Pengalantaka merupakan dasar atau acuan penetapan purnama dan tilem yang tercantum dalam kalender Bali sebagai parameter atau pedoman untuk menentukan hari baik dan buruk. Penanggalan kalender Bali adalah penanggalan yang sifatnya konvensional, artinya dalam penentuan mencari hari baik tidak mutlak mengacu astronomi seperti kalender masehi (nasional), termasuk juga posisinya tidak mutlak mengacu pada kalender Saka Jawa, tetapi lebih pada perpaduan keduanya ditambah dengan pengetahuan tradisional masyarakat Bali yang membidangi hal ini, maka munculah istilah pengalantaka yang sifatnya “matematis, sistematis, geografis, dan religius” sebagai acuan utama bagi masyarakat Bali dalam menentukan hari baik.

Pengalantaka ini dapat digunakan untuk menentukan hari baik dalam berbagai hal. Seperti dalam ritual keagamaan, pernikahan, pertanian, pembangunan, maritim, dan sebagainya. Keberadaan pengalantaka merupakan suatu cara yang teratur dan disepakati untuk mengatur tentang rentan waktu yang tidak terbatas dalam daur dan hukum tertentu. Kegunaannya tergantung dari kesepakatan komunitas bersangkutan. Misalnya ada untuk daur musim, daur religius kehidupan manusia, dan sebagainya tergantung kesepakatan dari ikatan kebudayaan komunitas tersebut.

Pada tahun 2019, pengalantaka telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia dengan domain pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta. Terkait pentingnya mengetahui tentang cara membaca pengalantaka, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali menyelenggarakan daring pembacaan pengalantaka bersama I Gede Marayana pada Rabu (6/5/20) lalu. Kegiatan daring pembacaan pengalantaka ini masih dalam rangkaian peringatan Hardiknas 2020.

Bagi sahabat budaya yang belum sempat mengikuti kegiatan daring pembacaan pengalantaka tersebut, dapat secara lengkap mengakses melalui link youtube berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=QI8Cf786aAQ. (WN)