Candi Batujaya Sebagai Peninggalanan Kerajaan Tarumanagara – Ditemukannya sejumlah candi di daerah pantai Utara Jawa Barat yaitu Batujaya dan Cibuaya, merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Sejak pada awalnya tidak pernah ada catatan atau laporan kepurbakalaan Jawa Barat yang menyebut peninggalan candi di Batujaya.
De Haan, menyebutkan bahwa daerah Batujaya pada tahun 1684 masih berupa rawa. Dari sumber-sumber Belanda diketahui bahwa mulai tanggal 24 April 1684, tambak-tambak disekitar sungai Citarum sampai Ciparage, kecuali rawa Batujaya, disewakan oleh Tumenggung Panata Yuda kepada orang-orang Cina. Tumenggung Panata Yuda adalah orang yang memegang pemerintahan dan berkedudukan di Karawang (de Haan, 1912:462). Pada tahun 1691 daerah Karawang dan sekitarnya diperintah oleh Tumenggung Wirabaya. Rupanya pada tahun 1691 telah terjadi penggantian Tumenggung yang menguasai daerah Karawang.
Tahun 1706 komandan Belanda di Tanjung Pura (sekitar 5 km sebelah Barat Karawang) memperingatkan Wirabaya tentang janjinya untuk membersihkan rawa-rawa di sekitar Batujaya untuk dijadikan sawah dan ditanami pohon nila (de Haan, 1912:649). De Haan juga melaporkan, bahwa pada tahun 1810 daerah Bekasi, yaitu daerah Terusan sampai daerah Batujaya sepanjang sungai Citarum, tidak dapat dipetakan karena kurangnya data tentang daerah tersebut (de Haan, 1912:166). Berdasarkan keterangan tersebut tampak bahwa daerah Batujaya dan sekitarnya saat itu sangat sulit dicapai karena keadaannya alamnya masih berupa rawa dan hutan bakau, sehingga tidak ada sarjana Belanda yang meneliti daerah tersebut.
Setelah zaman kemerdekaan Dinas Purbakala juga belum pernah melakukan penelitian di daerah Batujaya. Pada tahun 1959 setelah ditemukannya arca Wisnu di Desa Cibuaya, daerah Karawang dan sekitarnya mulai diteliti oleh para sarjana. Jean Boisselier (1959), Sutjipto (1963) dan Edi Sedyawati (1963) melakukan penelitian terhadap temuan dari situs Cibuaya. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli tersebut terutama pada arca Wisnu yang ditemukan di situs Cibuaya. Perhatian terhadap daerah Batujaya mulai diperhatikan oleh Sumarah Adiyatman ketika pada tahun 1981 melakukan survei di sekitar sungai Citarum. Penelitian oleh Sumarah Adhyatman tersebut berfokus pada penelitian temuan-temuan keramik yang ditemukan dari dasar sungai Citarum oleh jongga atau pengeruk pasir (Samarah Adhyatman, 1985:1114-1135).
Menurut Ayatrohaedi, berdasarkan temuan kepurbakalaan yang dihubungkan dengan sumber-sumber tertulis yang berupa prasasti, antara lain Prasasti Ciaruteun. Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, serta Prasasti Tugu, dan juga beberapa kitab sejarah antara lain Carita Parahyangan, naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, dan Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara susunan Pangeran Wangsakerta dan kelompok yang dipimpinnya dari Cirebon yang disusun pada tahun 1678-1683, daerah Batujaya dan Cibuaya dahulu termasuk wilayah kerajaan Taruma yang berkembang antara abad IV-VII M (Jurusan Arkeologi FSUI, 1986:2).
Kerajaan Taruma pada abad VII M mulai mengalami kemunduran. Hal ini diperkuat oleh berita Cina bahwa sesudah tahun 669 M. Kerajaan To-lo-mo tidak mengirimkan utusan ke Cina lagi (Bambang Sumadio, 1984:43). Dengan mundurnya Kerajaan Taruma, muncul dua kerajaan baru yang semula merupakan kerajaan bawahan. Kerajaan tersebut adalah Kerajaaan Sunda dan Galuh, yang berkembang pada masa yang bersamaan mulai abad VII. Kerajaan Sunda daerah kekuasaannya berada di sebelah Barat sungai Citarum. Sedangkan Kerajaan Galuh menguasai wilayah sebelah Timur sungai Citarum.
Hasan Djafar (1992) semula menduga bahwa kompleks percandian yang ada di daerah pantai Utara Karawang ini paling muda berasal dari masa awal Galuh, atau paling tua berasal dari masa akhir Tarumanegara. Dugaan tersebut berkaitan dengan kedekatan hubungan antara bangunan candi di Cibuaya dan temuan arca Wisnu (I-II). Penelaahan dari sudut ikonografi menyimpulkan bahwa arca Wisnu Cibuaya I diperkirakan berasal dari akhir abad VII M atau awal abad VIII M. (Boisselier, 1959), arca Wisnu Cibuaya II dan III berasal dari abad VIII-IX M. (Wirjosuparto, 1963). Dengan demikian, percandian di daerah ini diperkirakan berasal dari abad VII-IX M. Sepanjang sumber-sumber tertulis yang ditemukan di Jawa Barat, yang berupa naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno, Galuh merupakan penerus kerajaan Tarumanegara berdasarkan keterangan dari berita Cina dari jaman dinasti Tang diperkirakan Tarumanegara runtuh setelah tahun 669 M. Ditinjau masalah keagamaannya, Hasan Djafar (1992) berpendapat bahwa kompleks percandian di daerah Batujaya cenderung memperlihatkan adanya latar keagamaan yang bercorak kebuddhaan. Sementara itu, di Cibuaya memperlihatkan latar keagamaan yang bercorak kehinduan.
Hasan Djafar (1992) juga menduga agaknya selama pergeseran politik dari lenyapnya Tarumanegara dan munculnya Galuh tidak banyak terjadi perubahan dalam kehidupan keagamaan. Hal demikian dapat kita bandingkan dengan keadaan keagamaan yang berkembang pada masa awal pertumbuhan Tarumanegara. Menurut berita Cina dari Fa Hsien, disamping agama Hindu (Waisnawa-Saura) juga berkembang agama lain, yaitu agama Budha dan agama ‘kotor’. Hasan Djafar menduga mungkin sekali agama ‘kotor’ yang disebut Fa Hsien itu haruslah ditafsirkan sebagai agama ‘asli’ yang sudah berkembang di kalangan penduduk Tarumanegara sejak sebelum pengaruh kebudayaan India masuk. Agama asli ini tak lain adalah tradisi religi yang bercorak prasejarah (megalitik). Bukti-bukti yang menunjukkan peninggalan-peninggalan agama asli ini dijumpai di Batujaya yakni berupa batu tegak (menhir) dan batu besar (dolmen) (Djafar, 1992). Tinggalan arkeologi berupa sejumlah votive tablet dari bahan tanah liat bergambar relief Budha di situs SEG V memberikan bukti yang kuat tentang kehadiran agama Budha di situ Batujaya (Ferdinandus, 1999).
SUMBER:
PENGELOLAAN OPK DIKAWASAN PERCANDIAN SITUS BATUJAYA KABUPATEN KARAWANG: LAPORAN STUDI PELESTARIAN WARISAN BUDAYA- Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Provinsi Jawa Barat.
TIM PENULIS:
Ayi Syarif Suhana, S.Sos. M.Si
Soni Prasetia Wibawa, S.S.
Risa Nopianti, S.Sos., M.Ant