Tektekan merupakan bentuk kesenian tradisional masyarakat Desa Kerambitan, Kabupaten Tabanan, yang dalam perjalannya telah mengalami banyak proses hingga menemukan bentuknya seperti sekarang ini. Kalau dilihat dari alat-alat yang digunakan dalam Tektekan ini sebagian besar dibuat dari bambu yang dimainkan sekitar 30-40 orang.
Ditinjau dari etimologi kata Tektekan berasal dari kata ”Tek”, dijadikan kata mejemuk menjadi tektek, ditambah dengan akhiran an menjadi tektekan. Ada ungkapan bahwa untuk memberi nama sebuah karya seni di Bali tidaklah sulit. Asal dapat diterima oleh masyarakat, soal nama bukanlah menjadi masalah. Berkaitan dengan Tektekan menurut informasi bahwa nama Tektekan merupakan ungkapan yang dipakai untuk menyebut sebuah kesenian yang didominasi oleh suara tek,tek,tek…., yang ditimbulkan oleh alat-alat yang digunakan. Sebatas dalam tahap interpretasi jika dibandingkan dengan pemberian nama jenis-jenis kesenian lain seperti tari Kecak, diperkirakan memiliki proses yang serupa.
Menurut informasi kesenian ini mulai muncul pada waktu warga Desa Kerambitan mengalami Grubug atau wabah (epedemi), atau menurut kepercayaan setempat jika ada seseorang disembunyikan oleh Gamang atau Samar (roh halus) maka diadakan nektek yaitu dengan memukul apa saja yang bisa menimbulkan bunyi, hal ini dilakukan disekitar tempat kejadian dan akhirnya oleh masyarakat orang hilang dapat ditemukan
Konon sekitar tahun 1920-an pernah terjadi wabah penyakit di masyarakat Desa Kerambitan yang mengakibatkan banyak menelan korban. Secara psikologis masyarakat sangat merasa takut apalagi dikaitkan dengan kepercayaan setempat bahwa itu terjadi karena ulah roh-roh jahat yang bergentayangan. Menurut ceritera setempat pada saat terjadinya wabah di malam hari sering terdengar suara yang aneh-aneh yang tidak biasanya mereka dengar, berjangkitnya wabah tidak bisa ditentukan kapan harus berakhir. Upaya masyarakat untuk memulihkan kondisi sediakala sekaligus untuk menghilangkan rasa takut, masyarakat akhirnya berinisiatif memukul alat-alat yang dapat menimbulkan bunyi yang keras seperti: kaleng, kuali, besi, cangkul dan sebagainya. Itu semua pada dasarnya bertujuan untuk mengusir wabah yang terjadi di masyarakat, sekaligus untuk membangkitkan rasa jengah, sehingga menghilangkan rasa takut masyarakat akibat wabah yang terjadi di Desa Kerambitan.
Pada tahun 1930an wabah kembali terjadi. Hal ini kemudian ditanggulangi dengan kegiatan seperti tersebut di atas. Saat itu sudah ada pembaharuan yaitu dengan menggunakan bahan dari bambu yabg disebut dengan kulkul. Oleh karena perkembangan jaman kegiatan semacam ini dimasyarakat dipandang sebagai kegiatan yang berkaitan dengan nilai-nilai kepercayaan setempat. Mula-mula tujuan dari pementasan ini sebagai ucapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena wabah penyakit telah berlalu. Kebiasaan nektek atau menabuh bumbung dilakukan apabila sedang merajelela wabah penyaki (epidemi). Selanjutnya dilihat dari Tektekan pada waktu itu sangat sederhana, mereka melakukan nektek secara spontan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Kegiatan nektek oleh masyarakat dilakukan pada waktu sandikala (peralihan waktu dari sore ke malam yaitu sekitar pukul 18.30 Wita). Kegiatan ini biasanya dilakukan sampai pagi.
Menyinggung tentang kepercayaan itu maka masyarakat Kerambitan mentralisir keadaan dengan menggunakan tetabuhan yang akhirnya menjadi sebuah bentuk pertunjukan disebut dengan tektekan. Mengapa kesenian itu disebut Tektekan? Jika dilihat bahwa pada mulanya disebut tradisi nektek (memukul alat-alat apa adanya) ini merupakan aktivitas spontan masyarakat untuk menghilangkan perasaan takut, serta memohon keselamatan.
Selanjutnya setelah tahun 1965 tektekan akhirnya menggunakan ceritera Calonarang yang disesuaikan dengan sifat awal terciptanya tektekan sebagai upaya pengusiran roh jahat yang berhubungan dengan bhuta kala kemudian dengan mengarak Barong dan Rangda mengelilingi desa, kegiatan seperti ini rutin dilakukan terutama pada hari pengerupukan yaitu sehari sebelum hari Nyepi dengan diikuti segenap warga masyarakat Desa Kerambitan. (WN)
Sumber: Dokumen Pencatatan Warisan Budaya TakBenda Indonesia