Sejarah Berdirinya Situs Ratu Boko

     Situs Ratu Boko secara administratif terletak di dua wilayah yaitu Dusun Dawung, Desa Bokoharjo, dan Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs Ratu Boko berada di daerah perbukitan bernama Bukit Boko yang terletak di ketinggian 110-229 m di atas permukaan air laut. Secara astronomis Situs Ratu Boko berada pada koordinat 7° 46’ 18,4” LS dan 110° 29’ 25,6” BT.

     Situs Ratu Boko berada dalam kawasan yang banyak ditemukan tinggalan bercorak Hindu-Budhha. Di sekitarnya terdapat beberapa candi antara lain di sisi timur terdapat Candi Dawangsari, Candi Barong, dan Candi Ijo, di sisi selatan terdapat Candi Banyunibo, dan di sisi barat terdapat Situs Watugudig.

     Situs Ratu Boko merupakan salah satu situs permukiman dari masa klasik di Jawa, yang mengandung beragam tinggalan. Situs permukiman kuno seluas 25 hektar itu memilik ragam tinggalan berupa gapura, batur, talud, kolam, dan gua. Situs Ratu Boko ditemukan pertama kali oleh van Boeckholtz pada tahun 1790. Pada tahun 1814 Makenzie, Junghun, (1884), dan Brumund (1854) melakukan pencatatan terhadap tinggalan-tinggalan di situs tersebut. Pada tahun 1915 F.D.K Bosch juga melakukan observasi di Situs Ratu Boko. Ia menyimpulkan bahwa Situs Ratu  Boko merupakan sebuah keraton.

Gapura Situs Ratu Boko (Dok. BPCB DIY)

     Riwayat pendirian dan penggunaan bangunan di Situs Ratu Boko dapat diketahui dari isi sejumlah prasasti yang telah ditemukan di situs tersebut. Berdasarkan sumber prasasti daerah ini pada masa lalu bernama Walaing. Prasasti tertua yang ditemukan berangka tahun 792 M, berisi tentang peringatan pendirian Abhayagiriwihara oleh Rakai Panangkaran. Berdasarkan struktur bangunan dan prasasti-prasasti yang ditemukan tersebut, Kusen berpendapat bahwa semula kompleks bangunan di Boko merupakan sebuah wihara untuk pendeta Buddha yang bernama Abhayagiri.

     Temuan prasasti lainnya yaitu prasasti Ratu Boko A dan B (berangka tahun 856 M) dan C semua mengandung keterangan tentang pendirian lingga yaitu Lingga Krrtivasa, Lingga Tryambaka, dan Lingga Hara.

     Pada tahun 856 M Situs Ratu Boko difungsikan sebagai keraton oleh seorang penguasa beragama Hindu yang bernama Rakai Walaing Pu Khumbayoni. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila unsur agama Hindu dan Buddha tampak pada kompleks bangunan ini. Unsur Hindu dapat ditunjukkan melalui yoni, tiga miniatur candi, arca Ganesha dan Durga, serta lempengan emas dan perak bertuliskan mantera agama Hindu. Sedangkan unsur Buddha terlihat dari adanya arca Buddha, reruntuhan stupa, dan stupika.

Miniatur Candi (Dok. BPCB DIY)

Riwayat Pemanfaatan Situs Ratu Boko

     Pemilihan bukit Boko sebagai lokasi wihara dan keraton tampaknya di satu sisi didasari atas pertimbangan suasananya yang tenang dan mempunyai pembatas alami yang memisahkan kehidupan baik para pendeta maupun penguasa dengan masyarakat yang bermukim di sekitar bukit. Di sisi lain, bukit ini dekat dengan kawasan yang subur dan padat penduduk. Kompleks bangunan di Bukit Boko dapat disebut sebagai keraton, selain memang disinggung dalam prasasti, juga karena kemiripannya dengan gambaran sebuah kraton. Dalam kitab kesusastraan, antara lain Bharatayudha, Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Bhomakawya disebutkan bahwa keraton merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi pagar bergapura, di dalamnya terdapat kolam dan sejumlah bangunan lain seperti bangunan pemujaan dan di luar keraton terdapat alun-alun. Adanya sejumlah umpak serta batur-batur dari batu andesit di kompleks ini mengindikasikan bahwa dahulu bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya terbuat dari bahan organik, seperti kayu, sehingga tidak ditemukan bekasnya.

     Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Teguh Asmar dan Bennet Bronson, Situs Ratu Boko merupakan pemukiman yang pernah dimanfaatkan dalam beberapa fase yaitu

  1. Fase I, Situs Ratu Boko merupakan pemukiman tetap yang dihuni antara tahun 600-825 M. Pada akhir fase ini diperkirakan sezaman dengan prasasti Abhayagiriwihara yang berangka tahun 792 M.
  2. Fase II, Situs Ratu Boko dihuni antara tahun 775/825 M – 1025/1050 M. Pada fase ini diperkirakan lokasi ini dihuni oleh penganut Siwaistis.
  3. Fase III, Situs Ratu Boko dihuni 1025/1050 M – 1250/1400 M. Di situs ini penduduk sudah ada yang memiliki porselin-porselin Cina.
  4. Fase IV diperkirakan sekitar 1250/1400 – 1850 merupakan lokasi yang tidak berpenghuni.

 

 

 

 

Ragam Bangunan di Situs Ratu Boko

     Menurut lokasinya, bangunan-bangunan di Situs Ratu Boko dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu:.

  1. Kelompok Gapura Utama, terletak di sebelah barat yang terdiri atas gugusan Gapura Utama I dan II, talud, pagar, candi pembakaran, dan sisa-sisa reruntuhan.
  2. Kelompok Paseban, terdiri atas dua buah batur paseban, talud, dan pagar paseban termasuk gapura dan beberapa umpak batu.
  3. Kelompok Keputren, berada di halaman yang lebih rendah, terdiri atas dua buah batur, kolam segi empat, pagar, dan gapura.
  4. Kelompok Pendapa, terdiri atas batur pendapa dan pringgitan yang dikelilingi pagar batu dengan tiga gapura sebagai pintu masuk, candi miniatur yang dikelilingi teras-teras segi empat, beberapa kolam penampung air yang dikelilingi pagar lengkap dengan gapuranya dan struktur talud yang diberi pagar di bagian atasnya.
  5. Kelompok Gua, terdiri atas Gua Lanang, Gua Wadon, bak tandon air, dan tangga batu cadas alam.

Gua Lanang (Dok. BPCB DIY)
Gua Wadon (Dok. BPCB DIY)

 

     Bangunan-bangunan pada Situs Ratu Boko terletak di teras-teras yang dibuat pada punggung hingga puncak bukit, dengan halaman paling depan terletak di sebelah barat, terdiri atas tiga teras. Di halaman teras pertama, sudah tidak ditemukan bekas-bekas bangunan kecuali pagar teras yang berfungsi sebagai penguat dan batas teras. Halaman teras kedua ditandai oleh bangunan gapura yang menghadap ke barat. Masing-masing teras dipisahkan oleh pagar dari batu andesit setinggi 3,50 m dan tebing teras diperkuat dengan susunan batu andesit. Batas halaman sebelah selatan juga berupa pagar dari batu andesit, namun batas utara merupakan dinding bukit yang dipahat langsung. Teras pertama dengan teras kedua dihubungkan oleh gapura I, sedangkan gapura II menghubungkan teras kedua dan ketiga. Di bagian luar pagar yang membatasi teras kedua dan ketiga terdapat parit selebar 1,50 m. Dinding dan dasar parit diperkuat dengan susunan batu andesit.

Pemugaran Situs Ratu Boko

     Pemugaran Situs Ratu Boko pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1938. Pemugaran dipimpin oleh van Romond. Teknologi pemugaran pada masa itu sudah menggunakan kerangka beton bertulang dan menggunakan perekat semen.

     Pada masa pemerintahan Republik Indonesia pemugaran dilakukan pada tahun 1949 sampai dengan 1954 dengan berhasil memugar gapura I dan gapura II. Pemugaran kemudian diteruskan pada tahun  1960-1965 dengan berhasil menyelesaikan pemugaran gapura kolam.

     Pemugaran Situs Ratu Boko dilakukan secara intensif dalam rentang waktu tahun 1978/1980 sampai sekarang, dengan memugar berbagai bangunan antara lain gapura, talud, batur, talut kolam, pagar pendapa, batur keputren, batur paseban, tangga, selasar dan candi pembakaran. Pemugaran dilaksanakan oleh Bagian Proyek Pelestarian Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta dan setelah itu dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (dulu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta).