Negeri Olok Gading merupakan kebandaran pertama yang ada di Bandarlampung. Mulanya daerah yang didirikan oleh Ibrahim Gelar Pangeran Pemuka sekitar tahun 1618 Masehi ini bernama Kampung Negeri dengan lamban dalom sebagai pusatnya. Adapun tujuan pendiriannya menurut naskah Tambo Kebandaran Marga Balak adalah untuk memperluas wilayah kedudukan adat Marga Balak di daerah Teluk Betung. Namun pada sekitar tahun 1883 Kampung Negeri terpaksa ditinggalkan oleh penduduknya setelah porak-poranda diterjang gelombang pasang sebagai dampak meletusnya Gunung Krakatau.
Kondisi Kampung Negeri berangsur pulih setelah setelah banyak orang datang dan menetap, terutama di sekitar pelabuhan Teluk Lampung yang aktivitas perekonomiannya cukup ramai. Di antara mereka ada sekolompok orang yang berasal dari Olok Gading. Agar “statusnya” diakui, mereka mendatangi kepala Marga Balak untuk meminta izin. Dan, mungkin karena komposisi orang Olok Gading lumayan banyak, maka Kampung Negeri pun berubah nama menjadi Kampung Negeri Olok Gading.
Oleh karena komposisi marga yang tinggal di Kampung Negeri Olok Gading semakin beragam, pada tahun 1929 Pemerintah Belanda melalui Keresidenan Teloek Betoeng mengeluarkan Staatsbald Nomor 362 yang menetapkan penyatuan tiga marga (Lunik, Bumiwaras, dan Balak) menjadi Marga Telukbetung sebagai bagian terpadu dari struktur pemerintahan kolonial sekaligus menjadi lembaga pemerintahan terendah Belanda.
Agar tidak terjadi perebutan kekuasaan, sebagai perwakilan dari Keresidenan Teloek Betong Mr Gele Harun kemudian mengumpulkan para penyimbang paksi dan tiyuh untuk berembuk membahas pemimpin serta batas teritorial Marga Teluk Betung. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mengangkat Pangeran Pokok Ratu sebagai pemimpin konfederasi penyimbang di daerah Teluk Betung dan Tanjung Karang yang terdiri atas 4 Penyimbang Paksi dan 9 Penyimbang Tiuh.
Sebagai pemimpin konfederasi penyimbang, Pangeran Pokok Ratu memiliki hak dan wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan adat. Oleh karena itu, dia diharapkan dapat berpegang pada aturan adat, tidak memihak saat bertindak menjadi penengah dalam suatu perkara, dan tidak berat sebelah dalam memuat suatu keputusan. Selain itu, kepala adat juga harus mempu menjadi panutan bagi masyarakat dan berperan aktif mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan adat sehingga mampu menjaga kelestarian adat Marga Teluk Betung.
Bentuk kepemimpinan ini terus bertahan walaupun Negeri Olok Gading sekarang telah menjadi sebuah kelurahan dengan luas sekitar 109 ha. Konsekuensinya, peran-peran kepala pemerintahan adat pun harus mengikuti aturan dari pemerintah setempat. Aturan tersebut ditentukan oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 5 Tahun 2013 (Bab IV bagian kedua pasal 6), yaitu (a) menggali dan mengembangkan serta mempromosikan adat istiadat Lampung; (b) mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan adat istiadat Lampung; (c) menyelesaikan perselisihan atau perkara yang menyangkut atau berkaitan dengan adat istiadat Lampung; (d) menginventarisasi, mengamankan, memelihara, dan mengurus serta memanfaatkan sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat; dan (e) memberikan usulan atau saran kepada pemerintah daerah dalam pembangunan di segala bidang, terutama pada bidang sosial kemasyarakatan dan budaya.
Adapun pusat pemerintahan adatnya sendiri tetap di Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak, sebuah bangunan tradisional yang dibuat oleh Ibrahim Gelar Pemuka ketika dia mendirikan Kampung Negeri. Bangunan ini terbuat dari kayu dengan siger besar berada di atasnya. Pada halaman lamban dalom difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat (begawi, deduaian, perkawinan). Bagian terasnya berfungsi sebagai tempat pertemuan para tokoh penyimbang adat. Sedangkan bagian bawah bangunan (dahulu berbentuk panggung) saat ini difungsikan sebagai ruang serba guna tempat penyelenggaraan kesenian tradisional (Tari Bedana, Tari Siger Penguten) dan penyimpanan benda-benda budaya, di antaranya adalah: siger berusia ratusan tahun, keris, payan (tombak), kain sarat khas Lampung pesisir, terbangan, tala (alat musik sejenis kulintang), busana adat pengantin Saibatin, pedang Ngusikh Bajau, dan lain sebagainya.