Kesenian tradisional sebagai bagian dari sebuah kebudayaan tidak akan lepas dari sifat kebudayaan itu sendiri yang dinamis. Kedinamisannya ditandai dengan perubahan, baik bentuk maupun isi kesenian, yang disesuaikan dengan kemajuan atau perkembangan zaman. Dalam kalimat lain kebudayaan akan terus berkembang dan berubah sesuai “selera” pendukungnya. Apakah perkembangan atau perubahan sebuah kesenian tradisional itu mengarah pada kemajuan atau bahkan kepunahan sangatlah ditentukan oleh manusianya. Kesenian –apa pun bentuknya – adalah hasil kreativitas manusia pada zamannya. Perubahan masyarakat, baik tatanan sosial, cara pandang, maupun kemajuan teknologi, akan sangat berpengaruh pada eksistensi (keberadaan) sebuah kesenian tradisional. Kalaulah kesenian tradisional tidak lagi memenuhi selera atau tidak memadai sebagai media berekspresi masyarakat pendukungnya, maka kesenian tersebut akan ditinggalkan.
Masyarakat Jawa Barat memiliki beragam jenis kesenian tradisional. Data lama, 20 tahun yang lalu, menginformasikan kuantitas kesenian tradisional Jawa Barat sebanyak 243 jenis / ragam yang terbagi dalam 18 rumpun (Atmadibrata, 1989 : 74). Saat ini kita tidak tahu secara tepat apakah jumlah tersebut berkurang atau bertambah. Lepas dari masalah itu, jumlah kesenian tradisional yang demikian banyak menunjukkan kekayaan rohani masyarakat Sunda. Sebuah pertunjukan atau pintonan kesenian tradisional tidaklah berangkat dari kekosongan makna, selalu ada makna yang ingin disampaikan oleh pelaku seni. Intinya, di dalam kesenian tradisional terkandung nilai-nilai filosofis yang menggambarkan karakter dan jiwa masyarakatnya. Karakter dan jiwa masyarakat inilah yang sebetulnya tertanam secara tetap dalam diri setiap individu sehingga laku hidup individu tersebut dapat digunakan sebagai cerminan karakter sebuah bangsa.
Kesenian tradisional sebagai produk budaya sangat bergantung keberadaannya pada tatanan kehidupan manusia. Ketika tatanan kehidupannya berubah karena berbagai sebab akan berdampak pada keberadaan kesenian tradisional. Era abad 18-an, misalnya, akan sangat berbeda dengan era abad 20. Artinya kesenian tradisional abad 18 akan sangat berbeda dengan era abad 20. Akankah kesenian tradisional itu tetap seperti apa adanya atau mengembangkan diri atau mungkin di ambang kepunahan adalah kondisi riil yang harus dihadapi setiap kesenian tradisional.
Tahun 2004 situs www.mspi.org menginformasikan kepunahan seni tradisi Jawa Barat sebanyak 55 jenis. Sementara 77 jenis kesenian lainnya dalam kondisi tidak dapat berkembang. Seni tradisi itu sudah masuk daftar museum karena sudah sulit diidentifikasi dan dideskripsikan serta pelakunya sudah tidak ada. Contoh konkret adalah masyarakat Bandung telah kehilangan 13 jenis kesenian yang dianggap punah, yaitu : Angklung Salentrong, Ketuk Tilu Dugel, Ronggeng Abrag, Kacapi Tarompet, Macakal Empet, Gambangan, Ngotrek Ngaleungeuh, Sandiwara Lontang, Sekar Tembang Buhun, Wayang Orang Ibuk, Wayang Orang Mojang, Wayang Golek Bendo, dan Wayang Golek Boneka.
Salah satu gejala kepunahan kesenian tradisional adalah berkurangnya pergelaran-pergelaran yang mampu memberikan apresiasi terhadap penontonnya, terutama generasi muda. Dalam kerangka inilah kegiatan Festival Kesenian Tradisional menjadi ajang menemukenali sekaligus menumbuhkembangkan kesenian tradisional. Sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh BPNB Jabar pada tanggal 29 – 30 September 2017 di Tasikmalaya.
Adapun kesenian tradisional yang ditampilkan / digelar adalah :