DESA BALI AGA TENGANAN PEGRINGSINGAN

0
18250

Latar belakang sejarah bagaimana asal usul nama Desa Tenganan Pegringsingan dapat dikemukakan beberapa cerita mitologi yang ada hubungannya dengan nama Desa Tenganan Pegringsingan yang sampai kini secara samar-samar masih hidup di kalangan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan.

Desa Tenganan Pegringsingan Sumber : http://dewey.petra.ac.id/catalog/ft_detail.php?knokat=18403
Desa Tenganan Pegringsingan
Sumber : http://dewey.petra.ac.id/catalog/ft_detail.php?knokat=18403

Secara singkat mengenai asal usul nama Desa Tenganan Pegringsingan dapat dihubungkan dengan cerita hilangnya seekor kuda pada jaman kerajaan Bedahulu. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang sangat sakti bersifat sombong dan tinggi hati bernama Mayadenawa. Pada masa pemerintahannya semua orang Desa Peneges di wilayah kerajaan Bedahulu dilarang melaksanakan upacara keagamaan maupun persembahyangan ke Pura Besakih. Keadaan inilah yang membuat para dewa di sorga marah dengan kelakuan Mayadenawa. Untuk memerangi sang raja yang amat sakti itulah Bhatara Indra turun ke dunia (mercapada). Dalam peperangan inilah raja Mayadenawa dikalahkan oleh Bhatara Indra.

Kemenangan atas wafatnya Mayadenawa dirayakan oleh warga Peneges. Dimana Bhatara Indra memerintahkan kepada warga Peneges untuk kembali melaksanakan persembahyangan ke Pura Besakih. Upacara kemenangan ini diberi nama Asua Medayadnya yaitu upacara kurban (caru) menggunakan seekor kuda berbulu putih bernama Onceswara.

Ketika upacara akan dilaksanakan mendadak kuda Onceswara mendadak hilang. Bhatara Indra memerintahkan semua warga Peneges untuk mencari kuda tersebut. Kemudian warga Peneges membagi rombongan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama melacak ke arah barat laut dan kelompok kedua melacak ke arah timur laut. Kelompok yang melacak ke arah barat laut tidak berhasil menemukan kuda Onceswara. Kemudian mereka membangun dan menetap di daerah Beratan. Kelompok kedua yang melacak ke arah timur laut berhasil menemukan kuda tersebut tetapi dalam keadaan mati. Mereka sangat berduka karena kuda Onceswara sudah mati. Bhatara Indra mengetahui keadaan ini dan bersabda “ hai.. orang Peneges janganlah bersedih, walaupun kuda Onceswara kalian temukan dalam keadaan mati aku akan membalas jasa-jasamu. Untuk itu aku menganugrahkan daerah ini untuk kalian. Mengenai luas wilayah samapai batas terciumnya bangkai kuda Onceswara”. Mendengar sabda itu warga Peneges lalu memotong-motong bangkai kuda tersebut serta membuang potongan-potongan kuda ke segala arah yang berjauhan, sehingga dengan demikian bisa lebih luas menguasai daerah itu. Kedaan itu dapat kita lihat sampai kini dengan adanya peninggalan-peninggalan megalitik yang oleh masyarakat setempat dianggap tempat suci atau tempat-tempat pemujaan.

Tempat-tempat suci yang ada kaitannya dengan matinya kuda Onceswara dapat kita lihat sampai sekarang seperti :

Kakidukun : Tempat ini terdapat di bukit bagian utara Desa Tenganan Pegringsingan. Merupakan bentuk yang menyerupai phallus (kemaluan) kuda dalam keadaan tegak. Menurut anggapan masyarakat setempat, apabila ada sepasang suami istri belum memperoleh keturunan dalam perkawinannya maka mereka mohon ke tempat suci kakidukun, agar bisa mempunyai keturunan.

Batu Taikik atau Batu Talikik   : tempat suci ini juga terdapat di bukit bagian utara . Merupakan bentuk monolith   yang terbesar di wilayah Desa Tenganan Pegringsingan. Batu Taikik dianggap sebagai bekas isi perut atau kotoran kuda Onceswara. Upacara yang dilaksanakan disini dengan tujuan memohon kemakmuran.

Penimbalan : tempat suci ini terdapat di bukit Papuhur yaitu bukit di bagian barat Desa Tenganan Pegringsingan. Penimbalan ini berbentuk monolith yang oleh masyarakat setempat dianggap sebgai bekas pahanya kuda. Upacara yang dilaksanakan di tempat ini berkaitan dengan upacara untuk Teruna Nyoman.

Batu Jaran : tempat suci ini terdapat di bagian utara yang dianggap sebagai bekas matinya kuda Onceswara.

            Sejak diberikan hak untuk mendiami wilayah seperti yang sudah ditentukan tersebut maka warga Peneges membangun sebuah desa diantara tiga buah bukit yaitu bukit kangin (timur), bukit kauh (barat) dan bukit kaja (utara). Karena letak desa diantara tiga buah bukit maka desa ini disebut Tengahan. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi Tenganan.

            Menurut Korn, pada zaman dahulu ada desa yang terletak dekat pantai sekitar Candi Dasa disebut Desa Peneges. Penduduk desa Peneges ini mempunyai hubungan dengan orang-orang di Desa Teges daerah Bedahulu Gianyar. Lama kelamaan Warga Peneges pindah ke pedalaman atau ngetengahang yang umum dikenal sampai saat ini.

            Sedangkan mengenai sebutan Pegringsingan kemungkinan berasal dari usaha kerajinan khas dari masyarakat Desa Tenganan yaitu menenun kain Gringsing, yang merupakan usaha satu-satunya terdapat di Bali.

            Bukti-bukti empirik di atas khususnya mengenai sejarah Desa Tenganan Pegringsingan sampai saat ini masih terlihat seperti hubungan orang-orang Peneges di daerah Beratan dengan warga Tenganan Pegringsingan sampai kini terjalin baik. Jika di Tenganan Pegringsingan malaksanakan upacara adat, orang-orang Peneges di Beratan diundang untuk menghadiri dan sebaliknya. Orang-orang Peneges (Beratan) yang hadir di Tenganan Pegringsingan dibolehkan naik ke Bale Agung dan masuk ke dalam tempat suci yang ada dilingkungan Desa Tenganan Pegringsingan. Bahkan ketika pemangku di Tenganan Pegringsingan berhalangan untuk memimpin upacara, maka dapat ditunjuk pemangku dari Beratan sebagai pengganti.