Gaung publikasi saat ini tampaknya menjadi makanan sehari-hari tidak hanya dari kalangan pekerja media – yang memang sudah menjadi kewajiban mereka, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat awam sekalipun. Betapa tidak, setelah adanya teknologi internet yang dapat diakses baik melalui PC maupun handphone, setiap orang yang memiliki niat dapat menceritakan atau membuat opini terkait dirinya ataupun orang lain. Ada dua sisi kebutuhan yang wajib mereka miliki untuk mengupload peristiwa atau opini, yaitu dokumentasi dan publikasi. Mereka harus memiliki dokumentasi terlebih dahulu sebelum mereka meramu untuk kemudian mempublikasikannya melalui berbagai perangkat media. Perangkat apa yang biasa mereka jadikan sebagai dokumentasi? Teknologi saat ini cenderung mempermudah seseorang untuk melakukan dokumentasi. Bahkan, perangkat handphone saat ini sudah memiliki berbagai perangkat rekam baik audio, foto, maupun video. Lalu, apa yang mereka dokumentasikan? Mereka dapat memperolehnya dengan cara merekam sendiri ataupun mencuplik dari karya orang lain. Dengan adanya dokumentasi tersebut, mereka kemudian dapat menarasikannya dengan gaya bahasa sesuai selera mereka. Dan, narasi tersebut mereka publish ke berbagai media baik website maupun sosial media.
Publikasi adalah langkah berikutnya setelah dokumentasi selesai dinarasikan. Kata lain dari publikasi adalah komunikasi. Publikasi yang terpublishkan adalah salah satu cara berkomunikasi melalui saluran yang ada. Apa yang mereka publikasikan? Hasil dokumentasi yang mereka peroleh dan dipublikasikan merupakan sebuah jembatan komunikasi untuk memperoleh interaksi berupa tanggapan dari pembacanya. Dan, tanggapan tersebut dapat berupa tanggapan positif ataupun negatif. Terkait dengan hal tersebut, prinsip utama dalam proses berinteraksi menurut Herbert Blumer memerlukan diperlukan tiga unsur, yaitu meaning (makna), language (bahasa), dan thought (interpretasi). Dalam prosesnya, ketiga-tiganya harus dimaknai dalam konteks etika sosial dan budaya sehingga tidak mengandung unsur-unsur negatif yang dapat memicu keresahan individu atau kelompok yang membacanya. Banyak contoh kasus ujaran kebencian sosial di sosial media saat ini merupakan contoh dari tidak dipergunakannya sisi etika sebelum terpublikasi.
Pemerintah RI yang saat ini sibuk dengan banyaknya hoax tentang kerja dan kinerja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan, memerlukan banyak perangkat dokumentasi dan publikasi untuk mengantisipasi semakin maraknya berita hoax tersebut. Salah satunya adalah dengan mempublikasikan tulisan tentang berbagai karya budaya yang menanamkan dan memberikan inspirasi tentang kecintaan serta kebanggaan ber_Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan merupakan pihak yang berkepentingan dalam hal penyebarluasan informasi tentang budaya ber_Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan berbagai kearifan lokal dan karya budaya serta tradisi yang mengandung nilai luhur. Diharapkan masyarakat pembaca minimal dapat mengerti dan memahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berbudaya dan berkarakter. Pemahaman tersebut setidaknya dapat mengurangi niat masyarakat untuk mempublikasi berita-berita yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.
Menyimak dari keinginan untuk memaksimalkan berbagai potensi karya budaya Indonesia, dokumentasi yang dipublikasikan tentunya harus layak tayang karena sebuah peristiwa budaya akan sangat tidak bermakna dan memiliki gaung apabila tidak disertai dokumentasi dan publikasi yang tertata dengan baik dan sesuai dengan gaya bahasa yang diinginkan pembaca. Beberapa kelemahan yang kerap ada di antaranya pada hasil karya foto, video, dan tulisan yang belum sesuai standar serta Konten publikasi yang masih kurang informatif.
Dalam kesempatan penyampaian paparan pada kegiatan Lokakarya Pengelolaan Publikasi dan Kehumasan pada tanggal 2 – 5 September 2018 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Direktur Jenderal Kebudayaan – Hilmar Farid, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan kualitas penulisan dan dokumentasi kepada publik. Kualitas penulisan tentang kebudayaan merupakan hal penting untuk pemahaman masyarakat terhadap pelestarian nilai budaya yang selama ini menjadi tugas pokok Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hilmar juga menambahkan bahwa jenis publikasi untuk sosial media tentunya berbeda karakter tulisannya dengan publikasi yang ada pada website atau mass media maupun televisi.
Kegiatan instansi pemerintah kebanyakan bersifat resmi dan terkesan membosankan. Tips dari Hilmar, Publikasi kegiatan diusahakan jangan berbentuk laporan. Ambil angle-angle menarik dari kegiatan tersebut. Kegiatan saka widya budaya bakti misalnya. Untuk menjadi sebuah berita yang menarik, penulis dapat mengambil topik tentang sisi menarik misalnya tentang lokasi kegiatan, kebersamaan dalam pelaksanaan kegiatan, dan sebagainya.
Tips lainnya menurut Hilmar, harus ada keberanian yang menjadi modal penulis untuk menentukan menarik atau tidaknya sebuah tulisan/topik yang akan dipublikasi. Ketiadaan keberanian akan membuat penulis merasa ragu untuk mempublikasikan tulisannya.
Di akhir paparan, Hilmar menginginkan publikasi dari UPT tidak hanya dilakukan oleh saluran resmi dari UPT itu sendiri,melainkan juga dapat dipublikasikan oleh lembaga penyiaran atau mass media di luar UPT. Oleh karena itu, Hilmar menyarankan adanya kerjasama antara UPT dengan saluran media yang sudah mapan, seperti televisi, radio, majalah, koran baik lokal ataupun nasional.