Adat Bergotong Royong (Sakai Sambaian) dalam Upacara Perkawinan di Desa Negara Nabung, Lampung Timur

You are currently viewing Adat Bergotong Royong (Sakai Sambaian) dalam Upacara Perkawinan di Desa Negara Nabung, Lampung Timur

Adat Bergotong Royong (Sakai Sambaian) dalam Upacara Perkawinan di Desa Negara Nabung, Lampung Timur

Adat Bergotong Royong (Sakai Sambaian) dalam Upacara Perkawinan
di Desa Negara Nabung, Lampung Timur

oleh:
Ani Rostiyati
(BPNB Jabar)

Sakai Sambaian adalah salah satu unsur dari prinsip hidup masyarakat Lampung, yang berarti gotong- royong melakukan kerja sama tolong-menolong. Ada dua pengertian dalam Sakai Sambaian yakni Sakai dan abir. Sakai adalah kerjasama tolong-menolong secara bergantian meskipun tanpa ada perjanjian atau ikatan untuk saling bantu. Sedangkan yang dimaksud dengan abir adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anggota yang lebih banyak dan tidak ada pamrihnya serta tidak ada kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Abir dilakukan karena mereka yang mengerjakan (menolong) merupakan sebuah kesadaran komunal. Bentuk dari Abir misalnya kerja bakti membuat jalan atau masjid. Sakai dan Abir terdapat dalam berbagai kegiatan yakni pertanian, pembuatan rumah, kerja bakti membuat jalan, mesjid, balai adat (sesat), perkawinan, kematian, dan kegiatan lain.

Kerjasama tolong-menolong dalam sakai sambaian kerap dilakukan dalam upacara perkawinan. Hal ini terlihat dalam beberapa kegiatan yakni nyani kubu, yaitu kegiatan kerjasama tolong-menolong dalam membuat tarup yang dilakukan laki-laki dewasa atau bujang. Ngakuk hibas, yaitu kegiatan kerjasama dalam mencari daun enau muda yang akan digunakan untuk membuat lepet. Ngerang, yaitu kegiatan kerja sama menumbuk padi. Tandang, yaitu mencari kayu bakar di hutan. Melawai, yaitu kegiatan kerjasama mencari ikan di sungai. Ngebebak kubu, atau ngabungkar kubu, yaitu kegiatan membongkar tarup. Terakhir, pekerjaan memasak yang dilakukan oleh ibu-ibu untuk keperluan pesta perkawinan.

Ibu-ibu yang membantu mempersiapkan upacara perkawinan
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Perkawinan bukan saja menjadi urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan para kerabat bahkan dirasakan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dari anggota atau masyarakat dari kampung yang bersangkutan. Oleh sebab itu semua dikerjakan secara bersama-sama mulai dari persiapan sampai pelaksanaan upacara adat perkawinan.

Satu minggu sebelum pelaksanaan upacara, keluarga melaksanakan suatu musyawarah (perwatin) bersama dengan pemimpin adat (penyimbang). Kegiatan memasak biasanya dilakukan oleh para ibu-ibu yang dikoordinir oleh istri penyimbang. Adat Lampung mengharuskan kegiatan memasak diatur oleh bebai mirul yakni kelompok para istri penyimbang dan kaum ibu yang berhak dan berkewajiban mengatur wanita menurut jenjang kedudukan suami masing-masing.


Bergotong royong mempersiapkan bahan masakan
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Dalam upacara adat mirul, semua perempuan yang bersuami dengan perkawian pembayaran jujur, berkewajiban bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan. Sedangkan, Lakau mengiyan dilakukan ipar laki-laki yang berkewajiban mempersiapkan tempat upacara di rumah maupun di balai adat, mempersiapkan alat-alat perlengkapan adat, mengatur undangan, dan membantu pekerjaan berat di dapur, seperti menimba air, membelah kayu, memasak, dan kegiatan lainnya. Peranan kerabat cukup besar dalam hal ini. Mereka berkewajiban dan berhak membantu dan mengatur dalam pelaksaan upacara perkawinan.

Dari rangkaian upacara perkawinan, mempersiapkan makanan untuk suguhan tamu inilah pekerjaan yang paling lama dilakukan. Mereka membuat beberapa macam kue baik kering maupun basah, membuat sayur lauk pauk, dan perlengkapan sesaji. Selain kue untuk suguhan, ibu-ibu juga mempersiapkan bahan untuk sesaji dan perlengkapan untuk bawaan pengantin. Kegiatan gotong royong dalam upacara perkawinan, terlihat juga pada saat makan bersama para tamu undangan yang dilaksanakan bersama-sama dengan cara duduk di bawah dengan alas tikar.


Makan Bersama
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Malam sebelum pelaksanaan upacara perkawinan, mereka melaksanakan mengan jejama, cuwak mengan, dan awak mengani yang terdiri dari sesepuh adat dan tokoh masyarakat serta para bujang jejaka dan gadis. Mereka melaksanakan makan bersama dengan cara duduk di bawah beralaskan tikar. Di di Negara Nabung terdapat adat mulei menganai yakni bujang gadis berkumpul untuk makan dan menari bersama dengan harapan mendapatkan jodoh. Kebersamaan ini sebagai cermin kegotong royongan di bidang perkawinan pada saat menyantap hidangan makanan.

Kayu bakar untuk memasak
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Kegiatan gotong royong tolong-menolong dalam perkawinan juga terlihat pada sumbangan uang atau barang yang diberikan kepada pemilik hajat. Tetangga sekitar memberi kayu bakar yang nantinya untuk keperluan memasak, masing-masing memberi satu 1 gerobak kayu bakar yang diangkut sendiri.

Tetangga sekitar pada umumnya memberi sumbangan (ngejuk) berupa uang berkisar Rp.50.000,00, namun untuk keluarga dekat biasanya memberi uang lebih besar dan barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, mie, sayur mayur, ayam, dan kambing. Semua pemberian ini dicatat untuk kemudian dikembalikan lagi (bales) jika yang memberi sumbangan tersebut punya hajat perkawinan. Ngejuk adalah istilah masyarakat Negara Nabung berarti memberi sumbangan. Bales adalah istilah yang berarti membalas lagi. Kebimbangan adalah istilah yang berarti bergantian. Jadi gotong royong tolong-menolong di bidang perkawinan dilakukan secara kebimbangan (bergantian) atau resiprositas (timbal balik).