Berlangsungnya kehidupan prasejarah di wilayah Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari karakter lingkungan Yogyakarta yang secara fisiografis dapat dikelompokkan ke dalam tiga satuan. Bagian utara-tengah-hingga selatan ditandai oleh bentukan proses vulkanik Merapi Muda, proses fluvial, proses marin, dan angin. Bagian ini meliputi bentuk lahan lereng atas, tengah dan bawah Merapi, teras Progo, dataran aluvial pantai, dan gumuk pasir. Bagian tenggarrea ditandai oleh bentang lahan Pegunungan Selatan yang tersusun atas konfigurasi Pegunungan Baturagung, Panggung Masif, Cekungan Wonosari, dan Pegunungan Seribu. Sedangkan di bagian barat terdapat bentuk lahan Pegunungan Denudasional Kulonprogo, Perbukitan Sentolo, dan endapan aluvium.
Dari ketiga bentang lahan di atas, tinggalan prasejarah dominan dijumpai di wilayah tenggara, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul. Eksistensi kehidupan prasejarah di wilayah ini sangat ditentukan oleh kondisi siap huni dari wilayah yang bersangkutan. Pada kala Pleistosen, yang merupakan periode tertua dari kehadiran manusia prasejarah, Pegunungan Selatan Jawa sudah terangkat ke atas permukaan laut dan menjadi daratan yang layak huni. Pegunungan Seribu yang merupakan zona pa-ling selatan dari kawasan pegunungan ini bahkan memiliki akses yang mudah hingga wilayah Pacitan yang selama ini dianggap sebagai “dunia”nya manusia prasejarah di bagian selatan Pulau Jawa. Daerah sepanjang aliran sungai-sungai purba, di antaranya Sungai Oyo di Gunungkidul dan Sungai Baksoka di Pacitan, menjadi tempat-tempat ideal bagi berkembangnya populasi manusia dan ber-bagai jenis fauna. Gua-gua karst yang intensif terbentuk akibat proses solusional terhadap batu gamping penyusun perbukitan ini, menyediakan ruang-ruang hunian yang menyenangkan bagi komunitas-komunitas manusia prasejarah.
Wilayah bagian tengah Yogyakarta, yang membentang dari puncak Merapi hingga pesisir selatan, diapit oleh Sungai Progo di sebelah barat dan Sungai Opak di sebelah timurnya, selama ini dikenal miskin data prasejarah, namun kaya akan bukti-bukti peradaban masa Klasik (Hindu-Buddha). Ada dua kemungkinan yang dapat diajukan sehubungan dengan fenomena ini. Pertama, pada akhir Pleistosen, ketika kehidupan prasejarah sudah berlangsung di Pegunungan Selatan, hampir seluruh dataran fluvio-volkanik ini masih tergenang air. Kedua, wilayah bagian tengah ini merupakan wilayah deposisi aktif dari material vulkanik Gunungapi Merapi Muda. Bahkan, di sekitar Candi Sambisari misalnya, ketebalan sedimen Merapi Muda mencapai hampir 10 meter. Jejak jejak kehidupan Pleistosen, seandainya pernah ada, tentunya berada lebih dalam lagi.
Wilayah bagian barat Yogyakarta, yang memiliki konfigurasi perbukitan dan pegunungan, sebenarnya memiliki beberapa formasi tua di antaranya batu gamping berlapis Formasi Sentolo dari kala Pliosen dan batuan andesit tua dari Formasi Bemmelen yang berumur Miosen. Namun sejauh ini data arkeologi dari periode prasejarah belum pernah dijumpai.
Kawasan Gunungkidul yang bertopografi dataran tinggi dan bergunung-gunung ini, memiliki karakteristik dalam hal corak dan sebaran tinggalan arkeologi, khususnya yang bertarikh prasejarah. Zone paling selatan yang membujur arah barat – timur kemudian membelok ke utara, atau yang sering disebut dengan Pegunungan Seribu, memiliki ratusan gua dan ceruk (rock shelter) yang banyak di antaranya mengandung bukti-bukti hunian manusia Prasejarah yang hidup sebagai pemburu. Selain banyak memiliki gua dan ceruk, kondisi alamnya yang berbukit-bukit dan tersusun atas batuan karang-kapur ini juga banyak memiliki telaga dan aliran sungai bawah tanah, namun tidak ada satu pun sungai permukaan sebagaimana bagian lain di Gunungkidul. Satu-satunya su-ngai permukaan yang kini tinggal bekasnya adalah Bengawan Solo Purba yang dahulu mengalir ke selatan dan bermuara di Teluk Sadeng. Akibat proses pe-ngangkatan daratan sejak kala Pleistosen Bawah bagian tengah, kira-kira 1,47 juta tahun yang lalu, yang menjadikan bagian hilir terangkat hampir 200 m, sungai ini pun kemudian mengalir ke utara dan membentuk arah aliran Bengawan Solo sekarang.
Pemukiman prasejarah tertua di kawasan Pegunungan Seribu diketahui dari Gua Braholo, Rongkop yang dihuni sejak 33.000 hingga 3.000 tahun yang lalu. Berdasarkan umur ini untuk sementara dapat dikatakan bahwa Gua Braholo merupakan situs pemukiman prasejarah tertua di Gunungkidul. Penghunian ini merupakan kelanjutan dari proses panjang penghunian kawasan karst Pegunungan Seribu yang dimulai dari wilayah Pacitan. Pada saat komunitas manusia menjangkau wilayah Gunungkidul, lokasi-lokasi yang mereka pilih terutama gua-gua dan ceruk-ceruk yang banyak tersebar di bagian timur dan selatan, yang menjadi bagian dari zona Pegunungan Seribu. Tahap penghunian zona Pegunungan Seribu ini, dalam konteks kewilayahan Gunungkidul, dikenal sebagai periode Wonosari Tua.
Di samping Gua Braholo, terdapat sejumlah gua yang diduga kuat se-bagai bekas hunian manusia masa lalu, terutama berdasarkan atas kondisi morfologinya, lingkungan pendukung, serta temuan permukaan yang berhasil didapatkan. Gua-gua yang dimaksud di antaranya Song Bentar, Song Blendrong, Song Terus, Gua Dawung, Gua Lawa, Song Oro-oro, dan Song Towo.
Corak kehidupan prasejarah yang sangat berbeda dijumpai di wilayah tengah yang sering dikenal dengan istilah Cekungan (ledok atau depresi) Wonosari. Zona paling datar dan paling subur di Gunungkidul ini menjadi lokasi bagi para pemukim prasejarah yang hidup sebagai petani, jauh setelah para pemburu mengembangkan kehidupannya di wilayah Pegunungan Seribu.
Berbagai keunikan di atas, baik yang berkaitan dengan penghunian Gunungkidul pada periode Wonosari Tua maupun Wonosari Madya, telah memancing perhatian para arkeolog untuk mengadakan penelitian secara intensif. Bertitik tolak dari penelitian Th.A. van der Hoop, penelitian arkeologis di Gunungkidul semakin banyak dilakukan, baik secara perorangan maupun instansional, antara lain pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (dahulu Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala), Pusat Arkeologi (dahulu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Balai Arkeologi Yogyakarta, dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Hasil penelitian sementara ini menunjukkan bahwa pada saat wilayah tengah Gunungkidul (zona Cekungan Wonosari) mulai terangkat dan layak huni, maka kehidupan mulai merambah ke wilayah depresi ini, dan dimulailah periode Wonosari Madya. Berbeda dengan periode Wonosari Tua yang dicirikan oleh kehidupan di gua-gua perbukitan karst, morfologi lingkungan yang menopang berlangsungnya periode Wonosari Madya secara umum berelief hampir datar hingga bergelombang, dengan lereng rata-rata landai hingga miring. Di Gunungkidul, kondisi topografi seperti ini dijumpai di zona tengah yang meliputi wilayah Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Semanu bagian utara, dan Ponjong bagian tengah. Situs-situs di sepanjang aliran Sungai Oyo dan anak-anak sungainya, serta di beberapa wilayah tinggian di dalam bentangan Cekungan Wonosari, memberikan karakter hunian yang sangat berbeda dibandingkan periode sebelumnya.
Pada periode Wonosari Madya, peranan Sungai Oyo dan anak-anak su-ngai purbanya, di antaranya Sungai Prambutan dan Sungai Branjang, memberikan arti penting bagi kehidupan manusia sejak saat itu. Secara genetik, Sungai Oyo memiliki keunikan morfologis tersendiri. Walaupun mengalir di daerah perbukitan namun bentuk alirannya banyak menunjukkan kelokan yang tinggi dalam bentuk entrenched meander. Ini membuktikan bahwa pada suatu saat su-ngai-sungai tersebut pernah mencapai stadium tua (kondisi equilibrium), yang dekat dengan permukaan laut sebagai common base level. Oleh karena pada awal pembentukannya, beda elevasi antara dataran dengan muka laut belum begitu besar maka sungai tersebut mengalir dengan melakukan erosi lateral. Pengangkatan yang terus terjadi hingga mencapai ketinggian 200 m dpl pada akhir Plestosen akhirnya membentuk elevasi sekarang. Membesarnya beda tinggi antara dataran dan muka laut berakibat di dataran tersebut terjadi erosi. Sifat erosi Sungai Oyo berubah dari lateral menjadi vertikal dengan tetap mempertahan-kan alur yang kurang lebih sama. Akibatnya terbentuklah entrenched meander dan endapan teras. Pada kondisi sekarang, litologi dasar sungai yang resisten, yang tersusun oleh material vulkanik purba bercampur dengan batuan karbonat tertier, menghambat terjadinya peremajaan lembah.
Periode Wonosari Madya dicirikan oleh penghunian situs-situs dengan dominasi unsur megalitik, di antaranya peti kubur batu, menhir, dan arca menhir. Penelitian terhadap corak tinggalan ini dirintis oleh van der Hoop pada tahun 1934, sebagai tindak lanjut atas laporan J.L. Moens. Van der Hoop menyebutkan bahwa situs-situs arkeologis yang bercorak megalitik tersebar hampir diseluruh wilayah Cekungan Wonosari. Perhatian terhadap hasil budaya megalitik Gunungkidul muncul kembali pada tahun 1968, yakni dengan adanya survei ulang oleh Haris Sukendar. Dari hasil survei tersebut, Sukendar menyimpulkan bahwa situs-situs megalitik di Gunungkidul berasal dari akhir zaman logam awal.