Umbu Pura Woha (2007) dalam bukunya Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur menjelaskan bahwa penduduk yang ada di Pulau Sumba yang sekarang disebut orang Sumba, tiba di Pulau Sumba melalui Tanjung Sasar, oleh karena pada waktu itu daratan Pulau Sumba masih bergandengan dengan daratan Pulau Flores dan Sumbawa. Pada waktu itu Pulau Sumba dengan Flores dihubungkan oleh sebuah jembatan batu yang dinamakan Kataka Lindiwatu.
Setiba di Tanjung Sasar ini, nenek moyang orang Sumba menetap di Muara Kadahang. Mereka berjumlah 8 orang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Dengan demikian mereka dalam status berpasangan yakni masing-masing bersama pasangan suami istri. Di muara Kadahang, untuk sementara waktu mereka bermukim di tepi sungai Kadahang menggunakan tenda dari daun alang-alang. Beberapa saat kemudian datang seorang laki-laki tiba di Kataka Lindi Watu Haharu Malai dan mendatangi mereka di Muara Kadahang, tetapi tidak diketahui yang bersangkutan menggunakan alat angkutan apa dari tempat asalnya untuk sampai di tempat tersebut. Setelah bertemu dengan ke-8 orang yang lebih dahulu datang tersebut ternyata diketahui bahwa dia adalah bapak dari ke-4 laki-laki tersebut bernama Umbu Babu Pamaratana (Umbu Makarap) makarap berarti kusta.
Adapun mereka (ke empat laki-laki beserta istri) yang pertama kali datang itu adalah Umbu Pati Walu Hahar, istrinya bernama Rambu Kabeba, Umbu Walu Ondu, istrinya bernama Rambu Mburu Anawulang, Umbu Walu Mandaku, istrinya bernama Rambu Hona Nalu, Umbu Walu Ndjongu, istrinya bernama Rambu Ata Endu. Dari tempat pemukiman pertama (muara Kadahang), kemudian mereka berpindah serta membuat pemukiman di Lay Mbaya dan di tempat tersebut mereka hanya bertahan sementara waktu saja dan kemudian mereka membuat rumah atau kampung yang bernama Mburu Mbaku.
Dalam perkembangan selanjutnya dari ke empat pasangan suami istri tersebut tidak dikaruniai keturunan. Setiap anak mereka yang lahir tidak ada yang hidup. Menurut keyakinan mereka pada waktu itu, hal ini terjadi karena kampung yang ditempati sementara tersebut tidak diberkati oleh marapu atau pamali (harri), sehingga timbul niat mereka untuk meninggalkan kampung tersebut. Sebelum mereka meninggalkan kampung Mburu Mbaku mereka bermimpi dan dalam mimpi sepertinya ada yang mengatakan kepada mereka : Kamu boleh pindah dari tempat ini (maksudnya Mburu Mbaku) lalu kamu berusaha untuk mencari yaitu dimana kamu dapat menemukan seikat (hayabul) alang yang dibawa angin puting beliung (kaputi ahu) maka di situlah kamu membuat kampung.
Setelah sadar mereka membicarakan mimpi tersebut dan sepakat untuk mematuhi hal-hal yang didengar lewat mimpi itu. Kemudian mereka meninggalkan kampung Mburu Mbaku untuk mencari tempat jatuhnya alang yang ditiup angin puting beliung (kaputi ahu) seperti dalam mimpi. Sebelum menemukan seikat (hayubul) alang tersebut mereka membuat pemukiman sementara yang bernama Prai Ngilu. Di tempat tersebut hanya bertahan beberapa saat dan dari Prai Ngilu pindah lagi dan membuat rumah di Ratu Bara dan Luku Katabi.
Dalam usaha mereka mencari seikat hayubul alang tersebut pada dua kampung yang dihuninya, maka salah seorang penghuni kampung Ratu Bara menemukan satu ikat (hayubul) alang dan satu batang kayu yang dibawa oleh angin puting beliung sesuai dalam mimpi. Tempat temuan tersebut bernama Matawai Wunga (dekat mata air terdapat pohon turi) dan di situlah keempat bersaudara bersama istri membuat penginapan tetap. Dalam perkembangannya dari jaman ke jaman hingga saat ini kampung yang bernama Matawai Wunga menjadi Prai Wunga atau saat sekarang ini disebut kampung Wunga. Sebagai wujud pelestarian nama kampung wunga, maka oleh masyarakat setempat mengusulkan nama desa yang mempunyai wilayah pemerintahan termasuk kampung Wunga menjadi desa Wunga dan telah ditetapkan pada tahun 1958 bersamaan dengan lahirnya Kabupaten Sumba Timur.