Perkembangan Kesenian Tradisional Tari Pa’gellu

0
568

Perkembangan Kesenian Tradisional Tari Pa’gellu

The Development of Pa’gellu Traditional Dance

 

Rahayu Salam

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar

Telepon dan Faksimili: (0411) 865166

 

 

ABSTRACT

 

This research aims to explain the development of pa’gellu dance in Tana Toraja. Through qualitative approach, data gathering uses in-depth interview, observation, and literature study. The result shows that paggellu dance is a medium for the Toraja community to vent their positive emotions. The aesthetic of the presentation of pa’gellu dance reside in the body wobbles that give rise to erotic and sensual impression, this is supported also by the physical charm of a pa’gellu dancer. The emergence of various dance creations that based on paggellu dance movements, has contributed to this traditional dancegrowing popular. However, on the other hand, this thing can causesthe increasingly marginalized form of the original movement of this dance.

Keywords: dance, ceremony, pa’gellu, tradition, joy

 

 

ABSTRAK

 

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan tari pa’gellu yang ada di Tana Toraja. Melalui pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari paggellu telah menjadi media bagi masyarakat Toraja dalam melampiaskan rasa emosi yang positif.Keindahan penyajian tari pa’gellu’ terletak pada goyangan-goyangan badan yang menimbulkan kesan erotis dan sensual, hal ini didukung pula oleh pesona fisik dari seorang penari pa’gellu’. Munculnya beragam tari kreasi yang bersandar pada gerakan tari paggellu, telah berkontribusi pada semakin dikenalnya tarian tradisional ini. Akan tetapi, di sisi lain dapat berdampak pada semakin terpinggirkannya bentuk gerakan asli dari tarian ini.

 

Kata kunci: tari, upacara, pa’gellu, tradisi, sukacita

 

Pendahuluan

Toraja adalah salah satu daerah yang masuk secara administratif dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Mayoritas penduduk daerah ini merupakan pemeluk agama Kristen namun masih ada di antaranya yang menganut kepercayaan adat Aluk To Dolo. Daerah ini boleh dikatakan sebagai ikon dan lumbung pariwisata Sulawesi Selatan. Oleh karena semakin meningkatnya minat para pelancong untuk menikmati keindahan daerah Toraja yang tidak hanya indah dalam panorama alamnya, tetapi juga kebudayaan leluhurnya yang masih lestari, salah satu yang sangat terkenal hingga terdengar ke mancanegara di antaranya adalah pelaksanaan upacara adat kematian yang begitu mewah dan berbiaya tinggi yang dinamakan rambu solo’.

Tidak hanya itu, di daerah Toraja juga dikenal adanya pagelaran Tari Pa’gellu’ yang biasa dipentaskan dalam rangkaian upacara-upacara adat. Pa’gellu’ atau ma’gellu’ dalam bahasa setempat berarti menari-nari dengan riang gembira sambil tangan dan badan bergoyang dengan gemulai, meliuk-liuk lenggak lenggok. Hal ini berarti tarian pa’gellu’ dilakukan dengan maksud untuk menghibur hati penontonnya, ungakapan kegembiraan, dan sukacita. Gerakan-gerakan dasar dari tarian ini adalah gambaran dari kehidupan yang berisi spirit, keseimbangan, kesopanan, dan kebersamaan. Tari pa’gellu’adalah tari sukacita yang biasa dipentaskan pada upacara adat yang sifatnya riang gembira seperti pentahbisan rumah dan penyambutan tamu. Upacara rambu tuka (acara syukuran) selalu dimeriahkan dengan pementasan tari pa’gellu’, sedangkan pada upacara kematian rambu solo’, adalah tabu untuk menampilkannya.Sejalan dengan penjelasan Larasati (2014), tari ini secara khusus ditarikan pada Upacara Rambu Tuka’ yaitu upacara kegembiraan. Tarian ini melambangkan kesukacitaan masyarakat Toraja, sehingga tarian ini tidak boleh ditarikan pada upacara Rambu Solo’ yaitu upacara duka cita (kematian) karena penggambaran gerak dan tarinya sangat berlawanan dengan kedukacitaan. Tari pa’gellu‘ ditarikan dalam kelompok dengan jumlah penari tidak terbatas. Biasanya ditarikan mulai dari 3 sampai 6 orang atau lebih bahkan bisa ditarikan secara massal. Pada pamentasan tarian ini, ada satu bagian yang menarik dan tidak bisa dilepaskan dari tarian ini karena sudah menjadi ciri khas dari tari pa’gellu’ yaitu kegiatan ma’toding (memberikan sejumlah uang kepada para penari dengan disisipkan di hiasan kepala mereka). Hal ini adalah kegiatan wajib dilakukan yang diawali dari keluarga yang mempunyai hajatan memberi uang disusul oleh para tamu undangan dan kerabat sebagai bentuk sukacita mereka dan support mereka untuk para penari. Hal tersebut juga menggambarkan bahwa mereka merupakan keluarga besar.

Tarian ini dibawakan oleh 3, 5, 7, atau 9 (hitungan ganjil) orang gadis yang telah beranjak dewasa dan menampilkan 12 macam gerakan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan representasi dari aktivitas keseharian gadis-gadis Toraja, membentuk suatu jalinan cerita yang terangkai dari satu gerakan ke gerakan lainnya, mulai dari kelahiran, proses menjalani kehidupan, serta bagian akhir dari babak kehidupan manusia. Termasuk pula di dalamnya tiruan dari gerak-gerak hewan yang dianggap memiliki makna filosofis dan memberi pelajaran berharga bagi manusia.

Keindahan penyajian tari pa’gellu’ terletak pada goyangan-goyangan badan yang menimbulkan kesan erotis dan sensual, hal ini didukung pula oleh pesona fisik dari seorang penari pa’gellu’. Meskipun hal ini juga sangat bergantung pada keluwesan dari penari itu sendiri, bagaimana mereka menginterpretasi dan menyajikan goyangannya sehingga menarik minat dan penghayatan dari penikmat tari. Tak lupa pula senyum yang terus mengembang di wajah para penari menunjukkan rasa gembira mereka ketika menari. Saat para penari mulai bergoyang, penonton yang menikmati tarian tersebut dapat menunjukkan penghargaan dan rasa senangnya dengan menyelipkan uang kertas di sa’pi’ penari (pengikat kepala yang menjadi pelengkap busana adat Toraja), hal ini hampir sama dengan saweran pada penari jaipongan di Jawa Barat. Menurut Petrus (2012), terdapat beragam jenis dalam tari pa’gellu’:

  1. Pa’dena’-dena’: gerakan ini adalah meniru gerakan burung pipit. Kebiasaan burung pipit adalah terbang secara berkelompok, paling sedikit berjumlah sepuluh ekor bahkan hingga mencapai ratusan. Burung ini terbang dengan cepatnya, mengepak bersamaan tanpa ada yang saling bertabrakan, tetap terarah, dan tidak saling melanggar satu dengan lainnya.

Meskipun burung ini terbang dalam tempo yang cukup tinggi dan jumlah yang sangat banyak, Walaupun pipit beterbangan dalam tempo tinggi dan dalam jumlah yang sangat banyak, pipit-pipit itu tetap terarah dan tidak ada yang dilanggar oleh temannya. Filosofi hidup ini perlu menjadi renungan bagi manusia bahwa dalam berbagai bentuk hidup bersesama selalu mengedepankan kerjasama dan saling memberi jalan dan ruang. Kebersamaan dan kesatuan adalah segalanya. Gerakannya hanya berputar dan tangan terayun sambil berjingkrak, sambil masuk tempat menari.

  1. Ma’tabe’: gerakan pembukaan yaitu gerakan sambil membungkuk atau jongkok atau berlutut sambil mengatupkan tangan di dada dan tunduk. Sebelum menari mereka melakukan penghormatan kepada:
  • Puang Matua sang pencipta
  • Deata sang pemelihara
  • Para penonton hadirin

Gerakan ini mengandung nilai kesopanan, nilai luhur keimanan, nilai kesalehan, dan nilai kesadaran sosial.

  1. Pa’gellu’ tua: kedua tangan dikembangkan sambil berputar dengan kaki kanan mengjingkrak dan mengayunkan tubuh dari belakang, gerakan ini adalah penghormatan kepada para pendahulu. Filosofi gerakan ini adalah bahwa kita tidak boleh melupakan jasa-jasa baik orang yang telah membesarkan, menumbuhkkembangkan hidup kita, menolong dan menopang hidup kita saat kia masih lemah dan tak berdaya. Jangan seperti kacang, jika panas akan lupa pada kulitnya.
  2. Pa’kaa-kaa bale: gerakan menirukan ikan berenang. Ikan sangat cekatan dan gesit menghindari bahaya yang mengancam dirinya tanpa menyerang lawannya. Dalam menyikapi setiap persoalan hidup, kita harus bertindak bijaksana dan cekatan. Jangan ada yang tergusur dan terlanggar haknya karena tindakan kita, lebih dari pada itu kita selalu harus menghindari potensi terjadinya konflik dengan menghindar. Pintar mengarungi hidup ini agar tidak tenggelam/binasa.
  3. Pa’langkan-langkan: gerakan menirukan kepakan sayap burung elang. Semakin angin bertiup burung elang semakin gampang dia terbang. Burung elang justru susah dan sulit terbang tanpa angin melawan arah terbangnya. Pendewasaan diri dari kepribadian membuat manusia semakin kuat dan tahan uji. Kita tidak boleh menghindari masalah dalam hidup tetapi kita harus bisa mengambil manfaat dari tantangan hidup seperti elang yang terbang di angkasa mencari angin demikian halnya manusia harus terus berjuang dalam hidupnya. Kualitas hidup manusia ditentukan oleh kemampuannya menghadapi tantangan hidupnya dan keluar dari maslah hidup yang dihadapinya.
  4. Pa’tulekken: tangan ditekan ke pinggang sambil badan berputar dengan kaki bertumpu di atas jari kaki untuk memperhalus gerakan memutar. Hal ini adalah suatu tanda keseimbangan, keserasian dalam hidup. Hidup kita jalani dengan kesadaran bahwa ada suatu kekuatan kodrati yang menjadi pengendalinya. Hidup adalah anugerah Tuhan bukan karena kuat dan kehebatan kita. Maka, manusia bersyukur kepada sang pemelihara hidup itu. Suka dan duka silih berganti menerpa hidup manusia. Pasang surutnya hidup adalah anugerah Tuhan yang perlu manusia alami untuk pendewasaan dan kematangan hidup. Terjadilah keseimbangan hidup, itulah membahagiakan, dan siap menghadapi tantangan hidup.
  5. Pangallo, yaitu gerakan yang menirukan gadis-gadis menjemur pakaian, padi, atau udang yang mereka tangkap di sawah. Jelas sekali kelihatan bahwa gerakan ini menirukan orang sedang menjemur sesuatu. Bahwa manusia dalam bertingkah laku harus transparan, apapun yang dijemur harus terbuka sehingga sinar matahari dapat menyinarinya. Tidak ada orang menjemur sesuatu di tempat tersembunyi harus terbuka. Jadi manusia harus terbuka dan transparan dalam hidup sehingga dia menjadi orang yang bertanggung jawab. Manusia tanpa tanggung jawab adalah manusia yang tidak berkualitas. Jika pakaian, udang, padi tidak dijemur susah melakukan proses selanjutnya. Pakaian tidak bisa dipakai, padi tidak bisa ditumbuk, dan udang kecil menjadi busuk.
  6. Massiri, adalah gerakan menirukan gadis sedang menampi beras. Menapis beras adalah kegiatan wanita tiap hari, wanita adalah tetap wanita tanpa harus kehilangan harkat dan martabatnya sebagai wanita. Wanita tetap pada kodratnya yaitu menjadi seorang wanita yang kemudian menikah, mengandung, dan melahirkan serta membesarkan anaknya, pekerjaan mana tidak bisa dilakukan oleh pria. Selain itu kegiatan menapis beras adalah kegiatan mensortir atau memilih yang baik dan membuang yang tidak baik atau tidak layak. Salah memilih adalah masalah besar dalam hidup, oleh sebab itu dalam memilih sesuatu, entah jodoh, entah pandangan hidup harus hati-hati dan cekatan. Tidak boleh asal pilih tetap harus melalui proses, tahapan-tahapan sehingga kita boleh menjatuhkan pilihan.
  7. Penggirik tang tarru’, gerakan berputar tetapi tertahan. Orang katakan badai pasti berlalu. Penari-penari berputar tetapi tertahan sehingga tidak terus putarannya. Dalam melakukan, memikirkan, dan mengatakan sesuatu kita harus mengendalikan diri. Manusia harus punya batas dalam bertingkah laku, manusia harus punya rem, bayangkan kalau kendaraan kehilangan rem. Segala sesuatu ada batasnya, hidup ini sementara adanya, tidak ada yang abadi di dunia ini, semuanya sementara adanya. Jadi manusia tidak boleh sombong dan angkuh. Oleh karena itu manusia harus menyadari bahwa hidupnya sementara, dan dalam hidup pasti ada hambatan.
  8. Seorang penari naik ke atas gendang dan yang lain memperagakan dan menirukan orang sedang menatap matahari. Manusia dibatasi oleh ruang dan waktu, matahari yang bergerak dari timur ke barat adalah penanda waktu. Ini artinya manusia harus pandai-pandai dan bijaksana mengatur waktunya dan tidak boleh membuang kesempatan, dan melewatkannya tanpa berbuat sesuatu. Manusia diingatkan untuk menghargai waktu, karena pepatah lama mengatakan “waktu adalah uang” dan “waktu tidak akan kembali”. Tetapi manusia harus istirahat setelah bekerja, menjaga kesehatan adalah ibadah karena orang sakit dan merepotkan orang lain. Jika manusia sakit dia kehilangan kesempatan berbuat baik, berbuat amal, dan beribadah. Gendang adalah simbol bulan (dao bulan) “Dao bulan sang Tampana, dao Sang ba’na-ba’nana”, matahari dan bulan silih berganti memberi terang. Adat dan budaya pemberi arah untuk hidup.
  9. Pa’lalok pao, adalah gerakan menirukan daun mangga yang masih muda, berwarna jingga sifatnya lentik, luwes, dan tidak kaku. Maksudnya adalah manusia perlu bertingkah laku yang fleksibel, tidak kaku, dan berat bergerak. Lolo pao itu sangat luwes, gemulai bila ditiup angin. Dalam bergaul kita tidak boleh kaku dan berat karena hanya dengan bergaul sehat manusia dapat mengembangkan dirinya dengan baik. Manusia adalah makhluk yang punya kelebihan dan kekurangan hanya dengan hidup bermasyarakat dia dapat mengatasi dan menutupi kekurangannya dan kelebihannya menutupi kekurangan yang lain. Oleh karena manusia harus fleksibel dan luwes dalam pergaulan tetapi tetap menjaga tatakrama hidup bersama. Jika mangga sudah matang perlu usaha untuk mendapat dan memilikinya.
  10. Pangrampanan atau pelepasan, ciri khasnya adalah keluar, terbuka, tetapi tidak meninggalkan bumi, maknanya adalah karya budaya tidak terbatas, seperti barreallo makin lebar makin banyak sinarnya tetapi tidak lepas dari pusat.

Pa’gellu’ berakhir di sini, gerakan akan kehilatan menirukan orang yang sedang melepaskan dan membuang sesuatu. Makna filosofisnya adalah manusia senantiasa sadar akan kekurangan dan kelebihannya, manusia memiliki sifat-sifat yang baik dan sifat yang tidak baik. Yang baik disimpan dan dipelihara dalam hidup dan sifat jelek dilepaskan atau dibuang jauh. Jika kita tetap memelihara sifat dan perilaku kita yang tidak baik, maka orang lain akan menjauhi kita. Pergaulan kita menjadi terbatas, bahkan kita mendapat musuh. Setelah pelepasan ini disusul dengan mengatupkan kedua tangan dia dada lalu tunduk hormat. Tari pa’gellu’ selesai, irama gendang berhenti.

 

Pembahasan

Sejarah Tari Pa’gellu

Tarian ini telah ditarikan sejak sebelum Belanda masuk ke Toraja, meskipun tidak diketahui secara kapan tepatnya tarian ini mulai ditarikan. Kebudayaan Toraja sangat erat kaitannya dengan kepercayaan leluhur yaitu Aluk Todolo. Aluk todolo adalah bentuk kepercayaan adat pada masyarakat Toraja yang telah dianut sebelum masuknya agama Kristen di Toraja. Kepercayaan ini mengacu pada 3 sembahan yaitu:

  1. Puang Matua sebagai sang pencipta segala jagat raya.
  2. Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara segala ciptaan Puang Matua.
  3. Tomembali puang (leluhur), yaitu para leluhur yang sudah sempurna ritualnya dan menjadi Dewa sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada manusia keturunannya.

Ketiga sembahan dipuja dalam bentuk lahir dan batin manusia. Pujaan lahir dibuktikan dengan memberi sesajen dan sesembahan berupa hewan babi dan ayam. Pemujaan tersebut merupakan simbolisasi dari rasa syukur atas nikmat yang telah diterima, terhindar dari penyakit dan marabahaya, atau terkabulnya doa dan pengharapan manusia. Kegiatan ini dinamakan upacara syukuran rambu tuka. Dalam upacara rambu tuka selalu dimeriahkan pula dengan pementasan tari pa’gellu’ sebagai ungkapan suka cita, kegembiraan, dan estetikayang diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan badan dan ayunan tangan yang lemah gemulai. Tarian ini dulunya dibawakan oleh putri-putri bangsawan dan hanya ditampilkan dalam upacara-upacara yang diadakan oleh kalangan bangsawan saja. Setelah masuknya Belanda di Toraja, yaitu pada awal abad 19, tari pa’gellu’ mulai dipentaskan secara umum. Pada masa itu, tari pa’gellu’ ditampilkan sebagai bagian dari penyambutan para pahlawan yang telah membawa kemenangan bagi masyarakat Toraja.

Tari pa’gellu’ atau terkenal dengan sebutan Pa’gellu’ Pangala ini pertama kali diciptakan oleh Nek Datu Bua’. Tarian ini diciptakan pertama kali saat kembali dari medan peperangan dengan membawa kemenangan lalu merayakan kemenangan tersebut dengan menari-nari sebagai bentuk rasa sukacita atas kemenangan mereka. Bentuk gerakan tari ini awalnya tidak beraturan namun semakin lama mengikuti perkembangan zaman akhirnya tarian ini disusun kedalam 12 gerakan agar terlihat lebih indah. Sayangnya tidak ada yang tahu pasti tahun berapa tarian ini diciptakan. Nek Datu Bua’ merupakan pioner (perintis) dari pa’gellu’ pangala, beliau memiliki keturunan laki-laki yaitu  Nek Tumbak yang sangat menguasai pa’gellu’ pangala ini. Adapun penari pa’gellu’ pangala sebelum kemerdekaan yaitu Nek Lekke, Nek Sampe Allo, Nek Tangke Langi’. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Larasati dipaparkan bahwa pada zaman dulu perang lokal sering terjadi antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Tarian ini tercipta pertama kali pada waktu kemenangan atas peranglokal antar daerah, lalu penduduk dan para prajurit perang menari-nari secara alamiah sebagai bentuk kegembiraan atas keberhasilan mereka memenangkan peperangan dan mempertahankan daerah mereka. Pada waktu itu belum ada alat musik gendang jadi mereka menggunakan lesung sebagai pengiring dari tarian tersebut dan tidak ada batasan bagi mereka baik perempuan ataupun laki-laki boleh menarikan tarian ini, (Larasati, 2014).

Zaman setelah kemerdekaan, alat musik gendang mulai dikenal dan dimainkan oleh 4 orang pemain musik dengan bagian-bagiannya tersendiri yaitu ma’pamisa’ mangindoi, ma’parepe’ dan ma’pasalai/ ma’kode. Gerakan dari tarian ini juga dibagi menjadi 12 ragam yaitu gellu’ siman dipabunga’, pa’gellu’ tua, ma’dena’dena’, pa’langkan- langkan, pa’kakabale, panggirik tangtarru’, pa’unnorong, pa’tulekken, pangra’pak pentallun, passiri, pangrampanan dan pa’passakke. Namun karena ada beberapa gerakan yang hampir mirip akhirnya diberi variasi gerakan agar tarian ini tidak menjadi monoton dan lebih menarik (Larasari, 2014).

Terkait dengan perkembangan tari tradisional paggellu yang mulai pesat, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, apakah perkembangan tersebut mengakibatkan terjadinya pegeseran makna dan fungsi dari tari tradisional; kedua, apakah pertunjukan tarian tradisional yang masih asli masih dapat dijumpai hingga saat ini; dan ketiga, bagaimana pemahaman masyarakat mengenai keberadaan tari tradisional dan tari kreasi tradisional, apakah masyarakat pemilik kebudayaan mengetahui dan mengerti perbedaan di antara keduanya, atau tidak memperdulikan persoalan itu.

 

Tari Pa’gellu: Kesenian Tradisional Tana Toraja

Pada dasarnya manusia merupakan mahkluk religius. Manusia religius  mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia atau alam semesta, atau terhadap manusia sendiri dan juga terhadap Tuhan. Bagi manusia religius, alam selalu mempunyai nilai-nilai religius dan yang supranatural erat hubungannya dengan alam (Susanto, 1987). Pada dasarnya, religi, ritual, dan simbol merupakan tiga hal yang sangat erat kaitannya. Van Baal (1971) mengemukakan bahwa religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri. Bila tujuan atau objek yang dikomunikasikan itu menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai untuk melindungi atau menghalangi seseorang dari kecenderungannya yang amat sangat untuk memperagakannya secara langsung.

Banyak kesenian-kesenian tradisional yang hadir sebagai bentuk pengejewantahan dari sebuah keyakinan atau agama. Sebut saja tari sere bissu maggiri dari daerah Pangkep, yang erat kaitannya dengan keyakinan masyarakat Bugis mengenai folklor I Lagaligo. Tarian tersebut dilakukan oleh bissu, yaitu pendeta agama dalam kepercayaan Bugis Kuno, menggambarkan rasa syukur kepada Dewata, penghargaan kepada alam semesta, serta kepasrahan kepada Sumber Yang Tak Terbatas. Turner dalam Ghozali (2014) mengatakan bahwa ritus-ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam. Dari penelitiannya pada masyarakat Ndembu, ia dapat menggolongkan ritus ke dalam dua  Bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan. Pertama, ritus krisis hidup. yaitu ritus-ritus yang diadakan untuk  mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Mengalami krisis, karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya berpusat pada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan, kontrol sosial dan sebagainya. Kedua, ritus gangguan. Pada ritus gangguan ini masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi pada para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh leluhur menganggu orang sehingga membawa nasib sial.

Keyakinan pada adanya sosok makhluk superpower yang memegang kendali penuh atas kehidupan di alam semesta, menjadi jawaban yang sederhana atas terjadinya berbagai hal dalam kehidupan manusia, khususnya kejadian-kejadian yang diluar kontrol manusia dan masyarakatnya, ketidakmampuan akal masyarakat untuk menjelaskan berbagai fenomena yang cukup kompleks, membuat kebutuhan akan jawaban-jawaban atas berbagai persoalan akhirnya disandarkan pada pemahaman sederhana tersebut. Sosok superpower atau dewa dewi itu kemudian dipersepsikan memerlukan perlakuan khusus dan sakral, memerlukan pengorbanan dari manusia, puja puji, dan persembahan lainnya, bahkan termasuk di dalamnya perilaku-perilaku penyiksaan terhadap diri sendiri karena menganggapnya sebagai salah satu bentuk hukuman atas kesalahan-kesalahan dan perbuatan yang tidak menyenangkan, serta mengharap belas kasih dari dewa. Salah satu bentuk persembahan kepada dewa-dewi superpower salah satunya diekspresikan dalam bentuk tari-tarian.

Pada hampir semua jenis kesenian, khususnya kesenian tradisional,sangat lekat dengan pemaknaan yang ditegaskan melalui simbol-simbol tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amsari (2015) bahwa tari bukanlah gerak tanpa makna, setiap gerak dalam tari bermakna dan memiliki motif tertentu. Hadirnya tari dalam kehidupan manusia merupakan respon manusia terhadap gerak kehidupan. Sebagai ungkapan jiwa manusia, tari memiliki makna tertentu didalamnya. Ada sebuah tarian yang digambarkan secara jelas sehingga penonton mudah mengerti, namun dalam beberapa tarian hanya mengungkapkan secara simbolis atau abstrak sehingga sulit dimengerti. Sebagian besar penikmat tari menginginkan sebuah garapan yang mudah dimengerti, akan tetapi jika sebuah karya tari mudah dimengerti maka hal itu disebut pantomim dan bukan karya tari. Kebanyakan karya tari menggunakan gerak maknawi sehingga penonton hanya akan mengerti dari alur gerak tubuh tentang apa yang sedang digambarkan oleh seorang penari. Anoegrajekti (2003) dalam penelitiannya mengenai tradisi seblang juga mengungkapkan bahwa sebagai siklus yang dianggap sakral, keberadaan simbol berperan penting dalam upacara seblang. Pertunjukan ritual Seblang dimaksudkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menghadapi krisis dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Geertz dalam Anoegrajekti bahwa melalui sistem simbol tersebut akan tampak rumusan pandangan-pandangan, abstraksi-abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan atau keyakinan, dan unsur-unsur simbolis tersebut merupakan implementasi dari perasaan, emosi, sekaligus tindakannya yang seringkali menjadi pandangan hidup masyarakatnya.

Hubungan simbol dengan interaksi selalu ditekankan dalam teori interaksi simbolik. Interaksi bertujuan untuk menghasilkan dan menyempurnakan makna sehingga diharapkan makna yang muncul akan sama. Oleh karena itu, makna dapat dikatakan sebagai hasil interaksi sosial. Makna tidak dilekatkan pada objek namun pada hasil negosiasi melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, teori ini disebut interaksionisme simbolik (Mead dalam Amsari, 2015). Setelah memperoleh suatu makna maka manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut. Amsari (2015) juga memaparkan penjelasan Poloma terkait dasar pemikiran lain dari teori interaksionisme simbolik menganggap bahwa manusia adalah mahluk pencipta, pengguna serta pembuat simbol. Semua yang dilakukan menggunakan simbol dan dengan simbollah manusia dapat berinteraksi. Interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefiniskan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi dari tindakan seseorang terhadap tindakan orang lain melainkan didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu (Blumer dalam Amsari, 2015). Interaksi antar individu diwujudkan oleh simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.

Hadi dalam Febriyanti (2014) mengemukakan bahwa kajian tekstual adalah fenomena tari dipandang sebagai bentuk secara fisik (teks) yang relatif berdiri sendiri dan dapat dibaca, ditelaah, atau dianalisis secara tekstual sesuai dengan konsep pemahamannya. Kajian tekstual dalam suatu pertunjukan tari dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a) analisis koreografis yaitu mendeskripsikan atau mencatat secara analitis fenomena tari yang nampak dari segi bentuk luarnya. Dalam menganalisis sebuah tarian, dapat dilakukan dengan telaah bentuk, teknik, dan gaya geraknya; b) analisis struktural adalah analisis bentuk atau tekstual yang termasuk dalam konsep koreografis; c) analisis simbolik adalah sesuatu yang diciptakan oleh seniman dan secara konvensional digunakan bersama sehingga memberi pengertian hakekat “karya seni” yaitu suatu kerangka penuh makna untuk dikomunikasikan kepada lingkungannya, pada dirinya sendiri, sekaligus sebagai produk dan ketergantungan dalam interaksi sosial.

 

Paggellu: Kesenian Tradisional dan Perubahannya

Sebelum membahas lebih jauh terkait perkembangan tari paggellu, perlu kita lihat terlebih dahulu makna-makna atau nilai religi atau sipiritual yang diwujudkan dalam simbol-simbol gerakan tarian ini. Larasati (2014) mengungkapkan nilai religi sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan dan ungkapan rasa syukur. Setiap orang berbeda-beda dalam mengungkapkan rasa syukurnya. Ungkapan tersebut bisa berupa bermacam-macam yang mereka janjikan di saat permintaan yang diinginkan tersebut dipanjatkan. Setiap manusia selalu memiliki keinginan dalam kehidupannya. Untuk mencapai keinginan tersebut sering kali orang berjanji dengan dirinya sendiri, apabila tercapai keinginannya maka akan mengungkapkan syukurnya dengan melakukan sesuatu. Bagi masyarakat Toraja, tari pa’gellu’ ini merupakan salah satu bentuk ucapan syukur mereka terhadap Sang Pencipta atas segala berkatnya, baik atas hasil alam, selesainya pembangunan rumah adat, atau pernikahan selalu diisi dengan tari Pa’gellu’ sebab sebagi bentuk pemujaan terhadap Sang Pencipta. Contohnya pada saat di gereja, tarian ini selalu mengiringi pemberian persembahan sebagai bentuk ungkapan syukur yang diberikan melalui tari-tarian kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki dan kehidupan yang mereka alami. Pada upacara adat Ma’bua tari pa’gellu’ dimaksudkan sebagai pemujaan terhadap leluhur dan Sang Pencipta atas selesainya pembangunan rumah Tongkonan tersebut. Pada pesta Pernikahan Tari pa’gellu’ sebagai bentuk ungkapan syukur keluarga atas terselenggaranya pesta pernikahan tersebut.Dari penjelasan tersebut, kita melihat besarnya nilai suatu pementasan tari paggellu dalam kaitannya dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat pendukungnya. Meskipun tarian ini awalnya merupakan suatu bentuk suka cita atas kemenangan perang, namun terlihat pergeseran yang terjadi, bagaimana tarian ini telah menjadi tarian kegembiraan yang dipertunjukkan pada berbagai momen kebahagiaan masyarakat Toraja.

Perasaan suka cita adalah suatu hal yang erat kaitannya dengan emosi manusia. Emosi manusia terbagi atas dua jenis yaitu emosi yang bernilai positif (menyenangkan) dan emosi yang bernilai negatif (tidak menyenangkan). Emosi tersebut mempengaruhi setiap manusia dalam bertingkah laku dan diungkapkan ke dalam berbagai bentuk. Rasa suka cita atau kegembiraan misalnya, sebagai salah satu jenis emosi yang positif dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk, seperti tertawa, menggambar bentuk-bentuk yang indah, atau melakukan gerakan-gerakan ritmis. Sebaliknya, emosi yang negatif, misalnya kemarahan atau ketakutan, juga dapat diekspresikan ke dalam media yang sama. Perbedaannya kemudian terletak pada pemaknaan yang melekat dalam simbolisasi bentuk ekspresi, misalnya penggunaan warna hitam dalam suatu lukisan, dikaitkan dengan kekelaman masa lalu atau rasa sakit yang dalam, dan lain sebagainya. Pemaknaan atas suatu simbol tertentu, juga dapat bersifat subyektif.

Tari paggellu, menjadi media bagi masyarakat Toraja dalam melampiaskan rasa emosi yang positif. Rasa gembira yang ditampilkan oleh penari melalui lemparan-lemparan senyum dapat menular kepada mereka yang menonton pertunjukan ini. Rasa gembira tersebut juga diikuti dengan teriakan-teriakan nakal dari para penonton pertunjukan. Teriakan-teriakan tersebut dapat dimaknai ke dalam dua hal, yaitu sebagai godaan-godaan kepada penari atau sekadar luapan kegembiraan semata sebagai tanda keikutsertaan atau partisipasi dalam menyebarkan suasana bahagia.

Terdapat satu hal yang menarik kita lihat di sini bagaimana tarian ini kemudian berkembang menjadi tarian sawer, misalnya sebagaimana yang terdapat dalam pertunjukan tari jaipong di Jawa Barat. Dwishiera (2013) menjelaskan Jaipong sebagai sebuah tari kreasi yang sangat menarik, dinamis, dan identik dengan kata erotis. Image erotis pada tari Jaipong terbentuk, karena bahu dan pinggul  merupakan bagian tubuh yang dominan digerakkan dalam pola gerak tari Jaipong. Dari segi nilai sosial, tari hiburan seperti tari Jaipong dipandang mempunyai konotasi negatif di masyarakat. Dalam pertunjukan tari paggellu, yang biasanya dibawakan oleh penari-penari yang berusia muda dan memiliki paras yang menawan. Dengan goyangan-goyangan dan hentakan yang cukup menggoda, meskipun tidak seerotis gerakan dalam tari jaipong, juga telah menjadi daya tarik tersendiri dalam pertunjukan.Konotasi negatif yang melekat pada pertunjukan tari jaipong, tidak serta merta dialami oleh pertunjukan paggellu. Penari-penari jaipong yang dengan berani menarik lawan jenis untuk menari bersama, tidak terdapat dalam pertunjukan tari paggellu. Gerakan-gerakan yang ditampilkan masih sebatas goyangan pinggul yang menghentak-hentak ritmis yang disesuaikan dengan lantunan musik gendang. Para penonton yang terpikat dengan penampilan mereka, dapat menunjukkan rasa sukanya dengan memberikan lembaran-lembaran uang yang diselipkan ke dalam sa’pi’, yaitu anyaman manik-manik dan emas yang diikat di kepala penari supaya konde tidak jatuh saat melakukan gerakan-gerakan tarian.

Bentuk penghargaan yang ditunjukkan oleh para penikmat tari paggellu melalui selipan uang kertas di pengikat kepala penari, menjadikan tarian ini dapat bergeser pada komersialisasi kesenian. Ketika suatu bentuk kesenian telah dikonversikan ke dalam nilai mata uang maka pada titik itu pula nilai dari suatu kesenian menjadi berubah. Meskipun memang perubahan yang dialami oleh suatu kebudayaan tidak dapat dihalangi terutama ketika interaksi dengan masyarakat luar mulai terjadi. Petrus (2012) menjelaskan bahwa saat ini tari pa’gellu’ mengalami perkembangan yang cukup signifikan, ditandai dengan hadirnya beragam jenis tari kreasi yang mendasarkan gerakannya pada tari pa’gellu’ dan menambahkan atau memasukkan gerakan-gerakan tambahan serta instrumen nada yang baru sehingga keaslian dari tarian ini sedikit demi sedikit mulai hilang. Gerakan-gerakan tarian pa’gellu’yang dikomodifikasi dan hanya menekankan pada aspek keindahannya semata, mulai mengalami pergeseran dan pembiasanmakna tarian dari yang awalnya sebagai wujud penghayatan manusia kepada alam sekitarnya menjadi sekadar pergerakan mekanis yang kosong nilai.

Munculnya beragam tari-tari kreasi yang bersandar pada gerakan-gerakan dasar tari paggellu, menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat Toraja. Banyak di antara tokoh-tokoh kesenian Toraja yang mengeluhkan bahwa banyak generasi muda Toraja saat ini yang tidak bisa membedakan tarian paggellu yang kreasi dan orisinil. Hal ini dapat berdampak pada semakin menurunnya kualitas tari paggellu yang dulunya sarat akan makna-makna positif menjadi sekadar hiburan semata. Sebagaimana yang diperdebatkan dalam kegiatan Seminar Tari Paggellu yang dilaksanakan oleh BPNB Sulawesi Selatan di Rantepao pada tahun 2014, bahwa terdapat tanggung jawab yang berat saat ini yang diemban oleh guru-guru sekolah bidang kesenian untuk menjelaskan bentuk tari paggellu yang orisinil. Tari tradisional, khususnya paggellu tidak dapat diperlombakan, karena akan mengundang munculnya beragam-beragam tari kreasi yang baru yang semakin menjauhkan tari paggellu dari orisinalitasnya. Berbeda halnya jika perlombaan tari tersebut, memang merupakan perlombaan tari kreasi paggellu. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Serang Dakko, pemilik Sanggar Alam Serang Dakko, yang mengatakan bahwa kesenian tradisional antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah layak untuk diperlombakan, karena hal ini berarti mempertentangkan nenek moyang dari satu daerah dengan daerah lainnya. Munculnya beragam tari kreasi yang bersandar pada gerakan tari paggellu, telah berkontribusi pada semakin dikenalnya tarian tradisional ini. Akan tetapi, di sisi lain dapat berdampak pada semakin terpinggirkannya bentuk gerakan asli dari tarian ini. Oleh karena itu, dibutuhkan proses transformasi pengetahuan dari generasi lama ke generasi baru terkait orisinalitas dari tarian ini, sehingga tarian ini dapat tetap bertahan dan berdampingan bersama tari-tari tradisional lainnya.

 

 

Penutup

Tari Pa’gellu’ merupakan tarian yang dipentaskan dalam rangkaian upacara-upacara adat bertemakan suka cita. Pa’gellu’ atau ma’gellu’ dalam bahasa setempat berarti menari-nari dengan riang gembira sambil tangan dan badan bergoyang dengan gemulai, meliuk-liuk lenggak lenggok. Tarian ini dibawakan oleh 3, 5, 7, atau 9 (hitungan ganjil) orang gadis yang telah beranjak dewasa dan menampilkan 12 macam gerakan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan representasi dari aktivitas keseharian gadis-gadis Toraja, membentuk suatu jalinan cerita yang terangkai dari satu gerakan ke gerakan lainnya, mulai dari kelahiran, proses menjalani kehidupan, serta bagian akhir dari babak kehidupan manusia. Termasuk pula di dalamnya tiruan dari gerak-gerak hewan yang dianggap memiliki makna filosofis dan memberi pelajaran berharga bagi manusia.

Tarian ini telah ditarikan sejak sebelum Belanda masuk ke Toraja, meskipun tidak diketahui secara kapan tepatnya tarian ini mulai ditarikan. Kebudayaan Toraja sangat erat kaitannya dengan kepercayaan leluhur yaitu Aluk Todolo.Tari pa’gellu’ atau terkenal dengan sebutan Pa’gellu’ Pangala ini pertama kali diciptakan oleh Nek Datu Bua’. Tarian ini diciptakan pertama kali saat kembali dari medan peperangan dengan membawa kemenangan lalu merayakan kemenangan tersebut dengan menari-nari sebagai bentuk rasa sukacita atas kemenangan mereka. Bentuk gerakan tari ini awalnya tidak beraturan namun semakin lama mengikuti perkembangan zaman akhirnya tarian ini disusun kedalam 12 gerakan agar terlihat lebih indah. Sayangnya tidak ada yang tahu pasti tahun berapa tarian ini diciptakan.

Tari paggellu, menjadi media bagi masyarakat Toraja dalam melampiaskan rasa emosi yang positif. Rasa gembira yang ditampilkan oleh penari melalui lemparan-lemparan senyum dapat menular kepada mereka yang menonton pertunjukan ini. Rasa gembira tersebut juga diikuti dengan teriakan-teriakan nakal dari para penonton pertunjukan. Teriakan-teriakan tersebut dapat dimaknai ke dalam dua hal, yaitu sebagai godaan-godaan kepada penari atau sekadar luapan kegembiraan semata sebagai tanda keikutsertaan atau partisipasi dalam menyebarkan suasana bahagia. Dewasa ini, telah muncul beragam tari kreasi yang bersandar pada gerakan tari paggellu, telah berkontribusi pada semakin dikenalnya tarian tradisional ini. Akan tetapi, di sisi lain dapat berdampak pada semakin terpinggirkannya bentuk gerakan asli dari tarian ini.

 

Daftar Pustaka

Amsari, Ulil. 2015. Makna Simbolik Tari Sigeh Penguten Lampung. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Anoegrajekti. 2003. Seblang Using: Studi Tentang Ritus dan Identitas Komunitas Using. Artikel. Universitas Jember.

Dwishiera, Non, C.A. 2014. Tari Jaipong Karya Rumingkang sebagai Media Industri Kreatif Berbasis Seni Tradisi. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.

Febriyanti, Fifie. 2014. Makna Simbolik Tari Paolle dalam Upacara Adat Akkawaru di Kecamatan Gantarangkeke Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Ghozali, M. Syafii. 2014.Upacara Ritual Kematian dalam Agama Hindu di Pura Krematorium Jala Pralaya Juanda Sidoarjo.Tesis. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Larasati, Zhyta Pala’langan. 2014. Nilai-Nilai Sosial Tari Pa’gellu’ dalam KehidupanMasyarakat Toraja Kecamatan Rindingallo,Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisonal Sulawesi Selatan. Makassar: Lamacca Press.

Petrus, Simon. 2012. Tari Tradisional Pa’gellu’ di Kelurahan Tagari Kecamatan Tallung Lipu Kabupaten Toraja Utara. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Susanto, Harry. 1987. Mitos: Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Jogjakarta: Kanisius.

Van Baal, Jan. 1971. Symbols for Communication: An Introduction to The Anthropological Study of Religion. Brill.