Bagi komunitas Sasak, Palelintangan masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya yaitu penggunaan dalam ritual tradisi dan keagamaan serta penggunaan dalam kehidupan agraris.

1. Penggunaan dalam Ritual Tradisi dan Keagamaan
Salah satu tradisi masyarakat Sasak di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat adalah Bau Nyale. Tradisi ini merupakan salah satu identitas suku Sasak. Tradisi Bau Nyale dikenal dalam masyarakat yang bertempat tinggal di pesisir pantai pulau Lombok bagian selatan. Terutama di pesisir pantai selatan Lombok Timur (Pantai Kaliantan, Sungkun dan sekitarnya, Kecamatan Jerowaru) dan Lombok Tengah (Pantai Kuta, Seger dan sekitarnya, Kecamatan Pujut).

Tradisi Bau Nyale masyarakat pesisir dalam pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan lautan ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Tradisi Bau Nyale berarti tradisi menangkap nyale (cacing laut). Tradisi ini merupakan suatu kejadian yang dikaitkan dengan budaya setempat. Tradisi ini dilatarbelakangi oleh legenda lokal Putri Mandalika.
Masyarakat setempat yakin bahwa Putri Mandalika lah yang menjelma menjadi cacing laut (nyale) berwarna-warni. Masyarakat setempat percaya, bahwa nyale bukan hanya cacing biasa tetapi makhluk suci yang membawa kesejahteraan. Mereka menghormatinya dan percaya akan mendatangkan kemalangan bagi yang mengabaikannya.

Tradisi Bau Nyale dilaksanakan berdasarkan perhitungan penanggalan tradisional Sasak.  Upacara ini dilakukan beberapa hari setelah bulan purnama, tepatnya pada tanggal atau hari ke-19 dan ke-20 bulan (bulan bawak) ke-10 dan ke-11 dalam kalender (penanggalan) tradisional Sasak. Pada umumnya jatuh pada setiap bulan Pebuari dan Maret dalam kalender Masehi.

2. Penggunaan dalam Kehidupan Agraris
Dalam kehidupan agraris masyarakat Sasak selalu menggunakan penghitungan wariga di dalamnya. Misalnya saja pada masyarakat Bayan di Lombok Utara. Di Lombok Utara terutama di desa Bayan terdapat tradisi Melong Bulu Pare atau tradisi penanaman padi yang menggunakan sistem warige untuk mencari hari baiknya.

Tradisi melong bulu pare selalu berhubungan dengan hari baik. Hari baik dalam adat Bayan diistilahkan dengan wariga atau diwasa. Istilah lain yang dipakai juga adalah kerasian. Perbedaan wariga dan diwasa dengan kerasian terletak pada parameter yang dipakai. Dalam hitungan wariga atau hari baik, komunitas petani hanya mempercayai satu hari baik yang sesuai dengan aturan adat. Hal ini bersifat mutlak. Tidak ada hari baik lainnya seperti hari yang dituangkan dan diatur dalam wariga tersebut. Hanya ada satu hari baik secara adat agama. Sedangkan kerasian adalah perhitungan hari baik berdasarkan hari kelahiran pemilik sawah atau petani yang bersangkutan, hari keahiran pemilik sawah dan urip serta bulannya. Kerasian memakai rumus atau tanda sandi bukan memakai huruf. Rumus ini biasanya memakai urip tiga berdasarkan keyakinan atau paham waktu telu. Misalnya pemilik sawah yang lahir hari senin, urip tiganya adalah rabu. Artinya, pada hari rabulah mereka boleh menananm padi tradisional, demikian seterusnya. Urip tiga dari Selasa adalah Kamis, Rabu urip tiganya adalah Jumat, Kamis urip tiganya adalah Sabtu, Jumat urip tiganya adalah Minggu, Sabtu urip tiganya adalah Senin, Minggu urip tiganya adalah Selasa. (WN)