Jaminan Sosial Tradisional : Studi Kasus Keluarga Nelayan Pulau Salemo

0
3666

JAMINAN SOSIAL TRADISIONAL :

STUDI KASUS KELUARGA NELAYAN PULAU SALEMO

 

Muhammad Kamil Jafar N, S.Sos., M.Si

Ketua Koalisi Anak Muda Online Indonesia Kota Makassar

Jalan Perintis Kemerdekaan Km. VIII  Kota Makassar

muhkamiljafar@gmail.com

 

ABSTRACT


This study aims to describe the socio-cultural life of fishermen families and analyze the forms of traditional social security that occurs in the daily life of the fishermen’s family. This research uses qualitative research method with descriptive approach to
describe the social culture condition of fisherman family in Salemo Island. The data gathering by using in-depth interviews with informants and observation to see the reality of family life of fishermen. The result shows that; first, that the socio-cultural condition of the fishermen’s family on Salemo Island is still in poverty level with the role of the children and wife as indicators, in the issue of earning a living for the family as well as the lifestyle and diversification of work by the fishermen to fulfill their basic needs. Second, traditional forms of social security have long been owned by fishing families and have become cultures. Traditional forms of social security they have ranged from borrowed funds and fishing gear from pinggawaand also their families outside the island.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan sosial budaya keluarga nelayan serta menganalisis bentuk-bentuk jaminan sosial tradisional yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari keluarga nelayan.Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk memberikan gambaran mengenai kondisi sosial budaya keluarga nelayan di Pulau Salemo. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam bersama dengan para informan dan observasi untuk melihat realita kehidupan keluarga nelayan.Hasil penelitian yang diperoleh ; pertama, bahwa kondisi sosial budaya keluarga nelayan di Pulau Salemo dapat dikatakan masih dalam taraf kemiskinan dengan indikator peran anak dan isteri masih tinggi dalam persoalan mencari nafkah untuk keluarga serta gaya hidup dan diversifikasi pekerjaan yang dilakukan nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, bentuk-bentuk jaminan sosial tradisional telah lama dimiliki oleh keluarga nelayan dan telah menjadi kebudayaan. Bentuk jaminan sosial tradisional yang mereka miliki mulai dari pinjaman dana dan alat tangkap dari pinggawa hingga bantuan dari keluarga yang berada di luar pulau.

 

Kata Kunci : Jaminan Sosial, Pinggawa, Kemiskinan, Nelayan.

 

 

Pendahuluan

Kemiskinan merupakan isu yang telah lama menjadi perhatian bagi sebuah negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, karena kemiskinan merupakan sebuah masalah sosial yang dihadapi secara nyata oleh masyarakat. Dalam literatur masalah sosial dapat dilihat bahwa kehidupan keluarga yang sejahtera merupakan dambaan.  Dengan demikian, kondisi yang menunjukkan adanya taraf hidup yang rendah merupakan sasaran utama usaha perbaikan dalam rangka perwujudan kondisi yang sejahtera tersebut. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah. Oleh sebab itu wajar apabila kemiskinan dapat menjadi inspirasi bagi tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.[1]

Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar adalah komunitas nelayan, mereka bertempat tinggal dipinggiran pantai dan pulau-pulau kecil serta menggantungkan hidup mereka dari hasil tangkapan di laut dan sangat rentan terhadap kemiskinan.[2]  Kemudian masalah kemisikinan yang terjadi pada keluarga nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh dan bukan solusi jangka pendek yang dilakukan oleh pemerintah.

Dari hasil beberapa penelitian terdahulu (Arifin : 2014, Tang: 2012, Kusnadi: 2006)  telah banyak menyinggung mengenai kenyataan kondisi kehidupan nelayan di Sulawesi Selatan terdapat kondisi sosial-ekonomi, dimana sejumlah nelayan yang tidak bisa melaut karena usia lanjut dan keterbatasan modal serta kurangnya keahlian lain yang dimiliki mengakibatkan mereka terjebak dalam berbagai masalah ekonomi terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka. Tidak hanya sampai disitu permasalahan selanjutnya adalah persoalan tangkapan yang tidak pasti yang merupakan dampak dari musim paceklik, yang dapat datang kapan saja dan berkali-kali dalam setahun yang dikarenakan kondisi alam yang tak menentu.

Kondisi ekonomi nelayan tradisional dapat dikatakan mereka berpendapatan rendah atau kurang. Kondisi keterbatasan permodalan, iklim yang tidak menentu membatasi ruang lingkup mereka. Oleh karena itu muncul berbagai kebijakan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, misalnya bagi nelayan di Sulawesi Selatan, program pemberian bantuan kepada petani dan nelayan, yaitu bantuan sosial berupa kapal bagang besar kepada pemuda desa, bantuan berupa mesin pemecah es untuk nelayan dan mesin jahit untuk isteri/anak perempuan nelayan (Tang : 1996).

Terkhusus pada komunitas nelayan yang terdapat di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep, mereka juga mengalami berbagai macam masalah kemisikinan yang telah dijelaskan sebelumnya. Menghadapi masalah yang sama yaitu hasil tangkapan tidak pasti, musim paceklik yang dapat datang kapan saja serta usia lanjut. Memberikan dampak langsung kepada pendapatan mereka yang tidak menentu, sehingga kebutuhan pokok keluarga tidak dapat dipenuhi, menurut data penelitian sebelumnya sekitar 85% keluarga miskin yang berprofesi sebagai nelayan kecil (Tang : 2010).

Proses mengatasi masalah sosial ekonomi tersebut dibutuhkan sekuritas sosial dalam masyarakat, namun sekuritas sosial yang bersumber dari pemerintah Indonesia hanya berlaku untuk para PNS, TNI dan Polri. Sedangkan untuk nelayan  mereka harus mencari sumber-sumber sekuritas sosial yang lain untuk menjamin kehidupan mereka dan keluar dari permasalahan kemiskinan yang mereka hadapi seperti hubungan-hubungan kekerabatan, pertetanggaan, persekampungan dan patron-kilen memberikan aneka ragam bantuan : tenaga, barang dan uang (Tang : 1996).

Beberapa penelitian mengenai nelayan yang telah dilakukan di Sulawesi Selatan yang memfokuskan mengenai sekuritas sosial pada komunitas nelayan telah dilakukan seperti yang dilakukan oleh Pandu (0) di daerah mandar mengenai kondisi kemiskinan keluarga nelayan sehingga membuat seluruh anggota keluarga harus terlibat sebagai pekerja dari pinggawa untuk dapat menerima jaminan sosial dari pinggawa, kemudian penelitan dari Ramdani (2015) menemukan hasil bahwa keterlibatan perempuan dan pekerja anak perempuan dalam rangka menambah hasil income keluarga serta anak sebagai tenaga pencari nafkah sekunder. Walaupun demikian dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik mengenai gambaran umum kehidupan komunitas nelayan serta permasalahan yang dihadapi serta pola-pola mengatasi masalah tersebut, kemudian jurnal ini menggambarkan secara khusus kehidupan sosial budaya keluarga nelayan yang berfokus pada aspek jaminan sosial tradisional keluarga nelayan.

Jaminan sosial yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah suatu konsep analitis yang berkenaan dengan “fungsi sosial” tertentu. Istilah ini lebih dibahasakan oleh Tang (2005), dimana jaminan sosial dipakai untuk mengacu kepada permasalahan sosial dan proses-proses sosial. Dalam pengertian luas jaminan sosial dapat dirujukkan kepada berbagai usaha individu, kelompok, keluarga, swasta dan institusi pemerintahan untuk mengatasi berbagai kebutuhan hidup pokok dari anggota masyarakat seperti bahan makanan yang memadai, perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, dan sebagainya. Selain itu, jaminan pada saat ada peristiwa atau keadaan tertentu yang menimpa mereka, seperti sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, lanjut usia, dan kematian. Tujuannya untuk memenuhi standar hidup yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Adapun jaminan sosial tradisional adalah jaminan sosial yang sumbernya dari luar institusi pemerintah yang secara turun temurun diberikan atau diterima dari adanya hubungan-hubungan sosial seperti kerabat, tetangga, orang sekampung, teman, patron-klien, dan sebagainya (Tang : 2005).

Selain persoalan atau permasalahan sosial, saya akan juga akan membahas mengenai proses-proses sosial yaitu tindakan nyata dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian dan penerimaan bantuan yang diperlukan. Dalam hal ini, akan saya deskripsikan berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan anggota masyarakat dalam rangka menangani kemiskinan yang dihadapi.

Penelitian ini dirancang  menggunakan penelitian kualitatif yang menekankan pada pola-pola kebudayaan nelayan etnik bugis-makassar di Pulau Salemo. lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa jumlah keluarga miskin mencapai 85% sehingga menarik untuk melihat bagaimana pola-pola yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, namun sebelum melakukan penelitian lapangan saya mengumpulkan beberapa penelitian terdahulu mengenai kajian sekuritas sosial di keluarga nelayan, kemudian menarik hasil penelitian serta kajian teoritik dari peneliti terdahulu sebagai bahan perbandingan. Informan dalam penelitian adalah 10 orang nelayan  yang mempunyai karakteristik sebagai berikut penghasilan dibawah Rp. 2.000.000, memiliki tanggungan anak dan isteri, serta memiliki pinggawa dan telah bekerja selama minimal 2 tahun. Proses pengumpulan penelitian terdahulu saya lakukan untuk memperoleh gambaran awal mengenai kehidupan nelayan dahulu dan sekarang sehingga saya dapat melihat aspek-aspek yang berubah dan bertahan di keluarga nelayan ketika dalam proses penelitian lapangan.

Selanjutnya penelitian yang saya lakukan adalah proses penelitian lapangan. Pada proses ini saya membenamkan diri secara serius untuk mengumpulkan data lapangan, melalui wawancara dan observasi. Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian yang saya lakukan ini tergolong sensitif, sebab saya harus mengorek informasi yang sangat privat dari para keluarga nelayan apalagi beberapa informan saya merupakan para perempuan rawan sosial ekonomi (janda). Tentu saja banyak sangkaan yang muncul saat saya memasuki lapangan penelitian. Sangkaan yang muncul, saya dianggap sedang melakukan survei untuk penerima bantuan dari pemerintah sebab pertama kali saya berkunjung ditemani oleh salah satu pejabat desa yaitu anggota BPD Desa Mattiro Bombang.

Analisis data yang dilakukan pada penelitian menggunakan tiga tahapan yaitu menggunakan yang pertama adalah coding data, yaitu melakukan pemberian kode dan pemilahan terhadap beberapa data yang telah dikumpulkan, setelah melakukan coding maka peneliti kemudian melakukan reduksi data, yaitu pengolahan lanjutan hingga pada tahap akhir yaitu penyajian data.

Perspektifantropologiuntukmemahami eksistensi sesuatu bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, ligkungan dan kebudayaan. Oleh karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manuasia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, sebagai upaya untuk memahami keluarga pada komunitas nelayan di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologi yang dipandang penting sebagai upaya untuk membangun pemahaman teoritik.

 

Pembahasan

Kehidupan sosial-ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan. Tingkat kehidupan mereka sedikit di atas pekerja migran atau setara dengan petani kecil di pedesaan (Kusnadi : 1987). Pendapat lain menguraikan bahwa nelayan kecil dan tradisional dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian (Mubyarto : 1984). Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga nelayan adalah dakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka yang sangat sederhana sebagai pemukiman nelayan kecil sebaliknya rumah-rumah yang megah dengan fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pinggawa.

Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan keluarga nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka  rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah.  Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus,  mereka tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama.  Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan  miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti  kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder, Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan  dapat bertahan hidup (Kusnadi : 1987).

Pola kehidupan sosial keluarga nelayan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi  mereka. Berbicara masalah ekonomi bagi keluarga nelayan itu artinya  membicarakan tentang nasib keluarga nelayan itu sendiri. Artinya, selama ini  muncul anggapan bahwa keluarga nelayan adalah keluarga yang pasif dan pasrah, merupakan ciri umum bagi keluarga nelayan adalah  ketergantungan mereka akan laut sehingga mereka sangat terikat dengan  pekerjaan menangkap ikan di laut.

Pekerjaan sebagai nelayan membatasi aktivitas  ke sektor lain, sehingga mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumah  tangganya. Anggapan seperti ini dijadikan dalih banyak ilmuwan yang meneliti  tentang kehidupan nelayan untuk mendiskriditkan nelayan. Sehingga terkadang  dikatakanya bahwa para nelayan itu kurang berusaha, kurang kreatif, karenanya  mereka menjadi miskin. Padahal beberapa kasus penelitian membuktikan bahwa  para nelayan, mereka giat dan rajin bekerja. Ia tidak pernah menyerah pada nasib.  Yang membuat mereka miskin adalah keterbatasan akan peralatan dan modal serta  fasilitas. Hal ini dialami oleh keluarga nelayan pada umumnya di perairan  Indonesia. Namun dengan pembaharuan peralatan perahu motor secara  modernisasi, serta fasilitas-fasilitas lainnya dan diiringi dengan masuknya industri  maka kehidupan sosial keluarga nelayan menjadi meningkat.

Dilihat dari peningkatan pendapatan nampaknya berlaku secara merata di  kalangan mereka, hal ini di sebabkan karena mereka di dalam mencari ikan di laut  selalu berkelompok satu perahu motor berisikan beberapa orang. Dengan adanya  pembaharuan peralatan mencari ikan di laut dari perahu sampan ke perahu motor,  hal ini menyebabkan suatu tranformasi sosial, kalau dahulu mereka mencari ikan di laut dengan perahu sampan hanya dengan satu orang atau dua orang, sekarang mereka melaut menggunakan perahu motor dengan beberapa orang. Kalau dahulu  sekali dayung harus memerlukan waktu yang cukup lama, saat ini hanya membutuhkan beberapa waktu saja. Kalau dahulu hasilnya  sedikit sekarang menjadi lebih banyak.

Perubahan itu semua adalah merupakan perubahan sosial, psikologis dan  ekonomi. Hal ini di tandai dengan meningkatnya kesejahteraan sosial keluarga  nelayan, bertambahnya tenaga yang mencari ikan di laut dan tidak banyak  menguras tenaga dan menghasilkan banyak ikan. Gejala-gejala di atas menunjukkan bahwa keluarga nelayan saat ini, sudah  mengalami transformasi budaya yang di tandai dengan berubahnya pola berpikir  mereka. Mereka lebih senang menggunakan perahu motor dari pada perahu  sampan hal ini lebih efisien dan efektif. Mereka lebih menghormati waktu. Ini  pertanda pola berpikir mereka mengalami perubahan dari pola berpikir tradisional ke pola berpikir modern. Tentunya dalam hal ini dampak lebih lanjut adalah perubahan kehidupan sosial masyarakat nelayan kalau dahulu mereka bukan  masyarakat konsumtif, sekarang mereka lebih konsumtif hal ini bisa di lihat gaya  hidup mereka, lebih cenderung boros karena menurut mereka uang mudah di cari.

Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat  marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang  cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki  rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada  kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat penghargaan yang tinggi (Boelaars:1984).  Merupakan salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan  sikap temperamental dan harga diri.

Keluarga nelayan dalam menjalani kehidupan sosial budaya mereka memiliki aneka ragam sistem sekuritas sosial yang berlaku dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bahkan sekuritas sosial tersebut yang membuat mereka dapat bertahan hidup. Seperti telah diketahui pada bab sebelumnya yang menggambarkan kemiskinan keluarga nelayan di pulau Salemo. Kurangnya modal, pengetahuan alat tangkap hingga hasil tangkapan yang tidak pasti membuat mereka hidup dalam kerentanan kemiskinan, sehingga mereka membutuhkan sebuah jaminan sosial untuk kehidupan keluarga nelayan.

Kondisi ekonomi yang dapat dikatakan miskin dalam komunitas nelayan, bukanlah hal yang baru diangkat sebagai isu melainkan sebuah konsepsi awal bahwa ada suatu sistem yang membuat mereka bertahan dalam kemiskinan dan dapat bertahan hidup. Gaya hidup dan budaya yang telah lama mereka praktekkan seperti pinjam – meminjam membuat mereka semakin terjebak dengan hutang ditambah dengan hasil tangkapan yang semakin  berkurang sehingga mereka mau tidak mau harus melakukan sebuah diversifikasi pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga meskipun hasilnya jauh dari yang diharapkan. Dalam temuan penelitian ini sekuritas sosial yang dimiliki oleh keluarga nelayan pulau Salemo memiliki jaminan sosial tradisional yang dimiliki oleh nelayan bersumber dari lembaga-lembaga tradisional, keluarga, kerabat, tetangga, dan lain-lain.

Keluarga dalam setiap masyarakat merupakan pranata sosial yang sangat  penting artinya bagi kehidupan sosial. Keluarga juga merupakan struktur mikro  yang membentuk struktur sosial dan kelembagaan yang lebih luas. Potret ini bisa  dilihat misalnya pada keluarga nelayan, keberadaannya tentu penting sebagai  entitas dari masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang dikenal maritim. Namun ironisnya sebagian besar keluarga nelayan dalam struktur masyarakat Indonesia merupakan lapisan masyarakat yang  menempati posisi terendah dan paling miskin dibandingkan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan lainnya (Muh. Zid : 2011).

Keluarga nelayan biasanya merupakan keluarga batih, artinya dalam satu  keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak (Soejono. S : 2002). Dalam satu keluarga, tiap anggota  memiliki peranan masing-masing terutama dalam menjalankan perekonomian  keluarga. Bapak sebagai kepala rumah tangga berperan utama dalam pencarian  nafkah keluarga, biasanya bekerja sebagai nelayan. Istri berperan sebagai ibu  rumah tangga yang membantu pekerjaan suami mempersiapkan alat-alat atau hal-hal yang diperlukan untuk melaut, sedangkan anak masih merupakan tanggungan orang tua.

Sebagian besar keluarga nelayan mendapat penghasilan ganda dari pekerjaannya, antara lain penangkapan ikan dan pengolahan ikan. Pada saat  musim ikan, kebanyakan nelayan menangkap ikan tersebut dan menjualnya langsung, hanya sebagian ikan yang diolah. Lain halnya dengan kondisi yang  dihadapai nelayan pada saat bukan musim ikan, ikan-ikan hasil tangkapannya  kebanyakan diolah seperti menjadi ikan asin dengan teknologi pengolahan yang  rendah. Bila ekonomi keluarga tidak begitu kuat atau kurang, maka istri dan anak-anaknya ikut membantu mengupayakan tambahan penghasilan. Dengan adanya  keluarga yang membantu untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan  merupakan ciri dari keluarga miskin.

Dalam keluarga nelayan seorang laki-laki sebagai ayah maupun perempuan  sebagai ibu memiliki kewajiban bersama untuk kepentingan seluruh keluarga.  Kedudukan ayah ataupun ibu di dalam keluarga nelayan memiliki hak yang sama  juga demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga.  Status suami istri dalam keluarga nelayan adalah sama nilainya, maksudnya  masing-masing dianggap baik dalam bertindak. Suatu keluarga akan kokoh dan  berwibawa apabila dari masing-masing anggota keluarga yang ada di dalamnya  selaras, serasi dan seimbang. Perbedaan posisi antara ayah dan ibu dalam keluarga  pada dasarnya disebabkan oleh faktor kodrati. Secara badaniah, wanita berbeda  dengan laki-laki. Alat kelamin wanita berbeda dengan alat kelamin laki-laki,  wanita memiliki sepasang buah dada yang lebih besar, suara wanita lebih halus,  wanita melahirkan anak dan sebagainya. Selain itu secara psikologis, laki-laki  akan lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Sedangkan secara psikologis wanita lebih emosional, lebih pasif.

Keberhasilan suatu keluarga nelayan dalam membentuk sebuah rumah  tangga yang sejahtera tidak lepas dari peran seorang ibu/istri yang begitu besar.  Baik dalam membimbing dan mendidik anak mendampingi suami, membantu  pekerjaan suami bahkan sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah  disekitar pantai. Namun demikian kebanyakan dari masyarakat kita masih  menempatkan seorang ayah sebagai subyek, sebagai kepala keluarga dan pencari  nafkah. Sedangkan ibu lebih ditempatkan sebagai objek yang dinomor duakan  dengan kewajiban mengurus anak di rumah.

Pinjaman Dana Pinggawa (Modal dan Alat Tangkap).

Pada umumnya, sistem pinjaman dana dari pinggawa ini tidak memerlukan persyaratan, seperti bunga, agunan dan persyaratan administrasi lainnya. Hubungan antara nelayan peminjam dengan pinggawa  yang meminjamkan hanya didasarkan pada sikap saling mempercayai satu sama lain. Walaupun dikatakan tanpa bunga, tetapi ketika dilihat lebih dalam lagi pinjaman dari pinggawa ini memberikan ikatan antara nelayan yang meminjam dan pinggawa karena pinggawa yang menentukan harga dari hasil tangkapan nelayan. Sistem pinjaman dana dari pinggawa ini telah melembaga di kehidupan nelayan Pulau Salemo.

Mekanisme pinjaman yang dilakukan oleh nelayan kepada pinggawa yang bersedia meminjamkan modal maupun pengadaan alat tangkap relatif mudah dan efesien dalam waktu karena tidak memerlukan waktu yang lama sehingga nelayan dengan segera dapat memperoleh pinjaman dana dan alat tangkap dengan persyaratan yang umum dan telah membudaya di kehidupan nelayan di Pulau Salemo.

Proses yang harus dilalui dalam meminjam kepada pinggawa oleh nelayan tergolong mudah, karena mereka hanya perlu mendatangi salah satu pinggawa yang ada di dalam area Pulau Salemo untuk mengajukan secara lisan maksud dan tujuanya untuk meminjam dana atau alat tangkap yang dimiliki oleh pinggawa. Mereka hanya perlu memiliki kedekatan emosional seperti telah dianggap kerabat oleh pinggawa untuk dapat memperoleh dengan mudah dan waktu yang singkat. Setelah mereka mengajukan usulan secara lisan kemudian mereka membuat kesepakatan aturan pinjaman baik berupa uang tunai maupun alat tangkap. Seorang pinggawa tidak akan mudah memberikan pinjaman kepada nelayan apabila usaha yang akan dilakukan oleh nelayan dianggap akan kurang menghasilkan khusus di Pulau Salemo para pinggawa  rata-rata memberikan pinjaman uang tunai untuk usaha rumput laut dan alat tangkap untuk para nelayan kepiting rajungan.

Modal yang diperoleh nelayan dari pinggawa digunakan untuk perlengkapan penangkapan, operasional dan kebutuhan sehari-harinya. Berikut ini alur skematik yang menunjukkan proses pencairan dana pinjaman dari pinggawa.  Secara skematik dapat dilihat pada bagan dibawah :

 

 

 

 

 

 

 

Bagan 1.1 Mekanisme Pengajuan Pinjaman Nelayan Kepada Pinggawa.

Sebelum pencairan dana dan alat tangkap dilakukan kemudian para nelayan akan membuat kesepakatan lisan kepada pinggawa mengenai aturan-aturan yang mereka harus tepati selama pinjaman mereka belum lunas hingga sanksi  yang mereka harus hadapi ketika melanggar aturan tersebut.

Kesepakatan yang mereka buat relatif tidak berubah karena bentuk pinjaman dana ini telah melembaga di Pulau Salemo yaitu seluruh hasil tangkapan kepiting rajungan dan panen rumput laut harus dijual kepada para pinggawa yang memberikan pinjaman modal, untuk peminjaman alat tangkap juga demikian mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada para pinggawa. Tidak disepakati mengenai waktu pengembalian dan lama peminjaman namun untuk dana mereka harus mencicilnya setiap kali panen rumput laut maupun kepiting rajungan. Untuk sanksi mereka yang melanggar kesepakatan dengan para pinggawa akan mendapat sanksi moral berupa cemoohan dari komunitas nelayan Pulau Salemo dan tidak akan dapat memperoleh bantuan lagi dari pinggawa baik dalam pinjaman dana dan alat tangkap.

Untuk proses pengembalian dana berupa pinjaman dana para nelayan harus mencicilnya, dikarenakan rata-rata yang melakukan pinjaman dana merupakan nelayan yang beralih profesi menjadi petani rumput laut,  nelayan akan membayar dengan hasil rumput lautnya sesuai dengan hasil panen mereka setiap 40 hari panen, para pinggawa akan menghitung hasil rumput laut mereka dengan jumlah cicilan yang sedikit demi sedikit akan dikembalikan berdasarkan hasil wawancara bersama nelayan yang telah bekerja sebagai petani rumput laut, mereka membayar modal yang diberikan pinggawa setiap kali panen dengan potongan harga rumput laut 5% hingga 10% dan kemudian sisanya akan dikembalikan kepada nelayan.  Kemudian untuk peminjaman alat tangkap mereka akan melakukan sistem bagi hasil tersendiri setiap kali setelah habis menangkap, namun bagi hasil ini tersendiri dirasakan tidak terlalu merugikan nelayan karena para pinggawa rata-rata hanya mengambil sebesar 25 % dari harga tangkapan nelayan, namun dalam beberapa kasus bahkan pinggawa tidak melakukan pemotongan pada nelayan yang meminjam alat tangkap seperti rakkang.

 

 

 

 

 

Tabel 1.1

Jenis Usaha dan Pinjaman Nelayan Pulau Salemo

Jenis Usaha Syarat Pinjaman Dana atau Alat Tangkap. Pengembalian Dana Ket
Pa’rakkang Rajungan –  Mengajukan pengusulan kepada pinggawa.

–  Bersedia mengikuti aturan kerjasama.

–       Dana Pembuatan Rakkang.

–       Dana Operasional.

–       Kebutuhan Sehari-hari.

–     Hasil Tangkapan keseluruhan dijual kepada pinggawa.

–     Potongan hasil penjualan hingga 10% untuk membayar cicilan pinjaman.

Pa’puka Rajungan –  Mengajukan pengusulan kepada pinggawa.

–  Bersedia mengikuti aturan kerjasama.

–       Pinjaman Alat Tangkap Kepiting (Jaring).

–       Dana Operasional.

–       Kebutuhan Sehari-hari.

–     Hasil Tangkapan keseluruhan dijual kepada pinggawa.

–     Potongan hasil penjualan hingga 25% untuk membayar cicilan pinjaman.

Budidaya Rumput Laut –  Mengajukan pengusulan kepada pinggawa.

–  Bersedia mengikuti aturan kerjasama.

–       Dana Pembuatan Tempat Budidaya Rumput Laut.

–       Dana Pembelian Bibit Rumput Laut.

–       Dana Operasional.

–       Kebutuhan Sehari-hari.

–     Hasil panen keseluruhan dijual kepada pinggawa.

–     Potongan hasil penjualan hingga 10% untuk membayar cicilan pinjaman.

*Data diolah dari berbagai sumber

Kemudian dari hasil hubungan antara pinggawa (pemodal) dan nelayan pemimjan akan terjadi implikasi-implikasi ekonomi diantara mereka sebagai berikut :

  • Pinggawa akan memonopoli pemasaran hasil tangkapan nelayan kepiting rajungan dan rumput laut sesuai dengan kesepakatan awal bahwa nelayan yang mengambil modal dan alat tangkap harus menjual hasil tangkapannya kepada pinggawa dan nelayan tidak dapat menjual hasil tangkapannya kepada pihak lain walaupun harga yang ditawarkan dari pihak lain lebih tinggi. Realita ini telah menyebabkan nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapan kepiting rajungan dan penen rumput laut mereka sebagai implikasi meminjam dana dari pinggawa.
  • Pinggawa jadi penentu harga dari kepiting rajungan dan rumput laut, sedangkan nelayan sebagai penerima harga dari kepiting rajungan dan rumput laut karena hanya pinggawa yang membeli seluruh hasil tangkapan sesuai dengan perjanjian awal pada saat nelayan mengambil modal. Implikasi yang ditimbulkan adalah hasil produksi nelayan tidak signifikan dengan peningkatan pendapatannya karena pasar yang terjadi tidak kompetitif (bersaing sempurna), sehingga keuntungan lebih banyak terserap atau dinikmati oleh pemilik modal.
  • Adanya bantuan dana dari lembaga ekonomi non formal seperti pinggawa sangat membantu pemenuhan modal usaha dan biaya hidup keluarga nelayan, walaupun hal ini menimbulkan ketergantungan ekonomi yang sangat kuat . Hal ini dipengaruhi oleh tingginya biaya hidup yang tidak berimbang dengan pendapatan dari hasil penangkapan. Rendahnya kemampuan ekonomi keluarga nelayan yang dipengaruhi oleh ketidakpastian harga dan hasil tangkapan makin menekan kondisi kehidupan nelayan dan rumah tangganya.

Bagi nelayan kecil, urgensi pinjaman dana dari pinggawa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan finansial, melainkan juga dikaitkan dengan kepentingan lain, seperti tidak adanya sanksi hukum, jika tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai dengan kesepakatan dan atau kemudahan untuk memperoleh kebutuhan pokok, baik untuk keperluan keluarga maupun untuk operasi penangkapan kepiting rajungan dan usaha rumput laut. Pemberian modal pinjaman yang diperankan oleh pinggawa berperan sebagai kelembagaan lokal yang menjembatani kegiatan produksi dan biaya rumah tangga nelayan.

Keterlibatan pinggawa dalam penyediaan modal untuk nelayan secara garis besar yaitu penyediaan modal untuk melaut, penyediaan perbekalan, ataupun alat tangkap. Bentuk proses pengembalian yang berupa hasil tangkapan dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati. Keterlibatan pinggawa terhadap perekonomian nelayan tidak selalu merugikan. Karena beberapa nelayan merasa tertolong dengan adanya pinggawa yang berperan sebagai penyedia modal bagi nelayan yang tidak memiliki modal untuk menangkap kepiting rajungan maupun rumput laut. Bahkan pinggawa berkewajiban menolong nelayan pada saat nelayan tersebut sakit.

 

Jaminan Kebutuhan Pokok dari Keluarga (di luar pulau).

Strategi selanjutnya yang dimanfaatkan oleh keluarga nelayan miskin adalah relasi sosial dengan keluarga yang berada di luar pulau. Pemanfaatan ini tentu dapat memecahkan berbagai permasalahan ekonomi keluarga seperti ketersedianya kebutuhan pokok yang berasal dari bantuan keluarga yang berada di luar pulau.

Sebuah mekanisme yang unik terjadi dalam keluarga nelayan miskin Pulau Salemo. Dibalik ketidakpastian hasil tangkapan dan musim paceklik yang dapat terus menerpa keluarga nelayan, mereka punya mekanisme tersendiri untuk bertahan hidup dan memperoleh kebutuhan pokok untuk dapat bertahan hidup. Salah satunya adalah mengandalkan bantuan dan kiriman kebutuhan pokok dari keluarga yang tinggal di luar Pulau Salemo. Jarak yang dekat dengan daratan membuat distribusi barang dapat terjadi berkali-kali dalam sehari ke Pulau Salemo.

Proses ini merupakan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga nelayan miskin dengan meminta bantuan kepada keluarga di luar pulau, pada saat kondisi kesulitan atau paceklik. Kondisi paceklik bagi nelayan Pulau Salemo biasanya terjadi pada musim barat yang terjadi pada bulan november hingga maret. Nelayan pada musim barat pada umumnya mengurangi kegiatan penangkapan di laut meskipun ada yang menangkap tapi akan memperoleh hasil yang minim dalam setiap kali penangkapan.

Bantuan tersebut dapat berupa kiriman beras, sayur-mayur hingga ikan tambak seperti ikan bolu. Dimana diketahui bahwa ikan yang berasal dari hasil tangkapan nelayan di laut sangat susah untuk diperoleh di Pulau Salemo, karena nelayan penangkap ikan yang tidak berkembang, untuk saat ini pekerjaan nelayan di dominasi dengan penangkapan kepiting rajungan dan petani rumput laut. Selain karena faktor alam yang membuat mereka berhenti menjadi nelayan ikan, sehingga ikan tambak (bolu) masih menjadi andalan menu makanan bagi keluarga nelayan miskin, karena didorong juga dengan harga yang masih dapat dijangkau oleh keluarga nelayan.

Seluruh bantuan tersebut menjadi sebuah jaminan sosial kehidupan keluarga nelayan terutama dalam kebutuhan pangan. Mereka mendapatkan bantuan tersebut secara suka rela dari keluarga mereka yang telah sukses merantau di luar pulau. Seperti diketahui bahwa kondisi migrasi pemuda Pulau Salemo ke daerah perkotaan cukup tinggi dikarenakan sulitnya menjadi nelayan di Pulau Salemo sehingga membuat para pemuda memilih untuk migrasi ke perkotaan dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik, pelayar, dan pekerja bangunan.

Tabel 1.2

Jenis Bantuan Kebutuhan Pokok dari Keluarga Luar Pulau

No Jenis Bantuan Jumlah Keterangan
1 Beras 25 kg/bulan. Tidak menentu
2 Sayuran Bervariasi Tiap Bulan
3 Obat-obatan Tidak menentu
4 Uang Tunai Bervariasi Rata-rata menjelang lebaran.
5 Pakaian Bervariasi Rata-rata menjelang lebaran.
6 Ikan Tambak (Bolu dan Nila) Bervariasi Tidak menentu

*Data diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa bantuan dari keluarga di luar pulau di dominasi oleh bantuan untuk kebutuhan pokok sehari-hari yaitu pangan. Secara eksplisit ini menjadi sebuah keterjaminan terhadap kebutuhan pangan keluarga seperti beras dan sayuran, selain sebagai jaminan kebutuhan pangan, juga dapat menjadi sebuah jaminan ketahanan pangan berbasis keluarga, karena diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi keluarga nelayan yang sangat rendah membuat mereka sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Dengan bantuan dari keluarga di luar pulau membuat keterjaminan kehidupan ekonomi nelayan dapat dicapai karena mereka akan mengurangi kegiatan hutang pada pinggawa yang akan membuat mereka semakin terikat dengan pinggawa dan hutang yang tak kunjung selesai, di karenakan hasil tangkapan juga yang tak pasti dan ditengah ancaman musim paceklik setiap tahunnya.

Bantuan keluarga dari luar pulau akan sangat membantu ketika memasuki musim paceklik bagi keluarga nelayan kepiting rajungan dikarenakan pada saat musim paceklik yang terjadi pada bulan november hingga maret mereka hanya bisa mendapatkan hasil yang minim bahkan hampir dikatakan tidak ada, dan kekurangan karena biaya operasional perahu telah keluar namun tanpa hasil tangkapan.

 

Assitulungen : Tolong menolong dalam Memberdayakan Perempuan Rawan Sosial Ekonomi di Pulau Salemo.

Berdasarkan pengertian dari Permensos no 8 tahun 2012 mengemukakan bahwa perempuan rawan sosial ekonomi adalah seseorang perempuan dewasa menikah, belum menikah atau janda dan tidak mempunyai penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dengan indikator sebagai berikut ; (a) perempuan berusia 18 tahun hingga 70 tahun, (b) isteri yang ditinggal suami tanpa kejelasan, (c) menjadi pencari nafkah utama keluarga, (d) berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan rawan sosial ekonomi adalah perempuan yang berumur dari 18 tahun hingga 70 tahun, belum, telah menikahdanjanda, yang menjadi tenaga pencari nafkah utama dan tidak memiliki penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan hidup.

Olehnya ini pada temuan kali ini, banyak sekali perempuan rawan sosial ekonomi yang berdomisili di Pulau Salemo. Data yang diperoleh sebanyak 107 perempuan rawan sosial ekonomi (janda) yang berhasil diidentifikasi umurnya bervariasi dari 18 tahun hingga 70 tahun yang masih beraktifitas sebagai sawi rumput laut, pedagang, hingga karyawan pengupasan kepiting yang berada disekitar Pulau Salemo.

Fenomena ini tidak lepas dari berbagai faktor yang terjadi di Pulau Salemo. Kecelakaan kerja, kasus perjodohan, hingga ditinggal pergi oleh suami membuat banyak sekali perempuan rawan sosial ekonomi (janda) harus bertahan hidup sendiri untuk melanjutkan hidupnya bahkan keluarganya. Dapat bertahan hidup tanpa pencari nafkah utama memang menjadi persoalan utama bagi mereka. Tuntutan hidup yang membuat mereka harus kreatif dalam berusaha dan bertahan hidup serta tertolongnya mereka dengan sebuah konsep assitulungen dalam komunitas nelayan Pulau Salemo

Assitulungen merupakan suatu bentuk hidup saling tolong menolong dalam etnik Bugis-Makassar. Aktivitas ini telah menjadi budaya dan kegiatan sosial bagi komunitas nelayan Pulau Salemo. Sehingga beban sosial dan ekonomi bagi mereka dapat berkurang. Berbagai usaha dilakukan oleh para pinggawa di Pulau Salemo untuk memberdayakan para perempuan rawan sosial ekonomi (janda). Mulai dari mempekerjakan janda sebagai sawi rumput laut, meminjamkan mereka modal usaha, hingga masuk menjadi karyawan pengupasan kepiting yang ada di Pulau Salemo. Namun proses-proses pemberdayaan ini dapat dikatakan sebagai sebuah resiprositas dalam kehidupan ekonomi keluarga nelayan miskin kepada para pemberi bantuan. Keluarga yang ditolong terutama untuk para janda dan perempuan yang tergolong dalam rawan sosial ekonomi akan memberikan balas jasa berupa bantuan tenaga ketika para pemberi bantuan (pinggawa) akan melakukan kegiatan seperti aqiqah, perkawinan, mabaca tola bala, dan lain sebagainya secara suka rela kepada pinggawa sebagai sebuah balasan kepada keluarga pinggawa yang telah memberikan mereka pekerjaan.

Perubahan praktek-praktek assitulungen dipengaruhi oleh perubahan mata pencaharian yang ada di Pulau Salemo. Dahulu rata-rata berprofesi sebagai nelayan ikan namun sekarang telag berubah menjadi nelayan rumput laut dan kepiting rajungan yang tentunya juga mengubah cara-cara nelayan dalam menangkap dan memproses kegiatan rumput laut mereka serta produksi kepiting rajungan mereka. Meskipun praktek-praktek sebagian telah bertransformasi namun tidak mengurangi dari makna yang akan disampaikan dalam prinsip  assitulungen dalam komunitas nelayan Pulau Salemo.

Prinsip-prinsip assitulungen  ini berwujud sebuah pemberdayaan bagi para perempuan rawan sosial ekonomi yang ada di Pulau Salemo. Mereka dapat bekerja dan menghasilkan uang dari tangan mereka sendiri serta mendapatkan bonus tambahan (cenningati) sebagai sebuah reward bagi para perempuan yang rajin bekerja dari pinggawa masing-masing.

Proses perekrutan sawi rumput laut juga masih didasari oleh prinsip tolong menolong yang dilakukan oleh pinggawa, mereka datang langsung kepada para perempuan rawan sosial ekonomi untuk ditawari dan diajari agar dapat terlibat dalam aktivitas ekonomi yang dapat menghasilkan uang tambahan bagi keluarga mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Memberikan akses bekerja serta imbalan yang dilakukan oleh pinggawa semua didasari ada prinsip mattulung (menolong).

Tolong menolong merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Kehidupan bersosial dan bermasyarakat akan dapat mandiri dan kuat apabila ada kerjasama dan tolong menolong diantara masyarakat. Tolong menolong yang diperbolehkan dan dianjurkan adalah tolong menolong dalam kebaikan bukan dalam kejahatan.

Eksistensi tolong menolong (assitulung-tulungeng) pada masyarakat Bugis tertuang dalam falsafah hidup “rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessurui nok, malilli sipkainge, maingeppi mupaja”  memiliki makna bahwa rebah saling meneggakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong baru berhenti. (Salam : 2014)

Filosofi tersebut memberi pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk menuju jalan yang benar. Filosofi Bugis inilah yang menjadi pegangan bagi komunitas nelayan Pulau Salemo dalam beraktivitas sehari-hari.

Penutup

Jaminan sosial tradisional yang telah terlebih dahulu hadir dibandingkan dengan yang formal, pinjaman dana dari pinggawa untuk kebutuhan modal dan alat tangkap adalah sebuah jaminan yang diberikan oleh pinggawa kepada nelayan yang kekurangan modal dan mau berusaha dengan perjanjian dan aturan yang telah disepakati. Lembaga tradisional ini telah banyak menolong keluarga nelayan yang kekurangan modal, pinjaman dana dari kerabat dan keluarga menjadi sebuah sekuritas sosial yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial ekonomi keluarga nelayan hingga bantuan dari relasi sosial (keluarga) yang berada di luar pulau berupa bantuan kebutuhan pokok. Berbagai macam sekuritas sosial yang berlaku dalam keluarga nelayan menunjukkan adanya mekanisme pemecahan masalah pada komunitas nelayan yang berbasis pada kebudayaan mereka.

 

Daftar Pustaka

Arifin, Ansar. 2014. Perangkap Kemiskinan dan Kekerasan Struktural. Jakarta : Orbit

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah dan Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusnadi. 1987. Pusat Studi Komunitas Pantai. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi. 2001. Pangamba’ Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi. 2006. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKIS.

Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan Sumarjono. 2006.  Perempuan Pesisir. Yogyakarta:  LKIS.

Pandu, Maria E. 2010. Kajian Sekuritas Sosial Sebagai Basis Penanggulangan Kemiskinan Komunitas Nelayan Di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makassar: LP2M Unhas.

Ramdani, Fauziah. 2015. Sekuritas Sosial dalam Relasi Kerja Antara Pengusaha Kepiting dan Pekerja Anak Perempuan di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar : Tesis Universitas Hasanuddin

Salam, Rahayu. 2014. Assitulungeng : Tolong Menolong dalam Upacara Aqiqah di Pulau Salemo. Walasuji,15(2):327-339.

Satria, Arief. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Yayasan Obor.

Soetomo. 2013. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tang, Mahmud. 1996. Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Barru Sulawesi Selatan, Indonesia. Wageningen : Grafisch Service Cantrum Van Gils, B.V.

Tang, Mahmud, dkk. 2005. Kajian Sekuritas Sosial Bagi Keluarga Nelayan Miskin Di Kota Pare-Pare Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Baru-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Jakarta: Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Depsos RI.

Tang, Mahmud, dkk. 2010. Kajian Sekuritas Sosial Sebagai Basis Penanggulangan Kemiskinan Komunitas Nelayan Di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makassar: LP2M Unhas.

Tang, Mahmud, dkk. 2012. Berbagai Bentuk Sekuritas Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan Pada Komunitas Nelayan Pulau Salemo Sulsel dan Rangas Barat Sulbar. Penelitian Unggulan Program Studi, LP2M Unhas.

Yan Boelaars. 1984. Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Zid Muhammad. 2011. Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi Ekologis. Sosialita

[1] Gambaran mengenai kemiskinan di negara berkembang dapat dilihat dalam karangan

Soetomo (2013)

[2] Gambaran mengenai kemiskinan nelayan di Sulawesi Selatan dapat dilihat dalam karangan

Ansar Arifin (2014).