Kalender Bali bagi masyarakat Nusantara bisa dianggap istimewa, sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan “konvensional”. Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah (Islam), Masehi (Nasional), namun tidak pula seperti kalender Saka Jawa, keberadaanya “kira-kira” ada diantara keduanya.
Ada sesuatu yang unik dalam dasar penetapan purnama dan tilem yang tercantum dalam kalender Bali. Hal tersebut dikenal oleh masyarakat lokal sebagai Pengalantaka. Pengalantaka merupakan acuan atau dasar penetapan purnama dan tilem yang tercantum dalam kalender Bali sebagai parameter atau pedoman untuk menentukan hari baik dan buruk.
Dalam lontar memang tidak disebutkan kata Pengalantaka, jadi tidak ditemukan, namun secara umum tersuratkan dengan nama “Pengalihan Purnama-Tilem” yang berarti “Pencarian Purnama-Tilem”. Dalam sistem Kalender Bali, salah satu dasar pengetahuan Kalender tersebut adalah tentang hari Purnama-Tilem. Hari purnama disebut juga dengan bulan – penuh, yaitu pada saat bulan tersebut terlihat dalam bulatan sempurna, sedangkan Tilem adalah bulan – mati, dimana pada saat itu bulan tidak terlihat sama sekali.
Perhitungan secara matematis, sistematis, geografis dan religius menjadi dasar dalam penentuan Pengalantaka. Dapat dikatakan juga perpaduan menggunakan sistem Hisab maupun Rukyat (Islam). Perhitungan matematis (Hisab) dilakukan dengan menggunakan Diagram Pengalantaka Eka Sungsang, sedangkan secara mengamati (Rukyat) dilakukan dengan pengamatan di Pura Ponjok Batu yang ada di wilayah Buleleng.
Setelah terbentuknya Parisada Hindu Dharma pada tahun 1959, maka disatukanlah pemahaman Lontar Pengalihan Purnama-Tilem, dengan pedoman pada suatu rumus Pengalantaka “Eka Sungsang ke Kliwon”, dan mulai saat itu sudah ada kesepahaman tentang dasar penetapan hari Purnama-Tilem sebagai dasar penyusunan Kalender Bali. Kemudian pada tahun 1971, diadakan perubahan rumus Penetapan Purnama-Tilem dengan “Eka Sungsang ke Pon”. Mulai saat itu, Purnama-Tilem berlaku dengan rumus tersebut, sehingga tidak menimbulkan perbedaan pemahaman dalam pelaksanaan upacara agama Hindu-Bali. Upacara yang besar, yang telah dilaksanakan adalah upacara Tawur “Ekasada-Rudra”, yang dilaksanakan setiap 100 tahun sekali. Hal tersebut terlaksana pada Tilem Kesanga Caka 1900, pada tahun 1979.
Kemudian mulai tahun 2000, mulai diberlakukan “Pengalantaka Eka Sungsang ke Paing”. Hal tersebut berdasarkan Ketetapan Paruman Sulinggih, pada tanggal 25 Juli 1998, bertempat di Wantilan Pura Besakih. Untuk pemakaiannya diadakan dengan berbagai penyesuaian secara teknis, dan berlaku tanggal 1 Januari 2000.
Dalam perkembangannya, sesungguhnya pengetahuan tentang astronomi merupakan pengetahuan yang mendasarkan perhitungan dan pembagian waktu atas dasar peredaran benda-benda langit seperti bulan, matahari, bintang, dan planet-planet yang sangat dipercayai mempunyai pengaruh terhadap perjalanan hidup manusia dalam kesehariannya. Secara astronomi tradisional, pengalantaka adalah ilmu Pengalihan Purnama-Tilem yang merupakan ilmu “Warisan Leluhur” orang Bali. Sebagai kearifan lokal masyarakat Bali, pengalantaka perlu dilestarikan. Sehingga dapat ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Penulis: I Made Sumerta dkk.
Editor : Wakhyuning Ngarsih