Peh Cun merupakan salah satu tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Cina Benteng, Kota Tangerang. Istilah Cina Benteng yang melekat pada warga Cina di wilayah tersebut karena dahulu pernah berdiri Benteng VOC Batavia di wilayah yang saat ini bernama Cina Benteng.
Peh Cun menjadi festival penting dalam sejarah dan kebudayaan Tionghoa. Perayaan yang selalu diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan Kong Hu Cu tersebut selalu dirayakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, perayaan Peh Cun rutin dilaksanakan di berbagai daerah, seperti Semarang, Yogyakarta, hingga Tangerang.
Perayaan Peh Cun di Sungai Cisadane, Tangerang, merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Rosyadi mengungkapkan salah satu bukti mengenai keberadaan tradisi Peh Cun ini berdasarkan cerita sejarah mengenai perahu naga Empeh Pe Cun yang disumbang oleh Kapitan Oey Khe Tay kepada Kelenteng Boen Tek Bio pada abad ke-19. Tahun 1911, perahu tersebut ikut dalam lomba perahu Peh Cun namun mengalami kecelakaan sehingga patah dua namun tetap melanjutkan perlombaan dan menang. Hingga saat ini sisa-sisa perahu tersebut masih ada dan disimpan oleh keturunan pemimpin Kelenteng Boen Tek Bio (Rosyadi, 2010: 30).
Perayaan yang digelar rutin oleh perkumpulan Boen Tek Bio ini selalu diisi oleh berbagai ritual dan tradisi unik. Sebelum diadakan di Sungai Cisadane, perayaan ini diadakan di kawasan Kota, Jakarta. Tapi karena sungai di sana mengalami pendangkalan, perayaan Peh Cun dipindahkan ke Sungai Cisadane.
Perahu dan Peh Cun adalah satu kesatuan. Terbukti dengan adanya kisah sejarah di atas dan arti kata dari Peh Cun sendiri. Peh Cun terdiri dari dua kata yaitu “Peh” dan “Cun”. “Peh” artinya dayung atau mendayung. “Cun” artinya adalah perahu. Dua kata tersebut, Peh Cun, kemudian didefinisikan sebagai sebuah tradisi lomba perahu.
Dalam pelaksanaannya, setiap perahu naga diisi oleh 13 pendayung lengkap dengan seragamnya. Di dalam perahu tersebut biasanya sudah tersedia kuliner khas, yaitu Bacang, sejenis kuliner berisi nasi yang di dalamnya diisi daging cincang kemudian dibungkus dengan daun berbentuk segi lima. Adanya kuliner Bacang dimaknai sebagai sebuah penghormatan kepada Khut Goan yang menghilang di Sungai Bek-lo (Rosyadi, 2010: 31). Sebelum pelaksanaan lomba, setiap pendayung menikmati terlebih dahulu kuliner Bacang tersebut.
Peh Cun adalah sebuah perayaan sekaligus di dalamnya berisi perlombaan, yaitu lomba perahu Peh Cun. Lomba perahu Peh Cun bukanlah lomba perahu biasa. Kemeriahan menjadi faktor utama dalam tradisi tersebut. Beberapa atribut kemeriahan Tradisi Peh Cun berupa tabuhan tambur dan gembreng (simbal), membunyikan mercon (petasan). Selain itu, Rosyadi menambahkan beberapa kegiatan dalam tradisi Peh Cun, di antaranya:
- Menjemur koleksi baju dan buku karena diyakini tidak akan mudah diserang ngengat atau rayap.
- Lomba menangkap bebek
- Acara lempar bacang
- Mendirikan telur di waktu Twan Ngo.
- Setiap kusen pintu utama rumah digantungkan dedaunan tertentu karena diyakini ampuh untuk mengusir binatang-binatang berbisa dan siluman.
- Minum arak dicampur hiong-hong, mandi air hangat yang dibubuhi bunga lam-hoa, yang diyakini bisa mengusir penyakit (Rosyadi, 2010: 31).
Rangkaian tradisi Peh Cun dimulai pada malam sebelum pelaksanaan yaitu melakukan doa mohon ijin kepada leluhur masyarakat Cina Benteng. Tengah malam (24.00 WIB) dilakukan pergelaran kesenian Barongsai dan Gambang Kromong. Pagi hingga siang hari diisi dengan ritual sembahyang Twan Yang dan Khut Guan. Setelah itu dilanjutkan dengan acara tabur bunga di Cungai Cisadane, melempar bacang ke sungai, mendirikan telur, melepas bebek ke sungai, dan diakhiri dengan lomba perahu naga. Dalam acara lomba, tidak hanya perahu naga (perahu dengan hiasan) saja yang dilombakan namun diikutsertkan juga perahu pakpak, yaitu perahu tanpa hiasan.
Disebut perahu naga karena bagian depan perahu dihiasi motif kepala naga sedangkan bagian belakang dihiasi motif ekor naga. Lomba perahu dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap perayaan kemenangan. Saat lomba, dua alat musik yang ada dalam setiap perahu, yaitu tambur Peh-cun dan gembreng dibunyikan sebagai pertanda atau aba-aba (Nasir, 2019: 26-27).
Kemeriahan selama pelaksanaan perayaan dalam tradisi Peh Cun dimaknai sebagai sebuah penghormatan kepada sang leluhur sekaligus menjaga pelestarian tradisi oleh masyarakat setempat (Cina Benteng) yang dilakukan hingga saat ini. Beberapa keyakinan atau kepercayaan pada Tradisi Peh Cun seperti menggantungkan daun di kusen pintu, menjemur koleksi kain dan buku, dan sebagainya hingga saat ini masih tetap diyakini membawa keberkahan oleh masyarakat Cina Benteng.
Seiring perjalanan waktu, perayaan Peh Cun yang semakin mengakar di masyarakat Tangerang membuat perayaan ini menjadi festival yang menarik. Penyelenggaraannya pun menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke kota ini. Tapi yang terpenting, perayaan Peh Cun merupakan sikap menghayati kembali nilai-nilai patriotisme Qu Yuan sambil terus melestarikan Sungai Cisadane agar tetap asri dan bersih. (Irvan)
Daftar Sumber:
- Rosyadi, 2010. “Festival Peh Cun, Menelusuri Tradisi Etnis Cina di Kota Tangerang”, dalam Jurnal Patanjala Vol. 2, No. 1, Maret 2010: 18-34
- Nasir, Muhamad; Solidio Gloryan. 2019, “Tambur Peh-Cun Sebagai Iringan Lomba Perahu Naga dalam Upacara Peh-Cun di Tangerang Banten”, dalam Selonding Jurnal Etnomusikologi Volume 15, No. 1: Maret 2019
- Formulir Usulan Penetapan WBTB Provinsi Banten Tahun 2020