Basmerah merupakan sebuah ritual yang rutin dilaksanakan setiap 365 hari (satu tahun sekali) oleh masyarakat di Desa Pekraman Taman Pohmanis Denpasar, tepatnya pada hari Kajeng Kliwon Sasih Kanem (sekitar bulan November-Desember). Ritual Basmerah ini oleh masyarakat setempat disebut juga dengan istilah Mecaru dan Nyambleh Sasih Kanem yang fungsi pelaksanaannya hampir sama dengan ritual Nangluk Merana pada umumnya di Bali, tetapi bentuk dan filosofinya memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut terlihat pada salah satu prosesinya yang melakukan proses nyambleh (memotong) leher kucit butuan (anak babi jantan) kemudian darahnya dioleskan pada dahi masyarakat sebagai gecek (tanda) telah mengikuti ritual ini.
Kata Basmerah terdiri dari dua buah kata, yaitu Basme dalam bahasa Sansekerta berarti “segala sesuatu yang dihancur leburkan api atau abu”, kata basme dalam bahasa Jawa Kuna berarti “abu atau sejenenis urap yang diolaskan pada dahi sebagai penanda sekte dan kata rah dalam hal ini dikaitkan dengan darah. Berdasarkan penggalan kata tersebut jika digabungkan dan diamati konteksnya bahwa Basmerah dapat diartikan “darah yang dioleskan pada dahi sebagai penanda”.
Sasih Kanem sebagai waktu pelaksan mengingat sasih-sasih tersebut sangat rawan dengan datangnya berbagai penyakit yang mengganggu manusia dan lingkungan. Lontar Bhama Kretih menyebutkan merana atau hama penyakit bersumber dari wisya (bisa/racun) yang dikeluarkan oleh Dewa Baruna sebagai penguasa lautan, yang disertai juga dengan pamirogha atau penyakit yang disebabkan oleh Ratu Gde Mecaling yang berstana di Muntig Nusa Penida dan akan menyerang melanda masyarakat setiap bulan posya (sasih kaenam) sampai bulan phalguna (sasih kasanga). Oleh sebab itu, pelaksanaan ritual Basmerah tersebut diharapkan mampu menetralisir penyakit yang menyerang ketika sasih-sasih tersebut. Desa Pekraman Taman Pohmanis jika ditinjau dari letaknya tepat berada di sudut Timur Laut Kota Denpasar yang merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung. Kepercayaan di Bali terkait dengan wilayah perbatasan dikenal dengan istilah panes yang dalam hal ini berarti tidak tentram dan selalu dilanda musibah. Hal tersebut menguatkan tafsiran bahwa dulu Desa Pekraman Taman Pohmanis keadaannya sangat mencekam jika ditinjau dari penamaan atau sebutan beberapa tempat di desa tersebut. Beberapa sebutan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
– Pohmanis
Menurut pengelingsir di Jero Agung Pohmais dan masyarakat sekitar konon Pohmanis tersebut berasal dari kata Pemanes yang berarti panas (kemungkinan keadaan desa yang panas), dan ada suatu penjelasan yang masuk akal yaitu konon masyarakat di desa tersebut ingin memberontak (memanes) ke wilayah Taak (Batubulan Gianyar sekarang) yang ketika itu telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar. Keinginan memberontak tersebut disebabkan dulu sebelum wilayah Taak (Batubulan sekarang) dikuasai oleh Kerajaan Gianyar, masyarakat Desa Pohmanis-lah yang menempati wilayah tersebut dengan kekuasaan Kerajaan Badung pada masa lampau. Lambat laun dan diikuti dengan perkembangan zaman kata Pemanes tersebut berangsur berubah menjadi Pemanis hingga Pohmanis sampai sekarang.
– Kalangan/Cucukan
Istilah ini ditujukan bentangan sawah yang menjadi pembatas antara Desa Taman Pohmanis Denpasar dengan Kabupaten Gianyar disebelah Timur dan Badung (dulu Mengwi) disebelah Utara. Kata Kalangan dalam bahasa Bali berarti arena dan Cucukan berarti saling tusuk. Dengan demikian, kata Kalangan dan Cucukan ini dapat dikaitkan dengan arena pertempuran/berperang. Hal tersebut sangat masuk akal, karena wilayah Desa Taman Pohmanis ini berada di ujung Timur Laut Kota Denpasar (Badung masa lampau). Babad Kesatria Sukahet menyebutkan bahwa I Dewa Gde Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama para wargi pengiring mendapat tugas dan diberikan kepercayaan oleh penguasa Badung ketika itu untuk membina, menjaga keamanan, dan mempertahankan wilayah timur laut dari: (1) Desakan atau serangan pasukan Laskar Sikep Gianyar dari timur, karena Batubulan sudah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar. (2) Desakan dari utara, perluasan wilayah dari Kerajaan Mengwi ke selatan karena wilayah Bun, Sedang, Angantaka, dan Jagapati sudah menjadi kekuasaan Kerajaan Mengwi. (3) Kerajaan Badung ingin memekarkan wilayahnya, paling tidak untuk tetap menjaga wilayah kekuasaan (Kertha, dkk, 2001: 23). Bukti fisik mengenai wilayah perbatasan tersebut dapat dilihat pada sisi utara dan timur desa dengan adanya benteng pertahanan yang dibangun melintang mengelilingi desa oleh masyarakat pada masa lampau menggunakan susunan tanah yang tinggi disebut dengan Belumbangan.
– Kata Gesangan
Istilah ini ditujukan kepada sawah yang berada di barat maupun selatan desa. Istilah “gesangan” ini jika ditinjau berasal dari kata geseng yang berarti hangus terbakar. Geseng dalam pengertian sekarang berarti tandus dan kering yang kemungkinan wilayah tersebut sebelum menjadi persawahan dulunya digunakan sebagai tempat pembakaran dengan kondisi sangat tandus dan kering.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Desa Pekraman Taman Pohmanis pada masa lampau sangat tidak nyaman dan tidak tenang. Posisi desa yang berada diperbatasan tersebut sangat rawan diserang penyakit dan tidak aman dengan hal-hal yang bersifat negatif. Wilayah desa yang tidak nyaman membuat masyarakat berusaha untuk menjaga lingkungannya agar tetap tanang, makmur, dan sejahtera baik secara niskala maupun sekala. Secara niskala dijaga kelestariannya dengan ritual bhuta yadnya yang sering dilaksanakan dalam satu tahun sekali pada sasih kanem di parempatan/catus patha desa. Ritual bhuta yadnya tersebut dikenal dengan sebutan ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem yang serupa dengan ritual Nangluk Merana pada umumnya di Bali. Ritual ini sangat rutin dilaksanakan setiap tahunnya oleh masyarakat dan jika tidak dilaksanakan atau terlambat waktu pelaksanaannya maka keadaan desa menjadi menakutkan dan tidak aman (kebrebehan).
Ritual ini dulu pernah tidak terlaksana karena sesuatu dan lain hal yang menyebabkan kebrebehan (beberapa masyarakat desa jatuh sakit sampai meninggal berturut-turut). Kejadian lainnya juga pernah terjadi ketika tengah malam yang sunyi ada suara-suara memanggil-manggil. Suara tersebut menyerupai suara salah satu keluarga yang kita kenal, tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut tidak ada siapa-siapa dan jika suara tersebut dijawab maka yang menjawab panggilan tersebut akan jatuh sakit hingga meninggal. Mengingat kejadian-kejadian tersebut, maka masyarakat desa selalu melaksanakan ritual tersebut secara berkelanjutan sehingga menjadi ritual turun temurun. (WN)
Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Editor : Wakhyuning Ngarsih