“Hidup berjalan ke depan,
tetapi dipahami ke belakang”
(S. Kierkegaard)
Persoalan disintegrasi agaknya menjadi isu yang selalu menyertai perjalanan sejarah bangsa sejak kelahirannya. Berkah kemajemukan dalam berbagai aspeknya sebagai tipikal khas masyarakat Indonesia tidak jarang berpotensi menimbulkan perpecahan. Solidaritas nasional yang belum mantap banyak dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan dan penghayatan terhadap identitas bangsa atau kepribadian nasional. Identitas bangsa seperti halnya identitas individual hanya dapat dipahami dengan menelusuri perjalanan sejarah diri dan keluarganya. Dengan kata lain, Identitas bangsa hanya dapat dilacak dari sejarah bangsa. Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan memorinya.
Dengan kesadaran sejarah, bangsa Indonesia akan memiliki pondasi yang kuat sebagai landasan bagi eksistensinya. Kesadaran sejarah memberikan ikatan yang kokoh bagi semua komponen bangsa karena tiga alasan utama. Pertama, kesadaran sejarah menyadarkan bahwa sebagai bangsa Indonesia memiliki masa lalu yang sama. Kepahitan hidup akibat tekanan kolonialisme bangsa asing mendorong munculnya semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan dan membentuk negara yang merdeka. Kedua, dengan kesadaran sejarah, kita memiliki masa kini yang sama. Dengan kesadaran sejarah, sebagai bangsa kita merasa seia sekata dalam menghadapi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi. Ketiga, dengan kesadaran sejarah kita juga memiliki masa depan yang sama. Kondisi masa kini yang masih jauh dari harapan dan cita-cita kemerdekaan tidak menimbulkan keraguan tentang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan rasa hayat histories, kita yakin bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur akan menggelora.
Sama halnya kendaraan yang meninggalkan jejak di jalanan yang berdebu, sejarah juga meninggalkan jejak-jejaknya. Manusia mencipta tonggak-tonggak sejarah sebagai monumen ingatan. Adagium sejarawan menyebut, “Suatu peristiwa akan menjadi sejarah apabila bermakna sosial”. Tidak jarang penemuan sumber sejarah yang baru mengubah secara drastis gambaran kita tentang sesuatu. Ada sejarah yang diingat dan dilupakan.
Manusia bukan saja agen penggerak sejarah, tetapi juga mencoba memberi makna terhadap peristiwa lampau. Dalam proses itu timbullah kesadaran akan waktu (thinking in time). Tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Semuanya berproses menurut alur waktu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Dalam proses diperlukan juga kreativitas, kesabaran, dan pengorbanan. Dengan kata lain, kesadaran sejarah harus juga memiliki makna kontemplatif dan inspiratif.
Salah satu kegiatan yang mencoba menanamkan kesadaran historis adalah Lawatan Sejarah. Kegiatan yang bersifat edutainment ini mengajak peserta untuk menjelajahi jejak peradaban masa lampau. Menurut penggagasnya, Susanto Zuhdi (2003), Lawatan Sejarah membantu kita memahami sebuah perjalanan keindonesiaan melalui rajutan simpul-simpul perjuangan bangsa.
Selama ini pembelajaran sejarah di sekolah cenderung mengutamakan sisi kognitif saja. Siswa diajarkan untuk memperkuat ingatan tentang angka-angka tahun dari suatu peristiwa. Mereka juga dibebani dengan keharusan menghapal nama-nama dan tempat-tempat yang cukup merumitkan. Akibatnya, pembelajaran sejarah menjadi “kering” dan minim daya kritis. Pelajaran sejarah yang bersifat textbook pada akhirnya membuat sejarah sebagai bidang studi yang kurang memiliki daya tarik. Mengajar sejarah seharusnya sejalan dengan guna ilmu sejarah yang meliputi kegunaan edukasi, rekreasi, dan inspirasi. Janganlah karena ketidaklengkapan metode dalam proses mengajar sejarah, lantas mata pelajaran sejarah dianggap tidak penting dan dikurangi jam belajarnya, bahkan untuk jurusan tertentu malah tidak diajarkan.
Akan tetapi, untunglah bahwa akhir-akhir ini, pemahaman sejarah yang bersifat afektif agaknya lebih diutamakan. Pelbagai model pembelajaran diberikan kepada siswa. Pelajaran sejarah digairahkan kembali sebagai ilmu tentang masa lampau yang menarik. Siswa diperkenalkan dengan tempat-tempat bersejarah yang selama ini hanya diketahui melalui buku. Sejarah menjadi ilmu yang tidak hanya berurusan dengan masa lalu, tetapi juga ilmu tentang keberlanjutan dan perubahan.
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan Lawatan Sejarah. Kegiatan Lawatan Sejarah Daerah telah beberapa kali diselenggarakan. Siswa, guru, dan pihak terkait yang pernah mengikuti Lawatan Sejarah memberikan apresiasi yang baik. Pada tahun 2017 Lawatan Sejarah dilaksanakan pada tanggal 21-23 Maret 2017 dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota dan Kabupaten Bogor, yaitu:
- Kebun Raya Bogor Jl. Ir. Haji Djuanda No.13, Kota Bogor
- Balai KIRTI (Museum Kepresidenan Republik Indonesia) Jl. Ir H Juanda No. 3, Kota Bogor
- Monumen dan Museum PETA Jl. Jenderal Sudirman No. 35 Kota Bogor
- Perkebunan Gunung Mas Jl. Raya Puncak, KM. 87, Cisarua, Kabupaten Bogor
Peserta terbagi dalam 6 kelompok dengan masing-masing pembimbing, yaitu:
Kelompok 1 : Drs. Aam Masduki
Kelompok 2 : Drs. Herry Wiryono
Kelompok 3 : Dra. Lasmiyati
Kelompok 4 : Dra. Ria Andayani S.
Kelompok 5 : G. Andika Ariwibowo, M.A.
Kelompok 6 : Drs. Adeng
Hari pertama, setelah persiapan administrasi dan penyerahan ATK selesai, acara sebelum keberangkatan adalah pelepasan peserta dilakukan oleh Kepala BPNB Jabar.
Setibanya tiba di Kota Bogor, rombongan peserta Lawatan Sejarah langsung diarahkan menuju Kebun Raya Bogor. Mengetahui seluk beluk situs sejarah tersebut, rombongan terbagi menjadi dua kelompok dan dipandu oleh tim yang telah dipersiapkan oleh pihak kebun raya. Terlihat banyak situs-situs sejarah yang berada dalam lingkup Kebun Raya Bogor. Selain koleksi tanaman, terdapat tiga situs fenomenal yang ada di Kebun Raya Bogor adalah Istana Bogor, dan pemakaman Belanda.
Setelah kunjungan pertama berakhir, rombongan peserta Lawatan Sejarah bergerak menuju penginapan di PPPPTK Penjas dan BK yang berlokasi di Jalan Raya Parung No.420, Pemagarsari, Parung, Bogor. Selepas beritirahat, peserta mengikuti paparan dari empat narasumber, yaitu Sahlan Rasjidi, S.E., M.M. selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Bogor, Jumhari S.S. selaku Kepala BPNB Jabar, dan Dra. Triana Wulandari, M.Si., selaku Direktur Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Keesokan harinya, rombongan lawatan sejarah kemudian bergerak menuju Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai KIRTI. Selesai acara pembukaan singkat dan penyerahan cinderamata, peserta bergegas memasuki museum. Sebelum memasuki ruangan museum, sesuai dengan peraturan, peserta diharuskan untuk menyimpan tasnya di tempat yang ditentukan. Dipandu oleh salah seorang staf, peserta mengikuti dan menyimak apa yang dipaparkan pemandu mulai dari lantai pertama hingga kedua Museum. Di lantai kedua, peserta dapat menikmati koleksi dan dokumentasi para presiden, mulai dari Presiden pertama hingga keenam Republik Indonesia. Di lantai dua, hanya melihat dan menyimak serta mencatat saja yang dapat dilakukan peserta lawatan sejarah karena untuk dokumentasi berbentuk rekaman audio visual tidak diperbolehkan. Waktu yang mendesak serta adanya rombongan lain yang bersamaan dengan kunjungan dari peserta lawatan sejarah membuat peserta tidak dapat berlama-lama di Balai KIRTI.
Mereka pun kemudian bergegas untuk melanjutkan kunjungan berikutnya yaitu ke Monumen dan Museum PETA. Jarak antara Balai KIRTI dengan Monumen dan Museum PETA cukup dekat. Sekitar 15 menit, rombongan telah sampai dan segera membuat barisan berdasarkan kelompok. Pengarahan singkat dilakukan oleh perwakilan dari museum PETA disertai dengan penyerahan cinderamata oleh kedua belah pihak. Peserta lawatan sejarah kemudian bergerak membentuk dua kelompok. Dengan dipandu oleh dua orang staf dari museum. Peserta menikmati dan menyimak apa yang diaparkan oleh pemandu tentang berbagai koleksi yang ada di Monumen dan Museum PETA. Suasana di lokasi kunjungan ini terlihat lebih santai karena waktu yang dijadwalkan lebih lama. Hal ini disebabkan satu sesi kunjungan yang rencananya telah terjadwal, yaitu kunjungan situs sejarah di sepanjang pedestrian kebun raya terpaksa dibatalkan karena ada situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Selesai kunjungan ke Monumen dan Museum PETA, peserta lawatan sejarah bergegas kembali ke penginapan untuk beristirahat dan mengikuti rangkaian acara selanjutnya.
Malam harinya, setelah beristirahat, enam kelompok peserta siswa menunjukkan kebolehannya dalam melakukan kreativitas seni. Tidak ada latihan yang terjadwal selama pelaksanaan kegiatan lawatan sejarah ini, namun memang karena ada bakat seni yang dimiliki oleh perwakilan siswa yang ditunjuk oleh sekolah masing-masing membuat mereka cepat beradaptasi dengan ide seni dari masing-masing kelompok. Tarian, nyanyian, dan sandiwara bertemakan sejarah meramaikan acara pentas kreativitas seni.
Keesokan harinya yang merupakan hari terakhir pelaksanaan lawatan sejarah, peserta lawatan diajak berkunjung ke perkebunan gunung mas milik perhutani. Sisi sejarah yang hendak ditampilkan dalam lokasi kunjungan ini memang telah dipugar dan diperbaharui. Namun demikian, aroma sejarah salah satu perkebunan teh di Indonesia ini tetap dilestarikan dan dituangkan dalam paparan oleh pemandu. Setelah penyerahan cinderamata oleh kedua belah pihak, sambil mendengarkan paparan pemandu, peserta juga disuguhi secangkir teh yang diproduksi oleh Perkebunan Gunung Mas.
Panduan juga dilaksanakan secara outdoor. Berjalan beriringan di jalan setapak kebun teh, dua orang pemandu memaparkan sejarah dan deskripsi tentang bagaimana mengelola kebun teh, jenis pohon teh, dan tanaman pendukung di wilayah kebun teh ini. Tidak lupa juga, peserta lawatan sejarah dibekali pengetahuan tentang kriteria daun teh yang pantas untuk dipetik disertai dengan teknik cara pemetikannya. Suasana riang diiringi udara kebun teh yang sejuk membuat peserta lawatan sejarah lupa bahwa medan yang dilalui lumayan berat. Tanjakan dan jalan setapak yang terkadang licin seakan terlupakan begitu saja.
Puas dengan acara “jalan-jalan”, peserta kembali ke lokasi semula dan mulai mempersiapkan presentasi laporan per kelompok. Tiap-tiap kelompok memaparkan disertai dengan penguatan argumen mengenai laporannya. Walau demikian, mereka juga tidak menampik pendapat atau sanggahan dari penanya yang memiliki argumen dan data yang lebih kuat. Dinamika pertanyaan dan jawaban dari tiap-tiap kelompok terlihat jelas. Memang sudah diduga sebelumnya mengingat sekolah mewakilkan tiap peserta yang berprestasi baik dalam bidang keilmuan maupun kreativitas seninya.
Jadwal kepulangan yang tidak dapat diulur membuat tiap kelompok harus menyesuaikan diri dengan waktu yang diberikan oleh panitia. Alhasil, meskipun ada sedikit ketidakpuasan dari penanya, acara presentasi ini kemudian berakhir dan langsung dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu penutupan yang dilakukan oleh Kepala BPNB Jabar. Dalam paparan singkatnya, kepala BPNB Jabar tidak lupa mengingatkan peserta untuk tetap aktif dan kreatif dalam upaya melestarikan sejarah dan budaya Indonesia.