Cekepung adalah sebuah teater atau tradisi lisan yang menyuguhkan ungkapan-ungkapan tentang sosial masyarakat dan mengandung pesan-pesan kehidupan. Keberadaan cekepung di Bali berhubungan erat dengan invasi Kerajaan Karangasem Bali ke Pulau Lombok dan berhasil mengalahkan Kerajaan Pejanggik pada tahun 1692. Dengan demikian bentuk seni teaer dan tradisi lisan ini merupakan bentuk akulturasi budaya anntara kebudayaan Jawa, Bali, dan Lombok.
Ada dua versi yang menjelaskan asal mula kata cekepung yakni; 1). Berasal dari kata “cek” dan “pung” yang dominan diucapkan sebagai ritme pengiring tembang. 2) Berasal dari kata “jeg kepung” yang berarti “kejar terus”. Penggunaan istilah jeg kepung berkaitan dengan fungsi kesenian tersebut yang digunakan sebagai media hiburan oleh laskar kerajaan Karangasem ketika sedang istirahat dari tugas bertemput. Kata Cekepung berasal Tradisi makepung diadopsi dari budaya masyarakat Suku Sasak di Lombok serta mengambil materi cerita dari lontar monyeh. Lontar monyeh merupakan cerita atau ungkapan tradisional berbahasa kawi (Jawa Kuno) dan Bahasa Sasak, kemudian dikembangkan dibali dengan menggunakan tembang-tembang Bali.
Keberadaan kesenian cekepung di Karangasem berkaitan dengan perluasan kekuasaan Raja Karangasem Bali di Pulau Lombok. Kesenian cekepung berkembang pesat di Lombok, kemudian diadopsi dan dikembangkan di Bali sekitar tahun 1920-an oleh Ida Wayan Tinggi. Ida Wayan Tinggi yang berasal dari Desa Budakeling Kecamatan Bebandem Karangasem pada awalnya hanya mengajarkan tradisi cekepung kepada masyarakat Budakeling sendiri. Ternyata minat masyarakat terhadap cekepung semakin meningkat, dan menyebar ke beberapa daerah di Kabupaten Karangasem seperi Desa Sidemen, Padangaji, Subagan, Susuan, dan Jasri. Sampai saat ini, Desa Budakeling dikenal sebagai pusat kesenian Cekepung. (WN)
Sumber: Dokumen Pencatatan WBTB BPNB Bali