. Itulah sebabnya persoalan jangan-jangan manribag ini, menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pertemuan di Tammajarra tersebut.

Selain itu, Perjanjian Tammajarra juga mengandung nilai-nilai luhur, misalnya hilaf saling memperingatkan; bersalah saling memaafkan; rebah saling membangunkan; hanyut saling mendamparkan; tidak saling membikin kecelakaan; tidak saling menyembunyikan sesuatu; tidak saling tuding menuding; tidak saling celah mencela; kebaikan dipelihara bersama; kejahatan ditolak bersama; tidak dinamai kebaikan kalau hanya satu yang diuntungkan; menganut adat masing-masing; saling percaya mempercayai; tidak saling bohong membohongi; satu yang sakit enam yang mengobatai, dua sakit lima yang mengobatai, dan seterusnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Assitalliang Tammajarra yang mendasari terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga, bukan hanya merupakan kesepakatan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjamin ketenteraman bagi kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan itu, tetapi juga mengandung nilai persatuan dan kesatuan serta toleransi dan persaudaraan.

Pertemuan yang diselenggarakan di bukit Tammajarra itu, dihadiri oleh Maraqdia Balanipa Tomepayung, Maraqdia Sendana Puatta Dikugbur, Maraqdia Banggae Daetta Melantog, Maraqdia Pamboang Tomelakelake Bulawang, Maraqdia Tapalang Puatta Dikarenamo, Maraqdia Mamuju Tomejammeng, dan Maraqdia Binuang Cucu Tokombong Dibura. Pertemuan itu kemudian melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan Assitalliang atau Perjanjian Tammajarra, yang mendasari terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga. Persekutuan ini menempatkan Balanipa sebagai ketua dengan status ayah (suami), dan Sendana sebagai wakil ketua dengan status ibu (istri), serta yang lainnya sebagai anggota dengan status anak dari persekutuan tersebut.

Setelah terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga, maka tugas dari masing-masing anggota persekutuan dapat diuraikan berikut ini: (1) Balanipa sebagai ayah Pitu Babana Binanga, (2) Sendana sebagai ibu Pitu Babana Binanga, (3) Banggae sebagai anak laki-laki Pitu Babana Binanga, (4) Pamboang sebagai anak perempuan Pitu Babana Binanga, (5) Tappalang sebagai anak perempuan Pitu Babana Binanga, (6) Mamuju sebagai anak laki-laki Pitu Babana Binanga, dan (7) Binuang sebagai sebagai anak bungsunya Pitu Babana Binanga (Muthalib, 1985: 25). Pembagian tugas anggota dalam persekutuan itu didasarkan atas kematangan dan kekuatan yang dimiliki oleh setiap kerajaan yang bergabung dalam persekutuan. Balanipa diangkat sebagai ayah, karena dianggap sebagai kerajaan paling tangguh dan besar di daerah pesisir pantai Mandar. Kemudian Sendana diangkat sebagai ibu, karena itu dianggap sebagai kerajaan yang paling senior di antara anggota-anggota Pitu Babana Binanga. Sebelumnya, Sendana merupakan pimpinan persekutuan Bocco Tallu (Sendana, Alu dan Taramanu) yang berdiri sebelum runtuhnya Passokkorang. Sendana sebagai ibu dari persekutuan Pitu Babana Binanga berarti wakil dan bersama-sama Balanipa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh persekutuan, seperti yang disebutkan dalam lontarak sebagai berikut:

“Kalau penduduk negeri atau rakyat yang berselisih paham, hadapkanlah ke Sendana sebagai ibu. Kalau ia tidak mau, maka hadapkanlah ke Balanipa sebagai ayah kerajaan, karena apabila sudah berada di Balanipa pasti dapat diperbaiki. Begitu pula halnya babana binanga, bawalah lebih dahulu ke Sendana sebagai ibu kerajaan. Bila tidak padam, maka hadapkanlah ke Balanipa, karena kalau sudah berada di Balanipa, pastilah akan dapat dipadamkan” (Lontarak Pattodioloang, tt: 24).

 

Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa kedudukan Balanipa merupakan posisi sentral dalam persekutuan Pitu Babana Binanga. Persoalan yang menyangkut kepentingan kelompok merupakan tanggung jawab Balanipa, namun tetap dihadapi berama-sama dengan seluruh anggota persekutuan. Demikian pula halnya jika ada serangan dari luar terhadap salah satu dari anggota persekutuan, maka masing-masing anggota bertanggung jawab untuk mengatasinya secara bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama pembentukan persekutuan Pitu Babana Binanga, bukan hanya untuk saling membantu dan bekerjasama dalam rangka memajukan kesejahteraan dan ketenteraman berasama, tetapi juga untuk mencegah serangan dari kerajaan-kerajaan lain, termasuk serangan balasan dari persekutuan Pitu Ulunna Salu yang dipimpin oleh Rantebulahan. Oleh karena dalam pengejaran terhadap jangan-jangan manribag (buronan atau pelarian perang), Rantebulahan senantiasa memberikan perlindungan terhadap mereka sehingga tidak jarang terjadi konflik dengan pasukan Balanipa.

Perjanjian Tammajarra diperbaharui kembali setelah Todiboseang menjadi maraqdia Balanipa yang keenam. Pembaharuan perjanjian ini, tidak hanya mempertegas kembali perjanjian persekutuan Pitu Babana Binanga, tetapi juga menetapkan peraturan yang berlaku bagi masing-masing kerajaan, serta tata cara jika ada musuh dan perselisihan atau konflik di kalangan mereka. Dalam pembaharuan perjanjian itu, antara lain disebutkan bahwa :

“Besok lusa manakala ada persoalan yang muncul di dalam daerah masing-masing, maka diharapkan dapat diselesaikan sendiri. Andaikata hal tersebut tidak dapat dilakukan maka hendaknyalah datang ke ibu adatmu (Sendana). Bila hal tersebut belum selesai di dalam waktu tujuh hari tujuh malam, maka engkau boleh datang bersama ibu adatmu ke bapak adatmu (Balanipa) dan bersama-sama pula akan menyelesaikan segala persoalan ini dengan tuntas (Mandra, 1987: 115).[8]

Pembaharuan perjanjian tersebut, semakin memperkuat kedudukan Balanipa. Sebab, selain berkedudukan sebagai ayah atau ketua yang bertanggungjawab mengadakan hubungan ke luar untuk kepentingan persekutuan, juga menjadi penentu terakhir jika sang ibu (Sendana) tidak sanggup menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh anggota persekutuan. Itulah sebabnya Balanipa dianggap seba-gai hakim tertinggi atau tempat memutuskan perkara (Saharuddin, 1985: 39). Meskipun demikian, kedudukan itu juga sering menyulitkan Balanipa dalam perkebangannya, karena harus bertanggungjawab terhadap segala persoalan, khususnya dalam konflik dengan kerajaan lain.

Berkaitan dengan kedudukan Balanipa tersebut, sehingga kerajaan ini sering dilanda konflik, baik dengan kerajaan-kerajaan lain maupun dengan pemerintah kolonial Belanda dalam perkembangannya. Mengenai konflik Balanipa dengan kerajaan-kerajaan lain, antara lain disebabkan karena adanya sebagian pasukan Passokkorang yang melarikan diri dan mendapat perlindungan dari kerajaan lain di Mandar, terutama di wilayah persekutuan Pitu Ulunna Salu. Dalam upaya pengejaran terhadap para pelarian perang itu, tampaknya bukan hanya jangan-jangan manribag yang dihadapi, melainkan kekuatan pasukan Pitu Ulunna Salu. Akibatnya, kontak senjata antara pasukan Pitu babana Binanga yang dipimpin oleh Balanipa dengan Pitu Ulunna Salu tidak terelakkan, sehingga terjadilah Perang Lahakang, Sungkiq, dan Damadamaq. Serangkaian peperangan ini diakhiri dengan perjanjian perdamaian. Peperangan itu sesungguhnya dilatari perbedaan pandangan tentang hukum yang berlaku di Pitu Ulunna Salu dan di Pitu Babana Binanga. Pitu Ulunna Salu memegang konsep ade tuho (hukum hidup), sedangkan Pitu Babana Binanga menganut konsep ade mate atau hukum mati (Mandar, 1987:36-39).[9] Itulah sebabnya jangan-jangan manribag yang senantiasa dikejar oleh Balanipa, selalu pendapat perlindungan di Pitu Ulunna Salu, sehingga timbul konflik berupa perang antara kedua belah pihak. Kenyataan itulah yang mendorong Tomepayung (Marakdia Balanipa) sebagai ketua Pitu Babana Binanga dan Tomampu atau Londong Dehata (Tomakaka Rantebulahan) sebagai ketua Pitu Ulunna Salu, memprakarsai pertemuan untuk mengatasi konflik dan sekaligus menjalin hubungan kerjasama antara kedua belah pihak.

 

KESIMPULAN

Perjanjian antarkerajaan di pesisir pantai Mandar yang diselenggarakan di Tammajarra dikenal dengan Assitalliang Tammajarra. Perjanjian ini bukan hanya dilatari oleh meningkatnya persaingan antarkerajaan dalam perluasan wilayah dan pengaruh kekuasaan di Mandar, melainkan juga dilatarbelakangi oleh pergumulan dalam mengontrol perdagangan maritim di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi. Selain itu, perjanjian ini juga diadakan dalam rangka mengantisifasi terhadap jangan-jangan manribag (buronan perang) dari Passokkorang  yang melarikan diri dan mendapat perlindungan dari kerajaan lain,  baik di daerah pesisir maupun di pedalaman Mandar. Itulah sebabnya para penguasa di Mandar menyelenggarakan pertemuan untuk menjalin kerjasama dalam mengatasi berbagai persoalan antarkerajaan di wilayah tersebut.

Assitalliang Tammajarra yang mendasari terbentuknya  persekutuan Pitu Babana Binanga, sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk menjalin hubungan kerjasama antarkerajaan dalam menciptakan ketertiban dan ketenteraman, melainkan juga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama di Mandar. Selain itu, perjanjian itu juga mengandung nilai persatuan dan kesatuan atau integrasi serta toleransi dan persaudaraan di antara kerajaan-kerajaan di Mandar pada khususnya dan di Sulawesi pada umumnya. Hal inilah pula yang mendasari sehingga dalam perkembangannya lahir sejumlah perjanjian antarkerajaan yang dikenang oleh masyarakat sebagai suatu konvensi dalam menata kehidupan bersama dan hubungan antarkerajaan yang memandang kerajaan lain sebagai bagian yang terpisahkan dari keberadaannya. Sesungguhnya Perjanjian Tammajarra beberapa kali mengalami pembaharuan, terutama ketika Mandar dilanda konflik. Itulah sebabnya setiap kali Mandar dilanda musibah atau konflik, maka perjanjian di Tamajarra diperbahurui (dikuatkan) kembali.

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Abbas, Ibrahim. 1999. Pendekatan Budaya Mandar. Majene: Hijrah Grafika.

Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Amir, Muhammad. 2011. Konflik Balanipa –Belanda di Mandar 1862-1872. Makassar: Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Amir, Muhammad. 2013. Struktur Pemerintahan Kerajaan Balanipa, dalam Jurnal Sjarah dan Budaya Walasuji, Vol. 3, No.1.

Anonim, 1909. Mededeelingen Betreffende Eenige Mandharsche Landschappen, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch – Indie, 62.  

Asdy, Ahmad. 2003. Mandar Dalam Kenangan Tentang Latar Belakang Keberadaan Arajang Balanipa Ke-52. Makassar: Yayasan Maha Putra Mandar.

Kila, Syahrir. 2014. Hubungan Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Balanipa Mandar, dalam Jurnal Walasuji, Volume 5, Nomor 2.

Leyds, W.J. 1940. Memori van Overgave, Assistant Resident Mandar. Majene: 9 Februari 1940.

Limbugau, Daud. 1987. Federasi Kerajaan-Kerajaan Lokal Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga. Makalah pada Seminar Kebudayaan Mandar yang diselenggarakan di Polewali tanggal 25-28 November 1987.

Lontarak Akkarungeng Bone. Koleksi Laboratorium Naskah Fakultas Sastra Unversitas Hasanuddin.

Lontarak Pattodioloang di Mandar. Koleksi Museum Daerah Mandar di Majene.

Lontarak Pattappingan Mandar. Koleksi Museum Daerah Mandar di Majene.

Lontarak Balanipa Mandar. Koleksi Museum Daerah Mandar di Majene.

Mallinckrodt, J. 1933. Zuid – Celebes Serie P. No. 77, Gegevens over Mandar en Andere Landschappen van Zuid – Celebes, dalam Adatrechtbundels,  Koninlijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV) XXXVI.     ‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Mandra, A. Muis. 1987. Beberapa Perjanjian dan Hukum Tradisi Mandar. Majene: Yayasan Saq – Adawang.

Mandra, A. Muis. 1988. Berbagai Kajian Masalah Budaya Mandar dan Agama Islam. Majene: Yayasan Saq – Adawang.

Mandra, A. Muis. 1990. Mandar dan Bone Dalam Lontar Mandar. Mejena: Pemda Majene.

Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Muthalib, dkk. 1986. Pappasang dan Kalindaqdaq (Naskah Lontarak). Ujung Pandang: Depdikbud.

Nooteboom, C. 1912. “Nota van Toelichting Betreffende het Landschap Balangnipa”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-Land-en Volkenkunde. Batavia: Albercht M. Nijhoff.

PaEni, Mukhlis. 1986. “Landasan Kultur Dalam Pranata Sosial Bugis Makassar”, dalam Dimensi Sosial Bugis Makassar. Ujung Pandang: PLPIIS.

Patunru, Abd. Razak Daeng. 1983. Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Edward L. 2004. “Mandar Dalam Perspektif Kesejarahan”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU No. 11 Tahun 2002.

Poelinggomang, Edward L. 2012. Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat. Makassar: de la macca.

Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988. Puang dan Daeng, Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar. Ujung Pandang: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Saharuddin. 1977. “Susunan dan Sistem Pemerintahan Balanipa Dahulu Dalam Hubungannya dengan Kebudayaan Daerah Mandar”, dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Saharuddin. 1985. Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: CV. Mallomo Karya.

Saidong, Muh. Husain. 1997. “Asal Mula Nama Kerajaan Balanipa”, dalam Buletin Bosara No. 8/IV, BKSNT Makassar.

Sinrang, A. Syaiful. 1994. Mengenal Mandar Sekilas Lintas. Ujung Pandang: Pemerintah Daerah Tingkat II Majene.

Sjam, A.M. Sarbin, 1990. Struktur Pemerintahan Kerajaan Balanipa dan Fungsi-Fungsi Pejabatnya. Tinambung: Depdikbud.

Sjariffudin, Amier. 1989. Perjanjian Antarkerajaan Menurut Lontarak. Ujung Pandang: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Syah, M.T. Azis. 1997. Sejarah Mandar Jilid I, II, dan III. Ujung Pandang: Yayasan Al Azis.

Zuhdi, Susanto. 2003. Penelitian Bidang Sejarah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional: Masalah dan Prospeknya. Makalah pada Seminar Hasil Penelitian Staf Peneliti Bidang Sejarah BKSNT Se-Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, & Juni 2003.

 

 

[1] Sementara dalam lontarak dikisahkan, bahwa I Landobelua kawin dengan putra Raja Bone sehingga tidak jelas apakah ia terlebih dahulu ke Gowa baru ke Bone atau sebaliknya. Sedangkan Lasokeppang, Lando Guttu, dan Usuk Sabambang tidak dikisahkan lebih lanjut dengan siapa mereka kawin (Lontarak Pattodioloang, tt: 8-9).

[2] Meskipun nama-nama tersebut ada sedikit perbedaan antara Lontarak Balanipa Mandar dan Lontarak Pattodioloang di Mandar, tetapi substansinya dapat dikatakan tetap sama. Demikian pula halnya dengan kisah yang bersumber dari keterangan-keterangan lisan dari Pitu Ulunna Salu yang dikemukakan oleh Leyds, pada prinsipnya terdapat cukup banyak persamaan, misalnya nama Pakdorang, Pongkapadang, sebelas bersaudara, Tobittoeng, dan Taurra-urra.

[3] Imanyambungi adalah putra dari Tomakaka Puang di Gandang dari Napo yang amat bijak, pemberani, dan amat disegani.Ibunya bernama We Apas putri dari Tomakaka di Lemo. Namun terdapat sejumlah versi tentang keberangkatan Imanyambungi ke Gowa. Pertama, ketika usia Imanyambungi beranjak empat belas tahun, ia terlibat dalam suatu pembunuhan yang dilakukannya secara terpaksa terhadap sepupunya, saat mereka melakukan sabung ayam di halaman rumah neneknya. Rakyat menilai bahwa peristiwa itu merupakan perbuatan tercelah dan melanggar adat, sehingga harus mendapat hukuman dipatei (dibunuh) atau dipaliq (diasingkan). Walaupun neneknya sebagai Tomakaka yang disegani, namun kehendak orang banyak harus dilaksanakan. Tomakaka Mosso yang menyaksikan peristiwa itu menilai bahwa hal itu terjadi karena Imanyambungi mendapat penghinaan yang dilontarkan oleh sepupunya, setelah ayamnya kalah dalam sabung ayam itu. Dengan usaha yang keras dari Tomakaka Mosso, Imanyambungi akhirnya diasingkan ke Gowa. Versi kedua, bahwa sifat yang selalu ingin tahu, bebas dan ingin mendapat pengalaman yang lebih luas, membawa Imanyambungi nekad naik ke perahu orang Makassar yang sedang berlabuh di pelabuhan Balanipa, dan bersembunyi di ruang barang. Sementara perahu sedang berlayar tanpa diketahui oleh siapapun, ia tiba-tiba muncul digeladak dan mengagetkan semua awak perahu. Seusai tanya jawab, nahkoda memutuskan untuk mengembalikannya ke Balanipa. Namun, keputusan itu ditolak oleh Imanyambungi. Oleh karena pada dirinya tampak suatu keanehan berupa pancaran sinar yang keluar dari tubuhnya dikala sedang tidur, sehingga nahkoda menganggap bahwa ia bukan orang biasa. Sesampainya di Gowa, ia langsung diantar ke istana Gowa, dan akhirnya ia diterima dan dianggap sebagai warga istana dan mendapat perlakuan serupa dengan anak-anak raja di istana (Syah,  1997: 10-13; Leyds, 1940: 23).

[4] Menurut Darmawan bahwa Papuangan ini merupakan kelanjutan dari kepemimpinan Tomakaka. Namun berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Tomakaka yang terpusat pada kekuasaan yang bersifat individu kharismatik. Sedangkan kepemimpinan Papuangan yang terpusat kepada individu yang mempunyai otoritas terbatas. Sebab, pengangkatan seorang Papuangan harus mendapat persetujuan dari lembaga adat yang telah ada pada masa kepemimpinan Tomakaka. Mereka itu adalah tomabubeng, andongguru, sakbo, punggawa, dan poambi. Mereka mendampingi Papuangan dalam menjalangkan kekuasaan pemerintahan sehari-hari (Rahman, 1988: 178-179).

[5] Di Kerajaan Balanipa misalnya, anggota Adat Kaiyang (adat besar) terdiri atas para Papuangan yang berasal dari Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar), yaitu Napo, Samasundu, Mosso, dan Todatodang. Itulah sebabnya Adat Kaiyang ini sering juga disebut dengan dewan adat Appe Banua Kaiyang. Masing-masing negeri ini mempunyai Anak Banua (anak negeri), dan juga mempunyai lembaga adat yang dikenal dengan Adat Keccu (adat kecil), yang biasanya terdiri atas: tomabubeng, sakbo, poambi, andongguru, dan imang.

[6] Puang Dipoyosan adalah nama parriba ada’ (pemangku adat) dari daerah Poyosan. Nama daerah Poyosan kemudian berubah menjadi Limboro, sehingga pemangku adatnya kemudian juga disapa dengan Puang Limboro. Puang Dipoyosan inilah yang menjadi Pemangku Adat Papuangan Limboro yang pertama dan merupakan tokoh adat yang sejaman dengan I Manyambungi. Hubungan kekeluargaan mereka sering disebutkan bersepupu sekali dan ada juga yang menyebutkan bahwa Imanyambungi adalah kemanakan Puang Dipoyosan. Hal inilah yang mendasari sehingga pelantikan marakdia Balanipa berikutnya dilakukan oleh Papuangan Limboro yang biasa disapa dengan Puang Limboro.

[7] Secara lengkap amanah itu berbunyi, bahwa “Madondong duambongi anna matea, mau ana’u mau appo’u da’ muannai menjari mara’dia mua tania tonamassayanni lita’na to massayanni pa’banua. Da’ muannai dai di peuluan, mua masuanni pulu-pulunna, mua maddori kedona, apa iyamo ta’u namarruppu-ruppu lita’ (Manakala besok lusa saya mangkat, walaupun anak dan cucu saya, janganlah hendaknya diangkat menjadi raja kalau bukan dia orang yang cinta kepada tanah air dan rakyat kecil. Jangan pula diangkat seorang calon raja bila ia mempunyai tutur kata yang kasar, berbuat, bertindak kaku dan kasar pula, karena orang yang seperti itulah yang akan meng-hancurkan negeri)” (Rahman, 1988: 220; Saharuddin, 1977: 20-21).

[8] Dalam lontarak antara lain disebutkan “Madondong duangbongi anna diang api di naung bakarna napideitoi tia alabena, mua andianni mala napiddei pendoamo’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o di ama ada’mu apa nasiolamoo mappiddei” (Lontarak Pattodioloang: 16).

[9]Maksud dari ade tuho tersebut, adalah bahwa jika terdapat pelanggaran, maka sanksi yang dijatuhkan (baik ringan maupun berat) dapat dialihkan kepada barang-barang yang dimiliki sesuai dengan kemampuan si pelanggar hukum. Misalnya, orang yang vonis hukuman mati, dapat diganti dengan kerbau. Sebaliknya dengan ade mate karena seseorang yang divonis hukuman mati, maka ia harus dibunuh.