Cece Sang Maestro Tarawangsa
Oleh
Risa Nopianti
(BPNB Jabar)
Namanya hanya “Cece”, tanpa ada penambahan lainnya. Beliau adalah seorang yang memiliki kemampuan mempuni di bidang seni Tarawangsa. Keahliannya sebagai seniman diperolehnya dari sang kakek, sejak beliau berusia empat tahun. Sejak tahun 1957, Cece mulai menekuni kesenian Tarawangsa atas bimbingan dan pengajaran secara tidak langsung oleh mendiang kakeknya. Dengan kata lain keahliannya bermain Tarawangsa diperolehnya secara otodidak, yaitu dengan melihat secara langsung sang kakek bermain musik. Darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, membuat Cece kecil dapat dengan cepat mempelajari dan menguasai Tarawangsa.
Keahlian bermain musik Tarawangsa dari generasi keluarga Cece, diturunkan secara turun-temurun, mulai kakek buyutnya, kakeknya, hingga terakhir ke Bapak Cece. Sekalipun ayah kandung Cece tidak menurunkan bakat berkesenian kepada Cece, namun pengaruh dari sang kakek cukup kuat sehingga menjadikan Cece seorang seniman yang cukup disegani Hal yang sama juga terjadi pada anak-anaknya, karena tidak ada satu orang pun dari anak-anaknya yang berniat untuk mengikuti jejak Cece menjadi seorang seniman musik tradisional. Hal tersebut menjadi keprihatinan tesendiri bagi Cece, karena beliau berkomitmen untuk tetap melestarikan Tarawangsa. Akhirnya Cece meneruskan ilmunya kepada para muridnya yaitu Abud, Pupung, dan Ata. Mereka inilah murid-murid senior Cece yang saat ini melanjutkan jejak Cece mengembangkan Tarawangsa di daerah Rancakalong. Nama harumnya di bidang seni Tarawangsa telah membawa Cece didapuk menjadi dosen tamu di STSI (ISBI) Bandung, di sana beliau sudah memiliki murid sebanyak 15 angkatan.
Kata Tarawangsa, sebagaimana yang dituturkan Cece, berasal dari tarari (padamelan/pekerjaan) wali salapan (sembilan); atau diartikan secara adalah kebiasaan bermusik yang selalu dilakukan oleh para wali songo. Tarawangsa berbeda dengan Jentreng (ngjengjen bari ngajentreng), sekalipun sekilas alat musik yang digunakannya sama. Terdapat perbedaan antara Tarawangsa dan Jentereng. Pada seni Tarawangsa terdapat ritual mistis yang ditujukan untuk para karuhun atau leluhur, dengan iringan tarian dari penonton yang manari, sedangkan pada seni Jentreng tidak ada ritual.
Tarawangsa yang pada prakteknya lebih mengedepankan unsur mistis dalam keseniannya, sempat mengalami pelarangan untuk ditampilkan. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, sebelum tahun 1985. Pelarangan dan intimidasi yang ditujukan kepada seni Tarawangsa, karena kesenian tersebut dianggap meresahkan masyarakat dengan ritual-ritual mistis yang dilakukannya. Oleh karena itu, para seniman Tarawangsa tidak bisa bebas memainkan kesenian tersebut di sembarang waktu dan tempat.
Akhirnya pada 1990-an, kebijakan pemerintah terhadap kesenian tradisional mulai berpihak kepada para pelaku seni tradisional. Larangan-larangan seperti itu dicabut, dan seni Tarawangsa dapat kembali dipentaskan. Pementasan perdana setelah hiatus, dilakukan Cece di Radio Situ Rada, sebuah radio lokal di daerah sumedang. Acara tersebut dipentaskan atas permintaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumedang. Sejak saat itu, Cece bersama grupnya Pusaka Jaya, sering melakukan pementasan di sana, hingga akhirnya dikanal luas oleh masyarakat. Efeknya, beberapa kali Cece sempat diminta untuk tampil di beberapa daerah, seperti Cianjur, Subang, dan Jakarta. Khusus di Jakarta, seni Tarawangsa Pusaka Jaya pernah melakukan pementasam di TMII, Ancol, dan Sarinah.
Kacapi dan rebab yang merupakan alat utama Kesenian Tarawangsa. Kecapi dan rebab yang dimiliki Cece, umurnya sudah mencapai lebih dari 100 tahun. Alat musik yang diperolehnya dari kakek buyutnya itu sudah sekitar 85 tahun berada di kediaman Cece. Alat musik Tarawangsa yang dimiliki oleh Cece terbuat dari kayu suren asli, yang tergolong jenis langka dengan kualitas yang sangat baik. Saat ini hanya ada dua buah kecapi berbahan kayu suren yang masih tersisa. Satu buah lagi berada di tangan rekan seangkatannya yaitu Yaya, namun sayangnya sudah berpindah tangan kepada orang lain. Kecapi yang saat ini dimiliki Cece pun sudah banyak yang berminat membeli, seperti oleh mantan Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan yang sempat menawar kecapi seharga Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah). Hanya saja, Cece tetap ingin mempertahankannya sebagai bukti pengabdiannya kepada Tarawangsa yang telah membesarkan namanya.
Dalam rangka menjaga tradisi, Tarawangsa seringkali dipentaskan pada ritual ngalaksa yang diselenggarakan oleh komunitas adat Rancakalong. Pada momen tersebut ritual mistis Tarawangsa dilakukan. Adapun pada pementasan acara untuk kepentingan hiburan, seperti pernikahan, khitanan, atau undangan yang bersifat formal kenegaraan, ritual mistis yang menjadi ciri khas Tarawangsa ditiadakan, demi menjaga kepentingan semua pihak..
Ada perbedaaan yang cukup signifikan dari seni Tarawangsa saat ini. Apabila dahulu seni Tarawangsa hanya dimainkan oleh dua orang yang memegang kecapi dan rebab, saat ini Tarawangsa dapat dipentaskan dalam bentuk kolaborasi dengan jenis alat musik atau genre musik lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan variasi dan warna lain pada kesenian Tarawangsa, sehingga penampilannya dapat lebih menarik minat orang banyak untuk menonton. Dengan demikian, tidak ada hal tabu dalam pengembangan seni tradisional, apabila mereka ingin tetap bertahan.