Lakma Dewi merupakan satu dari segelintir seniman tradisi yang masih eksis di Kabupaten Pesisir Barat. Perempuan yang mahir dalam memainkan berbagai macam kesenian tradisional ini lahir di Krui pada hari Jumat tanggal 6 Juli 1965. Dia adalah anak ke-sebelas (tigabelas bersaudara) dari pasangan Bahsan dan Rabiah binti Basro. Saudara-saudara kandung Lakma yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 2 orang perempuan saat ini sudah tidak utuh lagi (setengah di antaranya telah meninggal dunia). Sementara sisanya ada yang berdomisili di Pesisir Barat, Lampung Barat, Bandarlampung, dan DKI Jakarta.
Konon semenjak kecil (Lakma sendiri sudah tidak dapat mengingat kapan tepatnya), telah menunjukkan bakat seni dengan pandai bernyanyi dan membawakan tari sempaya, cerai kasih, serta payung. Adapun belajarnya hanya dengan cara otodidak, alias melihat dan mendengar para seniman beraksi kemudian mempraktikkannya di rumah. Kebiasaan Lakma ternyata didukung oleh kedua orang tuanya. Bahkan, mereka menyarankan agar para tetangga yang sedang mengadakan pesta memberi kesempatan pada Lakma untuk mempertontonkan kebolehannya. Sebagai catatan, bagi generasi Lakma pengertian pesta yang dimaksud di sini adalah adalah gelaran-gelaran yang berkenaan dengan lingkaran hidup seseorang (kelahiran, perkawinan, kematian) atau acara adat lainnya (penobatan raja, pemberian gelar, dan lain sebagainya).
Di berbagai gelaran pesta inilah Lakma Dewi mulai mengasah diri untuk menjadi seorang seniman tradisi. Selain itu, berkat interaksi yang cukup intens dengan seniman-seniman seni tutur yang turut tampil dalam pesta, Lakma juga mulai merambah ke seni tutur. Hahiwang, segata, bebandung, ringget, wayak/muayak dan hahaddo hasil “contekan” dari para seniman tutur tersebut dipelajarinya secara rutin sepulang sekolah di SDN 04 Penengahan Laay. Namun, kebiasaan berlatih seni tradisi sempat terhenti ketika dia baru beberapa bulan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama karena Sang kakek mengajaknya hijrah ke Jakarta.
Oleh karena sangat dimanja Sang kakek dan keluarganya, Lakma diberi kebebasan untuk melakukan segala hal sesuai dengan kemauan sendiri dan tidak dibebani kewajiban sebagaimana layaknya orang lain. Alhasil, dia terlalu “enjoy” dengan diri sendiri sehingga tidak berhasrat melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertamanya. Jadi, praktis selama di Jakarta rutinitas yang dilakukan hanyalah makan, tidur, dan jalan-jalan bersama keluarga Sang kakek.
Sepulang dari Jakarta, Lakma menggeluti kembali seni tradisi yang sempat ditinggalkan. Bahkan dia tidak hanya tampil dalam acara pesta-pesta adat yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ada di sekitar pekon tempat tinggalnya. Secara rutin Lakma Dewi mengikuti berbagai ajang perlombaan kesenian daerah, baik yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat maupun Pemerintah Provinsi Lampung dan dari berbagai macam perlombaan ini banyak di antaranya yang berhasil dimenangkan.
Konsekuensi dari keberhasilan memenangkan sejumlah perlombaan, jadwal manggung pun semakin bertambah. Dia tidak hanya diundang memeriahkan acara adat yang diselenggarakan oleh Pekon, Kecamatan, dan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat saja, tetapi juga orang-orang tertentu yang berniat ingin menjadi petinggi di Lampung Barat hingga para pejabat di pemerintahan Provinsi Lampung.
Tidak berapa lama setelah mencapai ketenaran sebagai seorang seniwati tradisi, Lakma Dewi menikah dengan Hermanto, seorang staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Barat. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai empat orang anak (seorang laki-laki dan tiga orang perempuan), yaitu: Wawan Putra (kelahiran tahun 1983), Heidi Diana (kelahiran tahun 1985), Tria Yunisa (kelahiran tahun 1987), dan Wira Opana (kelahiran tahun 1990).
Pernikahan dengan Hermanto ternyata membawa berkah tersendiri bagi Lakma Dewi. Jadwal pentasnya menjadi kian banyak hingga rata-rata mencapai 20 kali dalam satu bulan. Oleh karena itu, tidak jarang Hermanto turut menemani ketika Lakma pentas keluar wilayah Lampung Barat, seperti: Bandarlampung, Metro, Jakarta, hingga Yogyakarta. Khusus di Bandarlampung dan Yogyakarta Lakma pernah diminta masuk dapur rekaman untuk membawakan sastra lisan muayak dan hahaddo. Namun, hingga sekarang dia sendiri belum pernah mendengar hasil rekaman tersebut.
Permasalahan mengenai hasil rekaman yang menimpa Lakma Dewi sebenarnya umum terjadi pada seniman tradisional, khususnya seniman-seniman yang kurang memahami aturan main dalam industri rekaman. Para produser memanfaatkan dengan cara “membeli lepas” hasil rekaman seniman. Dalam artian, setelah rekaman seniman hanya diberi imbalan sejumlah uang sebagai tanda “jadi/beli”. Hasil rekaman sepenuhnya menjadi milik produser, sehingga dia dapat menggandakan atau mencetak ulang tanpa perlu lagi memberi royalti pada senimannya.
Pada kasus Lakma Dewi, kemungkinan besar rekamannya tidak laku di pasaran. Hal ini dibuktikan dari adanya kaset rekaman Lakma yang disimpan di Dinas Pemuda, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Lampung Barat. Namun, karena tidak banyak orang yang berminat membeli, maka perusahaan rekaman tidak mereproduksi dan mengedarkannya lagi. Kaset itulah satu-satunya bukti kalau dia pernah melakukan rekaman.
Menurut Lakma lesunya penjualan rekaman muayak dan hahaddo karena masyarakat (terutama generasi muda) menganggap bahwa kedua kesenian tersebut sudah ketinggalan zaman. Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi membuat orang lebih menghargai kesenian populer yang datang dari daerah atau negara lain. Muayak, hahaddo, hahiwang, ringget dan beragam kesenian tradisional lain yang selalu mempertahankan “pakem” tanpa melakukan pembaruan tidak lagi dapat mengikuti arus perubahan zaman sehingga nyaris ditinggalkan dan hampir punah.
Keprihatinan akan punahnya kesenian tradisi mendorong Lakma Dewi untuk menularkan keahliannya pada generasi muda. Mula-mula dia mengajar pada anak-anak usia Sekolah Dasar hingga Menengah Pertama di sekitar tempat tinggalnya. Menurutnya anak-anak usia 6 hingga 16 tahun lebih “lebih cepat nyambung” ketimbang remaja atau orang tua. Anak-anak relatif mudah menerima pelajaran dan dapat “dipoles” sedemikian rupa agar sesui dengan pakem-pakem kesenian yang diajarkan.
Tetapi usaha awal Lakma Dewi banyak mengalami kendala. Salah satunya disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat tempat Lakma Dewi berdomisili mempunyai struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan patrilineal. Mereka membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.
Struktur sosial berdasarkan tingkatan gelar tersebut mempengaruhi ruang gerak masyarakat, mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat maupun sosial) apabila melanggarnya.
Lakma Dewi yang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar kesenian tradisional. Namun, dia sulit “memaksa” anak-anak dari keluarga berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun dia tidak dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Lakma harus membujuk anak yang akan berlatih agar orang tuanya tidak tersinggung dan marah.
Aturan-aturan adat yang mengikat seseorang berdasarkan kelas dalam masyarakat tentu saja menyulitkan Lakma Dewi dalam mentransfer ilmunya. Agar seni tradisi yang digeluti tidak hilang di telah zaman, dia kemudian beralih ruang dengan mengajar di pekon-pekon (desa) dan sekolah-sekolah di sekitar Krui. Kedua tempat tersebut dipilih karena sudah ada orang-orang yang mengkoordinasi anak-anak untuk berkumpul dan berlatih. Jadi, dia dapat langsung mengajar tanpa perlu lagi bersusah payah membujuk anak-anak agar mau belajar seni tradisi.
Jerih payah Lakma secara perlahan membuahkan hasil. Banyak di antara anak didiknya memenangi berbagai ajang perlombaan, mulai dari tarian, nyanyian, hingga tradisi lisan. Bahkan karena terlalu sering menang, terkadang pihak panitia perlombaan sengaja “menghambat” agar peserta lain mendapat giliran sebagai pemenang. Adapun caranya adalah dengan menjadikan anak-anak didik Lakma sebagai penampil dan bukan peserta lomba. Sementara Lakma sendiri didaulat juga menjadi penampil, panitia dan atau jurinya.
Namun, pamor Lakma Dewi dalam dunia seni tradisional seakan meredup ketika daerah Krui dan sekitarnya melepaskan diri dari Kabupaten Lampung Barat dan membentuk sebuah kabupaten baru bernama Pesisir Barat pada sekitar tahun 2014. Sebagai sebuah kabupaten baru tentu saja aparat yang menyelenggarakan organisasi pemerintahan diisi oleh orang-orang baru. Konsentrasi mereka masih ditujukan untuk menjalankan roda pemerintahan dan mempercepat pembangunan daerah. Akibatnya sektor-sektor yang dianggap kurang penting (seperti kesenian) hanya mendapat porsi sedikit atau tidak begitu diprioritaskan. “Sewaktu masih di Lampung Barat, manggung itu ibarat makanan sehari-hari. Sekarang seminggu sekali juga belon tentu,” ungkap Lakma Dewi
Begitu ungkapan Lakma Dewi menanggapi kekurang perhatian pemerintah Kabupaten Pesisir Barat pada sektor kesenian. Menurutnya, orang-orang baru di Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan tidak “mengambil data” kesenian dari kabupaten sebelumnya. Apabila mereka menyelenggarakan suatu pagelaran misalnya, undangan pada para seniman dilakukan secara acak tanpa memperhatikan kapasitas mereka.
Oleh sebagian aparat Kabupaten Pesisir Barat nama Lakma Dewi memang cukup dikenal sebagai seorang seniman senior. Tetapi perlakuan mereka terhadap Lakma agak berbeda dengan aparat dari kabupaten sebelumnya (Lampung Barat). Mereka menghendaki agar dalam sebuah pagelaran seni Lakma menjadi seorang begawan yang hanya boleh bertindak sebagai penampil, pemberi contoh, panitia, atau juri. Dia tidak boleh naik panggung sebagai peserta lomba.
Salah satu contohnya ketika dia ingin mengikuti perlombaan cipta lagu daerah dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Pesisir Barat tahun 2017. Lagu ciptaannya yang berjudul “Krui Kota Wisata” tidak dapat diikutsertakan dalam perlombaan dengan alasan akan mengalahkan peserta lain. Ia boleh dipentaskan hanya sebagai lagu pembuka dalam perlombaan cipta lagu daerah.
Lirik lagu tersebut sebagai berikut.
Krui Kota Wisata
Di ujung Lampung Krui adokni
Ibu Kita Pesisir Barat
Helaa alamni sumur rek makmur
Lampung Pesisir Barat
Labuhan Jukung Tanjung Setia
Pulau Pisang pantai wisata
Payu puari ram jama-jama
Kunjungi pantai Pesisir Barat
Pantai ku sai indah
Pantai ku terindah
Pesisir Barat helau da alamni
Keindahan pantai ni say kaya
Beragam hasil bumi rek lawokni
Pantai Lampung Pesisir Barat 2x
Krui kota wisata
Kekurang-pedulian Pemda Kabupaten Pesisir Barat terhadap kesenian sedikit banyak mempengaruhi harapan-harapan Lakma Dewi dalam melakukan pelestarian dan regenerasi kesenian tradisional. Harapan-harapan itu diantaranya adalah: timbul kesadaran pada generasi muda untuk menggali dan mempelajari kesenian tradisional Pesisir Barat; dan bila telah memiliki kesadaran, dia akan membuat sebuah sanggar sebagai pusat pelatihan bagi mereka.
Namun, harapan tinggallah harapan. Generasi muda Krui ternyata lebih menyukai budaya populer yang datangnya dari luar. Lakma pun akhirnya ragu untuk membuat sebuah sanggar yang sudah bertahun-tahun diimpikannya. Dia takut apabila memaksa diri tetap membuat sanggar, akan sia-sia belaka karena tidak ada peminatnya. (Hary GB).