kraton-yogyakarta

Sejarah kehidupan manusia dimulai dari masa prasejarah. Dari masa ke masa kehidupan manusia mengalami perkembangan, mulai dari pola hidup berpindah-pindah kepada pola hidup menetap, pembentukan komunitas dengan tokoh-tokoh pemimpin, sampai pada tingkat membentuk negara. Dari belum mengenal tulisan sampai kepada menulis naskah dalam berbagai huruf dan bahasa. Tahap-tahap dalam sejarah kehidupan manusia itu tercermin dari tinggalan-tinggalan arkeologis, baik berupa artefak, ekofak, maupun fitur. Dalam tahap-tahap itu manusia memilih tempat baik sementara maupun menetap untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya. Pemilihan lokasi tersebut tidak lepas dari tersedianya sumber daya alam pendukung kehidupan dan wawasan-wawasan praktis serta filosofis.

Yogyakarta sebagai suatu satuan administratif juga mengalami tahap-tahap kehidupan manusia seperti di atas, sebagaimana tercermin dalam beragam tinggalan arkeologis yang ditemukan di berbagai lokasi. Salah satu lokasi tersebut adalah kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Di beberapa desa di sepanjang aliran Sungai Oyo ditemukan alat-alat batu paleolitik, yaitu alat yang paling tua dalam tahap kehidupan manusia. Jejak-jejak budaya manusia dari kurun waktu yang tertua, yakni masa prasejarah, di Yogyakarta juga ditemukan di daerah Sanden, Kabupaten Bantul.

Masa berikutnya adalah masa yang biasa disebut masa atau periode Klasik atau Hindu-Buddha, karena dilatarbelakangi oleh agama Hindu-Buddha yang berasal dari India. Dalam periode ini mulai terbentuk pemerintahan berbentuk kerajaan, yang tertua di Indonesia terdapat di Kutai (Kalimantan Timur), dan Tarumanagara (Jawa Barat), yaitu pada abad V M. Dalam perkembangan berikutnya, pusat-pusat kerajaan juga terdapat di pedalaman Jawa Tengah dan DIY sekarang, yaitu di dataran Prambanan dan Kedu.

Berdasarkan Prasasti Sojomerto diketahui bahwa di Jawa pada abad VII M telah berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang pendiri Dinasti Syailendra yaitu Dapunta Syailendra. Namun belum dapat diketahui secara pasti nama kerajaannya. Berdasarkan berita Cina pada zaman Sung awal (420-470 M) Jawa disebut She-P’o. Selanjutnya dalam Prasasti Canggal (dekat Muntilan) dari tahun 732 M diketahui di Jawa ada seorang raja bernama Sanjaya. Adapun nama Kerajaan Mataram pertama kali diketahui dari Prasasti Mantyasih 907 M yang juga menyebut Sanjaya sebagai raja pertama yang memerintah.

Dalam prasasti ini juga disebutkan daftar nama raja-raja yang memerintah sesudah Sanjaya, antara lain: Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, dan Balitung. Daftar nama raja-raja Mataram tersebut diketahui lebih lengkap lagi dengan ditemukannya Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M. Berdasarkan bacaan serta penafsiran atas beberapa prasasti, diperoleh daftar nama raja-raja Mataram Kuna sebagai berikut.

  1. Dapunta Syailendra (abad VII)
  2. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
  3. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784M)
  4. Rakai Panaraban (784-803M)
  5. Sri Maharaja Rakai Panunggalan ?
  6. Sri Maharaja Rakai Warak (Dyah Manara) (803-827 M)
  7. Dyah Gula (827-828 M)
  8. Sri Maharaja Rakai Garung (828-847 M)
  9. Sri Maharaja Rakai Pikatan (Dyah Saladu) (847-855 M)
  10. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala) (855-885 M)
  11. Dyah Tagwas (885 M)
  12. Rakai Panumwangan (Dyah Dewendra) (885-887M)
  13. Rakai Gurunwangi (Dyah Bhadra) (887 M)
  14. Sri Maharaja Rakai Wungkalhumalang/Watuhumalang (894-898M)
  15. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-909 M)
  16. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaksaya (910-913 M)
  17. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong (913-919 M)
  18. Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919-925 M)

Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut juga diketahui bahwa wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna kira-kira mencakup kawasan Provinsi DIY, Provinsi Jawa Tengah, dan bahkan mungkin sampai dengan Provinsi Jawa Timur. Lebih jauh berita Cina dari Dinasti T’ang memberi gambaran singkat tentang sistem birokrasi di kerajaan tersebut: terdapat 28 negara bawahan yang merupakan wilayah-­wilayah ke-rakai-an (watak). Raja sebagai penguasa dibantu oleh 4 menteri utama, yaitu Rakarayan Mahamantri I Hino, Rakarayan Mahamantri I Halu, Rakarayan Mahamantri I Sirikan, dan Rakarayan Mahamantri I Wka. Adapun penguasa-penguasa di wilayah watak yang merupakan raja-raja bawahan adalah para rakai.

Beberapa prasasti dari masa itu juga memberikan gambaran tentang kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pada saat-saat tertentu kondisi politik cukup stabil, namun pada saat lain terjadi intrik politik. Sudah barang tentu hal semacam itu menyebabkan terjadinya pasang surut kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Dapat diduga bahwa candi-candi yang menjadi bukti kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, seperti percandian Lara Jonggrang, hanya dapat dibangun pada saat kondisi politik cukup stabil. Namun sayang sekali bahwa keraton yang menjadi pusat Kerajaan Mataram Kuna, saat ini belum dapat diketahui secara pasti keberadaannya, mungkin karena pada umumnya keraton terbuat dari bahan yang tidak tahan lama seperti kayu. Di sisi yang lain, tempat-tempat pemujaan (candi) dibuat dari bahan yang lebih tahan lama seperti batu andesit, batu putih, dan bata. Di samping itu, menarik perhatian pula bahwa pusat Kerajaan Mataram Kuna sering berpindah tempat, yang mungkin disesuaikan dengan dinamika kehidupan politik dalam kerajaan. Sampai saat ini dari sumber prasasti diketahui bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuna pernah berada di Medang ri Poh Pitu, di Medang ri Mamratipura, dan di Medang ri Bhumi Mataram.

Pada abad X M, pusat Kerajaan Mataram Kuna dipindahkan ke tempat lain yang lebih jauh, yaitu ke Jawa Timur. Apa penyebabnya sampai sekarang belum diperoleh jawaban yang memuaskan dan pasti. Dengan perpindahan ini dapat diperkirakan bahwa kehidupan bernegara di wilayah yang kini bernama Yogyakarta menyurut, karena raja adalah ”patron” bagi kehidupan rakyatnya. Namun, ini tidak berarti bahwa kehidupan bermasyarakat juga berhenti. Rakyat tentu ada yang masih tinggal di situ, mungkin ada pula kaum pendeta yang tetap tinggal untuk “menghidupkan” candi-candi yang ada, dan membimbing kehidupan rohaniah masyarakat. Selama sekitar 5 – 6 abad berikutnya kehidupan politik, budaya, sosial, dan ekonomi berpusat di wilayah Jawa Timur dalam wadah kerajaan-kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, dan lain sebagainya.

Masa masuknya pengaruh Islam di Indonesia, khususnya di Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Namun tinggalan arkeologis menunjukkan adanya pengaruh Islam di Jawa pada abad XI M. Tinggalan itu berupa nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang berangka tahun 485 H =1082 M. Pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, eksistensi pengaruh Islam mulai kokoh dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintara pada ± 1476 M, dengan raja pertama Raden Patah. Kerajaan ini diakui sebagai awal bagi munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada masa-masa selanjutnya di Jawa. Setelah wafatnya Sultan Trenggana, yaitu raja Demak ketiga, kerajaan dipindahkan oleh menantunya yang bernama Sultan Hadiwijaya ke daerah pedalaman, tepatnya di Pajang. Mulai saat itulah kerajaan yang semula berbasis maritim kemudian menjadi agraris.

Berakhirnya kekuasaan Kerajaan Pajang pada perempat akhir abad XVI M mengantarkan munculnya kakuatan politik baru, yaitu Kerajaan Mataram-Islam dengan pusat pemerintahan di Kotagede yang sekarang termasuk dalam wilayah DIY. Kerajaan Mataram-Islam inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, sejarah Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mataram-Islam.

Penguasa pertama Kerajaan Mataram-Islam adalah Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram. Kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan tidak berlangsung lama, karena ia meninggal enam tahun kemudian. Sepeninggal Ki Ageng, pimpinan tertinggi di Mataram dipegang oleh Sutawijaya, yang bergelar Ngabehi Loring Pasar. Setelah naik takhta, gelarnya adalah Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Pada waktu itu kharisma pemimpin agama Islam di Jawa (Wali Sanga) masih terasa. Hal ini terbukti dari legenda adanya restu dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya (Senopati) sebagai pemimpin Mataram yang sah. Di samping itu, beberapa pernikahan Senopati dengan putri dari tokoh-­tokoh penting masa itu semakin memperkuat kedudukan politisnya. Sebagai contoh adalah pernikahannya dengan Retno Dumilah, putri Panembahan Rangga Madiun sekaligus cucu Sultan Trenggana, juga pernikahannya dengan putri Ki Penjawi dari Pati.

Untuk memperkuat kedudukan Senapati sebagai penguasa Kerajaan Mataram Islam yang baru berdiri, maka selama pemerintahannya ia banyak melakukan berbagai peperangan. Peperangan ini dilakukan terhadap para bupati yang memberontak ataupun tidak mengakui kekuasaannya, di antaranya adalah peperangan melawan Bupati Pati, Madiun, dan Surabaya. Meskipun demikian, Senapati juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan dan penataan fasilitas pendukung ibu kota Mataram saat itu. Pembangunan yang pernah dilakukan oleh Senapati sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, antara lain berupa pembangunan benteng dari bata, dan pembuatan parit yang lebar mengelilingi kota kerajaan. Senapati juga memberikan perintah untuk membangun sebuah masjid Agung, yang berhasil diselesaikan pada tahun 1589 M. Masjid ini sampai sekarang masih dapat disaksikan, walaupun telah mengalami beberapa perubahan fisik.

Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama, sebagai pemimpin awal Kerajaan Mataram Islam, telah berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke arah utara dan timur. Namun keberhasilannya menaklukkan wilayah Pati, Surabaya, Jepara, dan Madiun, disertai pula dengan kegagalannya menaklukkan berbagai wilayah di Jawa Timur. Meskipun demikian, pemerintahan Senapati telah mempunyai kerangka dasar yang cukup kuat dan baik. Ia meninggal pada tahun 1601 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung yang dibuatnya, tepatnya di selatan makam ayahnya. Sebelum meninggal dunia, ia telah mengatur suatu suksesi kepemimpinan di Kerajaan Mataram Islam, agar sepeninggalnya kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Jolang.

Pangeran Jolang sebenarnya bukanlah anak lelaki tertua Panembahan Senapati. Seperti diketahui Panembahan Senapati mempunyai dua orang permaisuri, yaitu puteri dari Pati, dan puteri dari Madiun. Pangeran Jolang adalah anak lelaki Panembahan Senapati dari puteri Pati, atau dengan kata lain Pangeran Jolang adalah cucu dari Ki Penjawi. Diduga penobatan Pangeran Jolang didasari oleh ingatan akan jasa-jasa Ki Penjawi, dan demi menjaga hubungan baik dengan keluarga besar di wilayah Pati. Akan tetapi hal ini mengakibatkan Pangeran Puger yang menjabat Adipati di Demak dan Pangeran Jayaraga yang diangkat sebagai Adipati Panaraga, bersama-sama memberontak terhadap Mataram. Namun, akhirnya kedua adipati tersebut dapat ditundukkan kembali, dan masing-masing diasingkan ke Kudus serta Nusa Kambangan.

Masa pemerintahan Pangeran Jolang hanya berlangsung sekitar 12 tahun. Meskipun demikian, seperti halnya ayahnya, ia juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan fasilitas kota Kerajaan Mataram-Islam. Pada tahun 1603 M, raja memerintahkan pembangunan Prabayaksa di keraton, dan dua tahun kemudian telah selesai dibangun sebuah pertamanan yang diberi nama Taman Danalaya. Taman ini terletak di sebelah barat keraton dan dilengkapi dengan suatu segaran (kolam). Adapun pembuatan kompleks pemakaman Kotagede diselesaikan pada tahun 1606 M. Berbagai pembangunan fisik lainnya amat pesat dilakukan, antara lain adanya pembangunan lumbung di Gading, membuat krapyak di Beringan. Di samping itu juga digalakkan usaha pertanian dan perkebunan seperti menanam pohon merica, kemukus, dan kelapa.

Masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir pada tahun 1613 M, yaitu saat ia jatuh sakit di hutan perburuan (krapyak) dan akhirnya meninggal dunia. Pangeran Jolang kemudian dimakamkan di Astana Kapura Kotagede. Karena meninggal pada saat berburu, maka ia dikenal pula dengan sebutan Panembahan Seda Ing Krapyak. Perlu dicatat sebelum masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir, terjadi kontak atau hubungan dengan bangsa Belanda.

Pada pertengahan tahun 1613 M, Raja Mataram mengirim seorang utusan untuk menemui pimpinan VOC Belanda di Banten, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, untuk menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dagang dengan mereka. Utusan tersebut berhasil membawa misinya, sehingga pada tanggal 22 September 1613 kapal Belanda merapat di pelabuhan Jepara (yang saat itu menjadi wilayah Mataram), dan kemudian mereka mendirikan loji di tempat itu.

Penguasa tertinggi Mataram kemudian bergulir dan dipegang oleh putra Panembahan Seda ing Krapyak yaitu R.M. Jatmiko yang dikenal pula dengan nama Pangeran Rangsang. Setelah menjadi raja, ia disebut Sultan Agung Senapati ing Alaga. Kronologi pengangkatan Sultan Agung menjadi Raja Mataram tergolong unik, karena yang mula-mula diangkat sebagai raja adalah adiknya (RM. Martapura). Namun hanya sebentar setelah memegang kekuasaan, R.M. Martapura meletakkan jabatan dan mempersilahkan kakaknya untuk menggantikannya. Langkah ini dirasa tepat, karena sebagaimana lazimnya suksesi kepemimpinan biasanya dimulai dari yang lebih tua dahulu. Hal ini mempunyai maksud agar pihak yang lebih tua tidak merasa dilangkahi, sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Berbagai contoh sejarah yang berkaitan dengan perselisihan keluarga dalam memegang kekuasaan sering kali terjadi, karena ada ketidakpuasan terhadap pemegang kekuasaan oleh pihak yang lebih tua.

Pada awal masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi berbagai pertempuran. Pertempuran-pertempuran tersebut bermaksud untuk menaklukkan kembali berbagai wilayah bawahan yang berusaha memberontak. Mereka ini adalah para bupati pemegang kekuasaan di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan. Berbagai pertempuran tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1625 M, yaitu dengan pengerahan pasukan untuk mengepung Surabaya. Selain itu juga masih ada pertempuran-pertempuran dalam skala yang lebih kecil, yaitu penaklukan Pati, Giri, serta Blambangan. Setelah selesai menaklukkan wilayah Blambangan, Sultan Agung memerintahkan sebagian penduduknya untuk pindah dan tinggal di Mataram.

Sementara itu, hubungan dagang dengan VOC yang dirintis oleh Panembahan Seda Ing Krapyak, makin meningkat frekuensinya. Bahkan ada beberapa utusan gubernur jenderal yang dikirim ke Mataram, di antaranya Hendrick de Haan, Jan Vos, dan Pieter Franssen. Hubungan yang baik ini mulai memburuk pada tahun 1624 M, karena Sultan Agung mulai melihat adanya ketidakberesan dari pihak Belanda. Sultan Agung melihat kehadiran Belanda di Batavia adalah sebagai kekuatan politik yang mampu mengancam kekuasaannya. Dengan semakin memburuknya hubungan Mataram dengan Belanda, maka pada tahun 1628 dan 1629 M pasukan Mataram mengepung Batavia. Namun sayang, pasukan Mataram gagal mengalahkan Belanda, karena kurangnya logistik, timbulnya berbagai penyakit, serta penggunaan senjata api oleh tentara Belanda.

Kegagalan penaklukan Batavia oleh Sultan Agung, tampaknya diimbangi dengan usaha legitimasi secara spiritual. Hal dibuktikan dengan pengubahan gelar Susuhunan yang dipakainya sejak tahun 1624 M, maka sejak tahun 1641 M ia bergelar Sultan. Usaha yang lain adalah melakukan ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1633 M sekaligus membangun pintu gerbang kompleks makam. Pintu gerbang tersebut bemama gapura Panemut yang berbentuk candi bentar dan sekarang masih dapat dilihat sebagai pintu gerbang ketiga di kompleks makam tersebut.

Berbagai langkah besar dan fenomenal dilakukan oleh Sultan Agung pada masa pemerintahannya. Langkah-langkah besar yang dilakukan itu merupakan suatu usaha mengadakan penyeimbangan antara tradisi Hindu (yang lebih dulu ada) dengan tradisi Islam. Tindakan yang paling spektakuler terlihat pada adanya usaha penyusunan dan penggunaan sistem kalender baru. Kalender baru yang disusun merupakan perkawinan antara perhitungan tahun Hijriyah dengan tahun Saka, yang saat itu menunjukkan angka tahun 1555 Saka. Sistem kalender tersebut terbukti dapat diterima oleh masyarakat Jawa, dan masih digunakan sampai sekarang dengan sebutan penanggalan Jawi.

Meskipun pada masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi peristiwa politik, tetapi dia tidak melupakan berbagai pembangunan fisik baik di lingkungan kota kerajaan maupun di berbagai tempat lain. Di antaranya mulai menyiapkan pembangunan keraton baru di Kerta-Plered, dan pembangunan pemakaman di Girilaya (sekitar 10 km arah selatan Kotagede). Pembangunan makam tersebut dimulai pada tahun 1629 M dengan dipimpin oleh Panembahan Juminah. Akan tetapi pemakaman tersebut akhirnya tidak digunakan oleh Sultan Agung, karena sudah dipakai untuk memakamkan Panembahan Juminah yang meninggal dalam masa pembangunan itu.

Setelah itu, Sultan Agung membangun pemakaman baru di Bukit Merak. Kegiatan ini dimulai pada ahun 1632 M atau tiga tahun setelah pembangunan makam di Girilaya. Pembangunan makam di Bukit Merak berlangsung selama 13 tahun, dan setelah selesai diberi nama Imagiri. Belum genap setahun setelah pembangunan makam Imagiri selesai, Sultan Agung meninggal di pendapa Keraton, dan dimakamkan di Imagiri. Sebelum jenazahnya dimakamkan, terlebih dahulu dilakukan upacara pentahbisan putra mahkota sebagai pemegang tampuk kekuasaan Mataram-Islam.

Setelah pemerintahan Sultan Agung, maka yang memimpin Mataram adalah Sunan Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, pada tahun 1647 M, pusat pemerintahan dipindah dari Kotagede ke Plered. Berbagai peristiwa berdarah terjadi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, terutama pembunuhan terhadap kerabat dan beberapa tokoh penting yang tidak sepaham dengan kebijakan politik pemerintahannya. Sebagai contoh adalah pembunuhan terhadap Tumenggung Wiraguna dan keluarganya, Pangeran Alit (adik Sunan sendiri), dan para ulama beserta keluarganya. Peristiwa-peristiwa politik yang terjadi, diimbangi dengan berbagai pembangunan fisik pendukung keraton baru.

Pembangunan fisik pendukung keraton sangat menakjubkan dan berlangsung secara spartan. Berbagai bangunan yang dibuat membuat bangsa Belanda yang kagum berkunjung ke Plered. Sumber tertulis menyatakan pembuatan pagar keliling keraton dari bata dan bagian puncaknya berwarna putih atau dari batu padas. Pembuatan pagar keliling ini diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan. Setelah itu (sekitar dua tahun kemudian), didirikan masjid Plered dan setahun kemudian dilakukan perluasan terhadap tempat berburu di sisi timur (Krapyak wetan). Belum puas dengan kondisi keratonnya, Sunan Amangkurat I juga memerintahkan untuk membuat bendungan atau segaran. Di samping itu juga dilakukan pembuatan lokasi pemakaman untuk Ratu Malang di Gunung Kelir pada tahun 1668 M.

Sementara itu, hubungan bilateral dengan sekutu-sekutunya mulai kurang harmonis. Hal ini berkaitan dengan sikap Sunan yang terkesan arogan dan tiran dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sikap demikian ini menyebabkan banyak pihak yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaannya. Sebagai contoh adalah penguasa di Jambi dan Kalimantan. Namun demikian, sikap Sunan tetap tidak berubah, sebab tindakan yang dilakukan banyak didukung oleh orang-orang Belanda melalui VOC. Sikap Sunan terhadap VOC berbeda 180° bila dibanding dengan sikapnya terhadap penguasa pribumi. Hal ini terbukti dengan adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1646 M, yang antara lain berisi tentang pengakuan Mataram terhadap kedudukan VOC di Batavia. Bahkan VOC setiap tahun mengirim utusan ke Mataram. Sikap ini pada masa berikutnya menjadi bumerang bagi pemerintah Mataram, karena VOC mulai melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mataram.

Berbagai sikap politik yang dilakukan oleh Sunan, menjalin hubungan dengan VOC dan menyingkirkan orang berpengaruh di sekitamya, menimbulkan permusuhan di antara kerabat sendiri. Permusuhan yang paling mencolok berlangsung antara Sunan Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom, yang mengakibatkan hilangnya simpati rakyat terhadap pemimpinnya. Akibat yang paling parah adalah adanya perlawanan Trunajaya, yang pada akhirnya menghentikan kekuasaan Sunan Amangkurat I di Mataram. Pada waktu itu, Sunan Amangkurat I meloloskan diri ke Imagiri, kemudian meneruskan perjalanan ke arah barat untuk minta bantuan VOC. Namun, ia meninggal di Wanayasa (wilayah Banyumas Utara sekarang) pada tanggal 10 Juli 1677. Tiga hari kemudian jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi. Makam Sunan Amangkurat I ini merupakan satu-satunya makam pemimpin Mataram yang berada jauh dari wilayah kekuasaannya.

Sebelum meninggal dunia, Sunan Amangkurat I masih sempat mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II, sekaligus mewariskan berbagai tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawa lari. Sementara itu, putra lain dari Sunan Amangkurat I yaitu Pangeran Puger, melarikan diri ke arah Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah) dan mengangkat diri menjadi raja dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Setelah Trunajaya mengundurkan diri ke Kediri, maka Pangeran Puger kembali ke Plered dan menduduki istana kerajaan.

Hubungan baik antara VOC dengan Mataram, yang dirintis oleh Sunan Amangkurat I tampaknya terus berlanjut. Sunan Amangkurat II yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya tetap menjalin hubungan dengan VOC. Bahkan secara ekstrem disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, ia setiap hari berpakaian gaya Belanda, dan tidak terpisahkan dengan Belanda. Kerja sama dengan VOC tersebut sebenarnya bukan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Sebagai contoh apabila Sunan Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC, maka ia harus membayar biaya perang, bahkan VOC pernah meminta wilayah di sebelah timur Kerawang sampai Sungai Pamanukan. Kedekatan hubungan ini semakin memudahkan VOC masuk ke dalam kehidupan politik di Jawa, khususnya Kerajaan Mataram.

Setelah kembali ke Mataram, Sunan Amangkurat II berpikiran untuk membuat kedhaton atau istana baru. Pemikiran semacam ini merupakan suatu hal yang biasa terjadi waktu itu, sebab dipercaya apabila istana atau keraton telah dikalahkan bahkan diduduki oleh musuh, maka tempat itu tidak baik lagi. Dengan demikian, keraton akan dipindah ke tempat lain. Demikian pula halnya Sunan Amangkurat II. Ia juga memilih Wanakarta sebagai lokasi calon istana yang baru. Wanakarta dipilih dengan pertimbangan wilayahnya datar, sehingga pandangan dapat lebih luas. Selain itu juga disebutkan adanya ramalan bahwa Wanakarta kelak akan dipakai sebagai keraton Mataram. Keraton di Wanakarta secara resmi mulai ditempati pada tahun 1680 M. Oleh Amangkurat II, nama Wanakarta selanjutnya diganti dengan nama baru yaitu Kartasura Adiningrat.

Setelah Sunan Amangkurat II bertakhta di Kartasura, saudaranya, yaitu Pangeran Puger tetap berkedudukan di Plered. Bahkan Pangeran Puger secara berani menyatakan tidak mau mengakui Sunan Amangkurat II sebagai Raja Mataram. Akibatnya pada bulan November 1680, pasukan Sunan Amangkurat II dengan dibantu oleh VOC menyerang Plered. Pada penyerangan itu, Pangeran Puger berhasil meloloskan diri ke arah barat. Selanjutnya ia melakukan serangan balasan ke Kartasura, tetapi dapat dipukul mundur. Akhir dari perseteruan dua saudara ini adalah pengakuan kedaulatan Sunan Amangkurat II oleh Pangeran Puger yang kemudian juga tinggal di Kartasura.

Berbagai pembangunan fisik untuk melengkapi kota kerajaan juga dilakukan atas perintah Sunan Amangkurat II. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid Agung, pembangunan sitinggil, prabayaksa, dan segaran.

Pemegang kekuasaan Mataram yang berpusat di Kartasura Adiningrat, setelah Sunan Amangkurat II adalah anaknya, yang bergelar Sunan Amangkurat III. Selanjutnya secara berurutan penggantinya adalah Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, dan Sunan Paku Buwana II. Pada masa-masa ini pemerintahan Mataram semakin tidak stabil. Pengaruh dan intervensi pihak VOC semakin kuat dan sangat mengikat. Berbagai pemberontakan oleh rakyat maupun bangsawan Mataram semakin sering terjadi, sebagai akibat dari kecenderungan pihak penguasa dalam memenuhi semua keinginan VOC. Berbagai macam krisis yang terjadi di Kartasura mencapai puncaknya tahun 1740 M, ketika itu terjadi pemberontakan orang-­orang Cina (lebih dikenal dengan sebutan geger pacinan yang terjadi antara tahun 1740-­1743). Sebenarnya awal dari geger pacinan adalah pembunuhan secara besar-besaran orang-orang Cina di Batavia oleh VOC. Peristiwa peperangan ini berlangsung sangat hebat, dan meluas sampai ke wilayah Jawa Tengah, mengancam kedudukan VOC di Semarang, Demak, dan Pati.

Kerja sama antara pihak penguasa dengan VOC ini tentu saja membuat rasa kecewa di kalangan bangsawan dan rakyat dan meningkatkan rasa benci mereka kepada penguasa. Bentuk dari kekecewaan dan kebencian ini direalisasikan dengan pengangkatan penguasa baru, yaitu Raden Mas Garendi (cucu Sunan Amangkurat III). Kaum pemberontak, yang merasa terlindungi dengan adanya penguasa baru bagi mereka, semakin berani dalam menggalang kekuatan dan meningkatkan aksinya. Mereka bahkan secara berani menyerang keraton Kartasura dan berhasil mendudukinya pada akhir Juni 1742 M. Sunan Paku Buwana II beserta sebagian keluarganya dengan diiringi prajurit VOC menyingkir ke Ponorogo. Peristiwa ini disebut dalam sumber babad dengan istilah ambedhah bata. Selanjutnya di Ponorogo, Sunan Paku Buwana II menyusun kekuatan untuk merebut kembali keraton, sedangkan Hogendorff, seorang perwira VOC, pergi ke Semarang untuk minta bantuan. Akan tetapi karena VOC di Semarang sedang mempertahankan diri dari serangan pemberontak, maka tidak dapat membantu usaha merebut kembali keraton Kartasura. VOC akhirnya meminta bantuan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura.

Pada bulan Desember 1742 M, Pangeran Cakraningrat IV dan pasukannya berhasil mengalahkan kaum pemberontak dan menduduki keraton Kartasura. Namun akibat bujukan VOC, Pangeran Cakraningrat IV menyerahkan kembali keraton ke pihak Sunan Paku Buwana II. Pada tanggal 21 Desember 1742, Sunan Paku Buwana II kembali ke keraton dan berkuasa kembali. Sunan Kuning (tokoh pemberontak Cina) menyerah pada penguasa sepuluh bulan kemudian, selanjutnya disusul oleh tokoh-tokoh pasukan Jawa-Cina yang pro-Garendi. Setelah pemberontakan reda dan suasana tenteram, raja memutuskan untuk meninggalkan keraton Kartasura yang rusak akibat terbakar dalam peperangan, dan telah diduduki musuh.

Lokasi untuk keraton baru yang dipilih adalah Desa Sala, meskipun berada di tepi sungai yang berawa, dengan kondisi lahan tidak sama tingginya dan sulit dicapai. Adapun kota kerajaan yang baru itu, baik pola tata kota maupun bentuk keratonnya, meniru atau mencontoh keraton Kartasura. Setelah pembangunan keraton selesai, Sunan Paku Buwana II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Dalam perpindahan yang terjadi pada awal tahun 1746 M itu bahkan pohon beringin kurung dan Bangsal Pangrawit pun dibawa serta. Beringin kurung ditanam di Alun-Alun Utara dan Selatan. Sesampainya di keraton baru, raja mengumumkan penggantian nama Desa Sala menjadi Kota Surakarta Adiningrat.

Dengan selesainya proses pemindahan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta, maka dimulailah babak baru penguasaan kerajaan oleh Dinasti Mataram, yang kehidupan politiknya sering kali juga tidak stabil, sama seperti masa sebelumnya. Di Surakarta ini pulalah pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, kekuasaan Dinasti Mataram berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti, yang menyebabkan dipecahnya kekuasaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta

Secara substantial Keraton Yogyakarta diakui keberadaannya sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 M (29 Rabiulakhir 1680 J). Perjanjian yang disebut pula palihan nagari ini dilakukan oleh Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV). Peristiwa ini ditandai dengan candra sengkala nir brahmana angoyag bumi. Melalui perjanjian tersebut dinyatakan bahwa wilayah kekuasaan Mataram dibagi dua menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Wilayah kasultanan meliputi kuthagara dan nagaragung, yaitu sebagian wilayah Mataram, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumi Gede, seluas 53.100 karya, serta wilayah mancanagara yang meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa, Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Sela, Grobogan, dan Banyumas, seluas 33.950 karya.

Akibat langsung dari adanya Perjanjian Giyanti atau palihan nagari tersebut adalah pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi penguasa pertama Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 13 Maret 1755 M (21 Jumadil Awal tahun Be 1680 J). Selanjutnya Pangeran Mangkubumi bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati Ing Alaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Penobatan ini ditandai dengan sengkalan kumbul sliro osik prabu. Tentu saja mulai saat itu Sultan Hamengku Buwana I segera memerintahkan untuk mendirikan keraton dengan berbagai macam sarana atau bangunan pendukung, untuk mewadahi aktivitas pemerintahan suatu kerajaan.

Keraton Kasultanan Yogyakarta didirikan di kawasan hutan Beringan. Pada saat pembangunan keraton berjalan, sultan beserta kerabatnya tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, selama setahun. Pembangunan keraton dapat diselesaikan pada hari Kamis Pahing tanggal 13 Sura tahun Jimakir 1682 J (7 Oktober 1756 M). Penyelesaian pembangunan keraton ini ditandai dengan candra sengkala memet berupa dua naga yang kedua ekornya saling melilit. Jika dibaca candra sengkala memet itu berbunyi dwi naga rasa tunggal.

Pada perkembangan selanjutnya, baik Sultan Hamengku Buwana I maupun para penerusnya melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai kebutuhan dan konteks zamannya. Lingkungan binaan yang dibuat difungsikan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas pemerintahan, baik berupa kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun tempat tinggal. Tampaknya lingkungan binaan itu keberadaannya selain memenuhi aspek fungsi juga didasari unsur estetik, etik, simbol, dan filosofis ­religius.

Sementara itu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I, orang­-orang Cina juga mulai datang dan bermukim di Kota Yogyakarta. Para perantau Cina di Indonesia umumnya, dan Yogyakarta khususnya, kebanyakan adalah orang-orang Hokkian dari Provinsi Fu Kien dan Kwang Tung. Mereka inilah yang menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, dan sebagian pantai Sumatra. Menurut data statistik jumlah orang Cina di Yogyakarta antara tahun 1808 sampai dengan 1811, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II, adalah 758 orang.

Pada umumnya, orang-orang Cina di Yogyakarta mempunyai kepentingan untuk berdagang. Oleh karena itu, lingkungan tempat tinggalnya selalu mempunyai koherensi dengan pusat perdagangan, yaitu pasar. Hal tersebut juga menguntungkan bagi pihak kasultanan karena dengan bermukimnya mereka di sekitar pasar, secara tidak langsung membantu pemasukan keuangan kasultanan terutama dalam hal penarikan pajak, sebab mereka juga bergerak dalam penarikan berbagai macam pajak.

Untuk mengurus kepentingan orang-orang Cina di Yogyakarta baik urusan kelahiran, kematian, surat jalan, dan penarikan pajak ditunjuk seorang Kapiten Cina, yang sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Beberapa orang Kapiten Cina di Yogyakarta, antara lain: To In (1755 -1764), Gan Kek Ko (1764 – 1776), Tan Lek Ko (1776 – 1793), Que Jin Sing (1793 – 1803), Tan Jing Sin (1803 -1813), Que Wi Kong (1813 -1828), dan Que Pin Sing. Bahkan Kapiten Cina Tan Jin Sing, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III, mendapat anugerah gelar Tumenggung Secodiningrat.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II (1792-1810, 1812 M) dan Sultan Hamengku Buwana III (1811,1812-1814 M) terjadi suatu pancaroba yang mendera kekuasaan kasultanan. Rangkaian peristiwa itu diwarnai konflik-­konflik antara pemerintah penjajah Inggris dan Belanda di satu pihak, dengan pemerintah kasultanan di pihak lain. Pada masa itu, Pangeran Natakusuma (putra Sultan Hamengku Buwana I) dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Raffles sebagai Pangeran Amardiko pada tanggal 29 Juni 1812. Adapun kontrak politik antara Pangeran Amardiko (Paku Alam I) dengan pemerintah Inggris ditandatangani pada tangga1 17 Maret 1813 M.

Perpecahan di dalam keluarga kasultanan ini secara de facto diwujudkan dengan pembagian wilayah antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Wilayah kekuasaan Kadipaten Paku Alaman luasnya 4.000 cacah, mencakup antara lain kawasan sekitar istana (wilayah Kecamatan Paku Alaman sekarang); Adikarto (sebagian wilayah Kulonprogo sekarang terutama sisi selatan); dan Karang Kemuning yang mempunyai empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsongko, dan Tawangkerto, dengan Brosot sebagai pusatnya.

Namun sejak pemerintahan Sri Paku Alam VII, wilayah Paku Alaman yang berada di luar Kota Yogyakarta disebut Kadipaten Adikarto dengan ibu kota di Wates. Kadipaten ini membawahi 53 desa dengan empat kapanewonan, yaitu: Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon. Nama-nama tersebut sekarang menjadi nama kecamatan di Kabupaten Kulonprogo. Adapun wilayah dalam kota meliputi wilayah Kecamatan Paku Alaman sekarang, yaitu wilayah Kalurahan Gunung Ketur, dan Purwokinanti.

Periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IV (1814-1820) dan Sultan Hamengku Buwana V (1823-1855) merupakan masa sulit bagi Kasultanan Yogyakarta, karena penuh konflik politik, dan terjadi berbagai kemerosotan di bidang sosial dan ekonomi. Kondisi ini mencapai puncaknya dengan meletusnya Perang Diponegoro, disebut juga Perang Jawa, pada tahun 1825-1830. Di Kasultanan Yogyakarta perang tersebut menimbulkan implikasi dan konsekuensi kompleks, bahkan imbasnya juga berdampak di Kasunanan Surakarta. Implikasi dan konsekuensi politis secara konkret terjadi pada era Sultan Hamengku Buwana V, sultan yang dinobatkan ketika masih kanak-kanak.

Kondisi demikian terus berlanjut pada era Sultan Hamengku Buwana VI (1855-­1877). Penetrasi dan ekspansi pemerintah Hindia Belanda di dalam pemerintahan di Praja Kejawen (vorstenlanden) pada masa tersebut semakin dalam, akibatnya secara politis kekuasaan raja-raja menjadi semakin sempit. Selain itu, mereka mempunyai dependensi kompleks terhadap pemerintah Hindia Belanda. Secara formal mulai tahun 1845 terhadap penguasa di Yogyakarta dan Surakarta dilembagakan dan dipaksakan adanya perundang-undangan (Regeeringsreglement) yang mengikat. Selain itu, ada Akta Persekutuan (Actien van Verband) bagi setiap raja yang dinobatkan, dan deklarasi putra mahkota. Hal itu terjadi misalnya di Kasultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwana VII (1877), dan di Paku Alaman pada masa Sri Paku Alam VI (1901).

Kondisi sosial ekonomi pada era 1830-an sampai dengan 1870-an (masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V – Sultan Hamengku Buwana VI) pada masyarakat Praja Kejawen sangat berbeda dengan yang terjadi di wilayah kekuasaan Hindia Belanda langsung, yaitu gubernemen. Perbedaan mencolok yaitu di Praja Kejawen tahun 1830 – 1870 tidak diberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sebagaimana di wilayah gubernemen. Di Praja Kejawen sistem sewa tanah dan industrialisasi bahkan sudah masuk pada tahun 1833, kemudian berkembang pesat pada tahun 1860-an. Keadaan tersebut di atas justru jauh mendahului situasi di wilayah gubernemen yang baru mengalami sistem industrialisasi pada tahun 1870-an, yaitu setelah era tanam paksa.

Pada masa tersebut banyak sekali penentangan dan perlawanan yang dikonfigurasikan dengan gerakan-gerakan sosial di tingkat periferal. Gerakan-gerakan lokal revolusioner yang menonjol antara lain: gerakan Syekh Pawiro Sentono di Kulonprogo, tahun 1840; gerakan Cakra Lesono di Yogyakarta, tahun 1850; kasus Ahmad Diar di Yogyakarta, tahun 1848.

Periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877 – 1821) merupakan masa yang relatif kondusif. Hal ini dibuktikan dengan berkembang pesatnya pembangunan sarana dan prasarana di keraton dan lingkungannya. Perlu dicatat bahwa satu dasawarsa sebelumnya pada tanggal 10 Juni 1867 (Senen Wage, Sapar, Ehe, 1796 J) di Yogyakarta terjadi gempa besar yang menimbulkan banyak korban jiwa dan materi. Bencana alam tersebut ditandai dengan candra sengkala hoyaging gapura kaswareng jagad. Akibat terjadinya gempa besar itu di akhir abad ke-19 di Yogyakarta banyak dilakukan rehabilitasi, renovasi, dan pembangunan baru. Kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939). Beliau banyak mengadakan penyempurnaan di lingkungan keraton yang hasilnya masih dapat kita lihat saat ini.

Secara kultural pembagian wilayah Kasultanan Yogyakarta menimbulkan beberapa keunikan jejak budaya yang bersumber dari keberadaan Kadipaten Paku Alaman. Keunikan ini terus berlanjut menjadi tradisi sampai era kemerdekaan. Namun secara politik birokratis, terutama pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan, keunikan dari keberadaan kasultanan dan kadipaten ini dapat menyatu dalam satu visi perjuangan.

Visi perjuangan Sultan Hamengku Buwana IX adalah menyerahkan takhta untuk rakyatnya. Berkaitan dengan hal itu, maka setelah naik takhta pada tahun 1940, beliau mulai mengadakan pembaharuan-pembaharuan birokrasi di keraton, antara lain dengan mengurangi peran Patih Danureja VIII yang selanjutnya dipensiunkan pada 1 Agustus 1945. Langkah politik ini dilakukan untuk menghilangkan peran mendua (dwikesetiaan) patih, yang mengabdi kepada sultan, sekaligus kepada pemerintah penjajah. Langkah sultan tersebut membuka jalan untuk menyatukan kekuasaan di tangannya, dan untuk menghindarkan upaya adu domba sebagaimana yang dialami para pendahulunya.

Dalam rangka mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945. Maklumat tersebut secara substansial menegaskan, baik Kasultanan maupun Paku Alaman merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menjadi bagian dari Republik Indonesia. Di samping itu, kedua wilayah tersebut kemudian membentuk satu Badan Pekerja sebagai wakil rakyatnya. Pada perkembangannya, keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dalam UU RI No. 22 Tahun 1948 dan secara khusus dilegalisasi di dalam UU RI No. 3 Tahun 1950. Realita tersebut merupakan momentum historis penting dalam perjalanan sejarah Yogyakarta, dari kerajaan menjadi pendukung utama negara kesatuan Republik Indonesia.

Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan pada awal berkuasanya orde baru, Sultan Hamengku Buwana IX menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia (1973-1978). Realita di masyarakat Yogyakarta di era kemerdekaan ini, keraton tetap mendapat tempat dan perhatian, baik dalam bidang kultural maupun peran sosio-politiknya.

Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Sultan Hamengku Buwana X ketika dinobatkan pada 7 Maret 1989 menyampaikan visi ”takhta untuk kesejahteraan sosial dan budaya”. Pada dasarnya visi Sultan Hamengku Buwana X mengandung pemaknaan varian-varian tradisional dalam rangka pengabdian kepada rakyat, keteladanan, dan pengayoman atau perlindungan yaitu hamengku, hamangku, dan hamengkoni.

Visi ini diaktualisasikan ketika kondisi bangsa mengalami krisis multidimensi, dan berlanjut dengan proses reformasi. Pada 20 Mei 1998 Sultan Hamengku Buwana X bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang dibacakan pada “Pisowanan Agung” yaitu gerakan reformasi di Yogyakarta yang menggelar aksinya di Alun-alun Utara Yogyakarta. Saat ini dalam bidang pemerintahan Republik Indonesia Sultan Hamengku Buwana X bersama Sri Paku Alam IX menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan tersebut tentunya didasarkan kepada pertimbangan historis, yuridis, dan kondisi realita masyarakat Yogyakarta secara luas.

 

Diambil dari Buku Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta