Ahmad Mursyidi, lahir di Klender Jakarta Timur pada 15 November 1915. Ia lahir dari pasangan H. Maisin dan Hj. Fatimah. Pada 1926, ia masuk ke Sekolah Rakyat di daerah Pulo Gadung Jakarta Timur. Pada sore harinya, ia menempuh pendidikan agama kepada ustadz Abdul Qodir di Pondok Bambu. di bilangan Jakarta Timur. Pada 1930, ia berkesempatan untuk mengikuti tes masuk Noormal School, namun ia tidak mendapat izin dari H. Maisin yang menginginkan Ahmad Mursyidi menjadi seorang ulama. Atas keinginan orang tuanya, Ahmad Mursyidi belajar agama dan bermukim di pesantren guru Marzuki, di Kampung Muara Cipinang Lontar Jakarta Timur. Di situ ia menetap selama 4 tahun. Ketika Guru Marzuki meninggal dunia, ia pindah ke pesantren Ajengan Toha di Plered Purwakarta. Di pesantren tersebut ia memperdalam ilmu tauhid, fiqih, hadist, tafsir, nahwu syaraf, nalaghah, dan ilmu logika. Ia kemudian melanjutkan belajarnya kepada KH Ahmad Thahir Jam’an di Cipinang Muara dan Muallim H. Gayar Klender yang kemudian menjadi mertuanya.
Aktivitas bidang Sosial, Politik, dan Pejuang Kemerdekaan
Pada 1934, Ahmad Mursyidi mendirikan Madrasah Raudlatul Athfal di Kampung Bulak Klender yang terletak di depan rumah ayahnya. Pada 1936, Ahmad Mursyidi menikah dengan Hj. Siti Asiah putera H. Gayar. Dari pernikahannya dikaruniai 10 putera. Pada 27 Desember 1949, Ahmad Mursyidi membangun Madrasah Al-Falaq yang selanjutnya Ahmad Mursyidi tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa pesantren. Ketika terjadi revolusi fisik, Ahmad Mursyidi terlibat langsung dalam pertempuran melawan agresi Belanda. ia mengerahkan santrinya untuk menjadi laskar. Selain itu Ahmad Mursyidi, H. Hasbullah, dan Darip bersepakat membentuk BARA. Ahmad Mursyidi sebagai pembaca strategi, dan kepala staf/kepala markas. H. Hasbullah sebagai panglima pertahanan, dan H. Darif menjabat sebagai pemimpin umum. Hingga tahun 1947, Ahmad Mursyidi ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Nama Ahmad Mursyidi kemudian masuk daftar orang yang dicari Belanda. Ia dianggap pemberontak dan orang berbahaya.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, Ahmad Mursyidi menduduki beberapa jabatan, di antaranya menjabat ketua Partai NU cabang Matraman 1953. Memimpin Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (PERTANU) wilayah DKI Jakarta pada 1956. Komandan Ikatan Bekas Pejuang Islam (IKBPI) DKI Jakarta. 1958, Anggota Badan Kerjasama Ulama Militer (BKSUM) pusat. Anggota Dewan Partai Nahdlatul Ulama (1968). Anggota DPR-MPR RI dari Partai Nahdatul Ulama (1960) (Rasyid, 2003: 85) Ahmad Mursyidi juga rajin menulis. Hasil tulisannya adalah “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul” (peringatan bagi para pemuja akal, tentang sifat kejujuran Rasul).
Akhir Hayat
H. Ahmad Mursyidi berpulang ke Rahmatullah pada 8 April 2003 di kediamannya, dan dimakamkan di samping masjid Nurul Islam, Jalan KH Maisin kampung Bulak Klender Jakarta Timur atau depan rumah KH. Mundzir Tamam MA.
Sumber: Lasmiyati, dkk, “Tokoh Sejarah dan Budaya di Jakarta Timur”, Laporan Inventarisasi, Bandung: BPNB Jawa Barat,2013