Darussalam, Tokoh Seni Hadroh dari Pesisir Barat

You are currently viewing Darussalam, Tokoh Seni Hadroh dari Pesisir Barat

Darussalam, Tokoh Seni Hadroh dari Pesisir Barat

Darussalam merupakan sosok yang memiliki dedikasi tinggi terhadap kesenian Hadrah, lebih dari separuh hidupnya digunakan untuk belajar dan mengajarkan Hadrah. Kesenian tersebut merupakan perpaduan antara pencak silat dengan kesenian rebana. Sederhananya Hadrah lebih mirip silat dalam bentuk tarian dengan diiringi rebana.
Darussalam lahir pada 1 januari 1959 di Sukanegara, Krui, Kabupaten Pesisir Barat Lampung. Ia merupakan anak satu-satunya. Ibunya bernama Martamah dan bapaknya bernama Usman Ali. Darussalam mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama. Selain mengajarkan Hadrah, sehari-hari ia bekerja sebagai petani. Setiap minggunya Darus rutin mengajarkan anak-anak seni Hadrah, biasanya selepas sholat isya. Darus biasa mengajarkan Hadrah pada murid-murid yang bersengaja datang ke rumahnya, tetapi tak jarang pula ia dipanggil langsung dari satu pekon ke pekon lainnya untuk mengajar Hadrah.
Ia mulai berkenalan dengan Hadrah manakala ayahnya telah meninggal dan ibunya menikah dengan bapa tiri, lantas Darus dibesarkan oleh sang nenek. Melalui sang nenek lah Darus dipertemukan dengan guru-guru Hadrah, termasuk belajar mengenai bela diri dan berdzikir (saifulanam). Sejak umur belasan Darus sudah membekali diri dengan keterampilan bela diri. Hal tersebut menjadi dasar atas keterampilannya bermain Hadrah. Darus mulai secara serius menggeluti Hadrah pada usia 25 tahun. Faktor yang memotivasi Darus untuk belajar Hadrah tidak lain muncul dari kondisi lingkungannya. Kakek, paman-pamannya, hingga ayahnya, semuanya mengetahui dan menguasai Hadrah. Faktor ini lah yang medorong Darus untuk belajar. Menurut Darussalam, gerkan silat/tarian dalam Hadrah bisa ia kuasai dalam waktu 5 bulan, tetapi nyanyiannya atau berdzikirnya yang jadi bagian Hadrah, adalah proses pembelajaran sepanjang hidup karena nyanyian dalam Hadrah itu ada begitu banyak.
Pada saat Darus pertama kali menguasai Hadrah, ia langsung dikirimkan untuk mengikuti festival Istiqlal ke-2 di Jakarta. Berdasarkan memorinya, festival itu ia ikuti di masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Sekitar tahun 1981, Darus sudah mulai tampil dengan kesenian Hadrah yang ia kuasai. Ia sudah malang melintang datang ke berbagai daerah untuk menampilkan Hadrah, dari pelosok-pelosok Lampung hingga ke Jakarta. Sering pula ia menampilkan Hadrah ketika Kabupaten Pesisir Barat kedatangan pejabat-pejabat penting dari Bandar Lampung. Hingga tahun 2017, kurang lebih sudah 25 tahun Darussalam mendalami kesenian Hadrah.
Di tengah keterbatarasan fasilitas dan ketiadaan sanggar saat ini, Darussalam tetap aktif mengajar pemuda-pemudi dan anak-anak untuk belajar Hadrah. Dalam pengajarannya, Darussalam tidak pernah memungut biaya, ia menyerahkan pada kerelaan orang tua murid. Ia juga merasa tidak lazim memungut biaya karena murid-murid yang dilatihnya masih satu kampung dan seringkali masih terikat secara keluarga.
Hingga usianya yang menginjak 56 tahun, Darussalam sudah mengajarkan Hadrah ke banyak murid. Di pekonnya sendiri, setidaknya sudah ada 30 orang muridnya yang sudah mahir dan menguasai Hadrah. Banyak pula dari murid-muridnya itu yang sudah bisa mengajarkan Hadrah pada orang/murid lain sebagaimana Darussalam mengajarakan Hadrah. Di Sukanegara bisa dikatakan Darussalam lah orang yang dituakan yang masih mengajarkan Hadrah. Tokoh-tokoh Hadrah lainnya yang lebih senior dari Darussalam, kebanyakan sudah tidak sanggup mengajarkan Hadrah karena faktor fisik yang sudah tak menunjang. Akhirnya dalam upaya mengajarkan Hadrah, Darussalam harus berusaha sendiri juga berupaya agar murid-muridnya yang sudah pandai bisa mengajar seperti dirinya.
Darussalam saat ini tinggal di pekon Sukanegara, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat. Ia memiliki lima orang anak (Adiyanto, Desriani, Indra, Septilda, Khaidir) dari pernikahannya dengan Rosdiana pada 1980. kelima anaknya tersebut sudah diajarkan silat/tarian Hadrah oleh Darus sendiri. Hanya saja, menurut keterangan Darus, kelima anaknya tersebut kurang piawai menguasai tabuhan dalam Hadrah. Selain itu, kelima anaknya lebih dulu pergi merantau sehingga belum sepenuhnya menerima ilmu tabuhan dalam Hadrah. Meski demikian, anaknya sempat pula membantu Darus dalam melatih Hadrah, khususnya silat/tarian dalam Hadrah.

Tentang Hadrah
Hadrah terdiri dari gerakan silat (menyerupai tarian) dan tabuhan. Gerakan silat dalam Hadrah biasanya dapat dikuasai dengan latihan intensif selama satu bulan. Hal yang agak sulit dipelajari dalam Hadrah adalah belasan varian dari tabuhan (misalnya Tabuh lurus, Tabuh Jumpu, Tabuh Ciduk, Samang Duduk dll). Dalam satu penambilan biasanya Hadrah di iringi oleh 10 rebana; 5 pemain rebana di kanan dan 5 pemain rebana di kiri. Bisa pula menggunakan 8 rebana (4 di kanan dan 4 di kiri) atau 6 rebana (3 di kanan dan 3 di kiri). Secara garis besar, Hadrah terdiri dari tiga komponen; nyanyian, tari/silat, dan tabuhan. Ketiga komponen dalam Hadrah tersebut baru bisa Darussalam pelajari secara sempurna setelah belajar selama satu tahun. Dari tiga komponen Hadrah tersebut, mempelajari tahuban merupakan tahap tersulit karena memiliki puluhan komposisi. Kesenian Hadrah merupakan kesenian yang diwariskan secara turun-temurun. Menurut Darussalam, dalam Hadrah terdapat silat, yang di dalamnya punya pepatah dan petuah-petuah dari orang tua terdahulu.

Darussalam bersama anak didiknya

Kesenian Hadrah pada dasarnya merupakan kesenian yang mengadopsi unsur-unsur Islam. Misalnya para penari wanita biasanya menggunakan atribut cadar dan pakaiannya serba tertutup. Demikian pun dengan penari pria, mengenakan pakaian yang sopan dan menggunakan kain yang diikat di pinggang. Dalam tariannya pun, perempuan harus berpasangan dengan perempuan lagi dan pria dengan pria lagi, tidak boleh berpasangan dengan yang bukan muhrimnya. Di sisi lain, lagu-lagu pengiring dalam Hadrah atau syair (dikenal sebagai berzanji) diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Kesenian ini biasanya ditampilkan dalam waktu yang cukup lama, bisa sampai 20 menit sesuai dengan nyanyian yang dimainkan (biasanya dalam bahasa Arab). Urutan penampilan Hadrah biasanya dimulai dengan nyanyian semacam pembuka, kemudian dilanjutkan dengan iringan rebana, dan gerakan silat/tarian. Hadrah ini biasa ditampilkan saat pesta pernikahan, saat perayaan lebaran, dan ketika penyambutan tamu agung. Pada saat lebaran, Hadarah biasanya dimainkan dari kampung ke kampung pada hari pertama dan hari kedua lebaran.
Hadrah dari tiap pekon/desa biasanya punya ciri khas tersendiri. Antara pekon satu dengan lainnya ada sedikit pembeda. Ada yang temponya agak lambat, ada pula yang tabuhannya berbeda. Contohnya ada yang hanya terdiri dari 3 macam tabuhan, yaitu tabuh naik, tabuh turun, dan tabuh habis. Ada pula yang terdiri dari 2 macam tabuhan; tabuh turun dan tabuh naik. Perbedaan juga terjadi karena pengaruh guru yang mengajarkan. Sangat mungkin guru di pekon A misalnya, akan berbeda dengan pekon B.
Kesenian Hadrah ini dikenal pula di daerah-daerah lain, misalnya Hadrah Bengkulu,Hadrah Ogan, dan Hadrah Lampung. Hadrah di tiap-tiap daerah bisa dibedakan dari cara menabuh rebana dan gerakan tarinya. Hadrah ini ditampilkan secara berkelompok, Darussalam sendiri tergabung bersama 29 orang lainnya dalam kelompok kesenian Hadrah di Pesisir Barat. Saat ini hampir di tiap desa/pekon ada kelompok kesenian Hadrah.

Pandangan Darussalam terhadap Perkembangan Hadrah
Perkembangan kesenian Hadrah di Pesisir Barat cukup menjanjikan. Justru yang muncul adalah Hadrah kreasi. Hadrah kreasi tersebut sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Sayangnya, Hadrah yang diajarkan di sekolah cenderung mengadopsi Hadrah kreasi, sementara Hadrah dengan pakem tradisi agak terlupakan. Darusalam sendiri saat ini mulai aktif mengajarkan Hadrah dengan pakem tradisi di sekolah-sekolah. Masalah yang mulai ia rasakan saat mengajarkan Hadrah pada anak-anak masa kini adalah persoalan fokus anak-anak yang sering kali terpecah dengan gadget. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi saat ia dulu pertama kali belajar hadrah, di mana pemuda atau anak-anak pada masa itu belum banyak terganggu dengan hal-hal lain di luar pembelajaran Hadrah.
Sejauh pengalamannya, Darussalam tidak berani membuat Hadrah kreasi karena masih banyak orang-orang tua yang menilai dan mengetahui patokan-patokan Hadrah Tradisi. Patokan dalam Hadrah tidak bisa diubah-ubah karena tiap gerakan ada maknanya. Hadrah Tradisi tersebut masih dinilai penting dan justru lebih patut diprioritaskan untuk dilestarikan. Menurutnya, ia hanya fokus mengajar pada Hadrah Tradisi. Menurut keterangan Darussalam, Bupati Pesisir Barat saat ini sedang gencar-gencarnya menggali kembali kesenian tradisi, sehingga hal tersebut bisa jadi momentum dalam membangkitkan kembali kesenian Hadrah. Empat tahun belakangan ini, kesenian tradisi, termasuk Hadrah mulai dimunculkan kembali.

Suka-Duka dan Harapan
Suka-duka sebagai pelatih Hadrah dirasakan oleh Darussalam. Dalam mengajar Hadrah kepada anak-anak, sering kali ia dituntut untuk lebih sabar karena tidak semua anak bisa mengikuti pelatihannya; ada yang kurang disiplin, ada yang jarang latihan, ada pula muridnya yang dating untuk latihan tapi akhirnya malah main-main belaka.
Harapan Darussalam sebagai seniman Hadrah adalah supaya orang-orang bisa lebih mengenal dan kesenian Hadrah lebih sering ditampilkan. Hal tersebut agaknya perlu disinergikan dengan program pemerintah daerah di Pesisir Barat. Darussalam juga mempunyai harapan pada murid-muridnya agar mereka tidak melupakan kesenian Hadrah. Meskipun murid-muridnya sudah hafal betul dengan Hadrah, tetapi ia menginginkan mereka tetap mempraktikkan kesenian Hadrah dan tetap berlatih. Darussalam juga berharap murid-muridnya bisa menampilkan Hadrah setidaknya sebulan sekali walaupun dalam bentuk spontan, bukan dalam konteks pertunjukkan. Untuk memudahkan pelestarian Hadrah, Darussalam juga menyarankan agar anak usia dini di sekolah-sekolah mulai diajarkan Hadrah. Tentu saja Hadrah yang itu harus dimulai dari gerakan-gerakan yang ringan terlebih dulu. (Hary GB).