Bangunan ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 133/M/1998 dan diperbaharui dengan SK Nomor 210/M/2015.
Gedung Perundingan Linggajati merupakan saksi sejarah tempat dilaksanakannya Perundingan Linggajati pada bulan November 1946. Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibu kota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggajati, Kuningan. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggajati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.
Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggajati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan. Kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, penengah berkebangsaan Inggris.
Nilai penting sejarah Gedung Naskah Linggarjati, khususnya terletak pada tahapan perundingan antara Republik Indonesia dengan Belanda. Hal ini memberi satu ruang yang positif bagi Republik Indonesia. Di setiap perundingan diplomatik yang dimulai sejak tahun 1946, dengan perantara Inggris dan Amerika Serikat (Perjanjian Hoge Veluwe, Linggarjati, Renville, dan Kaliurang), sesungguhnya Belanda telah mengakui Republik Indonesia secara de facto. Isi pokok perundingan Linggarjati terdiri dari 17 pasal, yang sangat strategis bagi Republik Indonesia. Pasal-pasal tersebut antara lain adalah adanya pengakuan Belanda secara de facto tentang wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa, Madura; Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia; Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda.
Pokok-pokok isi perjanjian Linggarjati tersebut kemudian dilanjutkan pada perundingan-perundingan berikutnya, untuk mencapai kesepakatan “permanen” yang diterima oleh kedua belah pihak. Terkait dengan itu, perundingan Renville yang dilaksanakan pada bulan Desember 1947 – Januari 1948, berisi tentang penegasan kembali prinsip-prinsip persetujuan Linggarjati, yakni pengakuan de facto atas Republik Indonesia, serta masa peralihan dan pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Setelah itu, perjanjian penting berikutnya adalah Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada bulan Agustus – November 1949, yang intinya menegaskan bahwa Belanda menandatangani kesepakatan pengalihan kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Baca Artikel Cagar Budaya Lainnya : Cagar Budaya Prasasti Kebon Kopi I