Masing-masing wilayah di Sumba Barat memiliki ragam motif dan corak tenun tersendiri. Di wilayah Wanokaka, Lamboya dan Tana Righu ada kain panggiling, pahikung dan pawora. Sementara di Loli terkenal dengan kain lambaleko. Jenis-jenis kain tersebut terkait dengan teknik pembuatan motif dan pewarnaannya. Pahikung adalah jenis kain yang dibuat dengan teknik ikat. Pawora dibentuk dengan teknik anyaman yang kemudian diberi pewarna alami (wora), sementara lambaleko dibuat menggunakan lidi atau bilah bambu yang disisipkan pada sela-sela benang lalu diungkit dan ditekan mengikuti pola-pola tertentu.
Motif
Motif kain tenun di wilayah Sumba Barat umumnya kecil-kecil dan sedikit abstrak. Pada kain laki-laki motif seringkali berupa garis, titik-titik, dan mamoli di tepinya. Sementara motif yang terdapat pada kain wanita aslinya berupa belah ketupat (mata kerbau) dan segi tiga (ekor kuda). Menurut Janet Hoskins motif-motif tersebut diadopsi dari benda-benda yang diberi pihak laki-laki sewaktu meminang seorang gadis (belis). Sementara benda-benda yang diberikan pihak perempuan seperti babi atau gading dianggap tabu. Mamoli yang merefliksakan seksualitas wanita digambar pada kain laki-laki, sementara mata kerbau dan ekor kuda yang merupakan simbol-simbol maskulin di gambar pada kain perempuan. Pada acara-acara adat kedua kain ini selalu hadir berpasangan sebagai gambaran transaksi yang seimbang,
Proses Pembuatan
Kain tenun tradisional dibuat menggunakan metode dan peralatan kuno yang nyaris tak berubah sejak berabad-abad silam. Tuntutan ekonomi, perkembangan zaman dan selera pasar memang membawa perubahan pada bahan baku (kapas diganti benang pabrik, pewarna alami diganti pewarna sintetis) tapi selebihnya tetap sama.
Jika menggunakan kapas maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membuang biji-biji kapas dengan sebuah alat yang disebut gesu kaba. Alat ini terbuat dari dua potong kayu bulat yang diletakkan pada dua tiang kayu serta sepotong kayu lagi dibagian pinggir untuk memutar. Ketika diputar, kedua kayu bulat akan berputar berlawanan arah, menggulung dan memisahkan biji kapas dari seratnya. Langkah kedua adalah meratakan serat kapas menjadi lempengan persegi panjang menggunakan sebuah alat pemukul dari rotan (mirip pemukul kasur) yang disebut pukula. Lempengan lalu dijemur, setelah itu dibuat menjadi buntalan-buntalan bulat panjang. Buntalan-buntalan inilah yang selanjutnya dipintal menjadi benang dengan sebuah alat sederhana yang disebut kidde. Kidde terbuat dari kayu teras bulat sebesar jari kelingking. Sewaktu hendak dipintal, ujung buntalan kapas dikaitkan ke pangkal kidde lalu kidde diputar seperti gasing. Sementara kidde berputar, buntalan kapas yang selebihnya diulur sedikit demi sedikit menggunakan tangan hingga akhirnya terbentuklah gelondongan benang disekeliling kidde. Untuk mendapatkan benang yang kuat, gelondongan benang direbus bersama potongan ubi kayu (dikanji), dan setelah itu dibentuk lagi menjadi gulungan-gulungan benang (kabukul). Kabukul bisa dibentuk dengan tangan atau menggunakan alat yang disebut pepaka. Semua proses di atas tidak perlu dilakukan jika menggunakan benang buatan pabrik, tapi dapat langsung ke langkah berikutnya yaitu pembuatan benang lungsin. Alat yang digunakan untuk keperluan ini berupa bingkai kayu berukuran ± 2x1cm (wanggi). Di alat ini lah kabukul atau benang buatan pabrik diatur membentuk lungsingan seukuran kain yang dinginkan. Selanjutnya adalah pembuatan corak atau motif. Di Sumba Barat ada juga wilayah yang menggunakan teknik ikat seperti Wanokaka dan Lamboya, tapi pada umumnya motif dibuat dengan teknik lambaleko. Pada tenun ikat motif diikat terlebih dahulu lalu dicelup dalam bahan pewarna, setelah kering ikatan dibuka, baru setelah itu ditenun menjadi kain. Sementara pembentukan motif pada lambaleko bisa sejalan dengan proses penenunan.
Fungsi dan Makna
Selain memenuhi fungsi praktis sebagai bahan pakaian, kain tenun tradisional Sumba Barat juga memiliki makna sosio-religius. Kain tenun dapat mendongkrak prestise sosial seseorang. Makin banyak jumlah kain yang dimiliki, makin beragam corak dan warnanya, makin tinggi pula kedudukan pemiliknya di mata masyarakat. Kain tenun terbaik selalu dipakai untuk menutupi jenazah sebagai simbol penghargaan kepada almarhum. Begitu juga dengan para pelayat, selalu membawa kain tenun sebagai tanda belasungkawa. Kain tenun adalah simbol budaya yang penting dan digunakan dalam berbagai kesempatan seperti perkawinan, menyambut tamu, permintaan maaf dan lain sebagainya. (WN)