Menelusuri Jejak Sarung Tenun di Kota Dolar
Oleh: Risa Nopianti
Pernahkah Anda tahu bahwa di Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan Majalaya, merupakan awal mula munculnya motif tenun yang menjadi ciri khas masyarakat Muslim Sunda bahkan Nusantara? Hingga saat ini, motif tersebut masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka, terutama dalam bentuk kain tenun yang dikenal sebagai sarung. Fungsi sarung kini lebih sering dipakai oleh laki-laki untuk menunaikan sholat. Tekstur sarung yang lembut dan nyaman membuatnya cocok untuk aktivitas sehari-hari, sementara motif kotak-kotaknya yang khas menjadikan sarung sebagai ikon umat Muslim Indonesia.
Majalaya menjadi salah satu sentra dan produsen tekstil besar di Indonesia. Puluhan hingga ratusan pabrik kain, baik skala kecil, menengah, maupun besar, berdiri di Majalaya. Sebagian besar produsen tekstil ini menghasilkan kain untuk berbagai keperluan seperti fesyen, kasur, kursi, gorden, dan berbagai produk tekstil lainnya. Produk tekstil dari Majalaya telah berhasil merambah pasar luar negeri, diekspor ke beberapa negara di Asia dan Afrika.
Sebagai penyedia bahan baku utama kain untuk produk fesyen, industri tekstil di Majalaya mengalami masa keemasan pada dekade 1970-1990-an. Pada periode tersebut, Majalaya dikenal sebagai “kota dollar” karena kontribusinya dalam menyumbangkan devisa negara, terutama dalam bentuk dolar, melalui ekspor produk tekstil.
Menurut sejarah, industri tekstil di Majalaya dimulai sebelum abad ke-20, pada masa pemerintahan kolonialisme di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-19, perkembangan industri tekstil di Hindia Belanda meningkat pesat setelah benang katun diimpor dari India ke Jawa dalam jumlah besar. Meskipun pada awalnya industri pembuatan kain bersifat rumahan, fokus pemerintah Belanda saat itu masih terpusat pada industri perkebunan.
Pada tahun 1930-an, berdirinya Institut Tekstil Bandung atau STT tekstil, juga didorong oleh inisiatif Bupati Bandung Adipati Aria Wiranatakoesoema, membuka pelatihan kain tenun dan alat tenun untuk masyarakat sekitar di Kabupaten Bandung. Meskipun pada awalnya belum signifikan, industri pembuatan kain mulai berkembang.
Produksi tenun di Majalaya menunjukkan perkembangan signifikan pada tahun 1960-an, di mana pada waktu itu, produksi tekstil Majalaya berhasil menguasai 40% dari total produksi kain Indonesia (Rifai, 2019).
Awalnya, pembuatan tekstil di Majalaya hanya dilakukan dalam skala rumahan. Pekerja, yang pada saat itu didominasi oleh ibu rumah tangga, menggunakan alat tenun bukan mesin, seperti ATBM konvensional yang dikenal sebagai gedogan atau kentreung. Kentreung, yang merupakan generasi awal ATBM, memiliki lebar 60 cm dan digunakan untuk membuat sarung tenun dengan cara duduk lesehan.
Sementara itu, ATBM jenis tustel (mesin ayunan panjang) sudah memiliki lebar 120 cm dan biasanya digunakan dalam posisi duduk karena memiliki materi alat yang harus dipijak.
Namicalung, sebuah desa di Kecamatan Majalaya, diakui oleh masyarakat sekitar sebagai tempat asal pembuatan sarung tenun yang berkembang menjadi industri tekstil di Majalaya saat ini. Pada tahun 1940-an, Abah Api, seorang pendatang dari Soreang, memperkenalkan mesin tenun ATBM jenis tustel kepada masyarakat di Namicalung, yang sebelumnya sudah familiar dengan alat tenun sejak tahun 1930-an melalui penggunaan mesin kenterung.
Sejak diperkenalkannya mesin tustel kepada masyarakat di Namicalung, terutama di Majalaya secara umum, industri pembuatan sarung tenun mengalami peningkatan yang signifikan. Perubahan ini ditandai dengan berdirinya pabrik tekstil pertama yang dilengkapi dengan sekitar 30 alat tenun jenis tustel. Mesin tustel dianggap sebagai inovasi baru jika dibandingkan dengan ATBM jenis kentreung yang lebih lama.
Dengan adanya mesin tustel, terjadi perubahan yang cukup mencolok dalam proses pembuatan kain tenun. Awalnya, satu lembar kain memerlukan waktu 1-2 minggu untuk diselesaikan oleh mesin kentreung. Namun, dengan penggunaan mesin tustel, satu lembar kain ukuran 120×200 cm dapat diproduksi dalam waktu 2-4 hari saja. Dengan demikian, produksi kain tenun dapat dilakukan secara lebih cepat dan massif.
Abah Baman (Abdulrohman), seorang saksi sejarah perjalanan tenun sarung di Desa Namicalung, menceritakan bagaimana ia terlibat dalam dunia pertenun. Sejak kecil, Abah Baman sudah akrab dengan alat tenun. Pada tahun 1955, keluarganya sudah memiliki 3 mesin tustel, namun baru mulai serius menekuni pembuatan kain tenun sejak tahun 1960. Pada saat itu, Abah Baman diberikan tiga gulung benang katun oleh Bapak Ir. H. Juanda Kartawidjadja, yang saat itu menjabat sebagai menteri keuangan, untuk memproduksi sarung tenun khas Majalaya. Harapan Juanda kepada para penenun di Majalaya adalah agar mereka mampu memproduksi tenun secara mandiri dengan dukungan benang, sehingga “kita harus mampu berdiri di kaki kita sendiri.”
Hasil produksi tenun Abah Baman kemudian dijual ke Bandung kepada seorang pengepul dan penjual kain keturunan Tionghoa. Pada masa itu, kebijakan pemerintah membatasi orang Tionghoa untuk membuka pabrik pembuatan kain di Majalaya, sehingga sebagian besar dari mereka berperan sebagai pengepul dan penjual saja. Pada puncak kejayaannya, hampir semua rumah di Desa Namicalung memiliki mesin tustel, dengan jumlah yang umumnya lebih dari satu, berkisar antara 1-2 tustel.
Selama hampir 20 tahun, produksi tenun ATBM di daerah Majalaya berkembang pesat. Namun, pada tahun 1987-1988, sebagian besar usaha tenun rumahan mengalami penurunan produksi karena kesulitan mendapatkan benang katun sebagai bahan baku. Kendala ini disebabkan oleh pembatasan impor benang katun dari Jepang dan China, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan ketahanan dan swasembada produksi dalam negeri.
Keadaan tersebut mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bertujuan melindungi industri tekstil di Majalaya. Sebagai respons terhadap situasi ini, para pemodal Tionghoa turun tangan untuk mengembangkan pabrik-pabrik tekstil di daerah tersebut. Menurut Rifai (2019), antara tahun 1930 hingga awal 1940-an, pemodal China berhasil mengontrol sekitar 36% dari total alat tenun tangan di Bandung. Mereka memperluas pengaruh ekonomi mereka dengan mendirikan usaha-usaha tenun kecil, membeli usaha tenun dari pengusaha lokal, atau mengendalikan usaha-usaha kecil tersebut melalui sistem bakul. Pada tahun 1942, broker China semakin mendominasi dengan menguasai 77% dari pabrik-pabrik tekstil di Majalaya (Rifai, 2019).
Dampak dari dominasi pemodal Tionghoa ini berdampak buruk pada industri tenun rumahan yang kehilangan pamornya. Industri kecil ini tergilas oleh raksasa-raksasa tekstil yang tumbuh begitu cepat di Majalaya. Meskipun beberapa usaha tenun rumahan bertahan, mereka bergantung pada para broker dan pengusaha Tionghoa untuk memasok bahan baku, yang sebagian besar dikuasai oleh mereka.
Seiring menurunnya produksi rumahan kain tenun, motif khas sarung tenun yang telah menjadi ciri khas Majalaya secara perlahan menghilang. Industri tekstil saat ini, terutama yang memproduksi kain sarung tenun dengan menggunakan mesin, hanya fokus pada pembuatan sarung dengan motif-motif modern atau kain tenun nusantara seperti songket, ulos, tapis, tenun ikat, dan lain sebagainya. Minat mereka untuk mempertahankan dan memproduksi kain dengan motif khas Majalaya mulai terkikis dengan adanya motif ekonomi dari produksi kain tenun nusantara yang dianggap lebih menjanjikan oleh para pengusaha.
Dengan demikian, Majalaya mulai berubah fokus menjadi sentra atau pusat pengembangan kain motif tradisional dari seluruh wilayah Indonesia. Industri tekstil di Majalaya beralih untuk memproduksi berbagai macam kain tradisional nusantara, yang kemudian dijual kembali ke daerah asal mereka.
Setidaknya pernah dikenal 12 motif khas sarung tenun Majalaya antara lain :
- Poleng Camat
- Poleng Totog
- Poleng Goyobod
- Poleng Salur
- Poleng Simping
- Atlasan
- Gudang Garaman
- Samarindaan
- Palembangan
- Sentiaw
- Manggisan
- Kapiyur
Motif sarung tenun yang paling terkenal di antara semua motif di Majalaya adalah poleng camat. Menurut penuturan narasumber, kata “poleng” bermakna motif kotak-kotak, sementara kata “camat” diambil dari kebiasaan masyarakat masa lalu, karena motif ini umumnya digunakan oleh para gegeden setingkat camat pada masa tersebut. Beberapa artefak tenun sarung yang masih dapat ditemukan di Namicalung, dibuat antara tahun 1930 hingga 1960-an. Meskipun kondisinya sudah cukup tua dan tidak diproduksi lagi, motif sarung tenun khas Majalaya ini pernah menjadi primadona pada tahun 1980-an.
Pada periode tersebut, merk sarung terkenal Dua Gajah yang diproduksi oleh pabrik tekstil HKS milik H. Kohar di Majalaya berhasil mencapai skala produksi besar, mencapai 20 kodi/minggu atau 90.000 kodi/bulan. Kain sarung tersebut berhasil dipasarkan ke negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Selain itu, sarung dengan merk Al-Majali dan Al-Jazuli juga cukup dikenal oleh masyarakat.
Kehilangan mesin tenun dan motif khas tenun Majalaya membuka kembali ingatan masyarakat terhadap kejayaan tenun Majalaya di masa lalu. Hal ini juga mendorong kepedulian mereka untuk merintis kembali keberadaan mesin ATBM konvensional di Desa Namicalung sebagai bentuk keprihatinan terhadap warisan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Namun, terdapat beberapa hambatan untuk mewujudkan keinginan tersebut, salah satunya adalah kehilangan kemampuan masyarakat dalam membuat kain tenun. Generasi penenun era tahun 1980-an hampir tidak bersisa di Namicalung, oleh karena itu diperlukan kegiatan pelatihan kepada warga Namicalung yang berminat untuk melanjutkan tradisi menenun. Realisasi dari keinginan ini dapat tercapai dengan bantuan langsung dari pemerintah daerah setempat dan semua stakeholder yang memiliki kepentingan dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut.